1
NOVEL Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang (Anagram, 2024) karangan Safar Nurhan adalah novel realis dengan sensor longgar tempat kontol dan puki hadir wajar dalam percakapan dan adegan sanggama salah objek di palka perahu tidak dikhidmatkan narasi romantis semacam “angin laut berembus membawa aroma firdaus, gugus bintang redup di atas kami, Adam Hawa kesekian di muka bumi”. Ia realis dalam rumus sederhana yang kita peroleh dari kritikus Marxis Friedrich Engels:
menyodorkan kesungguhan rincian dan kreasi ulang karakter-karakter khas dalam lingkungan-lingkungan khas secara apa adanya.
Surat untuk Margaret Harkness, awal April 1888
Lingkungan khas tempat Marlin, Dewi, Roni dan karakter-karakter lain hidup adalah Desa Masoni di Pulau Masoni, sebuah lanskap “di antara Laut Banda dan Laut Maluku”. Bahwa di dalamnya tinggal karakter Roni yang tak bisa membedakan hidup dengan pesta, Kepala Desa yang maniso, atau Babinsa yang berulang kali disebut tetapi tak pernah ada saat dibutuhkan, maka semua itu merupakan karakter khas lanskap tersebut.
Dengan kata lain, jika kita ganti latar tempat bagi karakter-karakter tersebut, kita mungkin temukan mereka sebagai badut-badut di tempat yang salah. Tentu saja kawan kita mungkin ada yang mirip Roni dan Kepala Desa kita bisa saja si uzur jelalatan yang masa jabatannya tak terhingga, tetapi kemiripan itu berhenti hanya pada karakteristik umum, bagian dari stock character, karakter kodian, satu hal yang kurang lebih ikut berperan dalam menciptakan keakraban pembaca dengan teks. Kesan pembaca yang kerap kita dengar semacam “novel ini gue banget” pada dasarnya bertolak dari hal sama: masing-masing pembaca merasa novel terkait “buat gue”, sama seperti setiap pembaca zodiak mingguan di media merasa kalimat-kalimat nubuat yang ada diciptakan khusus buat masing-masing mereka.
Mampu menyajikan lingkungan khas sekaligus karakter-karakter yang pas dengan lingkungan tersebut, terlepas dari beberapa minus minor yang wajar terkait hal-hal teknis, novel ini bisa dianggap sebuah novel realis yang layak diapresiasi. Bahwa realisme yang menyifatinya merupakan realisme sosialis, realisme borjuis, atau realisme magis maka hal itu urusan lain yang tidak terlalu penting. Label-label besar yang digunakan serampangan memang kerap kali berguna untuk iklan dan pamer tetapi kerap kali pula tidak menambahkan pengetahuan berguna apa pun terkait karya.
Novel Safar Nurhan realis dalam kosmos Masoni dan hal tersebut mungkin membuat kita sadar dunia tempat kita hidup bukan satu-satunya lingkungan khas. Kesadaran semacam itu jika selip sedikit saja akan memantik satu resepsi khas yang bermasalah dan pasti menimbulkan amarah para cempiang Pascakolonialitas: eksotisisme. Dihuni oleh karakter-karakter yang bertingkah berbeda dari karakter-karakter dalam, katakanlah, kultur urban sekeliling kita, otak yang terdidik dalam nalar oposisi biner akan langsung menempatkan Desa Masoni dan para penghuninya sebagai si Lian. Lantas, dengan diiringi klaim kelebihberadaban diri, si Lian akan dimaklumi dan lantas dijadikan objek tatapan analog dengan tatapan takjub wisatawan kota besar menonton tarian rancak suku primitif di pedalaman.
Oposisi biner selalu menggoda mental narsistik kita karena ia cenderung membawa serta hierarki berbasis klaim sepihak. Jika kita ingin mengakui ada ketertinggalan dalam kehidupan Desa Masoni, jelas lebih menyenangkan jika sikap tersebut diiringi penempatan Desa Masoni sebagai satu noktah di dunia antah dalam latar waktu sangat belakang yang kita lihat bersama segala lakuan karakter-karakternya melalui kecanggihan Teleskop Luar Angkasa James Webb daripada mempertanyakan hal-hal lebih sederhana semisal bagaimana bisa “pemerintah” tak hadir dalam tragedi pencurian berjemaah perahu dan ketinting nelayan Desa Masoni? Bagaimana bisa Babinsa Masoni eksis dan raib pada momen-momen yang selalu keliru? Bagaimana bisa perampok leluasa merampok “cumi-cumi kering” terang-terangan tanpa ada pihak penonton yang berani melawan selain Ato si guru karate yang sayangnya salah arah?
Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang adalah fiksi dan, terlepas dari fakta bahwa Pulau Masoni benar-benar eksis, ia selayaknya tetap diposisikan demikian: teks yang menyodorkan probabilitas. Dengan menyadari hal tersebut maka kita bisa menghindari paradigma keliru yang kerap kita tujukan terhadap klaim-klaim penulis tertentu bahwa novel yang mereka buat bertolak dari riset panjang, menyita banyak tenaga, dan menghabiskan banyak uang. Kita bisa memahami jika klaim-klaim semacam itu bertolak dari keinginan untuk dihargai, tetapi harga sebuah fiksi adalah produk, sementara proses produksi fiksi itu sendiri adalah “kesunyian masing-masing” yang mungkin menjadi bumbu penyedap momen bedah buku tetapi tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang kepadanyalah keriuhan resepsi pembaca idealnya terarah.
Selain itu, menempatkan fiksi sebagai teks yang menyodorkan probabilitas justru memungkinkan kita menghargainya dengan lebih pantas. Dengan paradigma tersebut kita bisa mengatakan bahwa semua peristiwa dalam Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang sangat mungkin terjadi di berbagai tempat dan merupakan tugas kita, para pembaca, untuk menelisik lebih jauh terkait jalinan peristiwa-peristiwa tersebut supaya kalau mereka buruk maka kita bisa mengantisipasinya untuk tak terjadi di lingkungan riil kita.
2
Roni mendeskripsikan Masoni sebagai “kampung […] kecil”, tempat orang “berak di ujung kampung selatan sana, akan tercium di ujung utara.” Deskripsi itu tanggapan atas rasa heran Marlin ketika mendapati betapa cepatnya situasi personal menjadi kabar komunal.
Marlin mungkin tak pernah membaca novela John Steinbeck, The Pearl (1947), meski kita juga tak yakin Roni atau karakter mana pun dalam kosmos Desa Masoni pernah. Kalau pernah, mereka berdua akan menyadari betapa miripnya situasi yang mereka hadapi dengan situasi yang Kino hadapi di kota kecil La Paz dalam novela tersebut:
Bagaimana caranya kabar bergerak melintasi sebuah kota adalah satu misteri yang tidak mudah untuk dipecahkan. Kabar tampak bergerak lebih cepat ketimbang bocah-bocah kecil berhamburan dan melesat mengisahkannya, lebih cepat ketimbang kaum wanita bisa meneriakkannya lintas pagar.
John Steinbeck, The Pearl
La Paz memang tidak persis Masoni meski bukan berarti tak mirip. Steinbeck menyebutnya town, lanskap yang lebih besar dan birokrasi lebih kompleks dari kampung tetapi jelas tidak seluas wilayah dan sekompleks birokrasi Jakarta. Sebagaimana Masoni, La Paz juga bertempat di tepi laut dan Kino, tokoh utama novela tersebut, sama miskinnya dengan Marlin dan kebanyakan penduduk Masoni. Jika penduduk Masoni berhubungan dengan laut sebagai nelayan, Kino adalah penyelam mutiara.
Namun, bukan kemiripan geografis itu yang menyebabkan tradisi gibah sama-sama kuat di La Paz dan Masoni. Kedua wilayah tersebut sama-sama kosmos yang sedang menghadapi modernitas dengan canggung, tahun 1940-an dalam novel Steinbeck, tahun 2000-an dalam novel Safar Nurhan. Jika modernisasi mengubah desa menjadi kota, town menjadi city, maka gibah merupakan komunalitas tradisional yang tersisa. Mental komunal tradisional itu kelak digantikan individualitas modern, kemudian, pada individu-individu yang mengalami modernisasi sebagai kutuk keterpecahan identitas, tradisi itu kembali sebagai “objek represi” pada era digital melalui kehadiran media sosial dalam berbagai varian “lembing kata”.
