Tarot dalam Sastra: Dari “The Waste Land” sampai “Ramalan di Hari Angin”

1

KARTU Tarot berawal dari sejarah yang sampai sekarang masih simpang siur dan sedikit banyak berkaitan erat dengan okultisme. Kini, di satu sisi didorong oleh kemudahan bisnis produksi kartu dan popularitasnya melalui berbagai media, kartu Tarot ikut menjadi bagian dari budaya populer, sementara di sisi lain kartu Tarot juga ikut berperan sebagai media yang bisa membantu menangani berbagai persoalan individu terutama yang berakar psikologis.

Di sisi lain aspek mistisnya, tampilan visual 78 kartu Tarot—22 Arkana Mayor dan 56 Arkana Minor dibagi menjadi 4 suit berdasarkan elemen Api (Wands/Tongkat), Air (Cups/Piala/Cawan), Udara (Swords/Pedang), dan Tanah (Pentacles/Koin)—yang kaya simbol membuat kartu Tarot memang menjadi bahan kajian semiotik dan juga psikologi analitis Carl Gustav Jung yang kemudian menyimpulkan bahwa simbol-simbol pada kartu Tarot adalah arketipe bersumber dari collective unconscious ‘ketaksadaran kolektif’1Pandangan Carl Gustav Jung tentang Tarot bisa dibaca di sini. Buku yang bisa dibaca mengenai Tarot dari sudut pandang teori Jung misalnya Sallie Nichols, Tarot and the Archetypal Journey: The Jungian Path from Darkness to Light (Maine: Samuel Weiser, Inc., 1980) dan Rose Gwain, Discovering Your Self through the Tarot: A jungian Guide to Archetypes & Personality (Vermont: Destiny Books, 1994).. Dua hasil kajian itulah yang lebih biasa dipilih untuk basis interpretasi kontemporer Tarot.2Ada sangat banyak buku berbahasa Inggris yang bisa dirujuk mengenai seluk-beluk kartu Tarot. Beberapa buku standar yang bisa disebutkan di sini adalah The Pictorial Key to Tarot (Stamford: U.S. Games Systems, Inc., 1971) karangan Arthur Edward Waite, figur yang melakukan standardisasi kartu Tarot modern dikenal dengan sebutan Rider Waite Tarot, memuat penjelasan historis sekaligus makna-makna standar untuk masing-masing kartu dan Seventy-Eight Degrees of Wisdom: A Book of Tarot (Newburyport: Weiser Books, 2019), ditulis oleh Rachel Pollack, seorang tarot reader terkemuka dan biasa dijadikan buku pegangan utama para tarot reader. Buku kontemporer lain yang cukup komprehensif membahas sejarah kartu Tarot adalah Robert M. Place, The Tarot: History, Symbolism, and Divination (New York: Jeremy P. Tarcher, 2005).

Di luar sana, berbagai media yang ikut memopulerkan penggunaan kartu Tarot untuk kartomansi adalah film, komik, novel, cerpen, ataupun puisi. Pada media-media budaya populer, biasanya yang dikedepankan adalah aspek mistis kartu Tarot untuk menimbulkan suspense ‘tegangan’ dengan cerita diarahkan menjadi genre horor. Hal tersebut berbeda dengan kemunculan Tarot pada karya yang lebih serius, misalnya dalam puisi legendaris T.S. Eliot, The Waste Land. Kartu Tarot muncul dalam karya yang menjadi masterpis modernisme itu pada baris 43-49:

   Madame Sosostris, famous clairvoyante,

Had a bad cold, nevertheless

Is known to be the wisest woman in Europe,

With a wicked pack of cards. Here, said she,

Is your card, the drowned Phoenician Sailor,

(Those are pearls that were in his eyes, Look!)

Here is Belladonna, the Lady of the Rocks,

The lady of situations.

