DI rumah saya ada seekor kucing jantan, namanya Acéng, dan hidup dia tampak lebih berkah dari kebanyakan manusia kontemporer: dia penghuni rumah kami yang paling semangat makan sahur. Bukankah kata hadis nabi yang sangat populer itu dalam makan sahur terdapat berkah? Bukankah kata hadis lain innalLaha wamalaikatahu yushalluna ‘alal mutasahhirin?
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat berselawat atas mereka yang makan sahur”. Perlakuan istimewa, dan kita tahu sebabnya: makan sahur cenderung merupakan aktivitas paling berat di bulan Ramadan, lebih berat dari tarawih 20 rakaat. Sebabnya terutama karena sebagai manusia kita dibentuk oleh kebiasaan, sedangkan mengubah kebiasaan 11 bulan terkait waktu makan secara temporer selama hanya 1 bulan bukan hal mudah.
Sebagaimana kucing-kucing lain yang turun-temurun menghuni rumah sejak saya kecil, Acéng mendapatkan namanya tanpa sengaja. Bapak saya memanggil dia céng dan lama-lama kucing itu merasa bahwa itulah namanya, maka jadilah. Adapun céng aslinya hanya panggilan, bukan nama, kependekan dari Acéng, biasa digunakan sebagai sapaan akrab untuk orang yang jauh lebih muda di Sunda, kira-kira sama bentuk dan fungsinya dengan lé yang merupakan kependekan dari tholé di Jawa.
Dalam kitab unik tentang kucing, Ittihaful Maharah bi Ahkamil Hirarah (2022) disebutkan bahwa memberi nama kucing—dan juga hewan peliharaan lain—menggunakan nama-nama yang lazimnya digunakan oleh manusia, hukumnya boleh. Satu-satunya jenis nama yang haram digunakan untuk hewan adalah nama-nama nabi.
Mungkin karena tuah nama sebagai doa–dan dia menyandang nama yang menempatkannya pada posisi anak bungsu jadi-jadian dalam rumah kami–Acéng lantas bergaya hidup layak tiru. Di bulan Ramadan ataupun bukan, pukul 3 dini hari dia akan bangun. Saya tahu persis karena tiap kali saya berada di rumah selama 2 hari dalam sepekan, dia akan selalu mendahului saya masuk kamar dan mengambil lokasi pojok kasur sebagai daerah otonom. Seandainya dia bangun pukul 2 atau setengah 3 maka dia akan menyibukkan diri mandi, lalu pukul 3 dia akan mulai berisik sambil menjadikan pintu kamar sebagai samsak.
Setelah itu dia akan mengajak saya ke ruang tengah dan menatap saya dengan pandangan TST, tahu sama tahu. Dia tahu makanan dia ada di samping televisi dan dia menuntut saya tahu bahwa itu jam makan dia. Setelah makan dengan lahap, di bulan selain Ramadan dia akan langsung minta keluar. Sedangkan di bulan Ramadan, dia akan ikut saya ke ruang makan, lalu saat kami makan dengan malas-malasan, dia akan memalak kami dengan penuh semangat: jika kami tidak setor bagian dari makanan kami maka dia mengancam akan naik ke meja makan dan mengacak-acak semua makanan.
Usai imsak, dia akan pergi dari rumah. Tidak jelas betul apa sebenarnya aktivitas dia seharian, yang jelas seolah mengikuti petunjuk primbon, dia selalu pergi ke arah berbeda. Akan tetapi dilihat dari bekas luka di wajahnya yang selalu bertambah saat pulang, dia tampaknya terpengaruh buku Nietzsche koleksi saya sehingga menghadapi hidup sebagai palagan peperangan tanpa akhir. Sejak menjadi raja kukamsi—kucing kampung sini—kira-kira setahun silam, dominasi ras oyen di kampung kami runtuh digantikan oleh generasi baru anak-anak kucing berbulu motif hitam dan putih seperti dia. Risikonya, posisi raja kukamsi berikut harem berisi kucing-kucing betina bahenol dari jenis lolita sampai stw tentu memancing hasrat kucing-kucing jantan lain dan mendorong mereka untuk mencoba melakukan makar terang-terangan ataupun klandestin.
