Where is the Life we have lost in living? Where is the wisdom we have lost in knowledge? Where is the knowledge we have lost in information? T.S. Eliot, “Choruses from ‘The Rock’”
1
Imam Syafii, sebagaimana Syamsu al-Din Adz-Dzahabi kutip dalam Siyar A’lam al-Nubala, menyatakan bahwa al-ilm ma nafa’a, laysa al-ilmu ma hufidha ‘ilmu adalah sesuatu yang berfaedah dan bukan sesuatu yang dihafal’. Kita boleh membaca pernyataan tersebut sebagai cemooh tegas seorang intelektual terhadap monopoli ilmu: melulu menghafal membawa pada sikap individualis, “berfaedah” mengindikasikan sikap berbagi.
Namun, monopoli pengetahuan bukan hanya dicemooh oleh manusia intelektual, tetapi juga oleh Tuhan. Dalam Al-Qur’an, semisal Ali Imran: 187, kita membaca fenomena manusia-manusia yang diberi kitab oleh Tuhan dan dan terikat janji primordial untuk menyebarkan isi kitab tersebut kepada publik tetapi kemudian mereka menyembunyikannya. Tuhan, menganalogikan para tukang monopoli pengetahuan itu dengan pebisnis yang melakukan transaksi paling buruk berupa menjual produk dengan harga jauh lebih murah dari biaya produksi.
Dengan kata lain: para pebisnis pandir. Jika Tuhan menyatakan bahwa pengingkaran janji menyebarluaskan pengetahuan, satu janji yang secara bawaan ditanggung oleh setiap intelektual, setara transaksi dengan harga produk lebih murah dari biaya produksi, maka kita boleh menebak harga murah tersebut muncul karena motif berbagai hasrat rendah, terutama perasaan adigung merasa si paling tahu. Bahwa Tuhan sampai mencemooh secara khusus sikap semacam itu maka sebabnya mungkin karena hanya gara-gara hasrat rendah individual itu manusia melakukan tindakan yang merusak konstruksi keilmuan global: pengetahuan hadir melalui transmisi berkelanjutan dari satu pihak ke pihak lain, memutus rantai pengetahuan dengan membuat pengetahuan terhenti pada diri kita merusak distribusi pengetahuan global.
Fondasi pengetahuan, sebagaimana makin jelas kita saksikan di era digital, adalah jaring laba-laba interteks, satu pesan tersirat dalam komentar yang kerap kita dengar sekaligus kita abaikan karena terlalu sering kita dengar bahwa “tulisan bagus memantik pembacanya untuk menulis”. Dalam konteks ini kita mengingat satu ungkapan terkenal dalam Ta’lim al-Muta’allim, kitab rujukan utama pedagogi pesantren bahwa man hafidha farra waman kataba syai’an qarra ‘orang yang menghafal maka ilmunya akan lenyap, orang yang menulis maka ilmunya abadi’.
Farra dan qarra merupakan verba yang secara etimologis menunjukkan dua situasi bertolak belakang terkait relasi seseorang dengan wathan ‘tempat mukim’. Farra menunjukkan situasi hengkang, qarra menunjukkan situasi menetap, kata yang darinya bahasa kita menyerap kata lain, ikrar, ketetapan hati. Maka pada ungkapan pedagogis tersebut kita temukan analogi ilmu sebagai orang dan kita sebagai tempat ilmu. Menghafal yang merupakan warisan tradisi lisan membuat ilmu hengkang dari diri kita, baik mungkin pada saat kita masih hidup karena kita lupa ataupun pasti pada saat kita mati. Menulis yang merupakan bagian dari tradisi tulis mengandaikan sikap kerasan: tulisan menjadi sesuatu yang mengikat ilmu untuk bermukim bahkan pada saat kita sudah mati.
Dalam tradisi seperti itulah kita berjumpa dengan arsip.
2
Jalur periwayatan dongeng-dongeng tradisi lisan menunjukkan kepada kita satu dari banyak hal: pada era kelisanan tidak ada arsip. Dongeng-dongeng tersebut tetap kekal, dan karena itulah kita tahu bahwa ada dongeng, melalui periwayatan dari satu penutur ke penutur lain, tetapi selalu ada variasi dalam tiap periwayatan, satu hal yang secara paradoksal justru menjamin periwayatan tersebut terus berjalan. Dalam tradisi semacam itu, informasi tentang siapa penutur awal dan bagaimana tuturan awal tidak dipandang sebagai pengetahuan penting.