Here is the man with three staves, and here the Wheel,

And here is the one-eyed merchant, and this card,

Which is blank, is something he carries on his back,

Which I am forbidden to see. I do not find

The Hanged Man. Fear death by water. 

I see crowds of people, walking round in a ring.

Thank you. If you see dear Mrs. Equitone,

Tell her I bring the horoscope myself:

One must be so careful these days.

Ada tujuh kartu Tarot disebutkan dalam bait di atas, yakni (1) the drowned Phoenician Sailor, (2) Belladonna, (3) the man with three staves, (4) the Wheel, (5) the one-eyed merchant, (6) blank card, dan (7) The Hanged Man. Tiga kartu bisa langsung kita kenali sebagai benar-benar ada dalam set kartu Tarot, yaitu nomor (3), Three of Wands, (4), The Wheel of Fortune, dan (7) The Hanged Man. Mengenai empat kartu sisanya, kita boleh saja merujuk pada catatan yang T.S. Eliot sertakan dan menyimpulkan bahwa hal tersebut bagian dari “penyimpangan dari kartu Tarot standar untuk menyesuaikan kebutuhan”.3Lihat dalam T.S.Eliot, “Notes on ‘The Waste Land’”, dalam The Complete Poems and Plays 1909-1950 (New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1971), hal. 51 catatan no. 46 di mana T.S. Eliot mengatakan “I am not familiar with the exact constitution of the Tarot pack of cards, from which I have obviously departed to suit my own convenience”.

Three of Wands, The Wheel of Fortune, dan The Hanged Man

Namun ada interpretasi menarik dari Grover Smith, Jr. bahwa kartu (2) mungkin merujuk The Empress dan kartu (5) The Fool.4Grover Smith, Jr. T.S. Eliot’s Poetry and Plays: A Study in Sources and Meaning (Chicago: The University of Chicago Press, 1958), hal. 77. Dengan kata lain, hanya kartu (1) dan (6) yang merupakan “penyimpangan”, meski uniknya kita mendapati bahwa dalam puisi kartu (6) ditautkan dengan “bekal” The Fool yang dalam interpretasi kartu Tarot biasa dimaknai sebagai potensi. Sementara kartu (1) kita temukan sosoknya lebih jelas dalam baris 312 sampai 322 puisi yang sama sebagai “Phlebas the Phoenician”.

The Empress dan The Fool

Di satu sisi konon kemunculan kartu Tarot dalam puisi T.S. Eliot tersebut sempat membuat penjualan kartu Tarot pada masa itu melonjak drastis meskipun 3 baris awal sebenarnya merupakan ironi khas T.S. Eliot bahwa meski Madame Sosostris–karakter fiktif dengan asal-usul simpang siur–konon bisa menubuatkan “masa depan” tetapi dia tidak bisa meramalkan dirinya sendiri akan pilek parah. Akan tetapi di sisi lain, kartu Tarot dalam The Waste Land ditampilkan dengan perlakuan serius sebagai simbol-simbol yang memperkuat tema, termasuk melalui keselarasannya dengan simbol-simbol mitologi Holy Grail.

Dalam prosa, Italo Calvino menggunakan kartu Tarot sebagai basis cerita novel The Castle of Crossed Destinies (1969). Italo Calvino menyusun dua cerita induk dengan fokalisasi ekstra-homodiegetik berlatar Kastel dan Kedai. Orang-orang yang datang ke dua tempat itu mendadak tidak bisa bersuara. Kemudian masing-masing mengisahkan pengalaman mereka menggunakan kartu-kartu Tarot—gambar kartu Tarot disertakan dalam novel—yang kemudian diinterpretasikan menggunakan fokalisasi intra-homodiegetik sehingga masing-masing cerita menjadi cerita berbingkai seperti kisah Decameron dan 1001 Malam. Masing-masing cerita berbingkai tersebut juga saling bertaut dihubungkan oleh kartu Tarot sama yang digunakan oleh karakter berbeda.

