MENJELANG Isya malam kedua Ramadan 1446 H, saya masih bermalas-malasan tidur menelentang, merasakan perut penuh daging kambing. Teteh saya koki yang mewarisi kecakapan memasak dari ibu saya. Sesuai postulat Michael Pollan dalam In Defense of Food (Penguin, 2008), pada masa ketika manusia makin terjerat budaya makan yang memperhitungkan segala takaran belagu tentang nutrisi, sosok seperti teteh dan ibu saya adalah sosok langka:
mayoritas apa yang mesti kita tahu tentang cara makan sudah kita ketahui, atau pernah kita ketahui sampai kita mengizinkan para ahli nutrisi dan tukang iklan menggoyahkan keyakinan kita tentang akal sehat, tradisi, testimoni indra, dan kearifan ibu dan nenek kita.
Lalu hujan turun, deras, dan saya digoda perasaan malas pergi ke masjid. Memang masjid hanya berjarak 4 rumah dan lebih dekat lagi jika ditarik garis lurus, tetapi menurut logika anti-kapitalis, malas adalah hak istimewa kaum borjuis, rebutlah hak tersebut maka borjuasi pun akan hancur. Bukankah gagah betul bermimpi menghancurkan borjuasi?
Namun, teori tersebut mengandaikan utopia kemalasan berjemaah absolut. Borjuasi dan kapitalisme tak mungkin hancur oleh satu orang malas (dia hanya akan hancur sendiri karena ada tak terhitung orang antri menggantikan pekerjaannya), dan terlalu jauh untuk menganalogikan masjid di kampung saya dengan pabrik. Bahkan saat hujan deras pun pengunjung masjid di kampung saya selalu ada dan ia tak pernah roboh—tersurat ataupun tersirat—sejak zaman yang saya ingat: masa kecil ketika kakek saya mengajari saya dan kawan-kawan sebaya ngaji Al-Qur’an, Safinatunajah, dan Jurumiah.
Di masjid kami memang tak ada menara, tidak seperti masjid dalam bait puisi lama Aslan Abidin:
di belakang kami, di timur, masjid semakin
jauh tertinggal. hanya menaranya yang masih terlihat:
berdiri tegak, kaku, dan kemerahan…
(“Religi (3)”)
Namun, dengan menara atau tidak, mungkin analogi masjid dengan sosok falus, Sang Bapak, adalah analogi yang tepat. Masjid memiliki hukumnya tersendiri, termasuk hukum paling sederhana yang paling saya ingat dari Safinatunajah, kitab usuludin + fikih yang paling awal saya pelajari: ia haram didiami oleh perempuan yang sedang haid, bahkan sekadar lewat pun tidak boleh jika dikhawatirkan darahnya mengotori masjid. Dengan kata lain, tidakkah keengganan saya pergi ke masjid diam-diam adalah keengganan saya untuk tunduk pada semacam otoritas?
Ada sebuah hadis sangat populer tentang keutamaan salat tarawih, lengkap dengan rincian pahala tiap malam. Di internet, hadis tersebut selalu seliweran tiap bulan Ramadan, tetapi saya mengingatnya secara utuh dari kitab Durratun Nashihin. Berdasarkan hadis tersebut, pahala tarawih malam kedua, yughfaru lahu waliabawayhi in kana muminaini, dosanya dan dosa orangtuanya—seandainya mereka mukmin—akan diampuni oleh Allah SWT.
Sayangnya, saya tahu bahwa status hadis yang menjanjikan pahala terlalu besar untuk ibadah sunah, saking besarnya sampai-sampai melampaui pahala ibadah wajib, cenderung layak dipertanyakan kesahihannya. Suatu hari saya juga pernah mengobrol dengan kakak sulung saya terkait kegandrungan salah seorang ajengan mengisahkan keutamaan-keutamaan ibadah sunah. Tidak keliru memang menganjurkan orang menjalankan ibadah sunah, tetapi anjuran berlebihan berpotensi menciptakan kesan keliru bahwa tidak melaksanakan ibadah wajib pun tidak masalah karena dosa meninggalkannya bisa dihapus oleh pelaksanaan ibadah sunah. Padahal, ibadah sunah menjadi percuma jika ibadah wajib tidak dipenuhi terlebih dahulu, melanggengkan puasa senin kamis misalnya akan jadi percuma jika puasa wajib diabaikan.
