Langit Malam

PENYAIR Dadang Ari Murtono mengirim pesan WhatsApp saat saya sedang duduk selonjoran bersandar rak buku sambil membaca ulang esai-esai Ahmad Tohari dalam antologi Mas Mantri Menjenguk Tuhan (Risalah Gusti, 1996) sehabis zuhur. Saya sudah terbiasa dengan keanehan-keanehan penyair Majapahit itu, termasuk ketika malam pertama tarawih story dia mendadak menayangkan fotonya memakai songkok hitam dengan ekspresi wajah ambigu.

Namun, pesan dia kala itu tetap saja terasa aneh. Ringkasnya, dia bertanya tentang kapan persisnya ayat pertama Al-Qur’an diturunkan berdasarkan penanggalan Masehi. Mengapa ada yang menyebutkan 6 Agustus dan ada yang menyebutkan 10 Agustus, mengapa ada yang menyebutkan tahun 610 dan ada yang menyebutkan tahun 660 Masehi.

Saya sebenarnya ingin menjawab dengan menyodorkan bait penutup salah satu puisi M. Faizi dalam antologi Duli di Terompah Nabi (DIVA Press, 2024):

Istirahatlah, manusia! Matikan dulu mesinmu
Jangan terus-menerus membuang oksidan dan polutan.
Biarkan sejenak langit bersih gemilang.
Lalu panjatkan doamu membumbung ketinggian
agar nanti turun bersama malam Nuzulul Quran.

("Siapakah yang Menyapu Langit?")

Namun, saya khawatir dia sedang serius dan membutuhkan jawaban ilmiah, bukan humaniora. Ambiguitas memang perangkat ciamik bagi puisi, tetapi kita tahu penyair pun tetap butuh kepastian dalam banyak hal terkait kehidupan di dunia nyata, termasuk kepastian keberadaan tomat di dapur demi racikan sambal terasi yang nikmat. Maka pada akhirnya saya pun menjawab dengan serius, satu situasi yang sangat jarang terjadi sepanjang sejarah komunikasi kami yang lintas lautan.

Dengan serius dan ringkas, saya jawab bahwa memang ada yang menyebut Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada 17 Ramadan dan ada yang menyebut pada 21 Ramadan. Aliran 17 Ramadan ini sesuai dengan 6 Agustus, aliran 21 Ramadan sesuai dengan 10 Agustus. Adapun tahun populer memang 610 Masehi, sedangkan pada 660 Masehi Nabi sudah wafat.

Penyair Dadang Ari Murtono memang punya kecermatan tak tertandingi terkait tanggal dalam teks. Suatu hari dulu dia pernah menanyakan tanggal kematian Chairil Anwar karena dia menemukan tanggal dan tahun berbeda pada beberapa tulisan seorang esais dalam satu antologi. Di antara beberapa kecurigaan lain yang tak perlu disebutkan di sini, saya curiga kecermatan itu bagian dari etos kesejarawanan dia yang berkembang saat menulis puisi-puisi historis di Ciamis dan lantas melahirkan Jalan Lain Ke Majapahit (DIVA Press, 2019).

Atau mungkin sebagai penulis dia sudah terlatih oleh bakat alam untuk menghitung honor atau royalti cair pada tanggal sekian dan ketepatan pencairan itu penting karena memengaruhi stok konsumsi Gabo, anjing kesayangan dia. Ditambah lagi kini dia menjadi redaktur media, tentu kepekaannya terhadap penanggalan menjadi semakin akut. Maka saya pikir jawaban serius dan ringkas itu sudah cukup membuat dia puas sekaligus memenuhi ekspektasinya terhadap saya di akhir pesan yang berbau tantangan: sebagai santri dan intelektual Islam, kamu pasti bisa menjelaskan.

Dan memang si penyair merasa puas dengan jawaban itu, terbukti dari pesan-pesan balasan yang berbau pujian ambigu khas dia. Maka saya tidak menjelaskan lebih jauh misalnya perbedaan angka 6 dan 10 Agustus yang berasal dari konversi 17 dan 21 Ramadan itu sebenarnya berhulu pada perkara lain yang lebih menarik terkait proses penurunan Al-Qur’an.