Dengan kata lain, Italo Calvino menggunakan kartu Tarot untuk menciptakan metafiksi, kisah tentang penciptaan kisah. Kartu Tarot digunakan untuk menautkan alur-alur cerita berbingkai atau lanturan, sementara simbol-simbol dalam kartu Tarot diperlakukan sebagai sumber adegan-adegan yang menyusun cerita.  

Selain Italo Calvino, sastrawan yang juga memanfaatkan Tarot sebagai elemen cerita adalah Angela Carter. Dalam cerpen dia, “The Lady of the House of Love”, kita menemukan adegan ketika “ratu kaum vampir yang cantik”

menebarkan kartu-kartu Tarot, tiada henti menafsirkan kumpulan pola kemungkinan seolah-olah jatuhnya kartu-kartu secara acak pada taplak meja merah mewah di depannya bisa membantu dia menghilangkan gigir, mengubah ruang tertutup menjadi sebuah negeri diliputi musim panas abadi dan melenyapkan kesedihan kekal seorang gadis yang merupakan mayat sekaligus perawan.5Angela Carter, The Bloody Chamber (London: Vintage Books, 2006), hal. 107. Cerpen “The Lady of the House of Love” selengkapnya ada pada hal. 107-125.

“The Lady of the House of Love”

Kita lihat dalam cerpen tersebut kartu Tarot dijadikan penguat atmosfer muram yang sedang menyungkup karakter “ratu kaum vampir yang cantik”. Adegan berlangsung pada paragraf kedua cerpen dan berulang pada paragraf kesepuluh sambil menyebutkan kartu-kartu yang selalu muncul: La Papesse (The High Priestess), La Mort (Death), dan La Tour Abolie (The Tower). Berdasarkan teks cerpen, masing-masing secara berurutan berarti hikmat, kematian, dan keterputusan.

The High Priestess, Death, dan The Tower

Di paragraf kedua belas, adegan kembali diulang dengan hasil yang tetap tak berubah, menyimbolkan masa depan yang juga stagnan. Sang ratu kaum vampir, Nosferatu, memang menjalani hidup abadi tetapi dengan kehidupan sehari-hari yang sama terus berulang dan membuatnya jenuh, kehidupan tanpa gairah. Kartu-kartu Tarot sama yang muncul berulang kali menjadi simbol kehidupan sehari-harinya yang juga terus berulang. Pada saat yang sama, kartu Tarot juga menjadi satu-satunya harapan untuk lepas dari kejenuhan dan berulang kali pula nubuat yang kartu tunjukkan tidak sesuai keinginan. Baru pada paragraf kedua puluh ditunjukkan bahwa ada satu kartu yang berbeda muncul, Les Amoureux (The Lovers), dan itu menandakan berubahnya kehidupan dia karena cinta sebagaimana kemudian dikisahkan sampai akhir cerpen.

The Lovers

Di Indonesia, salah satu figur pionir yang berperan menyebarluaskan kartu Tarot adalah Ani Sekarningsih, seorang sastrawati yang mengarang novel etnografis berlatar Papua, Namaku Teweraut (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000). Dia kemudian melakukan terobosan asimilasi tradisi tarot yang datang dari luar dengan tradisi “lokal” melalui penciptaan Tarot Wayang.6Ani Sekarningsih juga menulis sebuah buku tarot berjudul Bunga Rampai Wacana Tarot (Jakarta: Grasindo, 2006). Bersama buku karangan Audifax & Leonardo Rimba, Tarot & Psikologi Simbol (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2014), buku tersebut bisa dijadikan rujukan awal tentang tarot dalam bahasa Indonesia.

Mungkin karena popularitas kartu Tarot di Indonesia berlangsung lebih belakangan daripada di Eropa dan Amerika maka kemunculan kartu Tarot dalam prosa dan fiksi berbahasa Indonesia pun relatif belakangan. Dalam puisi misalnya, kita menemukan kemunculan kartu Tarot pada puisi Oka Rusmini berjudul “Tarot” yang bertitimangsa tahun 19997Oka Rusmini, Pandora (Jakarta: Grasindo, 2018), hal. 25-26:

Tarot

Bersama FN

"Teh ginseng milikku. Teguklah dengan darah. Potong nadi sebelum menelan pil puisi."

