Sasti Gotama dan Tenunan Cerpen yang Membawa Kita ke Banyak Dongeng

1

TUNTAS membaca “Sesam!”, cerpen kesembilan dalam antologi cerpen Sasti Gotama, Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu (Mizan, 2024), kita mungkin teringat esai lama Hasif Amini, “Cerita Pendek di Dunia Eksentrik”. Dalam esai pengantar antologi Cerpen Pilihan Kompas 2001: Mata yang Indah (2001) tersebut, Hasif Amini menyinggung Seribu Satu Malam sebagai “’nenek moyang’ genre cerita pendek”.

Hasif Amini memang menyinggung hal tersebut sebagai jalan menuju konklusi spesifik media massa sebagai Syahrazad kontemporer, tetapi hal tersebut secara umum juga bertaut dengan persoalan yang tak pernah lekang menjadi bahan diskusi para kritikus: tautan antara penulis dengan para pendahulunya, relasi antara satu karya dengan karya-karya yang dipublikasikan lebih awal. Dalam terminologi kritik sastra secara umum kita mengenalnya sebagai intertekstualitas, sementara dalam terminologi khusus kritikus Naratologi Gérard Genette: transtekstualitas.

“Sesam!” menautkan kita dengan Seribu Satu Malam sejak judul, tetapi jika sepatah kata tersebut masih terasa asing maka rincian dalam cerita akan membantu: seorang ibu rumah tangga bernama Kaluri “menemukan lubang seukuran tubuhnya di belakang almari”, kemudian menyadari bahwa pintu itu bisa dibuka dan ditutup dengan mengucapkan mantra “Sesam, buka pintu” dan “Sesam, tutup pintu”.

Dalam Seribu Satu Malam kita temukan cerita memuat bagian serupa pada “Kisah Ali Baba dan Empat Puluh Penyamun”. Ali Baba tanpa sengaja menemukan gua tempat para penyamun menyimpan harta mereka dan pintu gua tersebut bisa dibuka dengan mengucapkan mantra—dalam versi terjemahan Inggris Ursula C. Lyons (2008)—“open, sesame” dan “shut, sesame”. Merujuk kategorisasi relasi transtekstual kritikus Naratologi Gérard Genette, tautan tersebut bisa disebut hipertekstualitas dengan “Sesam!” sebagai hiperteks dan “Kisah Ali Baba” sebagai hipoteks.

Tautan senada kita temukan dalam cerpen “Sima”: seekor harimau, akibat didikan perempuan tua yang memeliharanya, merasa dirinya hanya kucing hutan sehingga dia tidak “memangsa daging segar” dan hanya makan “nasi yang dicampur ikan pindang”, tetapi pada akhirnya dia bisa diyakinkan oleh perempuan bernama Roemina bahwa dia adalah Sima, harimau, pemangsa, dan “hanya makan daging”. Pada alur semacam itu kita temukan jejak memori dongeng Hans Christian Andersen, “The Ugly Duckling”: seekor angsa, akibat lahir dan besar di lingkungan bebek, merasa dirinya bebek jelek, pada akhirnya dia menyadari dirinya angsa setelah dia ternyata diterima oleh kawanan angsa dan melihat penampakan riil dirinya pada permukaan air.

Kita boleh menduga Sasti Gotama menciptakan tautan itu dengan sengaja dan kita tahu dia tidak sendirian. Angela Carter menggunakan pola yang kurang lebih sama untuk cerpen-cerpen dalam antologi The Bloody Chamber and Other Stories (1979), Intan Paramaditha dengan cerpen “Perempuan Buta tanpa Ibu Jari” (2004), ataupun terbaru Dadang Ari Murtono dengan cerpen “Kodok” (2024). Deret nama itu bisa sangat jauh diperpanjang jika kita tidak membatasinya pada cerpenis dan mengikutsertakan para novelis serta penyair, termasuk di antaranya Anne Sexton, J.M. Coetzee, Goenawan Mohamad, dan Avianti Armand.

Selain itu, Sasti Gotama juga bukan pertama kalinya melakukan hal tersebut. Kita sudah menemukan penggunaan teknik senada dalam bentuk lebih sederhana pada cerpen “Buto Ijo dan Timun Mas”1Antologi Penafsir Mimpi, hal. 156-161., cinta lansia psikosis bernama “Ishtar” yang tak sampai terhadap Marduk(i) dalam “Menunggu Marduk Datang”2Antologi Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?, hal. 9-16., dan yang bisa dikatakan sangat cemerlang: pengorbanan sia-sia narator-karakter “Saya” yang menggemakan pengorbanan senada dua saudari Cinderella dalam “Sempurna”3Antologi B, hal. 119-124..

Membaca cerpen-cerpen semacam itu kita mudah tergoda untuk menyepelekan nilainya dengan mengatakan mereka sekadar menceritakan ulang dongeng, mitos, atau apa pun hipoteks mereka. Penyepelean semacam itu memiliki banyak konsekuensi termasuk perendahan nilai orisinalitas, satu hal yang tentu sangat aneh jika diungkapkan pada masa ketika Pascamodernisme sudah berderap jauh di belakang kita. Faktanya, nasib semacam itu bukan khayali dan Angela Carter sudah mengalaminya terkait The Bloody Chamber and Other Stories sebagaimana Helen Simpson singgung dalam pengantar antologi cerpen tersebut edisi Vintage Books (2006):

The Bloody Chamber kerap dideskripsikan—dengan keliru—sebagai kumpulan dongeng tradisional yang diberi pelintiran feminis subversif. Faktanya, cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah cerita-cerita baru, bukan produk-produk penceritaan ulang.