Acéng akan kembali ke rumah pada jam pulang ASN dengan bulu berbau sengatan matahari. Dia akan menagih makan dengan mode TST, lalu berkontemplasi di perpustakaan pribadi saya. Dia punya dua titik favorit di sana. Dua sisi dinding perpustakaan yang memisahkan ruangan dengan dunia luar dua pertiganya merupakan kaca. Dia sesekali duduk sambil ngantuk-ngantuk menghadap jendela, mungkin mengamati para spion grup makar yang sesekali tampak lewat mengendap-endap di luar sana dengan penampilan kucel dan perut keroncongan, mungkin pula dia sekadar mengamati satu dua kucing betina yang lewat, siapa tahu bisa dia rekrut menjadi anggota baru harem.
Di perpustakaan itu ada rak yang memenuhi satu sisi dinding dan satu tangga menuju lubang persegi di pojok langit-langit. Di atas ada loteng sempit tempat saya menyimpan segala teks masa lalu, dari mulai buku-buku pelajaran SMP—tempat saya dulu pertama kali membaca puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah—majalah Gatra, Tempo, Humor, komik-komik lama, novel-novel silat, sampai tumpukan kalender meja berisi para artis seksi yang sebagian besar kini sudah beralih menjadi pengiklan hijab dan sebagian kecil sudah berada di alam barzah. Posisi favorit kedua Acéng adalah di atas rak, di samping kardus berisi komik-komik jepang. Dia berada di posisi tertinggi kukamsi maka dia layak berdiam di ketinggian.
Saat jam berbuka puasa, dia kembali akan memalak kami di ruang makan. Setelah kenyang, dia akan kembali ke perpustakaan. Saat saya pulang dari masjid sehabis berjemaah magrib, dia akan jual mahal pura-pura cuek mandi atau duduk merem di meja tengah, tetapi kalau saya menyebut namanya maka dia akan menggeliat lantas melangkah gagah mendahului menuju kamar saya, menempati wilayah otonom dia, mandi, lalu tidur pulas. Kadang kala kalau saya mulai rebahan sehabis Isya, dia akan mendekati dan menatap mata saya dengan mode TST. Kalau saya menanggapi dengan merentangkan tangan, dia akan menempatkan kepalanya di dada saya lalu merem dan mendengkur. Kalau saya cuek, dia akan kembali ke daerah otonom dia lalu tidur dengan posisi memunggungi saya: ngambek.
Dengan pola hidup sehat dan sederhana semacam itu, seimbang antara porsi aktivitas fisik dan istirahat, tidak heran dia paling semangat saat makan sahur. Dia tidak merokok, tidak gibah sampai larut malam, tidak banyak bicara, dan lebih dari itu dia tidak julid karena tidak punya akun X dan ambisi-ambisi emosional khas para pecundang. Berhubung sesekali dia nongkrong di satu kotak khusus buku-buku Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor, dan Rendra dalam rak jumbo di kamar saya—persis di bawah kotak rak khusus antologi cerpen Kompas, puisi Ilda Karwayu, Avianti Armand, dan Laksmi Pamuntjak—saya curiga dia kucing modernis dan, baik kucing ataupun manusia, sosok modernis adalah pemuja otoritas: lu bukan pakar ya diam, gosah lempar asumsi, gosah meramban 5 menit lalu ngoceh seolah pakar.
Sesekali dalam sebulan, dia pulang pagi. Saya suka membayangkan malam sebelumnya dia mengumpulkan semua anggota koloni kukamsi di kebun dekat rumah. Usai rapat bulanan atau laporan kondisi terkini berbagai hal, dia berdiri di teritis rumah panggung tempat kami menyimpan kayu bakar, lalu mendeklamasikan baris-baris puisi Acep Zamzam Noor sebagai bagian dari salah satu hukum koloninya:
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
(“Cipasung”)
Karena faktanya, Acéng memang tak suka ikan, dia mania daging ayam, dan perilaku para kucing pencuri ikan, bagi dia, tampak mewakili moralitas kucing tunasusila goréng haté gering pikir: kelas sosial hewani serendah para pegiat tantrum di X. Pada suatu hari kami ngabedahkeun—menguras air kolam dan menangkap ikannya—kolam yang agak jauh dari rumah. Seperti biasa pada awalnya akan muncul satu dua ekor kucing kampung “dalam langkah malu-malu”, lalu setelah info itu, entah melalui saluran apa, tersebar cepat di kalangan kucing, akan bermunculan kucing-kucing lain menempati posisi masing-masing di pematang. Lama-lama mereka akan bertengkar ribut dan berebut bahkan sekadar potongan kayu berlumpur yang dilemparkan dari kolam. Acéng, sebaliknya, dari lokasi lebih tinggi dan agak jauh, akan diam mengamati perilaku dan ocehan kucing-kucing norak itu dengan tatapan mengejek. Setelah lama mengamati perilaku-perilaku rendahan kaumnya, dia akan berlalu, mungkin sambil berpuas diri atas status sosialnya sebagai kucing terdidik priayi.