Maka dalam tradisi semacam itu tidak ada arsip karena apa yang dikekalkan dalam tradisi lisan bukan aspek objektif melainkan aspek pragmatik cerita. Cerita boleh dimodifikasi seperti apa pun sepanjang resepsi audiens tetap berada dalam cakrawala ekspektasi. Selain itu, tradisi tersebut juga mengakui sekaligus mencoba mengantisipasi fakta bahwa memori adalah sesuatu yang rapuh. Berbeda dengan kertas dan semacamnya yang menyimpan arsip tradisi tulis, memori lebih mirip sabak tempat teks yang tergores di atasnya bisa dengan mudah disapu. Dalam tradisi lisan, kekurangan memori itu bisa memberi keuntungan pada dongeng yang ingin ditransmisikan, tetapi ketika apa yang ditransmisikan merupakan sesuatu yang mementingkan akurasi data maka hal tersebut jelas merugikan.
Sigmund Freud, dalam salah satu teks terpentingnya menunjukkan rapuhnya memori dengan menyebut mekanisme memori yang melibatkan Deckerinnerung ‘memori saringan’, bahwa memori mengingat apa yang menurutnya menguntungkan untuk kita ingat. Dengan basis all’s well that ends well ini, memori tidak segan-segan mengimplan memori palsu di samping jelas menyingkirkan memori-memori yang menurutnya merugikan kita ke balik decke ‘selimut’.
Dengan kata lain, memori tidak memiliki otoritas untuk kita percaya sampai kita melakukan semacam kajian bandingan antara kontennya dengan berbagai arsip eksternal: dokumen, teks sejarah. Dalam kajian bandingan semacam itu, mekanisme yang mendasari praktik klinis Psikoanalisis, penelaah mencoba mengakses memori-memori usiran yang berada di balik “selimut” dan melalui proses tersebut mencoba merekonstruksi “kebenaran”.
Kegandrungan akan “kebenaran” itulah yang berada di balik apa yang Derrida sebut dalam satu teksnya sebagai archive fever ‘demam arsip’. Melacak etimologi arsip pada arkhē ‘aturan, pemerintah’, kegandrungan kita akan arsip tampak didorong oleh hasrat bawaan kita untuk mengetahui versi awal sekaligus untuk mendapatkan legitimasi dari pemegang otoritas bahwa kita menyampaikan “kebenaran”. Versi awal sekaligus pemegang otoritas: arkhē, arsip.
Maka tulisan kritik sastra, dan tulisan apa pun yang mengklaim diri sebagai “ilmiah” sehingga memandang penting akurasi data dalam tradisi teks, membutuhkan arsip untuk melacak jejak pengetahuan terkait objek. Seorang kritikus yang pada tahun 2023 menempatkan puisi Goenawan Mohamad sebagai objek dalam tulisan dia misalnya harus menyigi terlebih dahulu tulisan-tulisan yang memuat pengetahuan terdahulu terkait objek yang sama, semisal tulisan Arif B. Prasetyo dalam Jurnal Kalam edisi 13 (1999) atau Abdul Rozak Zaidan dalam Jurnal Susastra Volume 4 Nomor 1 (2008). Dengan demikian, teks dia akan mampu mentransmisikan ulang pengetahuan-pengetahuan awal terkait objek tersebut dalam versi ringkas, sekaligus menawarkan pengetahuan yang memiliki kebaruan temporer, yakni pengetahuan milik penulis. Kelak pengetahuan tersebut akan hilang kebaruannya saat kritikus lain mentransmisikan ulang teks dia dan menimpalinya dengan pengetahuan baru kritikus lain tersebut.
Tradisi semacam itu jelas hanya bisa bertahan jika didukung oleh arsip, satu hal yang susah payah dirawat dalam tradisi keilmuan bercorak akademis: situs-situs jurnal yang menyediakan unggahan artikel gratis, penerbitan baru dan ulang antologi esai yang pernah dimuat di jurnal dan majalah, kewajiban menyinggung kajian-kajian terdahulu dalam skripsi, tesis, disertasi. Setiap kritikus yang baik sejak awal sadar bahwa kebenaran yang kritik sastra sodorkan bukan kebenaran mutlak, tetapi kebenaran argumentatif, kebenaran temporer yang harus selalu siap berhadapan dengan kebenaran-kebenaran argumentatif lain dalam korpus kritik sastra yang membentang dari zaman Plato sampai zaman kelak yang entah.
Tradisi kritik sastra menyodorkan lapis-lapis argumen tersusun oleh bukan sekadar argumen terkait karya yang menjadi objek, melainkan juga argumen menyanggah ataupun menyokong berbagai argumen dalam korpus kritik sastra yang lebih awal eksis dan memiliki otoritas.