Dalam latar Masoni, kita melihat akar gibah sebagai simbol komunalitas tersebut pada tradisi yang di sebagian besar wilayah kita sudah hilang: adegan ibu-ibu muda berkumpul saling mencari kutu. Tradisi tersebut biasanya lenyap dengan sendirinya seiring kehadiran produk modern yang dalam novel-novel pedagogis era Orde Baru biasa dijadikan simbol kemajuan, yakni sampo (dan sabun). Gambaran yang kurang lebih menyimbolkan hal sama tampak dalam adegan teman-teman Marlin yang berkumpul bermain halma dan Roni yang berperan analog juru dongeng dalam tradisi Decameron dan 1001 Malam, ataupun gotong royong spontan penduduk dalam pesta pernikahan.
Dari sudut pandang ini, Marlin dan Supu tampak sebagai simbol individu-individu yang sedang berjalan mengikuti perubahan dari situasi komunal ke individual, tradisional ke modern. Marlin menolak hanyut dalam tradisi lama kumpul-kumpul dan mendongeng yang masih dipegang teguh oleh Roni. Penolakannya yang berulang di bab terakhir novel sekaligus menandai penolakannya untuk bersikap seperti Roni: menyiasati represi semakin stagnannya gaya hidup alami dalam tradisionalisme yang kian pudar dengan mengasingkan diri ke dalam dunia lelucon.
Supu menolak ikut jadwal ronda desa setelah mengetahui betapa tidak pedulinya para penduduk desa akan musibah perampokan yang dia alami. Ketidakpedulian, ciri lebih tingginya karakter individualistik daripada komunal, dia alami pertama-tama sebagai sosok tradisional, korban, kemudian dia praktikkan sebagai bentuk balas dendam yang sekaligus memindahkannya pada posisi manusia modern.
Roni, sebaliknya, adalah simbol individu tradisional dengan jadwal hidup sangat bergantung alam dan nalar masih semistis Sinta, salah satu ibu muda di awal cerita yang percaya bahwa “air” dari dukun bisa menjadi solusi kemalasan Marlin melaut: Roni percaya boneka seks yang dia temukan di laut adalah putri duyung. Terlepas dari anomali sisi komunalnya yang pilih-pilih sesuai personalitasnya, dia adalah penjaga tradisi kumpul-kumpul dan mendongeng. Roni juga yang menawarkan keramaian pernikahan Marlin dan Dewi sebagaimana tradisi lazimnya, tawaran yang diprotes oleh Marlin. Berbeda dengan Roni, Marlin memandang pernikahan sebagai peristiwa privat, individu, bukan komunal.
Dengan menyodorkan oposisi biner modern-tradisional, sejak awal tulisan ini melakukannya disertai kehati-hatian tanpa mengadopsi hierarki sepihak. Tradisional dan modern memiliki sisi buruk dan baik masing-masing. Penolakan Marlin terhadap konsep resepsi pernikahan tradisional sebagaimana dipahami Roni jelas lebih rasional (“buat nikah yang ramai itu menyusahkan banyak orang dan modal tidak sedikit”), tetapi kita tak bisa mengatakan hal sama terhadap sikap balas dendam Supu ataupun sikap cuek para penduduk desa atas musibah perampokan “cumi-cumi kering”-nya.
3
Jika penanda latar waktu yang samar dalam Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang kita temukan pada fakta bahwa para perampok “cumi-cumi kering” memiliki “pistol sisa-sisa dari kerusuhan di Ambon dan beberapa wilayah lainnya di Maluku”, maka kita bisa menyimpulkan bahwa peristiwa-peristiwa dalam novel berlangsung pada dekade 2000-an awal, karena kerusuhan dimaksud berlangsung tahun 1999-2002.
Disadarkan bahwa pada dekade tersebut mungkin ada daerah di Indonesia yang masih memandang modernitas sebagai masa depan alih-alih masa yang sudah atau sedang dialami membuat kita mesti menyadari pula betapa parah ketidakmerataan pembangunan kita. Dengan tidak mengunci situasi tersebut melulu di latar historis Masoni, cakupan probabilitasnya meluas bukan hanya pada 62 kabupaten yang disebut dalam Perpres tentang Daerah 3T satu dekade setelah waktu cerita Masoni, terutama jika tolok ukurnya kita arahkan pada hal-hal lebih sederhana sebagaimana sudah disinggung di bagian 1.
