Aristoteles dalam “Babad” Islam dan Pengarang yang Tertukar

Aristoteles mengatakan bahwa “sesungguhnya hujan turun di Laut Yang Mengitari Dunia dan itulah saatnya angin utara berhembus, saat laut sudah penuh gelombang besar, turunlah hujan besar dari langit yang menyebabkan kerang-mutiara kerang-mutiara menampakkan diri ke permukaan air laut, mereka kemudian membuka mulut dan menelan butir-butir hujan seperti kemaluan perempuan menelan air mani…”

JIKA anda mengira kutipan di atas diambil dari buku filsafat atau buku geografi berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris maka anda keliru. Kutipan tersebut ada dalam sebuah risalah berbahasa Arab berjudul Badai’ al-Zuhur fi Waqai’ al-Duhur, dan risalah tersebut sama sekali bukan risalah filsafat, bukan juga risalah geografi, risalah tersebut adalah sebuah Babad.1Badai’ al-Zuhur fi Waqai’ al-Duhur sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Halim dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah dengan judul Kisah Penciptaan & Tokoh-Tokoh Sepanjang Zaman (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002). Sebagian terjemahan versi lain yang bersumber dari pengajian rutin dimuat secara berseri di sini.

Kitab Badai’ al-Zuhur fi Waqai’ al-Duhur adalah salah satu kitab yang sangat terkenal di kalangan pesantren, terutama pesantren yang masih mengajarkan mengaji kitab-kitab kuning. Meskipun tak dijadikan kitab kanon sejarah karena dipercaya mengandung banyak kisah israiliyat, kitab ini cenderung populer terutama karena ia menyajikan kisah-kisah sejak awal penciptaan bumi dan langit dan kisah nabi-nabi sampai Nabi Isa alaihissalam. Gaya penulisannya yang mendekati gaya penceritaan sastra lisan membuatnya asyik untuk dinikmati seperti kitab kumpulan dongeng.

Dan sebagai kitab dongeng itulah lebih seringnya kitab ini dirujuk. Di kalangan para mubalig di pelosok-pelosok desa, kisah-kisah yang didongengkan untuk menarik minat hadirin seringkali merujuk pada kitab ini. Fakta bahwa ada banyak sekali kisah ajaib yang disajikan di dalamnya yang tak akan kita dapatkan dalam versi “formal” kisah nabi-nabi menambah sisi menariknya, karena hal itu membuat cerita-cerita yang dirujuk darinya menjadi menarik untuk dinikmati seperti legenda-legenda lokal dalam tradisi oral kita.

Kalau dilihat dari segi konten, kitab ini bisa dimasukkan ke dalam genre qasas, atau Qasas al-Anbiya, salah satu genre tersendiri dalam literatur Islam yang bisa ditemukan dalam empat bentuk: hadits nabi, tafsir Alquran, tarikh (misalnya tarikh At-Thabari), dan suatu kompilasi khusus qasas tersebut misalnya dua yang paling terkenal disusun oleh Al-Kisa’i dan Ats-Tsa’labi.

Karya Al-Kisa’i (diperkirakan hidup antara 864-961 M) berjudul Qisas al-Anbiya’ Alaihim al-Salam sebagaimana tercantum dalam edisi pertama dalam Bahasa Arab pada tahun 1923 di samping judul dalam bahasa Jerman Vita Prophetarum. Meskipun demikian, Bunder Fayhan al-Zayedi dalam penelitiannya, sebagaimana juga Brinner menyebut judulnya sebagai Kitab Bad’u (Khalq) al-Dunya wa Qisas al-Anbiya (Buku tentang Penciptaan Dunia dan Kisah Para Nabi). Selain itu, edisi Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 2008 mencantumkan judul Qasas wa Mawalid al-Anbiya (secara literal berarti Kisah-Kisah dan Tempat serta Masa Kelahiran Para Nabi).

Karya Ats-Tsa’labi (diperkirakan meninggal 1035 M) berjudul Ara’is Al-Majalis fi Qisas al-Anbiya’ (artinya secara literal Para Pengantin Perempuan dalam Pembahasan Kisah Para Nabi). Meskipun demikian, dalam The Formation of the Classical Tafsir Tradition: the Qur’an Commentary of Ath-Thalabi Walid A. Saleh mengatakan bahwa tidak ada penjelasan pasti tentang judul karya ini karena tidak ada karya yang mengkritisi khusus hal tersebut. Sementara dalam pengantar terjemahan kitab ini ke dalam Bahasa Inggris, Brinner mengatakan bahwa kata ara’is ‘para pengantin perempuan’ mungkin digunakan untuk memuji keindahan teks yang bersangkutan sementara kata majalis ‘pembahasan’ digunakan menyaran pada pembagian secara sistematis pembahasan setiap nabi dalam kitab yang bersangkutan. Meskipun karya Ats-Tsa’labi bukan karya pertama yang membahas perihal kisah para nabi akan tetapi gaya penulisannya yang sistematis menjadi model bagi banyak karya terkemudian.      

