1
MESKI SUDAH DIBERITAHU dengan jujur oleh Abi Ardianda melalui judul novelnya bahwa Laila Tak Pulang, kita mungkin tetap terkejut ketika tahu bahwa sampai akhir novel Laila tak pulang dan memang tak akan: baru di bagian epilog kita diberitahu bahwa dia benar-benar sudah berpulang.
Gus, kakak Laila, yang bersama kita menunggunya pulang ke rumah susun peninggalan orang tua mereka, bukan Orfeus yang mampu memukau bukan hanya manusia tetapi juga benda mati dan dewa sehingga memungkinkan roh istrinya Euridika dikembalikan ke tubuh. Gus sekadar pria yang sejak awal kita kenal menjunjung tinggi keputusasaan, pria yang dengan ambivalen percaya bahwa “semesta selalu punya cara untuk merenggut harapan, tak jadi soal seberapa kuat kita mencengkeramnya” (hlm. xiii) sekaligus terlalu takut untuk menerima realitas terkait Laila.
Maka kita temukan Gus menjalani hidup dengan semacam etos “menunda kekalahan”, kerap kali menyedihkan tetapi bukannya tak menarik. Kita tahu dia adalah pecinta damai yang menjadi penyintas perundungan di SMP sepeninggal kawan dekatnya yang “preman”, Baron, tetapi kita juga tahu dia pernah menjadi pemeran film panas lokal, pembaca tarot gadungan, dan di akhir novel: pembunuh.
Laila Tak Pulang (Tangerang Selatan: Baca, 2023) adalah novel psikologis, dalam pengertian yang Milan Kundera sodorkan melalui The Art of the Novel (1988): ia mengeksplorasi “kehidupan batin manusia”. Laila Tak Pulang menggunakan formula yang mirip novel Abi Ardianda sebelumnya, Kelab dalam Swalayan (2021) dalam hal menempatkan penyingkapan motif berbagai tindakan karakter sebagai penggerak alur. Bukan tanpa alasan pula bahwa di bagian belakang novel disertakan tulisan singkat psikolog Taty P. Suandi, S.Psi yang mengurai motif psikologis beberapa karakter di dalamnya.
Secara keseluruhan, Laila Tak Pulang adalah novel murung. Laila, yang tercantum di judul, tak pernah kita jumpai dalam garis waktu kontemporer novel, dia bagian dari masa lalu yang ditengok sesekali melalui analepsis waktu naratif. Suara lirihnya kita dengar terutama dari dua sudut pandang, Gus dan Puspa, sang kakak dan kekasih, dan melalui merekalah kita bisa merekonstruksi kehadirannya seutuh karakter-karakter lain.
Memang sampai tataran tertentu kita bisa mengatakan novel ini berakhir bahagia dengan para penjahat yang semuanya mendapatkan balasan dan Gus mungkin menjalin hubungan lebih akrab dengan si Gadis Pramusaji. Akan tetapi tuntasnya balas dendam dan potensi yang hanya hadir dalam fantasi kita pascabaca novel tersebut tidak bisa menghapus fakta getir tentang nasib tragis Laila: Laila dibunuh dan gerak prolepsis dalam narasi novel untuk melacak siapa pelakunya sama pentingnya dengan penelusuran mundur, analepsis, terkait alasan mengapa dia dibunuh.
2
Pembunuhan Laila adalah upaya pembungkaman, langkah yang dilakukan untuk memastikan korban tetap diam dan nama baik para pelaku kejahatan tidak tercemar di muka publik. Pembungkaman itu sendiri adalah tindakan klise, tetapi yang tak klise adalah alur menuju pembungkaman itu: Laila dibungkam setelah pemerkosaan oleh beberapa orang yang dikemas dalam upaya ritual penyembuhan ketidaksinkronan jenis kelamin anatomis dengan identitas dan tampilan gender.
