John Steinbeck
SAYA TAK pernah menulis prakata untuk salah satu buku saya sebelumnya, percaya bahwa karya harus berdiri dengan kakinya sendiri, bahkan meskipun pergelangan kakinya sedikit goyah. Ketika saya diminta mengomentari enam novel pendek yang dimuat dalam edisi ini, gerak batin saya yang pertama adalah menolak. Akan tetapi, memikirkan hal-hal yang telah terjadi terhadap cerita-cerita ini sejak mereka ditulis, saya kemudian tertarik oleh gagasan bahwa apa yang menimpa sebuah buku sangat mirip dengan apa yang menimpa seorang manusia.
Cerita-cerita ini meliputi satu periode panjang dalam kehidupan saya. Saat masing-masing cerita itu selesai, bagian dari saya itu juga selesai. Benar bahwa saat sebuah karya sedang digarap, penulis dan bukunya itu manunggal. Ketika sebuah buku sudah selesai ditulis, hal itu adalah sejenis kematian, satu persoalan lara dan duka bagi penulis. Kemudian dia memulai sebuah buku baru, dan sebuah kehidupan baru, dan jika dia tumbuh dan berubah, kehidupan yang benar-benar baru pun bermula.
Penulis, seperti seorang pencinta yang angin-anginan, melupakan cintanya yang lama. Cinta itu bukan lagi miliknya: keintiman dan kejutan sudah berlalu.
Sedemikian banyak yang saya ketahui, tetapi saya tidak beranggapan bahwa cerita-cerita kecil didorong ke dalam dunia yang tak bersahabat untuk merintis jalannya sendiri. Cerita-cerita itu juga memiliki pengalaman-pengalaman—mereka tumbuh dan berubah atau memudar dan mati, persis seperti setiap orang. Mereka menjalin perkawanan atau memantik permusuhan, dan terkadang mereka terbuang akibat pengabaian.
The Red Pony ditulis pada zaman dahulu, ketika ada kesedihan dalam keluarga saya. Kematian pertama terjadi. Dan keluarga, yang diyakini kekal oleh setiap anak, hancur. Mungkin ini adalah masa dewasa pertama bagi setiap pria ataupun wanita. Pertanyaan menyiksa yang pertama berupa “Mengapa?” dan kemudian penerimaan, dan kemudian si anak menjadi seorang pria. The Red Pony adalah sebuah upaya, sebuah percobaan jika anda suka, untuk menempatkan kehilangan dan penerimaan dan pertumbuhan ini. Pada saat itu saya telah memublikasikan tiga buku dan tak ada satu pun yang terjual mendekati jumlah penjualan edisi pertama mereka. Tidak ada yang mau menerbitkan The Red Pony. Ia berkali-kali kembali, sampai akhirnya seorang penyunting yang berani membelinya untuk The North American Review dan membayar sebesar sembilan puluh dolar, lebih banyak uang daripada yang saya pikir dimiliki dunia. Sebuah pesta besar-besaran kami lakukan untuk merayakannya!
Hanya membutuhkan sejumput dorongan paling kecil untuk membuat penulis terus menulis, dan jika dia tidak mendapatkan dorongan sedikit pun, dia terkadang belajar beringsut justru dalam asamnya kegagalan.