“Introduction”, dalam The Bloody Chamber and Other Stories, hal. vii

Bahwa Helen Simpson menyinggung anggapan umum cerpen-cerpen terkait sebagai penceritaan ulang dongeng tradisional yang diberi pelintiran feminis subversif maka kita boleh sepakat bahwa tautan antara mode demikian dengan gagasan feminis memang terjadi lebih sering dibandingkan motif-motif lain termasuk pada pengarang laki-laki. Kita menemukan hal tersebut terjadi baik pada dua cerpen Sasti Gotama di atas maupun cerpen Intan Paramaditha dan Dadang Ari Murtono. Akan tetapi alih-alih melakukan penceritaan ulang atau menciptakan “versi” lain dongeng tradisional, cerpen-cerpen para pengarang tersebut lebih tampak sebagai hasil dari upaya yang Angela Carter sebut “menyuling konten laten cerita-cerita tradisional dan menggunakannya sebagai titik tolak cerita-cerita anyar”.

Maka dalam cerpen “Sesam!” dan “Sima” tidak kita temukan versi kontemporer dongeng Ali Baba dan The Ugly Duckling. Dua cerpen tersebut merupakan cerita baru lengkap dengan segala potensi makna yang sukar kita temukan dari dua cerita hipoteks keduanya, sementara hipertekstualitas cerita-cerita itu sendiri memiliki guna ganda pada arah yang berbeda: bagi pengarang Sasti Gotama untuk menyusun cerita, bagi kita para pembaca untuk menyusun makna cerita.

Tampilan kover antologi cerpen Sasti Gotama, Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu

2

TOKOH utama cerpen “Sesam!” adalah ibu rumah tangga bernama Kaluri. Dia memiliki tiga anak, dua bocah kembar El dan Luh dan satu bayi bernama Dio. Sejak awal cerpen kita mendapat gambaran kerepotan Kaluri mengurus dua bocah yang sedang aktif-aktifnya dan satu bayi yang, karena tuntutan suaminya, Zain, yang peduli terhadap masa depan kehidupan lumba-lumba di lautan, tidak boleh memakai popok sekali pakai. Kaluri sadar semua kerepotan itu mengubah dirinya menjadi “perempuan kuyu […] dengan mata lelah”.

Dalam situasi seperti itulah Kaluri “menemukan lubang seukuran tubuhnya di belakang almari”. Usai segala kerepotannya menjadi ibu rumah tangga, dia mencoba masuk ke sana. Di dalamnya dia merasakan kegelapan dan di dalamnya elusan tangan hangat pada kepala. Dia merasakan kembali dunia saat dia masih kecil dididik oleh ibu yang keras. Kaluri keluar dari lubang itu saat ketiga anaknya kembali merepotkan dia.

Kali lain, di sela “dinas hariannya”, Kaluri kembali masuk ke lubang tersebut dan merasakan genggaman hangat. Kali ini dia masuk ke dunia lab tempat dia bekerja sebelum mengundurkan diri akibat hamil El dan Luh. Di sana dia berjumpa Lan, lelaki yang juga kerja di tempat yang sama dengannya dan tampaknya menyukainya. Kaluri kemudian keluar dari lubang itu akibat tangisan Dio.

Setelahnya kita diajak mengintip memori Kaluri tentang perjumpaannya dengan Shin di apotek sehari sebelumnya. Shin tampaknya dulu sama seperti Lan, teman kerja di tempat yang sama. Dari percakapan mereka tergambar bahwa Kaluri membandingkan kehidupan Shin sebagai pekerja kantoran dengan dirinya sebagai ibu rumah tangga dan dengan susah payah tampak membanggakan status tersebut sebagai “pekerjaan terhebat di dunia”.

Lamunan itu terganggu oleh “suara bentakan dari ruang tamu”. Kaluri yang baru saja selesai melap bersih tubuh Dio kemudian ke sana dan menemukan Zain menunjuk El dan Luh yang mulutnya belepotan cokelat dan wafer. Zain memarahi Kaluri yang menurut dia “belum masak makan siang” dan karenanya membuat dua bocah itu kelaparan. Kaluri membantah Zain yang mempertanyakan apa saja yang dia lakukan seharian dengan mendaftar dalam benaknya semua aktivitas rumah tangga yang sudah dia lakukan sehari itu. Kaluri tidak berani mengungkapkan semua itu, ditambah dengan indikasi afair Zain dan “Si Jalang Susan” yang dia temukan, karena dia ingat perkataan guru agamanya bahwa istri tidak boleh berkata dengan nada tinggi pada suami kalau tak mau dibakar di neraka.

Malamnya, Kaluri merasakan ada suara seperti suara Lan yang memanggil-manggilnya dari jauh dan menanyakan apakah dia bahagia. Kaluri kemudian masuk ke dalam lubang dan tak pernah mengucapkan mantra pembuka pintu.

Dalam cerpen ini, kita jelas menemukan cerita yang bukan versi lain Ali Baba, melainkan cerita baru tentang ibu rumah tangga kontemporer yang terjebak dalam segala kerepotan domestik dan mengorbankan karir cemerlang sementara segala pekerjaannya tidak dihargai suami yang justru malah menjalin afair dengan perempuan lain. Lubang yang muncul dan memberikan “penghiburan” baginya atas situasi terjepit itu bisa saja dimaknai literal yang lantas akan membawa pada interpretasi mistis, tetapi kita juga bisa memaknainya secara simbolis sebagai ceruk surga dalam pikiran Kaluri, realitas alternatif yang dia ciptakan sebagai tempat eskapisme dari realitas utama.

Menarik bahwa kita temukan dua perbandingan negatif dalam dua kali Kaluri masuk lubang, pertama elusan hangat pada kepala dibandingkan secara antagonistik dengan ibunya, kedua genggaman tangan hangat dibandingkan secara antagonistik dengan suaminya. Dua sosok yang idealnya merupakan sosok paling dekat dengannya ternyata justru sosok-sosok yang menjadi antagonis situasi nyaman yang diberikan oleh lubang tersebut. Kaluri tampak sebagai sosok yang sendiri, dijepit situasi yang dibebankan oleh kultur padanya: didikan keras sang ibu, ajaran guru agama, tuntutan suami.