Ramadan adalah bulan turunnya kitab suci. Bukan hanya Al-Qur’an, suhuf Nabi Ibrahim dan 3 kitab suci lain pun diturunkan pada bulan Ramadan. Nah, ada dua hari besar pada bulan Ramadan yang sama-sama berkaitan dengan turunnya Al-Qur’an. Pertama, Nuzululqur’an, biasa diperingati pada malam 17 Ramadan, berdasarkan Surah Al-Anfal ayat 41. Kedua, Lailatulqadar, berdasarkan Surah Al-Baqarah 185, Surah Al-Qadr ayat 1, dan Surah Ad-Dukhan ayat 3. Lailatulqadar, berdasarkan salah satu hadis, biasa diyakini berlangsung pada salah satu dari 10 malam terakhir di bulan Ramadan, sedangkan menurut hadis lain lebih spesifik pada satu malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadan. 

Alasan mengapa bisa ada dua momen istimewa terkait turunnya Al-Qur’an pada Bulan Ramadan adalah karena Al-Qur’an mengalami dua kali proses turun. Pertama, Al-Qur’an diturunkan secara menyeluruh dari Lauh Mahfuz ke langit dunia. Kedua, dari langit dunia, ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan secara berangsur kepada Nabi Muhammad saw. selama 23 tahun. Dengan kata lain, 17 Ramadan merujuk pada Nuzululqur’an, peristiwa turunnya 5 ayat pertama Al-Qur’an (Surah Al-‘Alaq) kepada Nabi Muhammad saw. di gua Hira. Adapun tanggal 21 Ramadan merujuk pada Lailatulqadar, peristiwa turunnya Al-Qur’an secara menyeluruh dari Lauh Mahfuz ke langit dunia.

Lailatulqadar ini malam yang dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan khairun min alfi syahr, lebih baik dari seribu bulan. Dalam tafsir Jalalain diperjelas bahwa yang dimaksud adalah “melakukan amal kebaikan pada malam tersebut lebih baik dari melakukan amal kebaikan yang sama selama seribu bulan yang di dalamnya tidak ada Lailatulqadar”. Demikian juga ada banyak hadis Nabi yang menjelaskan berbagai keutamaan Lailatulqadar.

Uniknya, berhubung Lailatulqadar ini tidak disebutkan pastinya tanggal berapa, maka sudah menjadi tradisi para pemburu Lailatulqadar untuk semakin khusyuk beribadah pada 10 malam terakhir di Bulan Ramadan. Meski demikian, sebagai orang-orang istimewa yang meneruskan tradisi Islam, santri tentu selalu selangkah lebih maju termasuk dalam perburuan Lailatulqadar. Santri misalnya pasti sudah pernah belajar seperti apa tanda-tanda khusus malam Lailatulqadar. Demikian juga, santri bahkan punya rumus khusus menentukan Lailatulqadar berdasarkan hari apa yang menjadi awal Ramadan.

Seandainya Dadang Ari Murtono menanyakan tanda-tanda dan rumus itu, saya akan menjawab dengan menyitir baris-baris “lelakon sundayana” dalam Jalan Lain ke Majapahit:

barangkali memang bukan perkara ia tidak mampu
menangkap tanda, melainkan karena ia tahu
beberapa hal memang lebih baik tidak dimaknai.

Dalam puisi M. Faizi yang dikutip di awal, malam-malam bulan Ramadan disodorkan sebagai malam kontemplasi. Malam diisi bukan oleh tidur yang “terlalu lelap”, sebab “tidur tak akan memperpanjang umur | juga tak akan mengurangi usia”. Dalam kontemplasi itu, langit menjadi lanskap yang mengingatkan pada keagungan “Yang Esa”, tetapi peran tersebut tak akan mampu kita saksikan seandainya kita “rabun | oleh limbang di terik siang, | oleh selaput tipis di jumantara malam.”

Antologi Puisi M. Faizi Duli di Terompah Nabi (2024)

Malam dan langit juga menjadi varian model yang membawa kita bertualang ke teks lain: naratif tentang Nabi Muhammad “yang pergi ke Mercu Semesta” lalu kembali ke bumi membawa titah Tuhan bagi semua manusia, yakni salat “5 kali sehari [semalam] sepanjang hayat”. Peristiwa mikraj cenderung kita maknai selama ini sebagai peristiwa mistis, perjumpaan personal antara seorang manusia istimewa dengan Tuhan, tetapi kita pada dasarnya bisa melihatnya dari sudut pandang lain yang lebih membumi. Kuntowijoyo, bapak Sastra Profetik kita, dalam maklumatnya menyinggung pendapat Muhammad Iqbal tentang Mikraj sebagai perlambang etika profetik.

