Buku Antologi Esai Tentang Buku-Buku

BUKU Yang Tersisa dari Pramoedya & Catatan Lain (Gilang Saputro, 2020) adalah antologi sebelas esai. Seluruh esai membahas buku dengan sembilan di antaranya merupakan karya sastra dan dua sisanya buku memiliki kaitan dengan kesusastraan.

Daftar buku-buku dibahas secara berurutan adalah Bakat Menggonggong (Dea Anugrah, 2016), Semua Ikan di Langit (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, 2017), Gentayangan (Intan Paramaditha, 2017), Kura-Kura Berjanggut (Azhari Aiyub, 2018), Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan (Joss Wibisono, 2017), Sang Raja (Iksaka Banu, 2017), Ular Tangga (Anindita S. Thayf, 2018), Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Pramoedya, Sejarah, dan Politik (Max Lane, 2017), Tanah Air yang Hilang: Wawancara dengan Orang-Orang Klayaban di Eropa (Martin Aleida, 2017), Laut Bercerita (Leila S. Chudori, 2017), dan Tanah Air: Cerpen Pilihan KOMPAS 2016 (Martin Aleida, “Tanah Air” [2016], 2017).

Panjang esai-esai dalam antologi ini rata-rata sepuluh halaman, lengkap dengan anak-anak judul sehingga cakupan pembahasan terstruktur rapi. Bagi pejalan-baca yang kurang kuat, anak judul juga adalah kafe-kafe yang menawarkan tempat nongkrong temporer sehingga potensi balik arah sebelum sampai tujuan pun bisa direduksi. Pada awal tiap esai, selalu terdapat epigraf berupa kutipan dari buku yang akan dibahas, dilanjutkan semacam pengantar sebelum masuk ke pembahasan utama berupa bedah konten karya dan kaitannya dengan isu tertentu.

Dalam esai “Gentayangan: Perjalanan Perempuan Terkutuk yang Kosmopolit” misalnya, penulis memulai dengan memberikan penjelasan singkat dan padat tentang konstruksi teks novel terkait. Setelah itu, penulis menguraikan aspek intrinsik novel, lalu ditutup dengan pembahasan karya berkaitan dengan isu kosmopolitanisme.

Hampir tujuh dekade silam dalam tulisannya “Author and Critic”, T.S. Eliot mengatakan bahwa ulasan karya—tentu ulasan yang baik—hanya memiliki perbedaan samar dengan kritik sastra, bahkan “tidak ada definisi yang diterima secara umum tentang perbedaan itu”. Eliot adalah kritikus sastra dari era pra-teori sastra, dia adalah seorang perintis jalan menuju penahbisan sastra sebagai ilmu. Setelahnya, pembeda paling sederhana untuk tulisan kritik sastra atau jenis lain adalah penggunaan teori sastra.

Pada esai-esai yang membahas karya sastra dalam buku ini, tidak ada pernyataan eksplisit terkait penggunaan teori sastra. Meskipun demikian, bukan berarti jejak penggunaan teori itu sama sekali tidak ada. Esai “Ular Tangga: Semesta Ijo dan Pengarang Mati” misalnya menyinggung konsep phantasmagoria kritikus sastra Marxis Walter Benjamin (hal. 67), sementara pada esai “Sang Raja Nitisemito: Pahlawan dan Hal yang Tidak Selesai” penulis tampak menggunakan teori Pascakolonialisme. 

Dengan kata lain, justru karena tidak ada penyebutan eksplisit—seperti pada wujud kritik sastra paling nyata berupa skripsi, tesis, dan artikel jurnal para pembelajar sastra—maka esai-esai ini memiliki potensi lebih besar untuk membuat “kritik sastra” dibaca oleh publik lebih luas, bukan hanya oleh lingkar kecil para “ilmuwan sastra”.

Memang kritik sastra, sebagai bagian dari Ilmu Sastra, idealnya dibawa ke luar rumahnya selama ini yang sempit dan terkesan elitis.

Dalam antologi ini, pembaca dipanggil dengan sebutan “Saudara”. Misalnya pada esai “Anugerah Pengarang Muda, dan Sedikit tentang Bakat Menggonggong”:

Wa Ode Wulan Ratna, seperti yang Saudara tahu, adalah pengarang dengan cerita-cerita pendek bernuansa lokal yang kuat (hal. 2).

Atau pada esai “Semua Ikan di Langit: Menikmati Racauan Psikedelik tentang Tuhan yang Sedang Terbang”:

Tentu saja, Saudara tidak dilarang untuk ragu terhadap penilaian dewan juri itu. (hal. 14).

Panggilan “Saudara” tersebut sepintas menyiratkan jarak antara penulis dengan pembaca, tetapi jarak tersebut terkadang dipersempit melalui penggunaan pronomina “kita” seperti pada esai “Laut Bercerita: Mendengarkan Solilokui Akhir Tahun”:

Kita sudah ada di penghujung tahun, melewati Kamisan dan jejeran payung hitam yang sekian. Kita juga terus dipertontonkan betapa para terduga dan pelaku kejahatan kemanusiaan itu masih mengisi media-media kita seperti tanpa pernah melakukan apapun. (hal. 98).

Dalam esai terakhir, “Barangkali Kita Bukanlah Eric: untuk Martin Aleida”, pembaca diajak seolah-olah membaca sepucuk surat untuk Martin Aleida yang dipanggil dengan sebutan “Bung”. Esai ini bersama dengan “Yang Tersisa dari Pramoedya Ananta Toer” adalah esai yang lebih fokus pada kiprah sosok sastrawan dibandingkan sembilan esai lain yang fokus utama ke satu karya. 

Meski merupakan resepsi seorang pembaca terhadap buku-buku yang dia baca, esai-esai dalam antologi ini tidak lantas sepenuhnya subjektif. Penulis pada dasarnya menyodorkan satu pilihan resepsi pembacaan karya terkait kepada pembaca. Namun, cakupan bacaan penulis yang luas menyebabkan hadirnya singgungan pada judul-judul lain, baik itu buku-buku karya pengarang yang sama, buku-buku karya pengarang lain yang analog, ataupun buku-buku yang dijadikan rujukan tema pembahasan. “Singgungan” semacam itu, mode interteks, adalah pintu gerbang menuju kedalaman pembahasan, sementara kedalaman pembahasan adalah satu penanda sebuah kritik sastra yang juga disebutkan oleh T.S. Eliot.

Bagi para pembaca antologi ini yang belum membaca buku-buku yang dibahas, esai-esai memberikan satu perspektif pembacaan. Perspektif tersebut akan berguna sebagai bocoran yang tak harus diyakini, bahkan boleh saja diabaikan, dipertanyakan, atau ditolak. Selain itu, berbagai data aspek ekstrinsik karya terkait yang juga ditawarkan memiliki guna tersendiri sebagai informasi tambahan. Bahkan jika melihat perkembangan kritik sastra kontemporer, penggunaan aspek ekstrinsik dalam analisis merupakan satu kecenderungan yang tampak kian menguat.   

Esai-esai dalam buku ini hadir tanpa daftar pustaka, sementara catatan kaki hanya ditemukan pada esai terakhir. Namun, buku ini mungkin memang hadir tanpa pretensi muluk-muluk selain untuk menunjukkan satu hal: dilengkapi catatan kaki ataupun tidak, resepsi pembaca yang tekun bisa menunjukkan bagian-bagian penting sebuah buku yang mungkin selama ini luput dari pengamatan kita.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.