SEBAGIAN kita mungkin mengenal Umberto Eco (1932-2016) melalui terjemahan novel-novelnya yang sudah beredar dari mulai The Name of The Rose, The Prague Cemetery, Foucault’s Pendulum, Baudolino, sampai Nomor Nol. Sebagian lain mungkin mengenal dia dari terjemahan tulisan-tulisan nonfiksinya, dari mulai Lima Serpihan Moral, Teori Semiotika, sampai Salah Baca dan Bagaimana Menulis Tesis. Tidak penting melalui jalur mana kita mengenalnya, tulisan-tulisan fiksi dan nonfiksi Umberto Eco sama-sama kuat.
Menelaah sejauh apa kita mengenal karya-karya Umberto Eco tentu akan menarik, tetapi tulisan ini lebih memilih merayakan salah satu tulisan dia berjudul “Bahasa-Bahasa di Firdaus,” dimuat dalam Serendipities: Language and Lunacy (1999: 22-51). Versi lebih awal sekaligus ringkas tulisan juga bisa ditemukan sebagai satu bagian dari bukunya yang lebih dahulu terbit, The Search for the Perfect Language (1995: 7-24), “Dari Adam sampai Confusio Linguarum”.
“Kita tidak diberi tahu,” kata Umberto Eco, “dengan bahasa apa Tuhan berbicara dengan Adam. Tradisi membayangkan bahasa itu adalah sejenis bahasa pencerahan batin.” Kita mendapatkan narasi tambahan bahwa bahasa tersebut tampaknya analog dengan bahasa yang Tuhan gunakan saat Dia mengekspresikan diri dengan petir dan kilat dalam episode-episode lain dalam Bibel (Eco, 1999: 24).
Umberto Eco mengatakan benang merah esai-esai dalam buku tersebut adalah pembicaraan tentang
gagasan, rancangan, keyakinan-keyakinan yang eksis dalam satu zona temaram antara akal sehat dan kegilaan, kebenaran dan eror, inteligensi visioner dan sesuatu yang bagi kita kini tampak sebagai kebodohan, meskipun hal tersebut tidak tampak bodoh pada masanya dan oleh sebab itu mesti kita pertimbangkan dengan respek besar.
Serendipities: Language and Lunacy, hal. ix
“Bahasa-Bahasa di Firdaus” mendedahkan evolusi bahasa sekaligus menunjukkan upaya-upaya dilakukan untuk menemukan kembali “bahasa Adam yang hilang” pasca-Babel. Dalam pengantar buku yang sama, Umberto Eco mengatakan esai terkait dia “bacakan pada bulan April 1997 dalam kolokium di Yerusalem tentang konsep Firdaus dalam tiga agama monoteistik” (1999: vii). Kita membayangkan tiga agama tersebut Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi saat membacanya kita hanya menemukan sedikit sekali bahan dari agama yang disebutkan terakhir.
Kosmogoni, kisah penciptaan dan dunia purba dalam Islam paling banyak dibahas dalam genre yang lebih lazim dikategorikan kesusasteraan daripada nonfiksi yang disebut Qasas al-Anbiya (secara literal berarti Kisah-Kisah Para Nabi). Risalah-risalah kategori ini menyusun tafsir-tafsir Al-Qur’an tematik didasarkan pada urutan 25 nabi dan rasul alih-alih sesuai urutan lazim surat-surat dalam Al-Qur’an. Sejarah manusia dalam Islam hadir mengikuti garis waktu para nabi, bertolak dari nabi Adam yang biasa dipandang sebagai manusia pertama. Tidak mengherankan jika buku sejarawan Islam terkenal Al-Thabari (839-923 M) berjudul Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, “Sejarah Para Rasul dan Raja-Raja”.
Selain buku Al-Thabari, ada lebih dari tujuh puluh lebih buku kategori genre yang sama, masing-masing sangat bervariasi dan kadang saling bertentangan. Tulisan ini merujuk dua di antaranya yang diyakini paling awal dan paling terkenal serta bisa diakses lengkap sehingga kerap dijadikan rujukan dalam risalah-risalah senada yang dianggit lebih belakangan. Risalah pertama berjudul Qasas wa Mawalid al-Anbiya (secara literal berarti Kisah-Kisah dan Tempat serta Masa Kelahiran Para Nabi) karangan Al-Kisai (diperkirakan hidup antara 864-961 M) sementara risalah kedua berjudul Arais al-Majalis fi Qasas al-Anbiya (secara literal berarti Pengantin-Pengantin Wanita dalam Pembahasan Kisah Para Nabi) karangan Al-Tsa’labi (diperkirakan meninggal tahun 1035 M).