Dalam situasi tersebut, satu-satunya dunia indah yang bisa menjadi pemuas eskapisme adalah memori tentang Lan dan tempat kerja pada momen sebelum semua situasi mengerikan itu terjadi. Sebagaimana lubang dalam “Kisah Ali Baba” adalah gerbang menuju sumber kesenangan bagi Ali Baba berupa harta tabungan para penyamun yang dia kutil, lubang yang Kaluri temukan adalah sumber kesenangan temporer baginya. Akan tetapi, dipantik oleh kekecewaan yang makin menumpuk, Kaluri berakhir memutuskan masuk dan tidak keluar lagi dari lubang tersebut, suatu kondisi yang bisa kita tafsirkan sebagai psikosis: Kaluri menolak sepenuhnya realitas yang dia alami dan memilih hidup dalam realitas alternatif yang diciptakan oleh dan untuk dirinya sendiri. Konsekuensi tindakannya tersebut analog dengan apa yang Qasim alami dalam “Kisah Ali Baba”. Qasim, ipar Ali Baba yang serakah dan lupa mantra keluar gua lantas terjebak di dalamnya dan dibunuh oleh para penyamun. Kaluri sebagai manusia sudah mengalami kematian bahkan sebelum tubuh fisiknya mati, situasi yang, menimbang Kaluri melakukan itu sebagai pilihan sadar, menunjukkan seberapa beratnya realitas hidup yang selama ini dia alami.

Sementara itu, dalam cerpen “Sima”, kita berjumpa Roemina, perempuan yang menjadi Nyai Meneer Jan Jacob akibat manis mulut suaminya, Genggong. Sebagaimana Kaluri berhenti bekerja akibat kehamilannya sebagai konsekuensi dari pernikahan, Roemina juga berhenti bekerja dari posisinya sebagai kerani di kebun Nyonya Eduard karena manis mulut Genggong tentang garwa yang sepenuhnya diam di rumah. Saat Genggong menyodorkannya pada Meneer Jan Jacob, dia beralasan itu semua demi kebaikan Roemina, supaya hidupnya lebih tercukupi dibandingkan harus menderita jika terus bersamanya yang hanya buruh perkebunan. Roemina sempat terharu sebelum kemudian tahu bahwa

Genggong lari dengan sinden sintal asal Ngadiluwih beserta kalung maskawinnya tanpa membawa anak-anak mereka.

“Sima”, dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu hal. 26.

Kehidupan Roemina sebagai Nyai Meneer Jan Jacob ternyata juga tidak bagus. Dia dituntut untuk hanya menurut dan melayani, menjadi semacam “kucing rumah yang jinak dan gampang diatur”. Roemina sendiri tidak bisa lari karena selain dia tidak punya apa pun, dia juga tahu nasib nyai yang kabur dan hampir pasti tertangkap lagi sangat mengerikan.

Dalam situasi seperti itulah Roemina menemukan harimau jantan luka yang kemudian dia juluki Sima. Sima dirawat oleh Roemina dan dididik untuk kembali menjadi harimau sungguhan. Satu bulan kemudian, Sima dilepas, tetapi kemudian tertangkap oleh jawara dan dijadikan objek rampogan sima. Di akhir cerita, Sima mampu melarikan diri dari rampogan sima yang juga ditonton oleh Meneer Jan Jacob dan Roemina. Pada saat yang sama, Roemina pun mendapatkan keberanian sebagai “Sima” sebagaimana harimau yang dia tolong itu sehingga dia kemudian berani melarikan diri.

Kita tidak tahu nasib Roemina selanjutnya, tetapi sejauh yang disodorkan oleh teks, meski sama-sama melarikan diri dari keterjepitan situasi rumah tangga, kita boleh menduga pilihan Roemina lebih positif dari pilihan Kaluri. Akan tetapi kita juga harus bersikap adil dengan membandingkan karakteristik Kaluri dan Roemina yang juga berbeda. Kaluri dididik dalam kultur yang membuatnya menginternalisasi aturan sehingga mengekangnya dari melakukan tindakan ekstrem secara fisik, sementara Roemina, dalam kultur Kadiri tahun 18954Berdasarkan cerpen versi Jawa Pos, 15 April 2023. Dalam versi Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu tahun tersebut ditulis—tampaknya dengan keliru—sebagai 1985., dimungkinkan untuk mendapatkan spirit keberanian melarikan diri secara fisik akibat perjumpaannya dengan harimau.

Dengan kata lain, eksistensi harimau yang berhasil diubah menyadari kembali identitas keharimauannya dengan metode Pavlovian berfungsi menyadarkan Roemina, dan dengan itu menyadarkan perempuan-perempuan pembaca cerpen “Sima”, tentang identitas keperempuanan sebagai Sima. Sebagaimana harimau yang dibentuk menjadi hanya kucing hutan itu kembali pada identitas keharimauannya, demikian juga Roemina yang dibentuk menjadi hanya kucing jinak itu kembali pada identitas kesimaannya. Menyadari potensi tautan kisah harimau ini dengan “The Ugly Duckling”, kita bisa menafsirkan secara positif tema cerpen ini sebagai lebih kuatnya identitas yang dibentuk oleh kultur daripada hal sama yang dibentuk oleh natur: satu tema dan topik yang banyak dielaborasi dalam cerpen-cerpen Sasti Gotama.     