Ketidaksinkronan tersebut mereka anggap deviasi, sebuah anomali, dan dengan demikian sebuah problem. Akan tetapi problem yang sebenarnya justru adalah anggapan itu sendiri. Pemaksaan sinkronisitas jenis kelamin dengan identitas dan tampilan gender sejak awal merupakan kekeliruan dan kekeliruan itu, di tangan karakter-karakter aji mumpung dalam novel, menyebabkan pembunuhan Laila. Kita bisa berdebat tentang mungkin tidaknya alur semacam itu terjadi dalam realitas, ataupun boleh tidaknya karakter-karakter tersebut dibunuh, tetapi sejak zaman kuna bentuk fiksi bergerak bukan dalam dimensi historis melainkan dalam dimensi probabilitas: kasus Laila adalah salah satu kasus yang probable dan dengan mengetahuinya kita mungkin bisa memikirkan kembali satu hal yang sebenarnya bukan hal baru, terkait gender.
Kita sudah tahu beberapa karakteristik Laila, termasuk bahwa dia pernah meniru potongan rambut pendek kakaknya, satu indikasi tomboi, sejak pertengahan novel (hlm. 124-125). Artinya, penulis sudah menyodorkan petunjuk bahwa Laila adalah perempuan dengan identitas dan tampilan gender maskulin. Akan tetapi kita diberitahu secara tersirat melalui pengakuan Puspa bahwa Laila melangkah lebih jauh dengan memilih objek seksual perempuan pada bagian epilog.
Epilog itu sendiri sebenarnya bukan benar-benar akhir novel, melainkan satu kepingan yang menjelaskan hal-hal yang masih samar dalam cerita. Waktu cerita (urutan peristiwa secara kronologis) dengan waktu naratif (urutan penceritaan peristiwa) yang dalam Laila Tak Pulang tidak selalu selaras karena penggunaan teknik analepsis (sorot balik) memungkinkan bagian akhir novel pada Bab 25, satu bab sebelum epilog. Pada epilog, ciri maskulin Laila dirinci lebih banyak melalui memori Gus: Laila meminjam baju Gus, mengajak latihan sepak bola. Sementara pengakuan tersirat Puspa tentang status relasinya dengan Laila yang bertaut dengan cerita Puspa terlebih dahulu tentang “LDR dengan pacar” di Bab 18 (hlm. 159) merupakan pengakuan samar yang kita dengar hanya melalui satu sumber.
Laila hidup dalam lingkungan yang menolak anomali dari berbagai stereotipe tentang perempuan, termasuk terkait Objektwahl, pilihan objek seksual. Perdebatan tentang normal dan tidak normal terkait seksualitas adalah perdebatan tanpa ujung berbagai sudut pandang sepanjang zaman. Apa yang lebih produktif untuk dibahas terkait Laila adalah pertama-tama mengapa dia bisa memilih identitas dan tampilan gender maskulin?
Psikoanalisis percaya bahwa perkembangan seksualitas dipengaruhi berbagai faktor dan tidak ada garis lempang antara identitas dan tampilan gender serta pilihan objek seksual dengan anatomi bawaan organ seksual. Pada sosok Laila, faktor tersebut bisa ditelisik dari fakta bahwa kedua orangtuanya meninggal saat balita dan dia mungkin “tak memiliki kenangan bersama Ayah dan Ibu” (hlm. 70). Setelahnya satu-satunya orang yang selalu hadir di sampingnya adalah kakak laki-lakinya, Gus.
Dengan demikian, bagi Laila, posisi ayah dan ibu yang dalam psikoanalisis dipandang sangat penting dalam pembentukan seksualitas, digantikan sepenuhnya oleh sosok tunggal laki-laki. Mudah melihat bahwa objek seksual Laila bergeser menjadi feminin karena dia terbentuk mengidentifikasi diri dengan kakak prianya. Laila bisa dikatakan terbentuk untuk mengalami Männlichkeitskomplex, kompleks maskulinitas, sehingga tidak mengherankan jika dia pada akhirnya terdorong memilih Puspa sebagai objek seksual.
