“AKU baru sadar,” kata Yohan Fikri dalam sebuah pesan Instagram, “kalau judul-judul kitab kuning itu puitis betul.” Dia kemudian menyebutkan judul kitab yang sedang jadi bahan obrolan kami malam itu: Nashaihul ‘Ibad fi Bayani Alfadh Munabbihat ‘alal Isti’dad Liyawmil Ma’ad.
Saya mengiakan, lantas menyinggung Bahasa Arab yang, sebagaimana bahasa-bahasa daerah kita dan berbeda dari Bahasa Indonesia, merupakan bahasa kuna. Salah satu karakteristik khas bahasa kuna adalah sistem artikulasinya yang sangat menyokong tradisi lisan. Pada masa pra-Islam, bangsa Arab merekam hidup dalam puisi dan rekaman itu diabadikan bukan melalui teks, melainkan melalui jalur periwayatan lisan hafalan. Maka, bahkan dalam bentuk prosa, bahasa Arab sangat memungkinkan elaborasi rima sehingga melahirkan apa yang disebut saj’, prosa bersajak.
Teks-teks kitab kuning lazimnya menggunakan bahasa Arab, bahkan ketika penulisnya tidak berbahasa ibu bahasa Arab. Judul yang tadi Yohan sebut, misalnya, adalah salah satu kitab kuning favorit saya, berbahasa Arab, meski pengarangnya adalah ulama lokal, Syekh Nawawi dari Banten. Di antara sangat banyak contoh lain, salah satunya adalah kitab yang sangat populer bagi para santri yang akan menikah: Fathul Izar fi Kasyfil Asrar Liawqatil Harts fi Khilqatil Abkar, karangan K.H. Abdullah Fauzi dari Pasuruan.
Atau seperti dalam petikan baris-baris puisi Gus Mus, “Lirboyo, Kaifal Haal?”:
Lirboyo, masihkah beberapa santri menghafal I’lal di tengah rerumpun tebu
dan senandung matan-matan alfiyah dan imrithi membuai merdu?
I’lal adalah istilah dalam ilmu saraf, konjugasi Bahasa Arab, terkait perubahan huruf ‘illat (wawu, alif, ya), sedangkan matan merujuk pada teks primer satu kitab kuning. Alfiyah dan ‘imrithi adalah dua judul matan kitab kuning populer di bidang nahwu atau gramatika. Keduanya berbentuk nazam yang biasa dilantunkan dengan mengikuti aturan prosodi puisi Arab, karena itulah dalam baris puisi Gus Mus di atas digunakan istilah senandung dan merdu.
Kitab Munabbihat ‘alal Isti’dad Liyaumil Ma’ad yang disebutkan di awal adalah matan kitab kuning karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, sementara Nashaihul ‘Ibad merupakan syarh atau penjelasan atas teks matan kitab tersebut yang dianggit oleh Syekh Nawawi Banten. Syarh kitab kuning terkadang diberi penjelasan lagi dan teks penjelasan syarh disebut hasyiyah.
Matan sebuah kitab kuning biasa dihafalkan oleh para santri. Hafalan sebuah matan biasa dijadikan syarat kenaikan tingkat. Dulu, saya bisa diterima masuk ke tingkat Madrasah Aliyah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Pati, setelah lulus ujian hafalan matan Alfiyyah 500 baris (dan dalam puisi bahasa Arab klasik yang menggunakan bentuk hemistik—yakni satu baris puisi tersusun dari dua bagian yang dipenggal oleh caesura line atau jeda baris—1 baris pada dasarnya sama dengan 2 baris dalam versi Indonesia). Untuk santri yang melanjutkan dari Madrasah Tsanawiyah perguruan yang sama, ujian hafalannya bukan hanya 500 baris, melainkan 1000 baris, ditambah sejumlah hafalan lain. Selain itu, hafalan matan juga sangat berguna ketika pada suatu saat santri terkait menggunakan isi kitab matan tersebut sebagai dalil dalam sebuah diskusi atau obrolan. Kuatnya hafalan menjadi salah satu tolok ukur kredibilitas keilmuan santri.
Acep Zamzam Noor, dalam esai “Sastra dan Santri”, menyatakan bahwa proses pengajian kitab kuning membuat santri merasakan “atmosfer kesusastraan”, dan saya sepakat. Atmosfer itu terasa bukan hanya dari banyaknya puisi dalam kitab kuning, hampir secara merata dalam kitab-kitab berbagai disiplin keilmuan Islam, tetapi juga saya pikir dari pengaruh keunggulan bahasa Arab yang cenderung bersajak.