“Pemerintah” yang tak hadir dalam tragedi terkait mata pencaharian, aparat yang eksis dan raib pada momen-momen yang selalu keliru, kejahatan terang-terangan di tengah masyarakat yang tak berdaya adalah gambaran bahwa “modernitas” sebagai masa depan itu tidak dikelola dengan baik. Hal tersebut menjadi problem besar karena sementara birokrasi modern tidak memiliki kewibawaan disebabkan ketidakmampuannya memenuhi janji efektivitas dan efisiensi, pada saat yang sama karakteristik khas tradisional kian memudar. Situasi Masoni adalah situasi peralihan kultur yang canggung dengan relasi antar individu bergerak menuju transaksional, situasi di mana Kepala Desa hanya mampu memenuhi keinginan masyarakat sambil menyembunyikan kepastian tak digubrisnya keinginan tersebut oleh birokrasi di atasnya sekaligus melepaskan diri dari tanggung jawab efektivitas cara yang dilakukan dengan mengatakan “kalau pemerintah kabupaten lama kasih bantuan, itu di luar kemampuan saya lagi”.
Mental transaksional, dengan uang sebagai poros, adalah satu kebutuhan yang bahkan pada tahun 1844 sudah Karl Marx singgung sebagai efek dari sistem ekonomi modern. Dalam sistem semacam itu, sebagaimana di La Paz sikap orang-orang terhadap Kino berubah setelah kemiskinannya diubah oleh penemuan “Mutiara Dunia”, di Masoni harus ada “orang dalam” dan “ongkos” untuk membuat pemerintah kabupaten “membantu keperluan desa”. Wajar bahwa modernisasi berlangsung dalam rentang waktu berbeda di berbagai belahan dunia, tetapi ironis bahwa hal tersebut terjadi dalam level yang lebih parah di berbagai daerah Indonesia, dengan contoh di Masoni yang baru terjadi pada dekade awal 2000-an: kita tahu pada dekade yang sama dunia global dan kultur di sebagian wilayah lain Indonesia sudah melangkah minimal 2 fase kedepan.
Novel Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang adalah novel realis tentang anomali dalam perkembangan kultur. Bersama segala lakuan “karakter-karakter khas dalam lingkungan-lingkungan khas” yang memantik pesimisme, novel ini juga mendorong optimisme sejak judul yang diambil dari nyanyi Ferry Pangalila: jika mata keranjang adalah bagian dari label pelaut masa lalu, maka tautan negatif itu dipatahkan sebagai produk “mulut rica-rica” oleh kesetiaan cinta Marlin, sosok yang, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, konsisten menyimbolkan individu yang sedang berubah menjadi lebih rasional dan kritis menyikapi “tradisi”.
Nada optimis itu juga yang mungkin kita tangkap dari adegan akhir novel: Marlin melangkah meninggalkan segala masa lalu yang “hadir dan pergi dengan sendirinya”, kemudian melaut menuju ref Markaso. Pada saat yang sama Dewi istrinya “memikirkan dan mendoakan keselamatan” Marlin, tepat saat dia “menjatuhkan timba ke dalam sumur”. Kita boleh menafsirkan bersatunya laut tempat Martin mencari ikan dengan sumur air tawar dalam narasi sebagai sama-sama sumber kehidupan merupakan simbol keseimbangan: arah ke mana transformasi kultur dari tradisional ke modern yang dijalani dengan wajar akan menuju.
Persis dalam hal itulah Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang berbeda dari pesimisme The Pearl. Novela tersebut ditutup adegan Kino melemparkan “Mutiara Dunia”, simbol uang, objek kebutuhan “sistem ekonomi modern”, kembali ke laut. Kino dan keluarga, menyerah pada sisi gelap modernitas, memilih sepenuhnya membuangnya dan menutup telinga dari godaan “musik” yang mirip nyanyi Siren memuat kenikmatan sekaligus bencana. Sapa Bilang Pelaut Mata Keranjang, saya pikir, berhasil menunjukkan bahwa transformasi kultur adalah kemestian dan alih-alih menutup diri seperti Kino atau melarikan diri ke dalam lelucon seperti Roni, sikap lebih cerdas untuk dilakukan adalah mendengarkan nyanyi penuh daya pikat itu disertai sedikit siasat supaya tidak menjadi korban nahas kutuknya, seperti dilakukan Odisseus, seperti dipraktikkan Marlin. Salam.