Maka janji pahala tarawih malam kedua yang luar biasa itu tidak mampu menggoda saya. Toh selama ini doa sederhana terkait kedua orang tua merupakan bagian dari wirid sehabis salat wajib. Selain itu, kalaupun saya ingin mempercayai hadis keutamaan tarawih tersebut, poin-poin di dalamnya berlaku untuk pelaku salat tarawih, tidak ada spesifikasi pelakunya harus berjemaah di masjid.
Azan Isya sudah berkumandang menembus suara hujan yang kian deras. Tidak lama setelahnya suara pintu ruang tengah membuka dan ditutup, lalu suara pintu dapur. Suara yang pertama menandakan bapak saya sudah berangkat ke masjid, yang kedua kakak kedua saya dan istrinya. Otak saya kembali menyusun rasionalisasi kemalasan: 3 payung yang ada pasti sudah habis dipakai oleh bapak, kakak, dan istrinya, sedangkan satu-satunya songkok yang biasa saya pakai adalah songkok hitam, songkok Sukarno, yang tentu saja sangat alergi air.
Namun, memori saya tiba-tiba mengingat satu puisi yang belum lama saya baca:
Bukan seperti rencana yang tersusun hari perhari dengan ketekunan melakoni. Peribadatan menjadi ajang untuk menemukan asal usul diri agar tahu kemana akan kembali. Bila kesungguhan adalah modal utama untuk khusyuk dan bertakwa. Taraweh puisi telah dikalahkan oleh kewajiban yang membumi.
Yaitu niatku dan niatmu.
Perdamaian untuk menjalani dengan girang hati.
(“Taraweh Puisi”)
Puisi itu anggitan Evi Idawati, bertitimangsa 2023 dan dimuat dalam antologi Wirid Perempuan Mistik (Diandra, 2024). Puisi sederhana, tetapi saya ingat judul buku yang diterbitkan memperingati 70 tahun Ahmad Tohari: Sastra itu Sederhana. Ahmad Tohari adalah salah satu pengarang yang mewarnai masa remaja saya dan Di Kaki Bukit Cibalak selalu menjadi salah satu novelnya yang paling saya suka. Novel tersebut salah satu teks sederhana yang mendorong saya menjadi penulis.

Tarawih, tentu saja, merupakan ibadah, dan ia terencana: kita hanya bisa melaksanakannya pada malam bulan Ramadan. Akan tetapi puisi tersebut dibuka dengan negasi yang mengisyaratkan peringatan supaya kita berhati-hati, supaya kita tidak terjebak dalam “peribadatan” yang sekadar rutinitas, semacam jadwal kerja yang tanpa sadar pun kita “lakoni”, mekanis.
Tentu tidak ada yang keliru dalam ibadah mekanis, sama tak kelirunya dengan mengajari anak meniru gerakan-gerakan salat bahkan saat dia belum hafal bacaan-bacaan salat. Dari sudut pandang fikih, ibadah mekanis tetap sah sepanjang dipenuhi segala syarat dan rukunnya. Selain itu, tataran ibadah mekanis bisa dikatakan sebagai tahap awal untuk membiasakan diri, semacam penataran untuk melatih keakraban dengan ibadah. Akan tetapi tasawuf, salah satu ranah yang tampaknya didalami oleh Evi Idawati, bergerak ke tataran lebih jauh dari fikih. Ibadah lantas bukan sekadar gerakan dan ucapan formal, melainkan “ajang untuk menemukan asal usul diri agar tahu kemana akan kembali”.
Dari sudut pandang semacam itu, ibadah dilaksanakan bukan karena ia merupakan “kewajiban yang membumi”, dorongan eksternal dari sebuah otoritas, melainkan karena ada niat: sesuatu yang mengindikasikan dorongan internal, sesuatu yang sangat personal. Melaksanakan 20 rakaat salat tarawih disebabkan dorongan eksternal mungkin membuat kita merasakan lelah. Sepanjang melaksanakannya, kita mungkin menghitung jumlah rakaat dengan tak sabar dan bergembira ketika imam membaca Surat Al-Lahab, pertanda rakaat ke-19.
Sebaliknya, jika kita melaksanakannya disebabkan dorongan internal, 20 rakaat itu akan terasa menyenangkan, dijalani “dengan girang hati”. Karena itulah posisi niat sangat penting dalam Islam, sebagaimana sabda nabi yang sangat populer dan biasa diterjemahkan sebagai “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”. Tentu saja dari sudut pandang Psikoanalisis kita mungkin mengatakan bahwa yang internal itu pun pada dasarnya tidak murni internal, melainkan internalisasi dorongan eksternal. Akan tetapi memang sejak kapan beragama boleh semau gue? Pada momen kita memilih beragama, pada momen itu pula kita rela menyerahkan diri pada satu otoritas.