Saya selalu percaya kepekaan puitis saya terbentuk oleh perjumpaan saya dengan pupujian, puisi keagamaan berbahasa Sunda yang biasa dilantunkan sebagai kor menjelang salat wajib berjemaah di masjid. Salah satu pupujian paling populer di kampung saat saya masih kecil adalah Nazam Al-Maulid, mengisahkan biografi Nabi Muhammad saw. Pupujian itu terdiri dari 8 ketukan per-baris yang akhirnya berima sehingga sangat enak untuk dilantunkan dan sangat mudah untuk dihafalkan:
Gusti urang saréréa
Kangjeng nabi anu Mulya
Muhammad jenenganana
‘Arab Quraisy nya bangsana
(Pujaan kita semua
Kanjeng Nabi yang mulia
Muhammad namanya
Arab Quraisy bangsanya)
Tidak ada batasan berapa baris pupujian yang dilantunkan dalam satu momen. Pupujian akan terus dilantunkan sampai imam masuk ke mihrab dan salah satu dari kami harus membaca ikamah karena salat berjemaah akan segera dimulai. Maka saya waktu itu tak pernah tahu berapa sebenarnya jumlah total baris pupujian Nazam al-Maulid itu. Baru ketika sudah remaja, saya mendapatkan teks lengkap pupujian itu dari kakak sulung saya dalam cetakan sangat sederhana dan ditulis dengan aksara pegon. Di kemudian hari saya juga membaca versi yang sudah ditransliterasi ke aksara latin dalam buku Ajip Rosidi.
Ada kejadian unik yang membekas sampai sekarang terkait pupujian tersebut. Suatu hari di Yogya, saya dan dua kawan saya seperti biasa ngopi bareng. Kawan saya yang satu pemilik penerbit buku-buku sejarah, kawan saya satunya pembaca kuat novel-novel sejarah impor. Perbincangan kami seperti biasa ngalor ngidul, sampai di satu titik, kawan saya si pembaca bertanya kepada kawan saya si penerbit tentang penanggalan Masehi kelahiran Nabi. Sebagai catatan, kawan saya si pembaca itu Protestan, kawan saya satunya muslim.
Pertanyaan itu sifatnya menguji tentunya, semacam ujian memori tanggal-tanggal penting dalam sejarah. Kawan saya si penerbit tidak mampu menjawab dan hanya cengar-cengir. Saya kemudian menjawab: “20 April 571 M”. Kawan saya si pembaca itu ngacungin jempol sambil berkata: “Tepat.” Kemudian dia lanjut menggoreng kawan saya si penerbit: “Nah, lihat tuh, kang Cep yang bukan orang sejarah saja hafal tanggal itu….”
Saya tidak mengatakan kepada mereka berdua bahwa saya aslinya punya kesukaran menghafal segala yang berkaitan dengan angka. Satu-satunya alasan saya bisa menjawab penanggalan Masehi kelahiran Nabi adalah karena saya ingat pupujian dari masa kecil itu:
April bulan Maséhina
Tanggal kaduapuluhna
Ari bilangan tahunna
Lima ratus cariosna
Tujuh puluh panambahna
Sareng sahiji punjulna
(Bulan Masehi [kelahiran Nabi] adalah April
Tanggal dua puluh
Adapun bilangan tahunnya
Konon lima ratus
Ditambah tujuh puluh
Dan ditambah lagi satu)
Dalam versi teks tertulis, selain ditulis menggunakan aksara pegon, pupujian tersebut juga ditulis dalam bentuk hemistik sebagaimana penulisan puisi Arab klasik. Pupujian, setidaknya dalam versi yang saya kenal, tampaknya merupakan salah satu bukti pengaruh tradisi kitab kuning, percampuran harmonis antara tradisi pesantren dengan masyarakat sekitar.
Ada banyak ulama Sunda yang juga menggubah syair-syair Arab klasik ke dalam dangding (tembang), salah satunya Kiai Ahmad Fadhil dari Pesantren Cidewa (kini Pesantren Darussalam), Ciamis, yang menggubah puisi Burdah al-Bushiri ke dalam bentuk dangding dengan baris-baris pembukanya seperti ini:
Naha émut ka tatangga mangkuk di tanah dzi salam
Ceurik campur getih ngocor cai soca miwah sami
Naha selenting bawaning angin ti tanah kadzimah
Atawa kolépat kilat waktos poék di idhami.