3

TENTU saja dongeng bukan satu-satunya “nenek moyang” cerpen-cerpen Sasti Gotama sebagaimana transtekstualitas di dalamnya juga hadir bukan hanya antar teks lintas pengarang tetapi juga antar teks karya Sasti Gotama sendiri. Kita boleh yakin Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu disusun tidak menggunakan konsep sama dengan The Bloody Chamber and Other Stories Angela Carter dan karenanya transtektualitas hanya merupakan bagian kecil dari teknik penulisan cerpen-cerpen di dalamnya.

Dus, kita tak bisa memaksa menggunakannya untuk mengintip genesis seluruh cerpen tersebut tanpa risiko tragikomedi skopofilia salah lubang. Sebelas dari dua puluh cerpen dalam antologi dicantumkan dengan riwayat publikasi praantologi sehingga alih-alih disusun dengan satu konsep besar prapenulisan semua cerpen, antologi ini lebih tampak sebagai hasil satu upaya kurasi dan pengarsipan berdasarkan benang merah, apa pun itu, yang dimunculkan belakangan setelah cerpen-cerpen tersebut eksis.

Teks blurb pada kover belakang antologi memberi petunjuk bahwa benang merah antara satu cerpen dengan lainnya dalam antologi ini adalah mereka “akan membuat pembaca mempertanyakan ulang apa artinya menjadi manusia”. Tentu saja sebuah blurb, sebagai teks yang diciptakan terutama untuk tujuan ekonomis, kerap tak bisa diperlakukan serius sebagaimana juga kesingkatannya yang wajib kerap menghasilkan generalisasi. Blurb tersebut, misalnya, mengindikasikan keyakinan adanya garis lempang dan pasti yang menautkan teks dengan resepsi pembaca atasnya, satu keyakinan kuna yang jelas akan tampak aneh bahkan jika diungkapkan seabad silam. 

Namun, blurb itu sendiri mungkin tak benar-benar keliru. Dalam endorsement buku, penulis Helen Tanuwan juga menyebut antologi ini sebagai “kumpulan cerita yang antimainstream” dan kita boleh saja menduga “antimainstream” itu berkaitan dengan apa yang Erwin Setia pernah bahas berupa teknik “kejutan di akhir cerita”, diksi dan metafora segar pada cerpen-cerpen Sasti Gotama dalam antologi cerpen B5Kesegaran-kesegaran dalam ‘Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?’ (2021) atau apa yang Aliurridha pernah singgung berupa “bahasa yang sangat puitik”, “metafora yang segar dan tidak mubazir”, dan “dekonstruksi wacana” dalam cerpen “Sesudu Senyum-Senyum”6Lapisan-Lapisan Makna dalam Sesudu Senyum-Senyum (2022). Akan tetapi menimbang semua hal yang, selain “dekonstruksi wacana”, terkait bentuk itu lazim kita temukan juga pada karya cerpenis-cerpenis lain sementara kita tak punya cakupan terukur untuk melakukan pembandingan satu dengan yang lain demi memutuskan yang satu mainstream dan yang lain tidak, tampaknya lebih baik kita tujukan dugaan ke arah lain.  

Ranang Aji SP pernah menulis pembahasan cerpen-cerpen Sasti Gotama dalam antologi B sebagai produk Realisme Psikologis yang memanfaatkan banyak konsep Freudian7Suara Perempuan dalam Realisme Psikologis (2022). Terlepas dari problematisnya terminologi Realisme Psikologis karena karakterisasi kuat merupakan hal mendasar yang mesti bagi karya apa pun yang bagus, baik karya itu menyandang julukan Realisme Psikologis, Realisme Magis, atau bahkan Realisme Sosialis, perlu juga dicermati dengan hati-hati apakah fakta hadirnya konsep-konsep Freudian dalam sebuah karya merupakan efek pengarang terkait benar-benar menggunakan konsep Freudian ketika menyusunnya atau murni hasil resepsi pembaca. Antara dua hal tersebut, kita tahu, tidak selalu ada keselarasan: seorang pembaca bisa saja menemukan jejak konsep Freudian dalam sebuah karya yang pengarang susun tanpa mengenal konsep Freudian sama sekali dan sebaliknya bisa saja pada karya yang pengarang susun dengan kerangka konsep Freudian tidak kita temukan jejak-jejak hal tersebut.

Mari kita sepakati temuan Ranang Aji SP dan dengan sedikit modifikasi menyimpulkan bahwa cerpen-cerpen Sasti Gotama cenderung fokus pada pengolahan aspek intrinsik karakter dan karakterisasi. Selanjutnya, kita kombinasikan kesimpulan tersebut dengan poin tulisan Patricia Pawestri tentang “kritik atas perkembangan feminisme” dalam “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia”8Kritik Sasti Gotama untuk Feminisme dalam Cerpen “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia (2023), satu hal yang juga penulis ungkap dengan bantuan Teori Sastra Freud dan konsep René Girard dalam “Lucretia, Catia, dan Suami yang Kursi Rusak Itu”, dan tulisan Diantri Seprina Putri dkk tentang kritik kemanusiaan dalam “Semua yang Mati Harus Dikubur”9Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Cerpen Karya Sasti Gotama Semua Yang Mati Harus Dikubur (2023) maka akan kita temukan gambaran lebih utuh yang mungkin bahwa mengangkat tema apa pun, dari mulai pemberdayaan perempuan sampai relasi antara manusia dengan hewan, cerpen-cerpen Sasti Gotama cenderung menyigi relasi kausalitas poin-poin alur melalui fokalisasi karakter yang lazimnya diabaikan dan kerap kali fokaliser yang berubah-ubah. Sasti Gotama, melalui cerpen-cerpennya, seolah ingin merengkuh semua suara yang ada dan terlibat sebagai kausa sebuah peristiwa sehingga peristiwa terkait bisa ditimbang dengan lebih adil dan manusiawi.

