1
PUISI bagus adalah puisi yang “berbunyi” dan puisi akan “berbunyi” ketika terjadi proses “persentuhan” dengan pembacanya. Proses itu lahir ketika pembaca mendapatkan “sesuatu” darinya, dan “sesuatu” itu sering kali direduksi sebagai “makna”.
Namun silogisme tersebut tak sepenuhnya benar, terutama ketika “makna” dipersempit ke arah “pesan”. Silogisme tersebut tak mampu menjelaskan kenapa ada puisi-puisi yang tak bisa—atau belum—kita temukan “makna”-nya tetapi tetap memukau kita. Dengan kata lain, ia tetap “menyentuh” kita, menyentuh sesuatu dalam diri kita.
Hal itu mungkin terjadi karena puisi tersusun dari kata, dan kata dalam puisi tidak semata memiliki nilai pragmatis menyampaikan pesan. Ia mungkin saja mengandung nilai semantis, tapi ia juga mengandung aspek lain: fon, bunyi. Aspek bunyi ini mungkin tak terlalu diperhatikan dalam penggunaan kata sebagai alat komunikasi, akan tetapi dari segi retorika ia memiliki guna menimbulkan resepsi pembaca.
Mereka yang berpendapat bahwa sebuah puisi mesti memiliki pesan moral, secara tidak langsung, telah mereduksi puisi menjadi setara dengan dialog dalam sebuah percakapan dan kotbah Jumat tempat kata berfungsi semata atau terutama menyampaikan pesan dari komunikator ke komunikan. Mereka membayangkan bahwa ketika seorang penyair menulis puisi, dia juga membayangkan adanya komunitas pembaca yang siap melahap dan menangguk pesan dari puisinya.
Dalam banyak kasus, hal itu mungkin terjadi, tetapi ia juga tak absolut. Ada terlalu banyak varian terkandung dalam benak penulis ketika ia menuliskan puisi, dan pembaca yang dibayangkan hanya merupakan salah satu varian di antara sekian varian lain. Sebuah puisi, pada akhirnya, tidak jatuh menjadi nonsens ketika kita tidak atau belum bisa menemukan “pesan”, seambigu apapun makna kata ini, yang berguna bagi kita.
Bagi para pembaca pemburu pesan, sebuah puisi tuntas ketika pesannya sudah—mereka bayangkan—jelas. Padahal sebuah puisi bagus tak mengenal istilah tuntas, ia selalu melahirkan sebuah dunia baru tiap kali kita membacanya kembali. Pemaknaan adalah proses terus-menerus mencapai kenikmatan demi kenikmatan dan justru karena itu puisi bagus tak pernah berhenti menarik kita.
2
Seperti Malam-malam Februari adalah antologi puisi tunggal Agus Manaji yang pertama, dan kita yakin bukan yang terakhir. Buku diterbitkan Interlude bulan Februari 2018 dan dibedah pada bulan yang sama. Meski ini merupakan antologi pertama Agus Manaji, tetapi hubungan Agus Manaji dengan puisi sudah sangat lama terjalin sangat akrab. Satu contoh yang paling mudah, antologi merekam 20 tahun pergelutannya dengan kepenulisan puisi.
Sebelum terbit dalam satu antologi tunggal, puisi-puisi Agus Manaji sudah banyak dimuat dalam antologi-antologi bersama. Lembar biografi di belakang buku mencantumkan judul 12 antologi tempat puisi-puisi Agus Manaji termuat dalam rentang tahun 2001 (antologi Lirik Lereng Merapi) sampai tahun 2017 (antologi Yogya Halaman Indonesia jilid II).
Selain dalam buku antologi, puisi-puisi Agus Manaji juga banyak dimuat dalam majalah dan jurnal cetak termasuk Horison dan Jurnal Puisi, ataupun di media daring. Saat majalah Horison mengadakan Sayembara Penulisan Puisi pada tahun 1997, Agus Manaji menjadi Pemenang Hiburan. Setelah tahun itu, dia juga tercatat memenangkan beberapa lomba yang berkaitan dengan puisi sampai tahun 2010, termasuk lomba Mengulas Karya Sastra yang diadakan Kemendikbud 2010.