Sejak kecil, saya paling semangat pergi salat berjemaah ke masjid untuk salat magrib. Alasan saya sederhana: momen wiridan paling menyenangkan adalah seusai salat Magrib. Usai wiridan dan ditutup dengan doa imam, jemaah yang terdiri dari santri dan orang-orang kampung—karena masjid pesantren, uniknya, sekaligus merupakan masjid kampung—biasa melantunkan baris-baris puisi Arab berikut secara berseling dengan gubahan dangding-nya:
Lam yahtalim qaththu thoha mutlaqan abada
Wama tatsaaba ashlan fi madazzamani
Kangjeng Nabi Toha tara ngimpén jima’ salamina
Tara a’ob kitu tobéat Jeng Nabi anu luhung
Minhud dawabu falam tahrab wama waqa’at
Dubabatun abadan fi jismihil hasani
Sato tara lalumpatan ti Gusti Nabi panutan
Tara euntreup ngadeukeutan laleur ka salira agung
Bikholfihi kaamamin ruyatun tsabatat
Wala yura atsru bawli minhu fi ‘alani
Ka pungkur ka payun sami paningal Gusti nu resmi
Tilas kahampangan sepi, namung seungitna kalangkung
Waqalbuhu lam Yanam wal’ainu qad na’asat
Wala yura dhilluhu fisysyamsi dhu fathani
Manahna mah tara kulem, soca sok ngaraos palay
Keur caang tara kalangkang, éstu pinunjul nu luhung
Katfahu qad ‘alata qawman idza jalasu
‘Indal wiladati shif ya dza bimukhtatani
Nuju linggih sami hémpak, sohabat taya nu nenggak
Ajrih papak, waktos medal kénging nyepitan Yang Agung
Hadzil khashaisha fahfadhha takun amina
Min syarri Narin wasurraqin wamimmihani
Apalkeun ieu persipat Jeng Nabi Gustina umat
Seuneu, barandal, jeung bahya tangtos tebih moal hurung
Saking seringnya ikut melantunkan baris-baris wirid-dangding itu bersama jemaah lain, dengan sendirinya saya hafal. Di kemudian hari ketika mengaji kitab Maraqi al-‘Ubudiyyah karangan Syekh Nawawi Banten, yang merupakan syarh untuk matan kitab Bidayatu al-Hidayah karangan Abu Hamid al-Ghazali, saya baru tahu bahwa puisi Arab itu ternyata terdapat dalam kitab Syekh Nawawi tersebut.

Baris-baris puisi tersebut merupakan pujian terhadap Nabi Muhammad dengan merinci berbagai kelebihannya dibandingkan manusia biasa, dibuka dengan baris:
Kangjeng Nabi Toha tara ngimpén jima’ salamina
Tara a’ob kitu tobéat Jeng Nabi anu luhung
(Kanjeng Nabi (Thaha) sepanjang hayat tidak pernah mimpi basahdan menguap, demikianlah karakteristik nabi yang luhur dan agung)
Thaha adalah salah satu nama Nabi Muhammad saw. yang juga kita temukan dalam selawat “shalatullah salamullah | ‘ala Thaha rasulillah“ (rahmat dan berkat dari Allah | semoga dilimpahkan kepada Thaha rasul Allah). Saat kecil, saya suka wirid-dangding tersebut lebih karena saya menikmati lantunannya. Adapun makna dua baris itu sendiri mungkin membingungkan karena saya belum tahu persis soal mimpi basah atau relasi antara menguap dengan strata ke-manusia-an.
Namun, baris selanjutnya justru menjadi baris favorit saya karena maknanya sangat mudah dipahami sekaligus menakjubkan:
Sato tara lalumpatan ti Gusti Nabi panutan
Tara euntreup ngadeukeutan laleur ka salira agung
(Hewan-hewan tidak pernah berlarian [menjauh] dari Nabi panutanLalat tidak pernah hinggap pada tubuh nabi yang agung)
Bayangan saya waktu itu tentang suasana dalam baris tersebut sangat sederhana. Pertama, orang tua saya memelihara ayam kampung dan dari puluhan ekor itu tidak ada satu pun yang jinak pada saya, mereka pasti lari sambil berisik tiap kali saya baru melangkah mendekat. Betapa ajaib dan asyiknya manusia yang bisa membuat semua hewan jinak.
Kedua, saat usia saya makin bertambah, saya mulai curi-curi baca cerpen-cerpen dan novel kakak saya, beberapa di antaranya berlatar kota. Sampai sekarang saya tidak tahu apa alasannya, tetapi kakak saya suka sekali menggambarkan lingkungan kumuh berikut para penghuninya menggunakan penanda banyaknya lalat hijau. Maka bagi saya baris tentang lalat itu membangkitkan bayangan tentang kebalikan dari lingkungan kumuh kota: tubuh suci di lingkungan bersih, mungkin lingkungan pastoral.