Dua kitab tersebut merupakan referensi kitab Badai’ al-Zuhur dan juga satu kitab lain dari genre sama yang ditulis oleh Ibn Katsir, yakni Qasas Al-Anbiya yang merupakan nukilan dari kitab monumental Bidayah Wa Nihayah. Beberapa sumber lain yang juga menjadi referensi kitab ini adalah Ibnul Jauzi (penulis Al-Muntadhom fi Tarikh al-Muluk wal Umam), ataupun Al-Waqidi (penulis Al-Maghazi). Kitab ini juga banyak mencantumkan riwayat dari Aristoteles dan Al-Kindi terutama di bagian awal dan beberapa kali mengutip Al-Qazwini (penulis Ajaib al-Makhluqat wal Hayawanat Wa Gharaib al-Maujudat) ataupun Ad-Damiri (penulis Hayat al-Hayawan al-Kubro).

Pindaian kover 3 kitab genre Qasas edisi Dar al-Kutub al-Ilmiyyah karangan Al-Kisa’i (2008), Ats-Tsa’labi (2009), dan Ibn Katsir (2009)

Dibandingkan dengan deret kitab yang disebut tadi dari genre yang sama, Badai’ al-Zuhur cenderung lebih terkenal, khususnya dalam konteks pesantren-pesantren di Indonesia. Salah satu alasannya adalah karena formatnya yang ringkas tapi memuat konten yang secara garis besar sama dengan kitab karangan Al-Kisai, Ats-Tsa’labi, dan Ibn Katsir yang disebutkan tadi tersebut. Dalam versi cetakan lokal al-Haramayn misalnya kitab ini tak mencapai 200 halaman.

Dari segi pencantuman referensi, satu hal yang merupakan kekurangan besar dan lazim ditemukan dalam kitab-kitab klasik Islam adalah tidak adanya keterangan yang pasti soal itu. Hal tersebut jelas menuntut adanya edisi kritis yang bukan hanya menambahkan informasi mengenai referensi tetapi juga anotasi intertekstualitas dan informasi biografis pengarang. Mode referensi biasa ditemukan dalam kitab-kitab klasik hanya penyebutan nama pengarang, kemudian diikuti kalimat yang tampaknya dimaksudkan sebagai kutipan dari karya pengarang tersebut. Sayangnya, dari karya pengarang tersebut yang mana atau berjudul apa tidak disebutkan, lebih lagi tidak disebutkan sejauh mana yang merupakan kutipan dan sejauh mana yang merupakan tulisan penulisnya.

Dus, kutipan dari Aristoteles yang dicantumkan di awal tulisan ini juga tidak mencantumkan penjelasan dari karya Aristoteles yang mana kutipan tersebut diambil. Lebih lanjut, penelusuran saya sendiri pada beberapa karya Aristoteles tidak menemukan kutipan yang persis sama, ada yang mirip pada bagian awalnya tetapi kemudian berakhir dengan konklusi berbeda. Dengan demikian, sebagaimana sering ditemukan dalam kasus kutipan karya Aristoteles dalam khazanah keilmuan Islam, rujukan biasanya bukan pada karya Aristoteles asli melainkan pada apa yang bisa disebut sebagai pseudo-Aristoteles, yakni karya-karya yang dinisbatkan pada Aristoteles tetapi tidak ada bukti kuat untuk mendukung penisbatan itu.

Selain masalah referensi, ada lagi masalah lain yang jarang diperhatikan: selama ini kitab tipis ini diyakini sebagai kitab yang dikarang oleh Ibn Iyas, nama lengkapnya Zainal Abidin Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafi dan terkenal dengan sebutan Abul Barakat. Ibn Iyas adalah seorang sejarawan Mesir yang hidup dari 1448-1523 M. Dalam biografinya di berbagai sumber, Ibn Iyas memang dicantumkan sebagai pengarang kitab berjudul Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur. Karena itulah tidak heran baik penerbit lokal maupun luar yang menerbitkan kitab tipis ini mencantumkan nama Ibn Iyas sebagai penulisnya.

Menariknya, ada satu lagi kitab tebal dengan judul Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur dengan nama Ibn Iyas juga dicantumkan sebagai pengarangnya. Kitab tebal ini biasanya dicetak lebih dari satu jilid. Untuk edisi Al-Haiat al-Mishriyyah al-Ammah lil Kutub misalnya kitab ini dicetak dalam enam jilid sementara untuk cetakan Al-Sya’b hanya dalam tiga jilid. Kitab ini berisi sejarah Mesir yang dimulai dengan pembahasan ayat-ayat Alquran yang menyebut negeri Mesir dan diakhiri dengan sejarah Mesir tahun 928 H/1522 M.

Pertanyaannya: apakah kedua kitab ini sama-sama merupakan karangan Ibn Iyas, ataukah salah satunya merupakan karangan orang lain?