Al-Kisai menarasikan kisah “Adam berbicara menggunakan tujuh tingkatan bahasa dan tingkatan paling tinggi adalah bahasa Arab” (2008: 26) dan “Tuhan memberi tahu Adam semua bahasa, bahasa paus dan katak dan bahasa semua yang berada di daratan dan lautan.” (2008: 27). Dengan kata lain, jawaban untuk persoalan yang Umberto Eco ajukan sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini menurut sumber Islam sudah jelas dan final: bahasa yang Tuhan dan Adam gunakan di firdaus adalah bahasa Arab.
Namun, apa yang tampak jelas dan dianggap final belum tentu sahih karena informasi tersebut lebih mirip satu ungkapan terkenal biasa dinisbatkan pada Charles V bahwa “aku menggunakan bahasa Spanyol dengan Tuhan, bahasa Italia dengan kaum wanita, bahasa Prancis dengan pria, dan bahasa Jerman dengan kudaku.” Artinya, bahasa tak pernah suwung dari tendensi, dari “yang politis”.
Maka informasi Al-Kisai berikan, dengan sikap lebih cermat bisa dipandang upaya politis menjunjung posisi bahasa Arab sebagai bahasa paling tinggi dan dengan demikian memosisikan bahasa dan bangsa non-Arab sebagai liyan. Dalam catatan Dr. Jawwad Ali (1993: 21), disebutkan Aeschylus mengatakan salah satu pemimpin terkenal dalam pasukan Xerxes dari Persia adalah “perwira Arab”, sementara bangsa Yunani memandang bangsa Persia sebagai barbaros—“konsep linguistik” yang bangsa Yunani gunakan pada saat itu “kepada semua bangsa yang tidak menggunakan bahasa Yunani, baik bangsa tersebut beradab ataupun biadab”—yang “hampir kasar atau tidak berbudaya” (Irwin, 2007: 10). Umberto Eco (1999: 26) memberikan definisi lebih menohok: “mereka yang gagap, mereka yang tidak memiliki bahasa”. Kita lantas bisa melihat apa yang Al-Kisai lakukan pada dasarnya merupakan upaya membalik posisi liyan tersebut, upaya yang konsekuensi paling jauhnya bisa dilihat dalam perdebatan tanpa henti dalam teologi Islam perihal penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain.
Dalam upaya melakukan itu, Al-Kisai tidak sendiri sebagaimana juga hal itu tidak berawal ataupun berhenti di dia. Adonis dalam buku monumental At-Tsabit wa al-Mutahawwil, menunjukkan bagaimana glorifikasi bahasa Arab berlangsung pada masa awal Islam dari mulai pendapat bahwa “Tuhan mengajarkan bahasa Arab kepada Adam” dan bahwa dengan bahasa itulah “Adam bercakap-cakap di surga” (2016: 169), sampai pendapat bahwa bahasa Arab tidak mungkin memiliki serapan dari bahasa lain karena bahasa Arab dianggap sebagai “bahasa asal yang tidak membutuhkan bahasa lain” (2016: 171-172). Ada juga hadis nabi populer, meski sanadnya daif, mengatakan bahwa “cintailah Arab karena tiga hal: karena aku orang Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, dan bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab” (Al-Baihaqi, 2003: 34-35)
Dengan kata lain, pandangan Islam tentang bahasa Arab sebagai bahasa firdaus/Tuhan/Adam bukan hanya terkait dengan kosmogoni dan kisah penciptaan, tetapi juga eskatologi. Bahasa Arab adalah bahasa dulu Tuhan gunakan dengan Adam dan bahasa kelak akan orang-orang gunakan di surga setelah kiamat. Menarik bahwa meski dalam Islam pun kisah menara Babel ditemukan, biasa dikisahkan dalam Qasas pada bagian yang mengisahkan Nabi Ibrahim dan Namrud (Nimrod)dan biasa merujuk An-Nahl (16): 26 (Al-Tsa’labi, 2009: 88; Al-Kisai, 2008: 127-128, tetapi tidak ada narasi kisah tentang kekacauan bahasa pasca-Babel dalam narasi Al-Kisai). Pembahasan mengenainya biasa dilakukan dari aspek teologi, bukan bahasa, sehingga sepintas kita bisa menduga bahasa Arab selamat dari kekacauan bahasa di dunia menjadi 73 pasca-Babel.