Baris-baris berikutnya yang menarik bagi saya waktu kecil, karena terasa ajaib, adalah baris yang menyebutkan bahwa “kencingnya tidak menampakkan bekas, justru harum semerbak”, “di bawah terang [matahari] tubuhnya tidak berbayang”, dan bahwa “saat dilahirkan sudah disunat oleh Allah Swt”. Karakteristik-karakteristik semacam itu dengan sangat mudah memantik imajinasi tentang sosok manusia istimewa.
Menariknya, wirid-dangding tersebut ditutup dengan baris-baris tentang khasiat menghafal puisi—dan dengan sendirinya juga dangding gubahannya—tersebut:
Apalkeun ieu persipat Jeng Nabi Gustina umat
Seuneu, barandal, jeung bahya tangtos tebih moal hurung
(Hafalkan karakteristik-karakteristik khusus Nabi pemimpin umat iniMaka kalian akan terjaga dari api, berandal, dan segala bahaya)
Maka kekaguman saya pada sisi magis baris-baris bersajak, setidaknya dalam bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, sudah terpupuk sejak kecil tanpa sengaja. Atmosfer puitis semacam itu mungkin ikut mendorong kepekaan puitis saya yang membuat saya mudah menyukai puisi di kemudian hari. Kenikmatan paling awal dari sebuah puisi adalah aspek persajakannya, bunyi-bunyi yang secara serempak memicu kehadiran arti dalam benak.
Ketika mendengar Yohan berkomentar tentang judul-judul kitab kuning yang puitis, saya tiba-tiba ingat dua judul kitab kuning yang juga sangat puitis. Kitab yang pertama saya yakin tidak ada seorang pun yang pernah membacanya, kitab yang kedua saya sedang membacanya saat ini.
Judul kitab yang pertama adalah Gharaibun Nujum fi Jawahiril ‘Ulum, artinya Bintang-bintang Aneh tentang Inti Pelbagai Ilmu. Dalam novel saya, Yang Maya Yang Bercinta, ada karakter utama si maniak teks yang merevisi manuskrip teks-teks magis berbahasa Arab warisan kakeknya sekaligus menjilid dan menciptakan judulnya, yakni judul yang tadi saya sebutkan. Kitab itu fiktif tentu saja, tetapi isi kitab itu sebagian besar ada dalam memori saya.
Sedangkan judul kitab yang kedua Munyatul Faqir al-Mutajarrid wa Samiratul Murid al-Mutafarrid, artinya Harapan si Fakir yang Bebas dan Kawan si Murid yang Mengasingkan Diri, karangan Al-Kuhani. Dalam versi lain, diksi Samirah diganti oleh Sirah (Biografi). Kitab itu tipis, merupakan penyederhanaan dari kitab Al-Futuhat al-Qudsiyyah fi Syarh al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah, kitab unik karangan Ibnu ‘Ajibah berupa syarh kitab Jurumiah—yang merupakan kitab gramatika Arab—dari sudut pandang tasawuf.
Belakangan, di sela mendalami ulang kitab-kitab fikih dan qasas, saya memang sedang suka membaca kitab-kitab tasawuf dan zoologi. Kakak sulung saya biasa hanya geleng-geleng kepala melihat koleksi kitab terbaru saya yang mayoritas bukan kitab-kitab lazim dalam kurikulum pesantren.
Alasan saya sederhana: saya sedang punya banyak waktu untuk merenung, dan aforisme-aforisme khas kitab tasawuf merupakan bahan yang sangat pas. Saya menikmati momen-momen merenung berjam-jam dalam kesunyian setelah membaca hanya satu paragraf pengetahuan puitis. Bagi saya, momen-momen semacam itu merupakan kemewahan dan cara saya menjaga diri tetap “eling lan waspada” di tengah dunia yang kian bergegas dan bising.
Selain itu, aspek puitis yang cenderung menonjol dalam teks-teks tasawuf juga merupakan antitesis kakofoni, sangat selaras karakteristik saya yang terdidik menikmati puisi Arab dan pupujian Sunda yang melodis. Makhluk-makhluk tantrum yang gandrung membunyikan segala kakofoni di medsos, bagi saya, jangankan menjadi manusia, mirip manusia saja belum: mereka lebih mirip karakteristik beberapa hewan yang dijelaskan panjang lebar dalam dua kitab Al-Hayawan karangan Ad-Damiri dan Al-Jahidh.