Pada akhirnya, saya bangkit dari kasur, pergi berwudu, mengenakan sarung, dan menyemprotkan minyak wangi ke kemeja lengan panjang (“jangan meresahkan orang semasjid dengan kebauan diri”). Di dapur, saya berjumpa teteh saya yang bertanya heran: “Mau ke masjid? Hujan, udah gak ada payung.”
“Iya,” jawab saya sambil cengar-cengir. “Tarawih paling enak di masjid. Apalah hujan segini mah, receh.”
Saya yakin teteh saya masih tetap heran. Di rumah beratmosfer priayi + santri, saya selalu membentuk citra bahwa saya anggota keluarga paling abangan karena alasan-alasan personal. Citra agamis hanya akan membebani saya dengan peran-peran formal keagamaan di muka publik dan saya belum merasa layak menanggung beban semacam itu, biar kakak-kakak saya saja yang menanggungnya. Saya juga merasa terganggu jika terindikasi ikut-ikutan tren pamer gelar gas-gus (ngapain orang Sunda ikut gelar priayi + santri Jawa) dengan bermodal sorban (fukaha favorit saya terkenal karena sorban besarnya, Asy-Syarqawi, tetapi beliau Grand-Syeikh Al-Azhar dan pengarang kitab-kitab keren, saya selalu merasa malu tiap kali akan memakai sorban), sarung BHS (saya punya beberapa seharga 500 ribuan sampai jutaan pemberian bapak saya yang sangat jarang saya pakai: saya lebih nyaman memakai sarung-sarung murah), dan foto ziarah wali sanga, sedangkan pengetahuan keagamaan sekadar level terjemahan kitab yang dipamerkan di media sosial dan kepercayadirian teriak nyaring di muka umum tentang es teh.
Saat pergi ke luar rumah, hujan mereda. Saya tidak hendak mengatakan dengan belagu bahwa saya mirip idola saya, Sukarno, yang digelari putra matahari karena konon pada satu momen hendak berpidato hujan deras, tetapi saat doi naik ke panggung tiba-tiba hujan reda. Lebih realistis mengatakan bahwa hujan itu pada dasarnya tetap deras, tetapi ia mungkin terasa reda karena saya berniat menjalani tarawih di masjid “dengan girang hati”. Dalam salah satu komik bacaan saya di masa kecil, ada kalimat menarik yang selalu saya ingat: “sepanjang hati sudah dingin, maka api pun terasa dingin”.
Sepanjang menuju ke masjid, sambil melangkah hati-hati menghindari genangan air dan pancuran dari atap rumah tetangga, saya teringat salah satu nasihat dalam Nashaihul ‘Ibad, salah satu kitab favorit saya terutama karena isinya sangat puitis:
Man katsura syaba’uhu, katsura lahmuhu, waman katsura lahmuhu, katsura syahwatuhu, waman katsurat syahwatuhu, katsurat dzunubahu, waman katsura dzunubahu, qasa qalbuhu, waman qasa qalbuhu, ‘ariqa fi afatid dunya wazinatiha.
(Barangsiapa banyak kenyangnya, maka akan banyak dagingnya; barangsiapa banyak dagingnya, maka akan besar syahwatnya; barangsiapa besar syahwatnya, maka akan banyak dosanya; barangsiapa banyak dosanya, maka akan keras hatinya; dan barangsiapa keras hatinya, maka dia akan tenggelam dalam bahaya-bahaya dan perhiasan dunia.)
Berbuka esok hari, saya berencana makan lebih sedikit, satu hal yang sebenarnya sudah menjadi kebiasaan saya di luar godaan daging kambing dan masakan teteh saya yang enak. Tentu saja saya sadar lagi-lagi ada akal bulus saya untuk menyalahkan kambing dan mengkambinghitamkan teteh saya. Tidak bagus memang, tapi sudahlah itu soal esok hari, setidaknya malam kedua saya tarawih di masjid dan bisa cium tangan bapak saya: merupakan tradisi di masjid kampung saya bahwa usai doa witir dan bareng-bareng niat puasa esok hari, kami semua berdiri dan bergerak mengular bersalaman sambil melantunkan salawat nabi.
Pulang dari masjid, hujan sudah benar-benar reda. Saya tiba-tiba merindukan kesederhanaan masa kecil, mendiang kakek yang dulu biasa saya pijit kakinya sehabis ngaji sembari menunggu azan Isya, dan masjid tua di kampung yang selalu sejuk, tanpa menara.