JIKA puan dan tuan seorang pembaca sekaligus penulis, pada satu titik puan dan tuan pasti mendapati eksistensi makhluk-makhluk menjijikkan yang memperlakukan teks sebagai jimat. Mental semacam itu jelas merupakan mental usang warisan era ketika buku masih merupakan barang langka dan mahal sehingga laku mengoleksi, membaca, dan memamerkannya merupakan kultur kaum ningrat dan borjuis. Kepemilikan teks, bagi mental yang terbelakang 3 abad semacam itu, merupakan penanda kelas sosial yang ketika tidak ada pencapaian lain bisa mereka raih maka hal tersebut menjadi satu-satunya kebanggaan.
Ketika makhluk-makhluk semacam itu memiliki koleksi arsip berbagai macam teks langka, kelangkaan itu justru mereka kekalkan dengan sekadar memamerkan tanpa diikuti upaya atau bahkan sekadar hasrat membagikannya kepada orang yang membutuhkan. Ada semacam kebanggaan banal pada jargon yang mungkin mengendap dalam otak mereka: “aku keren karena bisa mengakses teks a, orang-orang lain tidak keren karena tidak memiliki akses sepertiku. Supaya aku tetap lebih keren dari orang-orang lain maka mereka harus tetap tidak memiliki akses sepertiku”.
Jargon hanya mungkin diadopsi otak yang dibusukkan keserakahan akibat gagal proses evolusi semacam itu luput memahami satu hal:
apa guna arsip teks jika hanya dipamerkan dalam kotak kaca berkunci atau lebih buruk lagi dalam peti bergembok yang sejumat sekali dibuka untuk sekadar ditaburi kapur barus dan diasapi kemenyan baru?
Saya pernah mengalami momen susahnya mengakses berbagai arsip teks di negeri ini saat membutuhkan referensi tulisan, teks-teks yang eksistensinya kita ketahui tetapi tak mampu kita pegang akibat kesadaran pengarsipan kita yang buruk. Situasi memalukan seperti itu diperparah oleh fakta bahwa sebagian makhluk yang terdeteksi memiliki teks-teks tersebut justru enggan berbagi. Pendapat saya tentang arsip dan akses bisa dibaca di tulisan lain, “Arsip: Pebisnis, Keledai, Transmiter“, yang jelas bertolak dari pengalaman traumatis itulah maka di sini puan dan tuan akan menemukan berbagai teks karya sastra dan kritik sastra yang mungkin puan dan tuan ingin baca tetapi di luar pertimbangan ekonomi ternyata sangat sukar mendapatkannya.
Seleksi teks yang bisa dibaca semata didasarkan pada pertimbangan nilai penting dan menarik teks yang sebagian dipindai dari koleksi pribadi dan sebagian sekadar dipindahkan dari sumber lain untuk memudahkan akses. Teks disusun secara alfabetis nama pengarang yang urutannya akan selalu berubah sesuai pembaruan berkala. Selamat membaca dengan dewasa, mari budayakan berbagi teks dan berdoa semoga kita dijauhkan dari godaan VOC tekstual. Terima kasih.
Budi Darma. 1998. “Sastra Kita Menjelang Akhir Abad”. Esai. Tautan baca.