Rumusan tersebut sekadar hipotesis awal yang membutuhkan penjelasan dan penyelidikan panjang, sebagaimana juga ia tidak absolut mengingat Sasti Gotama sendiri masih produktif dan mungkin akan terus berkembang. Akan tetapi sebagai gambaran sederhana kita bisa mengatakan bahwa, misalnya, cerpen “Tam Tak Ingin Terbang” tampak mengajak kita merenungkan ulang bahaya stigmatisasi berdasar hanya kelaziman berbasis pelampiasan emosi terpendam dengan mode aji mumpung.

Tam, karakter utama perempuan dalam cerpen, digambarkan melalui fokaliser Mun sebagai

Mengingatkannya kepada boneka Barbie: memakai kaus ketat dan rok sepaha dan sepatu olahraga mode ternama yang semuanya berwarna merah muda.

“Tam Tak Ingin Terbang”, dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu hal. 79.

Cerpen disajikan menggunakan fokalisasi internal dengan fokaliser yang berubah-ubah sehingga memungkinkan kita mengintip masalah personal masing-masing karakter dan dengan demikian memahami pula motif di balik kesamaan sikap stigmatisasi negatif mereka menyikapi sosok Tam yang sedang dalam posisi akan melakukan bunuh diri dengan cara meloncat dari lantai tiga: gadis kaya manja yang sok depresi hanya karena masalah sepele, cari perhatian, tukang bully. Stigmatisasi semacam itu menolak memahami bahwa Tam, sebagaimana publik yang menonton dan malah menantangnya untuk meloncat, memiliki masalah sendiri yang tak terbayangkan oleh mereka: dia adalah korban ayah tirinya yang predator seks, sementara ibunya memilih pura-pura tak tahu dan Tam tak bisa mengungkapkan penderitaannya kepada siapa pun karena ayah tirinya mengancam akan membunuh ibunya kalau dia melakukan itu.

Di antara publik yang menonton detik-detik terakhir kehidupan Tam, hanya Dom yang memahami perasaan Tam karena dia mengingat derita Ji, putrinya, yang bunuh diri dengan cara sama. Sayangnya Dom gagal membuat Tam merasakan empatinya karena komunikasi mereka macet: Dom yang pita suaranya rusak hanya mampu menyampaikan empati melalui isyarat.

Publik yang memberikan stigma buruk terhadap Tam sekaligus secara tak langsung ikut menguatkan niat dia untuk bunuh diri adalah kita semua. Stigma negatif sangat mudah kita lontarkan pada sosok yang tampak berada di atas kita, secara ekonomi ataupun penampilan, topik yang kurang lebih tergambar juga dalam cerpen lain Sasti Gotama dalam antologi Penafsir Mimpi: “Buto Ijo dan Timun Mas”. Sosok Tam yang glamor, tampak kaya, cantik, yang hadir sebagai pembanding kontras dengan masing-masing karakter lain dalam cerpen lengkap dengan segala problematika personal yang dihadapi membuat dirinya mudah dijadikan sasaran pelampiasan emosi.

Dalam situasi semacam itu, yang mengingatkan kita pada situasi kaos tanpa akhir di media sosial X, kita mudah lupa bahwa Tam pun manusia yang sama seperti kita dan karenanya kita terdorong untuk buta pada kemungkinan lain bahwa semua riasan yang Tam oleskan pada kulit wajahnya adalah penutup penderitaan, penutup lebam yang dia dapatkan dari ayah tirinya yang kunyuk. Melalui kegagalan Dom kita juga belajar satu hal yang lebih penting: berpihak pada penyintas kekerasan seksual tak cukup dengan hanya diam dan empati terhadapnya harus dikomunikasikan dengan terang-terangan karena, sebagaimana ditunjukkan dalam cerpen “Penafsir Mimpi”10Antologi Penafsir Mimpi, hal. 24-42., publik yang julid justru lebih gampang mengungkapkan kejulidan mereka.

Cerpen-cerpen Sasti Gotama, dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu dan juga 3 antologi sebelumnya, cenderung mengajak kita melihat satu situasi dari sudut pandang berbeda, “antimainstream”. Melalui fokalisasi internal, pikiran karakter bisa dipertontonkan kepada kita dan teknik itulah yang sedikit banyak menjelaskan label Realisme Psikologis dari Ranang Aji SP untuk cerpen-cerpen Sasti Gotama dalam antologi B. Sementara melalui fokaliser yang kerap beralih pada satu cerita, kita bisa mengintip motif lakuan karakter dalam menyikapi satu situasi bukan hanya dari satu sudut pandang saja melainkan dari karakter-karakter yang ada dalam cerita tersebut. Dua teknik yang kerap kita temukan dalam cerpen-cerpen Sasti Gotama tersebut kemudian diperkuat juga dengan kecenderungan dia untuk menggunakan mode mimesis, menayangkan, alih-alih diegesis, menceritakan, mempermudah kita sebagai pembaca menangkap ceritanya dalam bentuk gambar dengan segala rinciannya.    

4

DALAM rentang waktu 2019-2024, Sasti Gotama sudah menerbitkan empat antologi cerpen, Penafsir Mimpi (2019, 19 cerpen), Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (2020, 18 cerpen), B (2022, 21 cerpen), dan Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu (2024, 20 cerpen), dengan mayoritas cerpen pernah dipublikasikan secara terpisah mengindikasikan mereka sudah mengalami penyaringan kualitas. Menimbang produktivitas yang kurang lebih sebanding dengan kualitas tersebut maka kita boleh mengatakan Sasti Gotama adalah salah satu cerpenis kontemporer kita yang menjanjikan.