Sementara itu, mengenai nama-nama apa yang Tuhan beritahukan kepada Adam, yang juga disinggung dalam “Bahasa-Bahasa di Firdaus” merujuk Kejadian 2:19, jika mengandaikan bahwa Tuhan memang menggunakan bahasa Arab, tidak ada kesepakatan mutlak. Dalam narasi Al-Tsa’labi disebutkan bahwa:
Kemudian Tuhan membuat Adam tahu semua nama. Para ulama berselisih paham tentang nama-nama apakah itu, menurut Rabi’ bin Anas: nama seluruh malaikat; menurut ‘Abd al-Rahman bin Zayd bin Aslam: nama-nama keturunannya; dan menurut Ibn Abbas dan sebagian besar orang: Allah membuat Adam tahu segala hal sampai besar kecilnya lubang tikus.
Qasas al-Anbiya, al-Musamma bi Arais al-Majalis, hal. 29
Narasi ini bukannya tanpa persoalan, karena jika memang demikian maka kita bisa mengatakan bahwa nama-nama semua hal pada awalnya ada dalam bahasa Arab, sebuah argumen yang tidak didukung fakta kebahasaan. Salah satu rasionalisasi yang mungkin diberikan jika kita mengadopsi keyakinan itu adalah nama-nama tersebut kemudian berubah pasca-Babel, meskipun itu artinya dugaan awal kita gugur: bahasa Arab tidak selamat pasca-Babel.
Namun, rasionalisasi semacam itu kontradiktif pula dengan pendapat populer dalam Islam bahwa orang pertama menggunakan bahasa Arab adalah Ya’rab bin Qahthan bin Hud (Eber), leluhur kerajaan Himyar, Yaman (Al-Tsa’labi, 2009: 44). Ya’rab menggunakan bahasa Arab sekaligus Suryani (bahasa Aram Timur), sementara Adam, tidak disebutkan menggunakan bahasa Arab di bumi, justru disebutkan menggunakan bahasa Suryani, informasi yang diperkuat penjelasan Al-Thabari bahwa “sebelum peristiwa menara Babel, umat manusia menggunakan bahasa Suryani” (1967: 289).
Lantas, apakah hipotesis yang bisa dikemukakan adalah Adam berbahasa Arab di firdaus, saat di bumi dia menggunakan bahasa Suryani, lalu bahasa Arab kembali dipopulerkan oleh Ya’rab bin Qahthan?
Dr. Jawwad Ali dalam bab pertama Al-Mufashshal fi Tarikhi al-Arab qabla al-Islam jilid pertama menuturkan dengan rinci berbagai pendapat tentang siapa dan kapan orang pertama kali menggunakan bahasa Arab. Dia juga menyinggung kontradiksi di atas, sekaligus menambahkan kontradiksi dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Ismail yang “mendapatkan ilham” untuk menggunakan bahasa Arab (Ali, 1993: 14-15). Orang-orang mendapatkan titik temu kontradiksi ini dengan mengatakan bahwa “Ya’rab adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab, sementara Ismail adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab dengan dialek Hijaz, yaitu dialek bahasa Arab Al-Qur’an” (Ali, 1993: 15).
Secara genealogis, Ya’rab bin Qahthan bin Hud, sementara Ismail bin Ibrahim bin Tarah (Terah) bin Nakhur (Nahor) bin Sarug (Serug) bin Argu (Rehu) bin Paleg (Peleg) bin Hud (Eber) (Al-Thabari, 1967: 205). Tarah yang kemudian disebut Azar adalah penjaga gudang tuhan-tuhan Namrud, sementara Qahthan penguasa Yaman pertama. Jika Yaqthan bin Qahthan saudara Ya’rab bin Qahthan dalam Al-Thabari (1967: 205) sama dengan Yoktan dalam Bibel, maka bisa dikatakan bahwa baik Ismail-Ibrahim-Azar maupun Ya’rab sama-sama mengalami era Namrud, karena menurut Kejadian V:1 versi Buku Biblikal Kuno Pseudo-Philo Yoktan adalah penguasa keturunan Sem (Sam), Nimrod (Namrud) penguasa keturunan Ham, dan Phenech penguasa keturunan Yafet (Yafits) dan ketiganya merupakan penguasa yang dalam Kejadian 11:2-4 memerintahkan pembangunan menara Babel.