Tak ketinggalan pula, Agus Manaji pernah bergiat di Komunitas Sayap Oetara, Komunitas Jumat Sore, dan Komunitas Puisi Pro. Selain di bidang mencipta dan mengulas puisi, dia juga berperan sebagai editor beberapa buku terjemahan: Van Gogh: Sebuah Biografi (2007), Biografi Edgar Allan Poe dan Sepilihan Karya (2007), dan Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta Pablo Neruda (2009).
Antologi Seperti Malam-malam Februari memuat 110 puisi, jumlah yang terdengar luar biasa, tetapi sekaligus juga wajar ketika melihat bahwa puisi tertua (Di Sebuah Penghabisan) ditulis pada tahun 1997 dan puisi termuda (Dusun Gamplong) ditulis pada tahun 2017. Urut-urutan puisinya tertib dari belakang buku maju ke depan dari yang tertua sampai yang termuda. Dengan perhitungan kasar, kita mendapatkan angka 5 sebagai jumlah kira-kira puisi Agus Manaji tulis setiap tahun.
Mungkin sebenarnya jumlah puisi yang Agus Manaji tulis per tahunnya jauh lebih banyak, tetapi kemudian terjadi proses seleksi sehingga tidak semua masuk ke dalam antologi ini. Setiap penyair selalu memiliki alasan tersendiri untuk “tidak memublikasikan” sebagian puisi. Atau bisa jadi juga Agus Manaji memang bukan penyair produktif, seperti Chairil Anwar, penyair yang memiliki ketekunan luar biasa dalam menimbang dan memilih kata yang tepat bagi puisi-puisinya.
Yang mana pun kemungkinan itu yang benar, kita patut bersyukur karena boleh berharap puisi-puisi tersaji dalam antologi adalah puisi-puisi hasil kriya terbaik Agus Manaji. Seorang penyair besar sekalipun tak selalu menghasilkan puisi-puisi baik, pun dan terutama dari sudut pandang mereka sendiri.
Judul antologi diambil dari puisi ke-35. Bahwa puisi tersebut yang dijadikan judul dan bukan salah satu dari 109 puisi yang lainnya mungkin menunjukkan keistimewaan puisi ini meski tak menutup juga kemungkinan bahwa hal itu justru memiliki hubungan dengan penerbitan dan pembedahan buku ini yang semuanya terjadi pada bulan Februari.
Puisi “Seperti Malam-malam Februari” tersusun dari 22 baris dibagi menjadi empat bait. Bait pertama 4 baris, bait kedua 9 baris, bait ketiga 7 baris, dan bait terakhir 2 baris. Bait pembuka puisi sebagai berikut:
Kuulungkan beberapa patah kata ke tambir
sepi. Lalu, kaupun tuturkan kisah getir
yang bertahan menyimpan cahaya lirih
sepanjang musim di jalan-jalan kotamu.
Larik-larik aabc yang jelas disusun memperhatikan kekuatan rima, fon akhir. Larik-lariknya merupakan larik sambung ditulis dengan tertib: kita menemukan awal larik kedua dimulai dengan huruf kecil karena secara sintaksis ia masih merupakan bagian dari larik awal, sementara diksi “lalu” pada larik kedua ditulis dengan huruf kapital meski ia berada di tengah larik setelah jeda. Penulisan tertib seperti ini tampak berlaku bagi seluruh puisi dalam antologi.