Oleh sebab itu, kebutuhan primer seorang kritikus bukan hanya arsip sekaya mungkin tetapi juga kemauan dan kemampuan untuk mengakses arsip tersebut. Keengganan mengakses arsip jelas akan melahirkan tulisan-tulisan tanggung, tetapi kita tidak bisa melakukan apa pun terkait hal itu karena sikap tersebut pilihan arbitrer: kita memiliki pilihan bebas untuk menjadi kritikus delusif yang merasa memiliki otoritas absolut terkait pembahasan sehingga tidak membutuhkan legitimasi dari otoritas arsip atau menjadi kritikus yang dengan legawa mengakui kedaifan, bahwa bahkan dengan dukungan otoritas arsip pun kebenaran yang kita tawarkan hanya sebatas kebenaran argumentatif, kebenaran yang sangat terbuka untuk dibawahi oleh teks kritikus lain yang mampu menyigi arkhē dengan lebih telaten.
Sementara saat kita menyinggung kemampuan mengakses arsip, pada momen itu pula kita kembali pada Imam Syafii dan cemoohan terhadap orang yang enggan berbagi. Setiap kritikus yang baik percaya bahwa tidak ada pusat arsip yang benar-benar lengkap di muka bumi. Selalu ada teks-teks yang kita tahu keberadaannya tetapi tidak bisa kita temukan, katakanlah, di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin atau Perpusnas, tetapi teks-teks tersebut terselip pada rak individu. Dalam situasi semacam itu, kita akan membutuhkan kesadaran tiap individu untuk dengan rendah hati saling berbagi pengetahuan, saling berbagi arsip.
Dengan kata lain kesadaran bahwa ilmu tidak pernah benar-benar menjadi milik privat, ia selalu memiliki aspek komunal dan hanya dengan menyadari hal itu maka ilmu akan memiliki faedah. Arsip dalam rak privat mungkin berguna hanya bagi pemiliknya, tetapi tanpa pemiliknya membagikan isi arsip kepada orang lain maka arsip tersebut hanya menjadi teks bisu yang tak berguna dan dengan demikian tidak bernilai. Akan tetapi bahkan klaim “berguna hanya bagi pemiliknya” secara etis merupakan proposisi yang menyanggah dirinya sendiri: sikap tersebut analog dengan pebisnis pandir yang melalui pengingkaran atas janji bawaan para pemilik pengetahuan untuk berbagi maka dia telah menjadi si paling pandir yang menjual produk dengan harga lebih murah dari biaya produksi.
Dari sudut pandang yang sama, kegandrungan memonopoli arsip yang berujung ketidakberfaedahan arsip tersebut baik bagi dirinya dan atau bagi orang lain Al-Qur’an (62: 5) analogikan dengan al-himar yahmilu asfara ‘keledai yang memikul buku-buku tebal’. Keledai adalah simbol si pandir, sementara asfara, yang memiliki akar kata sama dengan safar ‘bepergian’, menurut satu tafsir bermakna “buku-buku yang membuatnya menjadi orang usiran dari pengetahuan”.
Dus, seorang pemilik arsip idealnya memiliki kesadaran bahwa kepemilikan arsip diiringi tanggung jawab untuk membagikan isinya, sama dengan tanggung jawab moral yang membebani kita pada momen kita memilih untuk “tahu” sesuatu. Tanpa kesadaran semacam itu, akan lebih baik jika dia merelakan arsipnya diambil alih oleh orang lain yang lebih mampu memikul tanggung jawab tersebut. Kita lahir tanpa membawa majalah, jurnal, buku, dan kita akan mati dengan cara yang sama. Bahkan jika fisik kita dikubur bersama 5000 teks koleksi kita, kita boleh yakin arsip tersebut hanya akan berakhir sebagai debu dunia: surga dan neraka, kata kitab suci, memiliki arsip sendiri.
Pada masa kini ada tak terhitung cara untuk berbagi arsip teks, dari mulai sekadar membagikan foto kover buku atau tangkapan layar media diiringi keterangan konten di stori Instagram, menulis ulasan buku, sampai menggunakannya sebagai referensi tulisan. Mengumumkan bahwa “kita punya teks a yang isinya adalah abc” terlihat sebagai hal sepele, tetapi dengan melakukan hal sepele itu kita telah ikut memberitahu publik bahwa teks a eksis, sementara dengan memberitahukan apa isi teks tersebut maka kita mungkin tanpa sengaja telah membantu orang yang membutuhkan isi teks yang sama tapi tidak tahu harus mencari dalam teks apa dan harus ke mana jika ingin mengaksesnya.
Dengan kata lain, melalui hal-hal sepele tersebut kita telah ikut melaksanakan peran kita dalam transmisi pengetahuan dan dengan demikian menolak metamorfosis diri kita menjadi pebisnis pandir ataupun keledai bebal pemikul buku-buku tebal.