Tortilla Flat muncul dari kajian saya tentang seri Arthurian. Saya ingin mengambil cerita-cerita dari kota saya sendiri, Monterey, dan menuangkan mereka menjadi sejenis cerita rakyat. Hasilnya adalah Tortilla Flat. Ia mengikuti pola biasa. Penerbit demi penerbit menolaknya, sampai akhirnya Pascal Covici menerbitkannya. Akan tetapi Tortilla Flat memiliki satu perbedaan yang tak dimiliki judul-judul saya yang lain: ia tidak diabaikan. Memang, Kamar Dagang Monterey, khawatir akan bisnis turisnnya, mengeluarkan pernyataan bahwa buku itu adalah sebuah dusta dan bahwa pastinya tidak ada orang-orang hina semacam itu yang tinggal di lingkunagn tersebut. Akan tetapi mungkin Kamar Dagang justru berjasa bagus kepada saya, karena buku itu terjual dua edisi, dan hal itu merupakan dorongan yang hampir melebihi besaran yang bisa saya tahan. Saya takut bahwa saya mungkin menjadi terbiasa dengan pemborosan di pihak khalayak semacam itu, dan saya tahu hal itu tidak bisa berhenti. Sebuah perusahaan film membeli Tortilla Flat dan membayar empat ribu dolar. Tiga ribu enam ratus menjadi milik saya. Itu adalah keberuntungan. Dan ketika, beberapa tahun kemudian, perusahaan yang sama memecat editornya, salah satu alasannya adalah karena sang editor telah membeli Tortilla Flat. Jadi, dia membeli yang asli dari perusahaan tersebut sebesar empat ribu dolar dan beberapa tahun kemudian menjualnya ke M-G-M sebesar sembilan puluh ribu dolar. Semacam justifikasi bagi saya, dan satu kemenangan bagi sang editor.
Of Mice and Men adalah satu upaya untuk menulis sebuah novel tersusun dari tiga babak yang diharapkan dimainkan dari baris-barisnya. Saya hampir menyelesaikannya ketika pada suatu malam anjing setter kecil saya memakannya, secara literal membuat konfeti darinya! Saya tidak tahu seberapa mirip jadinya antara versi pertama dan kedua. Buku ini meraih kesuksesan, tetapi sebagaimana biasa ia menemukan musuh-musuhnya. Meskipun demikian, berkat penulisan ulang, ia beneran menjadi sebuah drama dan meraih kesuksesan.
Ada buku-buku tebal di antara tiga novel tipis ini. Saya pikir novel-novel tipis adalah latihan untuk novel-novel tebal. Perang berlangsung, dan saya menulis The Moon is Down sebagai sejenis perayaan kekekalan demokrasi. Saya tidak bisa membayangkan bahwa buku itu akan dicela. Saya telah menulis tentang bangsa Jerman sebagai manusia, bukan manusia super, dan ini dianggap sebagai pengambilan sikap yang sangat lemah. Saya tidak bisa memahaminya, dan tampak absurd kini saat kita tahu bangsa Jerman adalah manusia, dan dengan demikian bisa berbuat salah, bahkan bisa dikalahkan. Dikatakan bahwa saya tidak tahu apa pun tentang perang, dan ini memang benar, meski saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara para prajurit penyerang Park Avenue mengetahui tentang saya.
Selanjutnya saya melihat satu potongan perang sebagai seorang koresponden, dan dari situ menulis Cannery Row. Ini adalah semacam benda nostalgia, ditulis untuk sekelompok prajurit yang berkata kepada saya, “Tulis sesuatu yang lucu yang bukan tentang perang. Tulis sesuatu yang bisa kami baca—kami muak dengan perang.” Ketika Cannery Row terbit, ia mendapatkan perlakuan kritis biasa. Saya membuang waktu saya untuk kesembronoan ketika saya seharusnya menulis tentang perang. Akan tetapi setengah juta kopi diedarkan kepada para prajurit, dan mereka tidak mengeluh. Saat itu memang kita memiliki beberapa kritikus yang sangat suka perang, jauh lebih suka berperang daripada para prajurit.
Di Meksiko saya mendengar sebuah cerita dan melakukan satu lompatan mundur yang jauh ke masa Tortilla Flat. Saya mencoba menulisnya sebagai cerita rakyat, untuk memberinya perasaan tersisihkan dan terangkat yang dimiliki oleh seluruh cerita rakyat. Saya memberinya judul The Pearl. Awalnya juga tidak begitu baik, tetapi tampaknya mengumpulkan beberapa kawan, atau setidaknya kenalan. Dan itulah daftar dalam edisi ini. Aneh rasanya bagi saya bahwa saya telah menjalani sangat banyak kehidupan. Memikirkannya kembali, ia tampak sebagai satu masa tanpa akhir tetapi hanya sesaat.
Sumber: John Steinbeck, “My Short Novels,” dalam America and Americans and Selected Nonfictions. New York: Penguin, 2002.