Ketika berbicara tentang homoseksualitas laki-laki dalam Über einige neurotische Mechanismen bei Eifersucht, Paranoia und Homosexualität (1922), Sigmund Freud berbicara tentang kecenderungan tingginya impuls perasaan sosial pada sebagian kasus. Dengan kata lain, ada kecenderungan sebagian laki-laki homoseksual memiliki perasaan sosial tinggi terhadap sesama laki-laki. Kecenderungan tersebut muncul sebagai Sublimierungen homosexueller Objekteinstellungen, satu bentuk sublimasi perasaan seksual terhadap objek.
Meski konteks pembicaraan Freud tentang homoseksualitas laki-laki, kita bisa menerapkan hal sama pada kasus Laila, bukan karena anggapan misoginis bahwa apa yang berlaku bagi laki-laki pasti berlaku juga pada perempuan karena laki-laki adalah wakil manusia, melainkan karena tidak ada hal-hal spesifik yang menghambat penerapan teori yang sama pada perempuan. Karakter Laila dalam novel digambarkan memiliki perasaan sosial sangat tinggi terhadap sesama perempuan, sampai-sampai hal tersebut membuat dia “mengorbankan kebahagiaannya sendiri” dan dia berujung dimanfaatkan oleh teman-temannya (hlm. 125). Karena alasan yang sama, meski tidak memiliki bukti kuat dalam teks, kita boleh menduga momen khusus Laila sampai mengabaikan UAS esok hari demi menemani Ratna yang kena razia polisi (hlm. 126-128) bisa jadi didorong ketertarikan khusus dia terhadap Ratna sebagai sesama perempuan, satu hal yang menambah tragis kisah Laila karena Ratna termasuk orang yang mendorong Laila mengikuti ritual penyembuhan untuk menjadi “perempuan normal”.
Selain itu, perasaan sosial tinggi yang Laila miliki juga tampaknya ikut berperan mendorong dia mau mengikuti ritual tersebut. Bagi orang yang memiliki perasaan sosial tinggi sepertinya, perasaan bahwa dia terkucil dari “komunitas” perempuan pasti lebih menekan daripada jika Laila termasuk kategori cuek. Didesak bukan hanya oleh pria-pria yang ada di sekelilingnya melainkan juga oleh sesama perempuan seperti Ratna bahwa dia adalah anomali sosial yang harus disembuhkan merupakan situasi terjepit yang tidak memberinya pilihan selain pada akhirnya menurut.
Kita tahu, sebagaimana Abi Ardianda tulis pada bagian Ucapan Terima Kasih, ada banyak Laila lain yang sangat mungkin menghadapi situasi tragis yang sama dalam realitas. Demikian juga halnya fakta bahwa kerap kali situasi tragis semacam itu terjadi karena eksistensi karakter seperti Baron dalam kehidupan riil tak kalah banyaknya, orang-orang yang menganggap “darah orang-orang kayak Laila halal buat dikorbanin” (hlm. 222).
3
Karakter Baron, teman akrab Gus, sejak awal novel, diperkenalkan kepada kita sebagai “Casanova yang getol melompati ranjang demi ranjang para perempuan” (hlm. xiv), pria yang isi kepalanya “tidak pernah jauh dari selangkangan perempuan atau tonjolan buah dada” (hlm. 2) dan “mungkin separuh perempuan di kota ini pernah” dia tiduri. Baron adalah karakter yang, meminjam istilah Remy Sylado, memenuhi syarat disebut “koboi memek”, yakni pria mata ke ranjang, pria yang tiap kali melihat perempuan maka yang terbayang dalam benaknya adalah ranjang.
Namun, terkait relasinya dengan calon istri, Baron berkata begini:
“Gue emang bajingan, tapi gue bukan tipe cowok yang berani nodain calon istri dengan nidurin dia sebelum nikah,” aku Baron bangga. “Itu prinsip gue”.