Dalam pengantar Angela Carter’s Book of Fairy Tales (2005), antologi dongeng yang dia kumpulkan dan kurasi, Angela Carter menyinggung arketipe pendongeng perempuan di Eropa sebagai “seorang nenek yang sedang duduk di samping perapian dan, secara literal, memintal benang rajut”. Arketipe itu, kita boleh menduga, berawal pada sosok Penelope, permaisuri Odisseus yang menunggu kepulangan suaminya dengan menenun kain kafan untuk mertuanya, Laertes, di siang hari dan mengurainya lagi di malam hari selama dua puluh tahun. Sebagaimana arketipe nenek pemintal menyematkan nilai peyoratif pada oldwife tales, dongeng nenek, lakuan Penelope memperoleh stigma sama tak luhurnya sebagai sekadar pengisi waktu luang.

Namun, Penelope, kita tahu, bukan hanya melakukan hal remeh tanpa guna. Dia melakukan hal tersebut sebagai cara cerdik untuk menunda memilih satu dari berbagai lamaran yang berdatangan terarah padanya akibat kekosongan tahta suaminya, Odisseus Raja Ithaca: dia berjanji akan mengumumkan pilihan saat kain kafan untuk mertuanya tuntas. Dengan kata lain, sebagaimana Syahrazad menunda kematian dengan mengulur cerita, Penelope menunda kehadiran suami baru yang tidak dia harapkan dengan menenun selama mungkin prasyarat yang sudah dia umumkan.

Lantas, dalam salah satu cerpen Sasti Gotama, “Selamanya”, kita berjumpa dengan Penelope kontemporer bernama Yua. Cerita dibuka dengan Yua sebagai fokaliser dan melalui fokalisasi internal kita mendapatkan adegan yang sangat mungkin langsung mengingatkan kita pada Penelope: Yua sudah setengah jalan merajut syal, tetapi dia harus mengurai ulang rajutannya karena salah menyimpul yang harusnya 3 malah 4. Cerita kemudian berlanjut dan sesekali dengan mode analepsis, kilas balik, yang membuat kita mengetahui motif di balik lakuannya.

Yua, misalnya, memiliki “jejas serupa simpul rantai berwarna ungu” (hal. 137) pada kulit lehernya dan dia berusaha menutupi jejas itu dari penglihatan Bir, suaminya. Yua merasa bahwa jika tahu maka Bir hanya akan berkomentar bahwa “Yua terlalu banyak berpikir dan semua itu hanya ada dalam kepalanya”. Melalui analepsis, kita tahu bahwa jejas yang sama pernah ada sebulan silam dan saat bertanya pada Nom, jawaban Nom adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada mistik, sihir, satu situasi yang kemudian Yua benarkan.

Saat Bir tahu Yua mengurai kembali rajutannya, kepada kita disajikan adegan Bir membantah alasan Yua dan berakhir memaksa Yua untuk berhenti, tetapi Yua tetap memaksa. Kita juga menonton memori Yua bahwa sejak kecil dia memang terbiasa mendengar aturan yang dipaksakan dari Ma.

Kita kemudian dibawa pada adegan mesra Eri dan Bir. Eri menyajikan makan dan memijat bahu Bir. Eri digambarkan berambut ekor kuda, memakai “rok seragam pelaut[…] yang hanya setinggi paha”, dan ada lonceng kecil di kakinya. Eri menginginkan Yua tidak ada dalam hidup Bir dan dia membayangkan “banyak cara untuk menyingkirkan Yua”, dari mulai melilitkan tali tambang ke lehernya sampai menusuk pergelangan tangan. Bir melarang Yua menginginkan hal semacam itu dengan reaksi yang sama seperti ketika dia mendengar Eri mendaftar karakteristik buruk Yua yang menurutnya membuat Bir tidak menginginkan Yua: membosankan, murung, dan aneh.

Kemudian melalui fokalisasi internal dengan fokaliser beralih pada Bir, kepada kita disajikan adegan Bir tahu keberadaan simpul ungu di leher Yua dan dia lantas ingat obrolannya dengan Eri sekaligus merasa bersalah. Kita kemudian diajak pada momen setahun lalu tentang afair Bir dengan seorang “gadis di bagian administrasi” yang kemudian ketahuan oleh Yua. Bir menyesal menjawab pertanyaan Yua tentang alasan di balik afairnya dengan menyalahkan Yua, bahwa Yua sibuk dengan pekerjaannya dan membuat Bir merasa diabaikan.

Persis sejak saat itulah Yua menjadi seperti Penelope karena alasan yang berbeda. Dia

Berhenti dari pekerjaannya. Di antara kegiatan mengurus rumah, ia merajut, termenung, merajut, termenung, lantas mengurai rajutannya.

“Selamanya”, dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu hal. 143.

Sampai di titik itu rangkaian cerita menjadi jelas dan melalui pengelolaan waktu naratif bergantian analepsis dan prolepsis, tema cerita pun menyeruak. Yua adalah sosok rapuh yang dididik dan karenanya terbiasa “sempurna” dalam segala hal, sosok yang mengingatkan kita pada karakter dalam cerpen lain Sasti Gotama, Gadis dalam “Gadis Penyusun Lego”11Antologi Penafsir Mimpi, hal. 76-82. dan Ji dalam “Bawang”12Antologi B, hal. 57-64., serta alasannya bisa kita intip pada lamunan Rara dalam “Satu Jam Sebelum Minggat”13Antologi Penafsir Mimpi, hal. 67-75.: “saya berusaha menjadi sosok sempurna agar tak ada lagi alasan mendaratnya cubitan, jeweran, pukulan”.

Kesempurnaan yang Yua jadikan tolok ukur harga dirinya itu hancur akibat jawaban Bir. Dia kemudian berubah menjadi sosok inferior yang merasa sangat tidak sempurna dan menciptakan sosok pembanding bernama Eri yang memiliki segala karakteristik kebalikan dari dirinya. Jika Yua dalam pandangan Yua-sebagai-Eri adalah perempuan yang “membosankan, murung, dan aneh”, maka sosok Eri tampil atraktif dan ceria dengan mode cosplay Lolita. Berbasis pengetahuan dia tentang afair Bir, Yua tampaknya menyimpulkan sosok yang merupakan kebalikan dari dirinya seperti itulah yang sempurna di mata Bir, lengkap dengan jejak keinginan terpendam terkait relasinya dengan Bir berupa dirinya sebagai sosok “ibu” yang memegang aturan dan Bir sosok “anak” yang patuh.