Pada baris-baris di atas, rima akhir berperan bukan hanya mendukung enaknya pengucapan baris-baris tersebut, melainkan juga mendukung nada yang coba dibangun. Lihat misalnya diksi “tambir”—kita bisa berdebat panjang tentang apa makna diksi ini berikut juga makna diksi “kuulungkan”—pada ujung larik pertama yang berima dengan diksi “getir” pada ujung larik kedua: bunyi akhir “-ir”yang diucapkan dengan bibir bergetar mengisyaratkan nada “getir”. Rima sama pada akhir larik kedua menguatkan apa yang dibangun oleh rima larik pertama, sekaligus sedikit meredamnya melalui jumlah suku kata yang lebih sedikit pada larik tersebut.
Kegetiran itu tetap “bertahan” pada larik ketiga dengan citraan cahaya yang diibaratkan bunyi, “cahaya lirih”, karena kesinambungan dengan kisah yang memang disampaikan dengan cara “dituturkan”. Bunyi akhir larik “-ih” mengisyaratkan perhentian lebih matang tempat aku-lirik sudah lebih bisa menguasai diri dari kegetiran, meski ia tetap sedih. Lalu datanglah akhir larik keempat, vokal kuat “-mu”, sebuah penutup yang lebih tuntas. Tak ada lagi sesuatu menggantung seperti pada larik sebelumnya, penguasaan diri si aku-lirik sudah tuntas dan kita temukan setelahnya tanda titik.
3
Agus Manaji adalah seorang penyair sederhana. Penyair Tia Setiadi dalam bedah buku Seperti Malam-malam Februari pada tanggal 24 Februari 2018 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta mengatakan bahwa kita tak akan menemukan gagasan-gagasan besar dalam puisi-puisi Agus Manaji, tapi kita akan menemukan sosok sang penyair sebagai orang besar.
Sehari-harinya kini Agus Manaji juga merupakan guru SMK, sekaligus pedagang buku-buku lawas secara daring dengan beragam tema menarik. Jelajah harta karun bukunya terbentang jauh dari mulai buku lawas Dari Sunyi ke Bunyi-nya Hartojo Andangdjaja terbitan Grafiti sampai ke Pikiran-pikiran Setengah Gila yang merupakan terjemahan Uqala al-Majanin, karya legendaris Abu Qasim al-Hasan an-Naisabury di ranah mistisisme Islam.
Jejak keguruan Agus Manaji juga bisa kita temukan dalam antologi, misalnya pada puisi “Sajak Pagi Seorang Guru Kepada Istrinya”:
Isteriku,
segelas teh yang kau suguhkan
sungguh berasa manis keikhlasan
melapangkan dadaku mencintai semua kenangan.
Puisi ini jelas sebuah puisi cinta romantis tapi tak tampak berlebihan. Bagi sang “guru” segelas teh yang mungkin sangat biasa bagi orang lain menjelma sesuatu tak ternilai, sesuatu yang “membuat dada lapang dan mencintai semua kenangan”. Pada satu titik puisi ini jelas bertolak dari pengalaman individual penyair, tetapi puisi bagus—kata Chairil Anwar dan T. S. Eliot—memang merupakan puisi yang beranjak dari pengalaman individual menuju universal.
Maka meski kita masih menemukan jejak romantisme dalam kelanjutan baris-barisnya—misalnya senyum sang isteri yang diibaratkan mekarnya bunga—tetapi kita juga menemukan baris-baris kritik sosial di dalamnya, sesuatu yang bisa dijadikan contoh sederhana sebagai “universal”:
Tambah sekuntum senyummu
melegakan kepergianku mendidik buah cinta bangsa
yang diabaikan gelisah kerusuhan, pembantaian,
dan harga barang-barang di toko swalayan.
…
meneguhkan niatku berjuang mengantar bocah-bocah yang kasmaran
pada dendam, obat-obatan, film barat murahan,
dan sinetron sore perselingkuhan.
Kritik sosial terselip dalam baris-baris puisi di atas tentang “buah cinta bangsa yang diabaikan gelisah kerusuhan” dan bocah kasmaran “pada dendam, obat-obatan, film barat murahan”, adalah kritik yang terasa natural dan karenanya sama sekali tak mengganggu romantisme yang coba dibangun sejak awal. Si aku-lirik tidak mengungkapkan kritikannya dengan menggebu-gebu, ia mengucapkannya dengan penguasaan diri sepenuhnya sehingga puisi seperti di atas tidak terkesan kenes, ia sederhana.