Mikraj nabi menandakan bahwa nabi sudah mencapai “tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik”. Akan tetapi fakta bahwa Nabi Muhammad kembali ke dunia, ke tengah umat manusia, menunjukkan kasih sayang dan tanggung jawab kemanusiaannya yang tinggi. Jika kita membaca Qasas al-Anbiya, alur berbeda akan kita temukan, misalnya, dalam naratif tentang mikraj Nabi Idris.

Persis seperti itu juga naratif dalam puisi “Siapakah yang Menyapu Langit?”. Setelah menyodorkan malam dan langit sebagai varian model kontemplasi personal manusia, kita menemukan pembanding siang dan bumi sebagai momen interaksi manusia dengan alam dan sesama.

Ketika cerobong pabrik sedang berhenti mengepul,
ketika asap kendaraan sedang berhenti menguar,
tengoklah langitmu, langit yang sama,
langit seluruh makhluk yang tinggal di bawahnya.

“Siapakah yang Menyapu Langit?”, bagi saya, terasa memiliki interteks—meski belum tentu intertekstualitas—dengan ayat 77 Surah Al-Qashash. Terjemahan terbaru versi Kementerian Agama sebagai berikut:

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Puisi M. Faizi mengingatkan secara terbalik, menandakan fenomena masa kini ketika orang justru cenderung disibukkan oleh pencarian “bagian di dunia” dan melupakan “pahala akhirat”. Maka puisi dimulai dengan ajakan kontemplasi malam dan langit seusai menjalani kehidupan siang di bumi, kemudian ditutup dengan penegasan kembali tema awal sehingga menyebabkan puisi menjadi utuh dari sudut pandang Strukturalisme. Pada bait yang dikutip di atas, kita juga menemukan secara tersirat paham kesamarataan derajat manusia-dunia sebagai “seluruh makhluk” yang tinggal di bawah “langit yang sama”.

Selain itu, kita juga bisa menafsirkan ajakan untuk beristirahat, mematikan dulu mesin dan “jangan terus-menerus membuang oksidan dan polutan” sebagai sekaligus ajakan untuk lebih memperhatikan ekosistem, bahwa “janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”. Hal itu diperkuat juga oleh bait di atas yang menggambarkan ekosistem buruk—kepulan asap dari “cerobong pabrik”, “asap kendaraan”—diperbandingkan dengan langit yang pada dasarnya “tak pernah kotor”.

Pada tataran arti, puisi menggambarkan bahwa “langit bersih” dan “tak pernah kotor” itu menjadi sebaliknya saat kita dirabunkan oleh “limbang di terik siang” dan “selaput tipis di jumantara malam”. Perhatikan bahwa meski sama-sama menyebabkan rabun, tetapi kadar pengaruhnya lebih besar dan menyeluruh pada siang ketimbang malam, limbang versus selaput tipis. Dengan kata lain, pada tataran makna, secara metaforis puisi menggambarkan bahwa bersih tidaknya langit tergantung pada kondisi awas atau rabunnya si pemandang. Jika siang merupakan momen manusia mencari bagian “di dunia”, maka malam memang merupakan momen manusia mencari pahala “negeri akhirat”.

Begitulah, semua itu mengisyaratkan juga relasi kuat antara perilaku manusia di bumi dengan dampak yang dia akan dapatkan di langit. Kita bisa menautkan itu dengan teks Hermetis kuna berbahasa latin yang lazim diringkas menjadi formula Anglofon populer as above, so below. Akan tetapi saya lebih tertarik menautkannya dengan teks yang lebih akrab dengan saya, dan saya yakin juga dengan sang penyair, yakni teks dalam tradisi pesantren, kitab kuning Nashaihul ‘Ibad. Dalam bagian awal kitab favorit saya anggitan Syekh Nawawi Banten itu dicantumkan satu hadis yang juga sangat populer dan puitis: Arrahimuna yarhamuhumurRahman. Irhamu man fil ardhi, yarhamkum man fissama, “Orang-orang penyayang itu akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah para penghuni bumi, maka kalian akan disayangi oleh para penghuni langit”.   

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.