Laila Tak Pulang, hlm. 140.
Pernyataan Baron tersebut sempat dibalas oleh Puspa, karakter paling sadar-gender dalam novel, tetapi tanpa kelanjutan apa pun: Rendra yang mencium bau peperangan antara dua karakter yang pernah “kenalan selewat doang” di masa lalu itu segera mengajak bersulang. Pernyataan Baron tersebut secara tersurat ambivalen antara posisi dia sebagai pria jalang yang menodai banyak perempuan lajang dan sangat mungkin sebagian di antaranya perawan dengan posisi dia sebagai pria alim yang hanya mau memerawani istrinya saat sudah melewati jalur yang dilegalkan peradaban: pernikahan.
Ambivalensi itu tentu saja bisa diselesaikan dengan gampangan bahwa Baron stereotipe pria semau gue yang ingin enak sendiri. Akan tetapi penyelesaian gampangan kerap kali menghentikan potensi pengungkapan hal lain yang lebih menarik terkait psikologi manusia, khususnya pria, khususnya Baron. Jika perempuan banyak menderita oleh stereotipe ciptaan kultur patriarkis maka tak menarik melawan kuasa stereotipe tersebut dengan menciptakan stereotipe senada tentang pria.
Sikap pria terkait keperawanan perempuan pernah dibahas secara khusus oleh Sigmund Freud dalam “Das Tabu der Virginität” (1917), esai terakhir dalam trilogi Kontribusi Terhadap Psikologi Cinta. Dalam esai tersebut, Sigmund Freud bertolak dari kecenderungan pria bangsa primitif yang alih-alih gandrung terhadap keperawanan perempuan justru memandangnya sebagai tabu: satu sikap yang menyimbolkan eksistensi ketakutan tersembunyi. Ketakutan itu bisa dirunut pada posisi perempuan dalam paradigma tersebut sebagai si lian yang berbeda dari pria. Tabu keperawanan analog dengan tabu menstruasi yang dianggap sebagai akibat gigitan Ahnengeist, spirit leluhur, gigitan yang menyimbolkan persetubuhan.
Darah yang muncul akibat robeknya himen disituasikan sama dengan momen tersebut. Dengan demikian, justru dalam tradisi bangsa primitif perenggutan keperawanan dilakukan dalam ritual yang melibatkan bukan suami melainkan Vaterersatz, pengganti bapak, baik itu berupa dukun ataupun sesepuh. Perempuan dianggap sebagai properti leluhur dan ritual tersebut dianggap sebagai pemindahan kepemilikan dari leluhur kepada suami.
Freud melacak berbagai kemungkinan motif tersembunyi di balik kepercayaan-kepercayaan primitif tersebut dan salah satunya pada konsep Kastrationskomplex, takut kebiri. Gagasan yang bertolak dari ketakutan pria terhadap kelianan perempuan yang secara biologis memiliki kebiasaan mengeluarkan darah bulanan dan mengeluarkan darah keperawanan menurunkan banyak mitos lain termasuk kepercayaan kuna bahwa ketika akan berperang maka seorang hero harus menjauhi perempuan. Jika dia melanggarnya maka hal tersebut akan memberikan kesialan. Salah satu contoh kepercayaan ini juga tampak dalam penyebab kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang yang populer dalam tradisi lokal: sang pangeran kepincut perempuan muda beretnis Tionghoa yang kemudian dia jadikan tukang pijatnya.
Maka kita boleh menafsirkan kejalangan Baron sebagai satu bentuk Narsisme akut. Baron adalah anak “jenderal TNI” yang sejak kecil tak pernah kekurangan uang dan memiliki tubuh sangat maskulin. Dia, dalam strata sosial modern, adalah kelas spesial, anggapan yang kemudian mungkin berkembang secara tak sadar menempatkan dirinya sama spesialnya dengan Vaterersatz dalam tradisi kuna: persetubuhannya dengan banyak perempuan yang sebagian mungkin perawan analog dengan ritual perenggutan keperawanan dalam tradisi kuna.