Dari kesederhanaan puisi-puisi Agus Manaji, kebesaran seorang penyair justru muncul. Puisi bagus memiliki kecenderungan lahir dari puisi yang tak berpretensi menggerakkan dunia, melainkan dari puisi yang lahir seperti sajian seorang koki dengan keahlian yang sesungguh-sungguhnya. Yang menentukan sebuah puisi menggerakkan dunia atau tidak, pada akhirnya, adalah mereka yang kemudian bersentuhan dengan teks puisi itu pasca-pengarang.
Mungkin karena itu penyair Tia Setiadi yang sekaligus merupakan sahabat Agus Manaji, meski pada saat pembedahan buku ini mengatakan bahwa ia tahu kisah-kisah di balik penciptaan puisi-puisi dalam antologi tetapi dia tidak menjelaskannya. Tampaknya Tia Setiadi yang bukan hanya seorang penyair melainkan juga seorang kritikus sastra tahu bahwa ketika asbabun nuzul puisi dalam antologi dijelaskan, pembaca akan memiliki pembatas saat melakukan pemaknaan. Puisi, kemudian, akan menjadi terkungkung dan tidak lagi memiliki ketaksaan makna.
Sebuah puisi sarat pesan—dalam istilah kesusasteraan kita pernah dicakup oleh istilah-istilah semacam “sastra bertendens” dan “sastra didaktik”—belum tentu lebih menggerakkan pembaca dibanding puisi yang hanya merekam hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Puisi yang “merekam hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari” itulah disodorkan Agus Manaji dalam Seperti Malam-malam Februari.
Simak misalnya puisi “Pasar Buku Shoping, Yogyakarta” ini:
Kutemukan di sini prasasti alit
prasasti sunyi. Kertas-kertas tua
menguarkan aroma peristiwa dan nama.
Kata-kata lahir, hadir, mengerik dada.
Puisi bertarikh 2011 ini tipikal puisi lirik sebagai monolog ditandai penggunaan pronomina persona ku. Ia merekam persentuhan aku-lirik dengan suasana di pasar buku Shoping pada suatu masa yang entah. Diksi “prasasti” menyimbolkan penanda peristiwa agung pada masa lampau, sesuatu ada dalam kenangan. Akan tetapi prasasti itu sendiri bukan sesuatu yang “agung”, ia “alit” dan “sunyi”, sesuatu lahir dari aroma “kertas-kertas tua” yang mengingatkan pada deret “peristiwa dan nama”.
Kertas-kertas tua, dan nama. Kita lantas membayangkan buku-buku lawas dengan sederet nama yang kita kenal suatu hari di masa lalu tapi kini tak lagi ditemukan dalam pajangan buku-buku baru di toko buku. Ada nada khidmat dalam baris-baris ini, berpuncak pada “mengerik dada”. Bukan tanpa alasan bahwa kata yang hadir adalah “mengerik”, yang bukan hanya merujuk pada verba “mengikis” tapi juga merujuk pada nomina “suara kikisan” sekaligus suara jangkrik saat malam turun dan bebunyian lain terhenti.
Atau pada puisi lain misalnya puisi “Masjid Kampus UGM, Ba’da Isya”:
Langit telah meruangkan kita di antara rusuk-rusuk masjid
yang khusyuk. Begitu bersih senyummu, sewarna temaram lampu
yang fasih meng-emas-kan kaligrafi ayat itu.