Dalam Mu’jam Al-Mathbuat al-Arabiyyah wal Muarrabah susunan Yusuf Alyan Sarkis, kedua kitab ini dicantumkan di bawah entri Ibn Iyas, akan tetapi diikuti dengan beberapa catatan. Untuk kitab yang tipis yang menceritakan kisah nabi-nabi, diberi keterangan bahwa ada keraguan dalam penisbatan kitab ini pada Ibn Iyas, sementara untuk kitab yang tebal tentang sejarah Mesir, judul aslinya dikatakan sebagai Tarikh Mishr, lalu dikatakan juga ada dugaan bahwa kitab ini adalah karangan Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Imam Jalaluddin al-Suyuthi sendiri adalah mufasir sangat terkenal dan kitab tafsir ringkasnya yang dikarang bersama Imam Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalayn, biasa dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren untuk santri tingkat awal. Imam Jalaluddin al-Suyuthi ini merupakan salah satu guru Ibn Iyas.

Sementara itu, dalam Kasyf al-Dhunun ‘an Asami al-Kutub wal Funun, ensiklopedi karangan Hajji Kholifah yang konon memuat 15.000 judul kitab dalam berbagai bahasa terutama bahasa Arab, memang dicantumkan ada dua kitab berjudul yang sama Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur, yang satu karangan Ibn Iyas, dan yang satu karangan Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Hajji Kholifah sendiri nama aslinya adalah Musthofa bin Abdullah, dia adalah seorang Sejarawan dan Geografer Kerajaan Turki Usmani yang hidup pada tahun 1608-1657 M. Dalam kitab ini beliau suka memberikan deskripsi awal pembuka kitab terutama ketika kitab itu memiliki kembaran judul. Deskripsi semacam itu sangat berguna untuk membedakan keduanya.

Di bawah entri Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur yang pertama kita menemukan deskripsi:

Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur—karangan Muhammad bin Iyas, seorang sastrawan Mesir yang meninggal pada tahun 930 H, kitab ini merupakan kitab sejarah Mesir sejumlah dua jilid dan bagian awalnya begini: alhamdulillahil ladzi faawat baynal ibad, dst”.

Sementara pada entri satu lagi yang diletakkan tepat setelahnya, ditemukan deskripsi seperti ini:

Badai’ Al-Zuhur Fi Waqai’ Al-Duhur—kitab sejarah juga, dikarang oleh Syaikh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, meninggal pada tahun 910 H, bagian awalnya berbunyi: alhamdulillahil qadimil awwal…diterangkan di dalamnya hal-hal ajaib yang terjadi dari awal penciptaan sampai masa beliau hidup, diceritakan di awal kisah para nabi, kemudian para khalifah, para raja, tetapi beliau tidak menyelesaikan kitab ini”.

Ada beberapa kitab lain yang tanpa keraguan dinisbatkan kepada Ibn Iyas dan merupakan kitab yang mengisahkan sejarah Mesir, misalnya Nujhat al-Umam fi al-Ajaib wal Hikam dan Nasyq al-Azhar fi Ajaib al-Aqthar. Selain itu, Badai’ Al-Zuhur yang merupakan sejarah Mesir ini diakhiri dengan sejarah Mesir tahun 928 H, dua tahun sebelum kematian Ibn Iyas, sementara Imam Suyuthi sendiri meninggal tahun 910 H sehingga tidak mungkin menjadi pengarang kitab tersebut. Maka pendapat Hajji Kholifah di atas lebih logis daripada pendapat Yusuf Alyan Sarkis.

Selain itu, bukti lain adalah jika dicek dalam kitab Badai’ Al-Zuhur sejarah Mesir yang tebal tersebut bagian awalnya memang sama dengan deskripsi dalam Kasyf al-Dhunun-nya Hajji Kholifah tentang kitab berjudul demikian yang dinisbatkan pada Ibn Iyas. Sementara itu, untuk kitab Badai’ Al-Zuhur yang tipis dan menceritakan kisah nabi-nabi, bagian awalnya justru sama dengan deskripsi dalam Kasyf al-Dhunun untuk entri kitab berjudul yang sama karangan Imam Jalaluddin al-Suyuthi.

Hal lain yang makin menguatkan juga adalah fakta bahwa karena para penulis genre Qasas biasa mengutip ayat Alquran untuk menguatkan narasi-narasi mereka maka kebanyakan penulis genre Qasas merupakan seorang mufasir juga seperti Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Maka kita ketahui misalnya Ats-Tsalabi mengarang Tafsir al-Kasyf wal Bayan, Ibn Katsir mengarang Tafsir Ibn Katsir dan Ath-Thabari mengarang Tafsir ath-Thabari.

Dengan kata lain, mungkin sudah waktunya pada cetakan ulang ke depan para penerbit mengganti nama Ibn Iyas dengan Imam Jalaluddin al-Suyuthi sebagai pengarang yang lebih mungkin dinisbatkan ke kitab Badai’ al- Zuhur fi Waqai’ al-Duhur yang menceritakan kisah nabi-nabi ini. Wallahualam bissawab.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.