Kaubuka kartu-kartu hitam di atas kayu-kayu tua. Seorang lelaki menemuimu, dengan seratus panah terbenam di rakitnya yang mengering.

"Jangan sentuh catku. Biarkan mengering di wajahmu." Kau mulai menambal lubang-lubang kayu. "Kupas kartuku."

Senja itu seorang lelaki mendekapku sambil memalingkan wajah. Dia tinggalkan sekarung ular, sebungkus ulat. Darah orang-orang yang membuatnya ada dioleskan ke tubuhku. "Jangan pulang. Nanti kau tenggelam." Orang-orang berwajah api dengan beratus-ratus karung di tubuhnya. Dia mau kulitku, percintaanku. Mungkin juga akan ditelannya impian yang kupiara di ruas iga. 

Sampan itu terus kukayuh. Seorang ratu datang. Wajahnya rembulan. Tubuhnya kelopak bunga. Kudekap kucium aromanya. Bau dewakah ini? Tuhankah yang datang setiap kubuka peti pandoraku? "Perempuan dengan seratus prajurit di perut. Seribu naga di kepala. Ikan-ikan adalah milikmu." Tangan kiriku memintal kepala laki-laki. Tangan kananku menguliti tubuhnya. "Orang-orang akan datang kepadamu. Menyembah kuku, mengumpulkan remah rambut, menaburkan keringatmu. Padi, sedikit gandum dan perasan susu, akan diantar para perempuan kampung. Bukalah seluruh pintumu."

Air bah datang. Kulihat seluruh manusia telanjang. Mereka melukisi tubuhnya. Para perempuan melukis puting, menjahit rahim. Mana wujudku? "Laki-laki itu datang dengan sekarung ulat dan ular, cat tubuhmu dan aromanya. Tinggalkan sampan dan kebun bunga. Apa kau masih punya Tuhan?"

Berapa kartu lagi harus kubuka? 

Kita juga menemukan kemunculan kartu tarot dalam puisi Kurnia Effendi, “Catatan tentang Paris” yang dipublikasikan tahun 20198Kurnia Effendi, Mencari Raden Saleh (Yogyakarta: Diva Press, 2019), hal. 90.:

Notre Dame menjadi etsa di kaca jendela

-Tubuhku lesap ke dasar rubanah

Seperti kartu tarot yang diaduk cepat, takdirku

dibagi dalam baris-baris misteri


"Catatan tentang Paris"

Baik pada baris-baris puisi Oka Rusmini maupun pada baris-baris puisi Kurnia Effendi, kartu Tarot digunakan untuk menjadi simile ‘umpamaan’ bagi takdir. Kesamaan antara kartu tarot dan takdir terletak pada aspek sama-sama mengandung misteri, yakni sebagaimana kartu apa yang akan muncul tidak bisa ditebak, demikian juga takdir apa yang akan si aku-narator jalani juga tidak bisa diketahui terlebih dahulu. 

Sementara dalam prosa, selain dalam cerpen Iin Farliani yang akan dibahas tersendiri dan sejauh yang saya ketahui, ada empat karya yang memuat kemunculan kartu Tarot. Pertama, dalam novel Remy Sylado, jilid kedua dwilogi Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah (Solo: Tiga Serangkai, 2008). Kedua, dalam novel Orb (Solo: Tiga Serangkai, 2008) karya Galang Lufityanto. Ketiga, dalam novel Jamila (Yogyakarta: Elmatera, 2018) karya R. Toto Sugiharto. Terakhir, dalam novel saya sendiri Yang Maya Yang Bercinta (Yogyakarta: Odise, 2021).  