Puisi diawali epigraf “buat Miftakul Huda”. Pada bait pembuka puisi tersebut yang dikutip di atas, kita menemukan narasi tentang “kita” yang terjelaskan bahwa pronomina persona tersebut merujuk pada aku-lirik dan Miftakul Huda. Masjid pada ujung baris pertama merujuk pada masjid yang disebut dalam judul, Masjid Kampus UGM. Judulnya juga menjelaskan latar waktu puisi tersebut: ba’da Isya, dan karena itulah baris kedua pun menjadi masuk akal: “temaram lampu” yang dibandingkan dengan “bersih senyummu”.
Bait itu sendiri adalah bait pembuka, baru pada bait-bait selanjutnya kita akan menemukan narasi lanjutan tentang apa sebenarnya yang diperbincangkan “kita” sampai-sampai hal itu penting menjadi puisi. Ada misalnya penjelasan tentang posisi Miftakul Huda dalam baris ke-14 sebagai “Sahabat”, meski mungkin saja diksi tersebut merujuk pada sosok komunikan lain. Bagi mereka yang merasa cukup dengan teks, teks puisi itu sendiri sudah cukup “menawarkan” sesuatu, tanpa harus mencari-cari tahu siapakah nama yang disebut dalam epigraf, atau apakah “kaligrafi” yang dirujuk di dalam baris ketiga tersebut dengan mengunjungi masjid kampus UGM.
Kekhususan nama yang dirujuk pada awal puisi tak berarti puisi itu hanya boleh dibaca dan hanya mungkin dipahami oleh pemilik nama yang bersangkutan. Puisi “Address to the Devil”-nya Byron tidak berarti puisi tersebut hanya boleh dibaca dan hanya mungkin dimaknai oleh Devil. Baris ketiga puisi Agus Manaji di atas juga menyodorkan opsi yang tak mengharuskan pemahaman akan apa kaligrafi dimaksud, karena ia bisa saja dibaca dengan penggal kaligrafi ayat/itu sebagaimana ia juga mungkin dibaca dengan penggal kaligrafi/ayat itu.
Ketaksaan kemungkinan pembacaan puisi semacam itulah yang justru membuat sebuah puisi bagus tak pernah henti dibaca. Dalam dua contoh puisi di atas, Agus Manaji tidak menyodorkan konsep, ideologi, ataupun jargon dengan menggebu, ia “hanya” merekam suasana sekitar. Ia hanya mencoba menunjukkan bahwa hal-hal kecil yang tampak remeh mungkin saja diangkat menjadi sebuah puisi sebagai satu bentuk perenungan.
Pada akhirnya, pertemuan seorang pembaca dengan teks puisi adalah “kesunyian masing-masing”. Sebagian pembaca mungkin langsung mengobrol akrab saat kali pertama menjumpai puisi-puisi dalam antologi. Sebagian pembaca lain mungkin saja tak menemukan persentuhan dalam pembacaan pertama, tetapi kali lain ketika dia membaca ulang mungkin dia sangat tersentuh. Setiap hari pelbagai pengalaman baru menyeruak menghampiri kita dan hal itu berpengaruh terhadap kemungkinan pengalaman baru saat melakukan pembacaan ulang.
Puisi hanya memiliki separuh makna inheren dalam dirinya, separuh lain ada pada diri pembaca. Ketika dua paruh itu “bersentuhan”, kita sebagai pembaca mengalami ekstase tanpa harus berpikir bahwa setelahnya dunia sekitar berubah dan kita menjadi lebih dekat ke surga. Puisi sufistik ataupun puisi mundan, puisi pastoral ataupun puisi kota, semuanya tetap merupakan puisi: nilai bagus mereka tidak disebabkan mereka memberikan “pesan” sebagaimana yang kita dapatkan dari sebuah risalah dakwah, melainkan karena mereka selalu menggelitik kita untuk percaya bahwa dengan menyerahkan separuh diri kita kepada teks yang seorang penyair lahirkan maka kita akan bisa mendengar bunyi-bunyi baru yang mungkin luput dari segala yang sudah kita tuliskan setiap hari dalam diari.
*Disunting ulang dari tulisan dipublikasikan di Pocer.co pada bulan Maret 2018.