Namun di situlah kemudian sikap ambivalennya muncul. Jika dia secara tak sadar mengikuti tradisi primitif itu, kenapa dia mengharapkan istri perawan? Bukankah seharusnya dia justru menginginkan istrinya sudah tidak perawan saat pertama kali bersetubuh dengannya?
Freud menengarai adanya kecenderungan dependensi tanpa batas pada pihak perempuan terhadap sosok pertama yang memerawaninya. Dalam pandangan primitif, jika yang dianggap memerawani pertama adalah spirit leluhur, ritual perenggutan keperawanan dilakukan untuk memutuskan ikatan tersebut sehingga perempuan berada dalam status bebas ketika menikah dengan suaminya. Akan tetapi ada juga kecenderungan lain berupa sikap permusuhan karena pihak yang memerawani pertama dianggap merenggut nilai perempuan. Dengan demikian, ritual tersebut juga berfungsi melepaskan kemungkinan suami menjadi pihak yang justru dimusuhi oleh istrinya.
Dengan paradigma semacam itu, kita bisa menjelaskan secara sederhana sikap ambivalen Baron. Terkait relasi dia dengan perempuan-perempuan lain, Baron tidak peduli baik yang mereka rasakan terhadapnya adalah keterikatan kuat ataupun permusuhan. Akan tetapi mudah diduga bahwa jika dia, sebagai anggota kelas sosial terhormat yang mau tidak mau harus mengikuti jalur legal peradaban berupa pernikahan untuk boleh melakukan hubungan seksual, menginginkan dirinya menjadi pria pertama yang memerawani istrinya, dia pasti mengharapkan adanya dependensi total sang istri terhadap dirinya.
Kita bisa membayangkan kemarahan yang mungkin meledak jika misalnya dia menemukan istrinya sudah tidak perawan, satu situasi yang dalam novel tidak terjadi karena dia keburu mati dibunuh oleh Gus menggunakan rancangan Puspa. Seandainya terjadi, baik dalam fiksi maupun dalam realitas, situasi semacam itu mampu mendorong seorang suami yang berpandangan seperti Baron melakukan tindakan-tindakan ekstrem termasuk penyiksaan fisik terhadap istri yang secara timpang akan dianggap serong.
Dalam banyak mitos kuna, Kastrationskomplex tergambar salah satunya berupa mitos eksistensi vagina dentata, vagina bergigi yang mampu mengebiri penis ketika penis itu tak mampu memuaskannya. Dalam kultur modern mitos tersebut diangkat dengan bagus salah satunya oleh film Teeth (2007), sementara dalam mitos kuna, salah satunya sebagaimana dikutip dari Neumann oleh Camille Paglia dalam Sexual Personae (1991) tentang mitos Indian Amerika Utara:
Ikan pemakan daging menghuni vagina Ibu-Mengerikan; hero adalah pria yang mengalahkan Ibu-Mengerikan, merontokkan gigi-gigi dari vaginanya, dan dengan demikian menjadikannya perempuan.
Sexual Personae, hlm. 47
Jika ada pria-pria norak yang menakar kejantanan dengan membanggakan banyaknya perempuan yang sudah mereka perawani maka kebanggaan itu kurang lebih kebanggaan merasa menjadi hero yang sudah “merontokkan gigi-gigi” vagina Ibu-Mengerikan, mitos Kastrationskomplex yang mengeram dalam ketaksadaran mereka, bahwa mereka sudah memerawani banyak perempuan dan penis mereka tetap utuh. Di sisi lain, tindakan semacam itu diglorifikasi sebagai “penciptaan” perempuan, semacam proses inisiasi menuju fase kematangan perempuan.
