LAHIR 11 Juni 1899, meninggal 16 April 1972, Yasunari Kawabata adalah peraih Nobel Sastra pertama dari Jepang sebelum kelak tahun 1994 Kenzaburo Oe mengikuti jejaknya. Cerpen pertama dia terbit tahun 1921, lima tahun kemudian dia menggebrak dunia sastra dengan Penari Izu. Karya dia yang lain, Rumah Perawan (1961), menginspirasi penulis Kolombia yang juga meraih nobel, Gabriel Garcia Marquez, untuk menulis Memoria de mis putas Tristes, lengkap dengan epigraf yang diambil dari novel tersebut.
Suatu hari pada masa kecilnya Kawabata bercita-cita menjadi pelukis. Bahwa dia kemudian terkenal sebagai penulis maka hal itu sama sekali tak berarti dia sudah melupakan cita-cita itu. Karya-karya Kawabata menonjol dalam hal pelukisan alam maupun pelukisan psikologi manusia, dua keseimbangan yang mengantarkan dia meraih Nobel Sastra 1968.
Alam dan manusia: jagat makro dan jagat mikro. Landasan pemikiran Kawabata bisa ditelusuri ke ajaran Budhisme Zen yang memiliki ciri khas praktik meditasi, sunyata, dan pencarian kesejatian. Zen adalah salah satu aliran Budha Mahayana, sebagaimana Negeri Murni yang bisa ditemukan dalam salah satu cerpen Yukio Mishima.
Tidak heran jika dalam pidato penerimaan hadiah nobel dia yang mengandung semacam pembelaan—meski tak bisa dikatakan persetujuan—atas tindakan bunuh diri Ryunosuke Akutagawa, pendahulu dia, Kawabata menyinggung Zen. Dari sanalah menurut dia orang bisa mencoba memahami bahwa pandangan atas kematian di Timur berbeda dengan pandangan Barat. Sunyata tak sama dengan nihilisme, apa yang mungkin tampak sia-sia bagi Barat maka bisa jadi itu dipandang sangat tinggi bagi Timur.
Apa boleh buat, sekabur apa pun batasan “Timur” dan “Barat”, Kawabata tak bisa mengabaikan eksistensi batasan itu, mungkin karena dia khawatir pencapaian estetik Akutagawa misalnya akan tercoreng di mata Barat karena tindakan bunuh dirinya, atau mungkin juga sebagai semacam nubuat bahwa tindakan sama masih mungkin terjadi pada penulis-penulis “Timur”: pidato Kawabata disampaikan pada akhir tahun 1968, dua tahun kemudian Mishima bunuh diri, empat tahun kemudian Kawabata bunuh diri.
Karya-karya Kawabata kuat dalam aspek “pelukisan”. Ketika memutuskan menganugerahi dia Hadiah Nobel Sastra, alasan panitia adalah karena “keunggulan cerita, yang dengan kepekaan yang dahsyat mengekspresikan esensi pikiran orang Jepang”. Kepekaan itu diterapkan Kawabata dengan menyerap gerak lembut daun-daun bambu, mengolahnya menjadi cerita menarik dengan mengkombinasikan pengetahuan dia tentang psikologi manusia Jepang.
Budaya Jepang tempat Kawabata tumbuh memang kombinasi dua hal bertentangan dan bisa membuat mereka yang tak tumbuh di tempat sama terperangah. Sebuah buku terbit tahun 1946 tentang budaya Jepang karangan seorang Antropolog Amerika, Ruth Benedict, diberi judul The Chrysanthemum and the Sword: Patterns of Japanese Culture, menegaskan hal itu: budaya Jepang adalah kesatuan antara dua hal kontradiktif. Krisantemum adalah simbol kaisar, The Sword adalah simbol samurai. Keduanya memiliki sisi berbeda dalam budaya, keduanya saling berkelindan.