Sikap Bir yang tidak tegas dan gamang terkait kehadiran Eri sebagai alter ego Yua, sebagaimana tergambar dari adegan mesra Eri dengan Bir, justru membuat inferioritas Yua semakin parah sampai pada tahap dia ingin melenyapkan dirinya sebagai Yua. Rajutan yang selalu Yua urai kembali adalah bagian dari upaya yang sama, yakni untuk menunjukkan inferioritas dia bahwa apa pun yang dia lakukan juga tidak sempurna. Kita boleh menduga bahwa kekeliruan jumlah simpul pada rajutan syal yang diceritakan di awal cerpen pun adalah sesuatu yang disengaja: rajutan-rajutan memang dia niatkan untuk tidak pernah selesai.

Pada akhir cerita, kita temukan Yua-sebagai-Eri menusuk lehernya sendiri dengan jarum rajut, kemudian melakukan hal sama pada leher Bir. Dengan cara tersebut Yua-sebagai-Eri meyakini Bir akan menjadi milik dia selamanya. Melalui adegan itu kita diyakinkan bahwa segala cara yang didaftar oleh Eri sebelumnya terkait upaya menyingkirkan Yua adalah upaya bunuh diri yang Yua lakukan, termasuk “jejas serupa simpul rantai” yang kita tonton pada awal cerpen.

Bagi Yua, lakuan merajut tampaknya merupakan simbol kegiatan domestik, peran yang, akibat jawaban Bir tentang alasan afairnya, dia rasa gagal dia perankan dan menjadi akar kehancuran mentalnya. Merajut dan mengurainya secara repetitif menjadi semacam pengingat kegagalannya, pengingat kekecewaannya atas kegagalan relasi dirinya dengan Bir yang kausanya dia arahkan sepenuhnya pada dirinya. Yua, melalui rajutannya, mencoba menyampaikan suara pedih perempuan yang memikul tuntutan terlalu tinggi dari sekitar sementara orang terdekat dia pun ternyata tidak bisa memahaminya.

Maka, sambil menghapus sematan peyoratif yang sudah usang, kita boleh menempatkan perempuan cerpenis kontemporer seperti Sasti Gotama sebagai penenun yang mencoba menyampaikan suara mereka melalui tenunan, seperti Penelope. Menolak mendengarkan dan memahami itu maka kita akan temukan akhir tragis seperti kisah Yua, atau Arachne dalam mitologi Yunani: cempiang penenun tersebut menggambarkan aneka kecabulan manipulatif para dewa terhadap perempuan bangsa manusia, ketika Athena menolak memahami “pengungkapan artistik” itu, sebagaimana Bir gagal paham makna rajutan repetitif Yua, maka Arachne berakhir sebagai wujud kesekian yang mengalami transformasi dalam saga cemerlang Ovid.

Arachne dikutuk menjadi laba-laba yang menghabiskan masa hidup dengan menenun karena dia menolak menyematkan keahliannya menenun pada anugerah para dewa sekaligus membongkar sisi gelap dewa-dewa itu melalui tenunannya. Kini, kita mungkin belajar dari semua itu bahwa hanya ketika Syahriyar mampu menghargai apa yang tersembunyi di balik segala lakuan Syahrazad selama 1001 malam dan Odisseus menghargai lakuan repetitif Penelope dengan tidak asal kembali melainkan harus patuh birokrasi dengan mengikuti sayembara yang sang istri adakan berupa merentang gandewanyalah maka harmoni dalam relasi antara laki-laki dan perempuan bisa terwujud: harmoni yang, meminjam nasihat Bu Etik dalam “Sambal”14Antologi Penafsir Mimpi, hal. 49-66., seperti “cabai dan tangkainya, saling melengkapi, saling menetralkan”, suatu relasi tanpa salah satu memosisikan sebagai dewa tiran dan dengan demikian—meminjam baris sajak Chairil Anwar—“satu tak kehilangan lain [di] dalamnya”.   

Dalam masa ketika tafsir karya sastra bergerak makin jauh melaju pada rel pragmatik, mode pembacaan yang fokus pada resepsi pembaca dan dengan demikian memberi otoritas lebih pada penafsir, jaring-jaring yang Sasti Gotama tenun mungkin membawa ke banyak dongeng mana pun, termasuk dongeng-dongeng yang mungkin tidak dia bayangkan. Teks-teks sastra analog dengan anak-anak dalam baris puisi terkenal Kahlil Gibran, “datang melalui” pengarang tetapi “memiliki pemikiran-pemikiran mereka sendiri” dan menghuni “rumah hari esok” yang pengarang “tak bisa kunjungi, bahkan [sekadar] dalam mimpi-mimpi”.

Dus, semua transtekstualitas yang dibahas sejak awal dalam tulisan ini merupakan bagian dari resepsi karya. Dengan kata lain, kesesuaian antara hasil resepsi tersebut dengan intensi pengarang saat menyusun cerpen-cerpen terkait hanya berada pada tataran potensi, sebuah kemungkinan, bukan kemestian. Satu contoh tambahan, dalam cerpen “Abrakadabra!”, Sasti Gotama mengisahkan Mursal si pesulap serabutan yang rasa putus asanya akibat tekanan finansial diperbesar oleh fakta bahwa Nastiti istrinya harus ikut menderita. Pada saat yang sama si Badut “pegawai negara” mantan kekasih Nastiti menampakkan kesuksesan finansial. Mursal akhirnya memutuskan melakukan pertunjukan terakhirnya untuk membahagiakan Nastiti dengan cara melenyapkan dirinya sendiri ke dalam kotak dan dengan demikian meninggalkan Nastiti dengan si Badut.