3
Monopoli ilmu, yang dalam tradisi tulis identik dengan monopoli arsip, adalah pertanda hasrat manusia kesepian, manusia yang gagal inaugurasi fase anal dalam diskursus perkembangan mental Freudian. Ia mengindikasikan bukan hanya campuran egoisme dan arogansi bahwa “harus hanya aku yang tahu dan dengan demikian aku paling keren”, tetapi juga ketercerabutan dari dunia luar yang terus berjalan melalui jaring-jaring interteks pengetahuan yang tak terhitung.
Sikap semacam itu, satu sikap menutup diri dalam kastel tempat kita berbaring dalam peti mati sambil memeluk perkamen-perkamen yang kita anggap menjadi penanda keunggulan kita dari semua orang lain di muka bumi, pada akhirnya adalah delusi usang pada benak yang mengalami anakronisme ratusan windu. Perkembangan teknologi kontemporer menatap aneh sikap semacam itu, seaneh jika kita menyaksikan Pteranodon bersarang di pohon belimbing wuluh depan rumah, sekaligus menutup jalur monopoli pengetahuan dengan menyediakan berbagai jaring alternatif yang tidak mungkin ada pada, katakanlah, era Nebuchadnezzar. Jika pengetahuan adalah sejenis informasi maka era digital adalah era paling tidak bersahabat dengan kecenderungan monopolistik.
Pengantar ini tidak diniatkan sebagai pleidoi bagi pihak senggang yang mungkin berkomentar julid bahwa berbagi arsip ini bagian dari megalomania kaum elite yang asyik pamer barang-barang tersier karena sudah usai dengan barang primer dan sekunder. Sebagaimana banyak kritikus lain, saya selalu menganggap teks sebagai hal primer yang pengayaannya bersaing dengan pengadaan makanan, pakaian, dan tempat tinggal dalam siklus yang tak pernah usai. Jika berbagi arsip dianggap sebagai laku pamer maka laku pamer tersebut saya anggap sama dengan jika saya memamerkan makan nasi liwet, ikan asin bakar, sambal, dan lalap dalam dangau di sawah bapak: tidak ada elite dalam sikap itu, tidak ada bagian di dalamnya yang mengingatkan kita pada Rubicon.
Alih-alih sikap elite, saya pikir pamer teks dalam dunia yang terus-menerus digerakkan oleh media sosial ke dalam kelisanan baru justru merupakan tindakan remeh dan aneh yang tidak logis diposisikan sebagai bagian dari laku flexing. Dengan melakukan tindakan remeh itu, saya mengingatkan diri saya sendiri sekaligus anda bahwa buruknya pengarsipan kita terkait hal apa pun dan juga keengganan kita untuk berbagi perkamen yang kita peluk erat dalam peti mati kerap kali melibatkan sikap paradoksal: fetis personal yang aneh terhadap nilai teks sekaligus memandang remeh kebutuhan komunal terhadap teks.
Delapan majalah dan jurnal penyusun tajuk “pamer arsip” fokus pada esai-esai kritik sastra, tipe tulisan yang tertinggal pengarsipannya dalam tradisi intelektual kita dibandingkan dengan karya sastra. Bentuk katalog teks diniatkan untuk memudahkan orang melacak arsip tersebut menggunakan kata kunci di mesin peramban. Berikut daftar yang akan membawa anda pada masing-masing tajuk:
- Arsip Jurnal Susastra
- Arsip Jurnal Prosa
- Arsip Jurnal Prisma
- Arsip Jurnal Perempuan
- Arsip Jurnal Sajak
- Arsip Jurnal Kritik
- Arsip Jurnal Kalam
- Arsip Majalah Horison
Arsip ini direncanakan terus-menerus mengalami pembaruan dan penyempurnaan, tetapi ia tidak pernah diniatkan menjadi pusat arsip paling lengkap. Sejak awal arsip ini hanya ditujukan sebagai dokumentasi sekaligus pelengkap ruang-ruang kosong dalam pusat-pusat arsip yang sudah lebih dulu eksis. Tindakan kecil ini bertolak dari kesadaran bahwa pengetahuan merupakan milik bersama dan tanpa membuka diri bergabung saling memberi dan menerima teks sumber pengetahuan maka kita mungkin kehilangan kesempatan berharga dalam kesingkatan hidup kita untuk menjadi bagian dari komunitas yang posisinya berada di atas komunitas-komunitas pretelan apa pun dalam kosmos: komunitas manusia transmiter teks.
Dus, satu-satunya motivasi “pamer arsip” ini adalah semoga suatu hari nanti ia dengan satu dan lain cara membuat anda merasa terbantu. Bahwa setelah itu anda mungkin memutuskan menyusul saya bergabung dalam komunitas tersebut maka sejak saat ini juga saya ucapkan selamat datang. Terima kasih.
Juni 2023