Adakalanya saya melihat dia tampak merenung lama di tepi kolam ikan depan rumah, anteng mengamati puluhan ikan warna-warni berbaris di bawah pancuran air jernih yang dialirkan talang puluhan meter dari kaki bukit yang menjadi tapal batas kampung kami. Saya curiga saat itu telinganya tak mendengarkan apa pun selain kasidah ikan-ikan. Pada momen seperti itu, hatinya adalah kolam tempat ikan-ikan itu melantunkan nada-nada murni, semacam zikir pujian si lemah yang tulus terhadap pihak yang lebih kuat dan tak butuh.
Atau mungkin dia teringat puisi lama Ahmadun Yosi Herfanda yang tak dia temukan dalam Sembahyang Rumputan (1996) tapi dia curi baca lebih awal dalam Tonggak (1987):
rahasia di dasar laut
menyembunyikan siapa
ikan-ikan
atau mata-mata Tuhan?
bagai perahu nasib kita
berkejaran dengan ombak
dari balik batu karang
Tuhan mempermainkannya
rahasia di balik kehidupan
menyembunyikan apa
arah angin
atau pelabuhan-pelabuhan?
bagai nelayan kita dayung perahu
memburu ikan-ikan
menyerahkan nasib pada gelombang
sedang pelabuhan-pelabuhan
tersembunyi di balik batu karang
(“Sajak Karang”)
Dalam puisi ini, hidup manusia dianalogikan dengan karakteristik nelayan dan dunia dengan lautan. Apakah inti yang ditawarkan dunia, “ikan-ikan” atau “mata-mata Tuhan”? Jika ikan adalah buruan lazim seorang nelayan, maka “mata-mata Tuhan” yang secara sintaksis dihubungkan oleh konjungsi pilihan mengindikasikan ia pun berstatus sama tapi nilainya tak setara.
“Mata-mata” bisa bermakna ungkapan yang merujuk pada penyelidik, tetapi juga bisa bermakna sekadar pengulangan kata dasar yang mengindikasikan bentuk jamak. Jika yang pertama kita pilih, maka “mata-mata Tuhan” merujuk pada kondisi panoptikon kehidupan manusia dengan Tuhan sebagai mandor, sedangkan jika yang kedua kita pilih, maka frasa tersebut mengindikasikan objek yang melaluinya kita bisa lebih mengenal sang pemilik.
Namun, opsi mana pun yang kita pilih, muara makna keduanya pada dasarnya sama: berbeda dari “ikan-ikan” sebagai buruan duniawi, “mata-mata Tuhan” mengindikasikan buruan ukhrawi. Buruan ini menjadi penting karena Tuhan tak tampak, Dia mempermainkan nasib kita “dari balik batu karang”. Satu-satunya cara lebih mengenal-Nya—dan dengan demikian lebih mendekati-Nya—adalah melalui perenungan atas objek-objek yang terjangkau indra.
Memburu ikan-ikan dengan mendayung perahu sampai lelah mungkin membuat perut kita kenyang, tetapi hanya itu, hanya ikan. Kita, misalnya, mungkin menghasilkan uang dari medsos dengan jualan isu dan melempar “lembing-kata” pada siapa pun yang kita anggap sebagai “ikan” berdasarkan kemampuan kita membaca “arah angin” opini publik, tetapi halalkah uang semacam itu? Berapa kilogram dosa tersimpan dalam setiap kata yang kita ocehkan? Jika kita memberi makan diri kita, anak dan istri kita, dari uang semacam itu, berapa ons daging kita yang masih layak masuk surga?

Ada ungkapan menarik dalam kitab Qami’uth Thugyan, syarah Syekh Nawawi Banten atas Nazam Syu’abul Iman Syekh Zainuddin al-Malibari, yang sudah lama saya jadikan salah satu prinsip hidup: idza a’jabakal kalam, fashmut; waidza a’jabakash shamtu, fatakallam, “jika kamu sangat ingin bicara, maka diamlah, dan jika kamu sangat ingin diam, maka bicaralah”. Frasa “sangat ingin” menunjukkan dorongan Id, sesuatu yang kaos dan emosional sehingga menolak aturan logika dan kesopanan, Superego.