Dengan kata lain, pada pria-pria seperti Baron, kita mendeteksi ada kegandrungan akan “monopoli kekuasaan” (hlm. 3), tetapi di baliknya juga tersembunyi rasa takut akan ditinggalkan perempuan. Rasa takut itu timbul dari kecenderungan umum bahwa kita biasa menakar sikap orang lain dengan tolok ukur sikap kita sendiri, sikap yang dalam istilah klinis Psikoanalisis disebut Proyeksi: pria yang gemar main perempuan cenderung memiliki rasa takut ditinggalkan perempuan lebih tinggi dari pria pada umumnya. Di balik rasa percaya diri Baron sebagai Casanova, pria yang mengingat perempuan sebagai angka dan menakar kejantanan dengan kuantitas perempuan yang diperawani dan/atau disetubuhi, tersembunyi rasa inferior bahwa istrinya mungkin tidak mencintainya sampai-sampai dia harus membelenggunya dengan cara dia harus menjadi orang pertama yang merobek keperawanannya.
4
Hal lain yang juga disodorkan oleh Laila Tak Pulang dan masih berkaitan dengan isu terdahulu adalah fetis seksual. Contoh terbaik untuk masuk ke dalam pembahasan tersebut adalah fenomena seksualitas karakter si Pincang.
Si Pincang adalah wartawan yang sempat menjadi objek kecurigaan Gus terkait kasus pembunuhan berantai yang secara samar diduga bertaut dengan hilangnya Laila. Pada satu momen, Gus memergoki aktivitas seksual si Pincang dengan teman kencannya dalam kamar mandi diskotek. Berikut deskripsi Gus tentang apa yang dia saksikan:
Teman kencannya duduk di kloset sambil masukin jari-jari kakinya ke mulut si Pincang, yang baringan di lantai sambil masturbasi. Tuh cewek teriak kenceng banget, mungkin karena si Pincang enggak sengaja gigit jari kakinya, gue pikir karena dia terlalu horny.”
Laila Tak Pulang, hlm. 144.
Setelahnya, melalui cerita Si Pincang sendiri, diketahuilah bahwa pilihan aktivitas seksual dia yang Gus dan Baron anggap menyimpang, atau minimal aneh dan layak ditertawakan, bermula dari ketidaksengajaan mengintip ibunya bersetubuh dengan selingkuhannya dalam posisi berdiri dan yang bisa dia lihat hanya sepasang kaki mereka. “Pemandangan itu enggak pernah ngilang dari ingatan gue, sekeras apa pun gue coba hapus,” demikian kata si Pincang.
Fetis kaki atau podofilia merupakan salah satu fetis paling umum meski pemicunya tidak selalu sama dengan yang diceritakan oleh si Pincang. Fetis biasanya memang melibatkan bagian tubuh yang secara umum dianggap sangat tidak memadai untuk mencapai kepuasan seksual ataupun benda yang dianggap pengganti pemiliknya sekaligus bisa dirujukkan pada seksualitasnya. Selain fetis anggota tubuh kaki dan rambut, fetis benda bisa mencakup benda-benda yang sepanjang waktu kian berkembang sangat variatif, sebagaimana bisa kita saksikan kini di Twitter/X atau di situs-situs khusus, dari mulai pakaian dalam sampai sepatu dan helm. Karena bagian tubuh atau benda yang difetiskan tidak memiliki fungsi umum pemuasan seksual seperti vagina atau penggantinya, mulut dan anus, maka fetis biasanya sepaket dengan masturbasi sebagaimana dilakukan oleh si Pincang.