Karena aspek “lukisan” sangat kuat dalam karya Kawabata, karya-karya dia tidak pepat dengan beban moral, dia hanya melukiskan. Dengan demikian pembaca bisa menikmati lanskap mooi indie yang dia sodorkan kemudian menggabungkannya dengan pikiran sendiri sebagaimana memang seperti itu juga pada dasarnya cara Kawabata menulis. Dia melukis lukisan mooi indie tapi kemudian mencampurnya dengan kemampuan menggambarkan psikologi manusia yang tentu saja tak selalu molek.
Dalam pembabakan kesusastraan Jepang, Yasunari Kawabata dikategorikan penulis modern beraliran neo-sensualis, bersama Yokomitsu Toshikazu, yang disebut teoretikus aliran ini meski konon dalam hal lirisisme karya Kawabata lebih liris darinya. Akan tetapi pembaca karya-karya Kawabata juga terkadang menyebut aliran dia sebagai neo impresionis: kelindan tak lekang antara naturalisme dan impresionisme.
Mungkin itulah cara terbaik untuk memandang Kawabata: dia menolak didefinisikan. Dia tak segarang Yukio Mishima dalam memandang modernisme, tetapi dia punya pembelaan sendiri tentang karya-karyanya: “Karya-karya saya sendiri bisa dikatakan sebagai karya kehampaan; tapi asalnya bukan dari nihilisme Barat.” Karena itu meski dia juga mengatakan bahwa “betapa pun seseorang teralienasi dari dunia, tetapi bunuh diri tetap bukan satu bentuk pencerahan. Betapa pun mengagumkan, tetapi orang yang memutuskan bunuh diri tetap jauh dari dunia orang suci,” tetapi dia juga mengatakan bahwa konsep kematian dalam Buddha bisa dipahami dengan sudut pandang beda dari cara Barat memandang hal sama.
Dan dia tampak mengagumi Akutagawa, pendahulu dia yang bunuh diri menelan pil tidur pada tahun 1929. Akutagawa adalah penulis aliran neo-realisme yang dipraktikkan dengan mendasarkan cerita pada realisme yang sudah ada untuk menciptakan cerita dalam versi baru. Akutagawa adalah penulis yang tak mengubah seni dia bercerita meski zaman berubah dan Kawabata memiliki kecenderungan sama. Mungkin karena itu saat dia mendengar kabar bahwa dia mendapatkan hadiah nobel sastra, dia berkomentar bahwa Mishima sebenarnya lebih pantas dari dia.
Alasannya sederhana: Mishima lebih cergas memotret Jepang yang berubah daripada Kawabata. Sementara potret-potret disajikan oleh tulisan-tulisan Kawabata lebih mengesankan potret nostalgik Jepang silam, Mishima justru menunjukkan berbagai ekses yang timbul—dan yang mungkin timbul—dari pertemuan antara “yang lokal” dan “yang asing”, termasuk ekses paling buruk: kebanalan identitas.
Namun, apa sebenarnya batas antara “yang lokal” dan “yang asing”? Ajaran Zen yang Mishima dan Kawabata akrabi pada suatu masa bukan merupakan bagian dari “yang lokal”, asal-usulnya bisa ditelusuri ke China zaman Dinasti Tang, dan ia masuk ke Jepang pada abad ke-8. Modernisasi yang dipandang dengan sinis oleh Mishima juga berlaku pada perjalanan ajaran tersebut: abad ke 8 pada periode Nara kebanyakan penduduk Jepang adalah pemeluk animisme, ajaran Zen yang datang terkemudian adalah sebentuk modernitas.
Yukio Mishima selalu menganggap Kawabata sebagai mentor dia, meski demikian, konon peristiwa kematian Mishima sedikit banyak mempengaruhi kondisi psikologis Kawabata. “Di kalangan mereka yang menggunakan otak untuk berpikir, adakah orang yang tak pernah memikirkan bunuh diri?” Demikian dalam pidato penerimaan Nobel Sastra pada 12 Desember 1968, Yasunari Kawabata mengutip Pendeta Ikyu. Empat tahun kemudian si pelukis cerita dari zaman Showa ini bunuh diri.
Yogyakarta, Komunitas Imajiner, 2021.