Meski ada anakronisme antara narasi Kejadian dengan Al-Thabari karena dalam Kejadian 10:25 Yoktan disebut putra Eber sehingga sebagian peneliti biasa menyamakan Yoktan versi Kejadian dengan Qahthan bin Hud (Eber) dan bukannya dengan Yaqthan bin Qahthan versi Al-Thabari, hal tersebut tidak menggugurkan hipotesis di atas, karena tidak masalah apakah Yoktan penguasa sezaman Nimrod dalam Pseudo-Philo merupakan Qahthan bin Hud yang merupakan penguasa Yaman pertama, ataupun Yaqthan bin Qahthan yang bisa dibayangkan sebagai penerusnya.
Berdasarkan hipotesis ini, baik Ya’rab maupun Ismail sama-sama merupakan sosok yang “bersih” untuk menjadi leluhur bangsa Arab, dari genealogi yang berbeda. Bangsa Arab pada masa Islam awal secara genealogis terbagi menjadi dua, Arab Murni (‘Aribah) dan Arab Pendatang (Musta’ribah). Arab Murni adalah keturunan Qahthan, sementara Arab Pendatang keturunan Adnan yang merupakan keturunan Ismail (Ali, 1993: 354). Lantas kita bisa dengan mudah menduga pembahasan tentang bahasa Arab sebagai bahasa firdaus dalam Islam beserta kontradiksi-kontradiksinya pada akhirnya bukan lagi sekadar persoalan kosmogoni, kisah penciptaan, dan eskatologis, melainkan menyimpan motif politis perebutan identitas ras, antara yang murni dengan yang campuran, antara yang dipandang pribumi dengan yang dianggap pendatang.
Umberto Eco dalam “Bahasa-bahasa di Firdaus” memberikan pendedahan historis panjang dan menarik mengenai evolusi bahasa dan para pemikir bahasa dari mulai Aristoteles, Plato, sampai Abraham Abulafia, Dante Alighieri, dan Maria Corti. Umberto Eco dengan hati-hati tidak memberikan kesimpulan mutlak tentang persoalan yang dia bahas, sekadar hipotesis. Maka pada titik sama penulis pun menutup tulisan singkat ini, untuk sementara, dengan mengungkapkan bahwa apa pun tepatnya bahasa yang Tuhan dan Adam gunakan di firdaus dulu, kini nun di sana semoga Umberto Eco bercakap menggunakan bahasa tersebut. Salam.
Dalam versi sedikit berbeda, tulisan ini dipublikasikan di Majalah Basis No. 09-10, Th. 70, 2021.
Referensi
Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin al-Husayn. 2003. Al-Jami’ li Syu’abi al-Iman (jilid 3). Riyadh: Maktabah al-Rusyd.
Adonis. 2016. Ats-Tsabit wal-Mutahawwil: Bats fi al-Ibda’ wa al-Ittiba’ ‘Inda al-Arab (jilid 2). Kairo: Al-Haiah al-Ammah Liqushuri al-Tsaqafah.
Ali, Jawwad. 1993. Al-Mufashshal fi Tarikhi al-Arab qabla al-Islam (jilid 1). Baghdad: Jamiat Baghdad.
Eco, Umberto. 1999. Serendipities: Language and Lunacy (terj. William Weaver). New York: Harvest Book.
___________. 1995. The Search for Perfect Language (terj. James Fentress). Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Irwin, Robert. 2007. For Lust of Knowing: The Orientalists and their Enemies. London: Penguin Books.
Al-Kisai, Abu Abdurrahman. 2008. Qasas wa Mawalid al-Anbiya. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Pseudo-Philo. 1971. The Biblical Antiquities of Philo (trans. M. R. James). New York: KTAV Publishing House, Inc.
Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad. 1967. Tarikh al-Thabari: Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (jilid 1). Kairo: Dar al-Maarif bi Mishr.
Al-Tsa’labi, Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim an-Nisaburi. 2009. Qasas al-Anbiya, al-Musamma bi Arais al-Majalis. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.