Deskripsi Gus tentang fetis si Pincang sempat disanggah oleh Puspa dan Rendra bahwa “referensi seksual bukan perbuatan kriminal […] selama konsensual” (hlm. 145). Fetis adalah penyematan überschätzung, nilai lebih dari yang sewajarnya, terhadap anggota tubuh ataupun benda. Sebagaimana Freud jelaskan dalam “Die Sexuellen Abirrungen” (1905), bagian pertama dari trilogi esai Freud tentang teori seksualitas, fetis juga berlangsung, pada tataran lebih rendah, dalam relasi cinta umum, semisal ketika kita tetap memakai jam tangan yang sudah buruk rupa hanya karena jam tersebut hadiah dari kekasih atau kita masih menyimpan barang-barang pemberian mantan bahkan setelah relasi dengannya putus sekian lama.
Sebagaimana terjadi pada si Pincang, fetis biasa terbentuk sebagai efek lanjutan sexuellen Eindruckes, impresi seksual, yang berlangsung pada masa kecil kemudian menetap secara tak sadar dalam pikiran sebagai koneksi simbolik. Dengan kata lain, akibat pemandangan tak sengaja si Pincang pada sepasang kaki ibunya, sosok yang secara psikoanalitis bisa dianggap sebagai cinta pertama dia, dalam pikiran taksadarnya terbentuk koneksi antara sepasang kaki dengan simbol seksualitas. Dalam novel tidak kita temukan gambaran apakah si Pincang mampu melakukan persetubuhan pada vagina ataupun penggantinya (mulut dan anus), yang jelas, dalam pandangan Psikoanalisis, fetis menjadi patologis ketika—selain berlangsung tanpa konsensual—ia menjadi satu-satunya jalan pemuasan seksual alih-alih sekadar satu alternatif.
Sikap Gus terhadap aktivitas seksual si Pincang bisa dianggap mewakili pandangan umum terhadap fetis seksual. Sikap Puspa dan Rendra bisa dianggap mewakili pandangan yang lebih kritis. Beberapa pandangan kritis senada terhadap pandangan umum terkait gender dan seksualitas memang diungkapkan novel ini melalui karakter Puspa, misalnya “saya alergi para misoginis” (hlm. 52), “di dunia yang selalu memihak laki-laki, perempuan yang gigih memilih tetap berdaya itu buat saya keren” (hlm. 59), dan “hubungan yang ideal itu yang beriringan” (hlm. 157). Selain itu, Gus sendiri tampaknya tidak sadar bahwa ketika dia merasa bergairah melihat Puspa berkeringat (hlm. 89) maka hal itu pun bisa dipandang sebagai satu bentuk fetis, salofilia, yang dalam praktiknya memiliki kedekatan dengan podofilia, sementara ketika Gus mengatakan bahwa dia “suka sama perempuan yang mendominasi” (hlm. 157) maka dia bisa dikatakan memiliki bibit kecenderungan seorang masokhis.
Yang harus kita akui, kita sangat mudah terpeleset bersikap sama seperti Gus: secara sadar menghakimi pihak yang berbeda dengan kita sebagai tidak normal, sementara tanpa sadar kita pun ternyata tidak senormal yang kita yakini. Bahwa Puspa mencoba menggunakan kartu Tarot untuk menyadarkan Gus tentang hal-hal yang tidak dia sadari terkait adiknya, terkait teman-temannya, terkait relasi gender dan seksualitas, maka hal tersebut menemukan relevansinya pada posisi kartu Tarot yang secara umum dianggap sebagai simbol ketaksadaran. Sebagaimana Puspa berkali-kali mendorong Gus untuk menerima realitas, demikian juga kartu Tarot di tangan pembaca Tarot yang bukan gadungan.
Sejak lebih dari satu abad silam Psikoanalisis mengajukan pandangan bahwa batas antara normal dan tidak normal terkait seksualitas adalah garis samar dan oleh sebab itu tidak ada basis kukuh untuk posisi yang kerap kita klaim sendiri sebagai hakim moral kehidupan seksual. Selain menyodorkan banyak topik lain yang bisa dibahas menggunakan variasi sudut pandang, novel ini tampaknya juga mencoba mengingatkan kita kini dengan menguatkan pandangan tersebut, tanpa menggurui. Salam.