Kita bisa membaca cerita tersebut sebagai gambaran inferioritas akut seorang suami yang berujung tragis karena komunikasi macet. Mursal tak pernah tahu “mengapa Nastiti memilih meninggalkan si Badut dan menikah dengannya”, Nastiti tak pernah memberitahunya dan dia tak pernah bertanya karena “terlalu takut mendengar jawabannya” (hal. 99). Tanpa komunikasi, segala hal terkait Nastiti diputuskan secara sepihak oleh pemikiran Mursal, termasuk kebahagiaannya. Mursal menganggap kebahagiaan Nastiti adalah kondisi finansial melimpah, karena itulah dia memilih meninggalkan Nastiti untuk si Badut sambil mengatakan “ini akan membuatmu bahagia selamanya” (hal. 100). Kebahagiaanmu, bukan kebahagiaan kita.

Jika melihat reaksi Nastiti pascahilangnya Mursal, kita boleh menduga Mursal keliru, sebagaimana kita boleh menduga dari berbagai lakuan sepanjang cerita bahwa tidak seperti Mursal yang masih memisahkan kebahagiaanmu dengan kebahagiaanku, Nastiti lebih tampak melebur kamu dan aku menjadi kita. Jika Mursal menganggap tindakan dia merupakan sebuah pengorbanan heroik maka pada dasarnya yang terjadi hanya tindakan tragis akibat keputusan sepihak.

Setelah membaca cerpen tersebut, memori kita mungkin menautkannya pada cerita Matthew Costello, “The Last Vanish” dalam koleksi dongeng multi-pengarang David Copperfield’s Tales of the Impossible (1995). Cerita tersebut mengisahkan pesulap Gary Hayes yang tersiksa oleh animo tinggi penonton atas keajaiban sulap menghilangkan orang yang menjadi keahliannya. Gary merasa tersiksa karena sulap tersebut sebenarnya tanpa trik: orang-orang yang dia hilangkan benar-benar hilang dari dunia riil dan berpindah ke dimensi lain yang kerap muncul dalam mimpinya sebagai dunia mengerikan. Gary kemudian meminta bantuan pesulap lain, tokoh utama narator-karakter “Aku” bernama Tommy Fina, untuk menghilangkannya dalam satu pertunjukan sehingga dia bisa membebaskan diri dari tuntutan para penonton. Di akhir cerita, Gary Hayes memang dihilangkan oleh Tommy Fina, tetapi dia terlambat mengetahui bahwa sulap menghilangkan orang yang Tommy Fina lakukan juga sama seperti sulap dia yang tanpa trik. Dengan demikian, alih-alih bisa menikmati ketenangan pascahilang, Gary Hayes justru bergabung dalam teror dunia mengerikan bersama orang-orang tunawisma yang pernah dia hilangkan.

Tautan yang ada antara “Abrakadabra!” dengan “The Last Vanish” sangat sederhana: keduanya berkisah tentang pesulap yang tertekan dan memilih melenyapkan diri menggunakan sulap. Akan tetapi alih-alih memaksa Sasti Gotama harus pernah membaca cerita “The Last Vanish” dan memaksakan tautan yang ada dalam pikiran kita harus ada juga dalam pikiran dia saat menulis cerpen tersebut, kita lebih ideal memosisikan tautan tersebut sebagai efek hipertekstualitas sebuah teks, sesuatu yang berada pada ranah resepsi sehingga potensinya sangat mungkin tidak disadari oleh pengarang pada saat menyusunnya. Kita belajar sikap semacam itu, salah satunya, dari sikap Umberto Eco saat dia, dalam “Between Author and Text” (Interpretation and Overinterpretation, 1992) mengisahkan banyak pembaca yang menemukan tautan-tautan antara The Name of the Rose dengan berbagai teks lain yang sebagian memang pernah dia baca dan dia gunakan sebagai sumber sementara sebagian lain sama sekali asing baginya.                

Dengan demikian, pembacaan relasi transtekstual pada dasarnya bisa diperpanjang oleh pembaca mana pun selaras dengan keluasan gudang bacaan dalam memori. Sikap Lucretia terhadap Bastiaan dan Catia dalam “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” misalnya bisa saja mengingatkan kita pada sikap Hera terhadap Zeus dan perempuan-perempuan bumi yang, terpaksa ataupun sukarela, menjadi pasangan afair Zeus. Dalam hal ini, perbedaan warna kulit yang berimbas pada perbedaan hak mereka sebagai perempuan, satu gagasan pokok Pascakolonialisme Spivak, yang disinggung oleh Patricia Pawestri terjadi pada Lucretia si kulit putih dan Catia si kulit gelap bisa kita maknai secara simbolik sebagai relasi dewa dan manusia: Lucretia, sebagaimana Hera terhadap siapa pun pasangan afair Zeus, merasa memiliki hak untuk memutuskan nasib Catia.   

Menyigi satu demi satu secara rinci potensi transtekstualitas seluruh cerpen dalam Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu, baik dengan karya Sasti sendiri maupun karya pengarang lain, akan merupakan kerja menarik, mungkin penting, dan jelas menyenangkan, tetapi hal tersebut akan menghasilkan satu buku tersendiri alih-alih tulisan telisik singkat yang masuk akal untuk dipublikasikan daring di sebuah situs. Tulisan ini, pada akhirnya, harus menyerah pada keterbatasan ruang dan waktu serta memilih berhenti sementara sambil berharap kesingkatannya cukup untuk tidak terlalu terlambat ikut merayakan cerpen-cerpen cemerlang Sasti Gotama dalam antologi cerpen dia yang keempat ini. Salam.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.