Ungkapan itu kurang lebih mengisyaratkan jangan asal ngoceh seenak hasrat, pikir dulu dalam-dalam apakah kata-kata kita mungkin menimbulkan kemaslahatan atau justru kemadaratan, apakah kata-kata kita tidak akan berujung fitnah atau menzalimi orang. Tidak heran jika dalam hadis nabi disebutkan bahwa afdhalu akhlaqil Islam ash-shamtu hatta yaslama an-nas, “budi pekerti paling utama dalam Islam adalah diam sehingga orang-orang pun selamat”. “Selamat” dari apa? Dari lembing-kata yang kita ucapkan saat ngobrol, dari lembing-kata yang kita tuliskan di X, kepsyen Instagram, komentar Facebook.
Ungkapan dan hadis tersebut berada dalam pembahasan tentang hifdzul lisan, menjaga lisan, sikap yang dikategorikan sebagai cabang ketigapuluh empat dari total tujuh puluh tujuh cabang iman. Jualan isu, mengadu domba, memfitnah, menggiring opini publik menuju penzaliman terhadap orang lain, dan mencaci-maki karena fomo, sikap-sikap buruk yang dilazimkan budaya X hari ini tersebut kebalikan dari sikap menjaga lisan: pelakunya bisa disebut muslim, tetapi sukar disebut mukmin. Semua sikap itu bagian dari memburu ikan melalui mendayung dan membaca arah angin, tetapi jika pun berhasil maka yang kita peroleh hanya perut kenyang, hanya ikan, objek yang akan menjelma ampas penghuni kakus.
Orang yang menjaga lisan, sebaliknya, justru membaca arah angin dalam kehidupan di dunia ini bukan untuk berburu ikan, melainkan untuk mencari tahu di balik karang manakah terdapat “pelabuhan-pelabuhan” tempat Tuhan bersembunyi. Alih-alih dengan dungu “menyerahkan nasib pada gelombang” kehidupan dunia demi hanya ikan—popularitas, tingginya jumlah followers, cuan honor jualan isu dan aib orang, status dalam lingkaran tertentu—maka dia memiliki tujuan pasti tentang ke mana akan kembali setelah kehidupan di dunia ini tuntas. Sikap tersebut digambarkan dengan sangat indah dalam bunyi kalimat istirja’, petikan ayat Al-Qur’an yang biasa kita lafalkan tiap kali kita mengalami atau mendengar musibah: inna liLlahi wa inna ilayhi raji’un, “sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali”.
Mungkin karena itu maka bagi Acéng si raja kukamsi, ikan-ikan bukan merupakan buruan, melainkan sekadar tontonan duniawi, bahan untuk kontemplasi menuju hal-hal lebih penting, dalam diam. Saya curiga sikap tersebut juga dia pelajari dari hasil curi baca kitab Qami’uth Thugyan yang saya letakkan di kotak paling kiri kedua dari atas pada rak di kamar saya: man nathaqa fi ghayri khayrin faqad lagha, waman nadhara fi ghayri i’tibarin faqad saha, waman sakata fi ghayri fikrin faqad laha, “siapa yang ngoceh bukan tentang kebaikan maka perbuatannya sia-sia, siapa yang mikir tanpa mengambil pelajaran maka dia si lalai, siapa yang diam tanpa berpikir maka dia sekadar bermain-main”.
Tahun 1939, T.S. Eliot memublikasikan antologi 15 puisi tentang kucing berjudul Old Possum’s Book of Practical Cats. Satu eksemplar buku tersebut dalam edisi eksklusif hardback Faber & Faber disertai ilustrasi legendaris Edward Gorey selalu terletak di posisi paling mudah diakses di rak buku saya. Satu dekade silam, dengan penuh gairah saya mempelajari variasi watak manusia melalui karakterisasi para kucing dalam puisi-puisinya. Kini, mengamati si Acéng dengan segala tingkah lakunya, saya makin percaya sebagian besar kucing, dan hewan berbulu lainnya, menampakkan sikap jauh lebih manusia ketimbang sebagian besar makhluk terlahir berbentuk manusia kontemporer di dunia yang “telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan” ini.