Dalam Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, ada satu karakter minor berprofesi sebagai Tarot reader sekaligus ahli palmistri dimunculkan pada Bab Lima Puluh Tujuh. Karakter itu bernama Cohen, “seorang Yahudi kelahiran Amsterdam yang telah menetap di Semarang sejak zaman Daendels, berdagang perhiasan, mas, perak, dan permata, selain juga rentenir” (hal. 357). Van Rijnst dan Danurejo IV mengunjungi Tarot reader itu karena mereka menginginkan kematian Pangeran Diponegoro dan mengira Cohen adalah dukun dalam pengertian lokal: tukang tenung. Tentu saja anggapan tersebut keliru dan ujung-ujungnya mereka berdua sekadar diramal. 

Dalam novel ditampilkan juga ilustrasi tarot yang merupakan Tarot Rider-Waite. Dalam hal ini Remy Sylado melakukan anakronisme karena cerita terjadi pada tahun 1822 sementara kartu Rider-Waite baru dipublikasikan pertama kali pada tahun 1909. Meskipun demikian, novel ini menampilkan interpretasi kartu Tarot tanpa malapraktik, terlihat dari adegan ketika Danurejo IV mendapatkan kartu Death, Cohen tidak lantas meramalkan Danurejo akan cepat mati (hal. 361), demikian juga ketika Van Rijnst mendapatkan kartu The Fool terbalik (hal. 364).

Death dan The Fool terbalik

Jika kemudian Cohen meramalkan masa depan kedua orang itu termasuk masa hidup mereka dan tepat, maka hal tersebut dia lakukan menggunakan pembacaan garis tangan dan bola kristal. Maka bisa dikatakan bahwa kartu Tarot digunakan dalam novel untuk menggambarkan situasi yang sedang dan akan dihadapi oleh karakter (Danureja IV) ditambah sifat karakter (Van Rijnst).    

Sebaliknya, malapraktik terkait interpretasi kartu Tarot justru muncul dalam novel fiksi ilmiah Orb karya Galang Lufityanto. Novel ini menghadirkan opini klise dan salah kaprah umum tentang kartu Tarot yakni ketika dalam pembacaan kartu muncul kartu Death maka pihak yang dibacakan kartu tidak lama kemudian akan mati. Dalam novel, kesalahkaprahan itu digunakan untuk memperkuat aspek mistis karakter Cassandra yang memang sejak awal ditampilkan sebagai cenayang.

Pada Bab 20, ditampilkan sorot balik masa kecil Cassandra. Cassandra adalah anak seorang keturunan gipsi yang berprofesi Tarot reader secara turun-temurun. Dia tidak punya teman di sekolah karena termasuk anak miskin. Suatu hari dia tanpa sengaja menjadi akrab dengan Sydelle, anak orang kaya tempat bapak Cassandra bekerja sebagai tukang kebun. Keakraban tersebut tidak disenangi oleh tiga teman satu geng Sydelle yang elit: Giselle, Kiara, dan Jen.

Suatu hari, Cassandra mengajak Sydelle ke tempat ibunya membuka jasa pembacaan tarot, ternyata sampai di sana ibunya sudah keburu menutup stan. Karena tak ingin melihat Sydelle kecewa, Cassandra akhirnya memaksakan diri akan membacakan kartu tarot untuk Sydelle di kafe. Cassandra aslinya belum memiliki pengalaman membacakan kartu sehingga dia menjadi gugup ketika kartu yang muncul adalah kartu Death berulang-ulang. Dia kemudian pergi. Sydelle mengejar dia untuk mengembalikan kartu Death, tetapi dia tertabrak mobil sport berwarna merah saat menyeberang jalan.

Death

Selain berfungsi menguatkan karakterisasi Cassandra, kartu Tarot juga digunakan untuk menjelaskan latar belakang dia. Setelah peristiwa itu, tragedi menimpa keluarga dia berturut-turut dari mulai dia semakin dikucilkan di sekolah karena dianggap bertanggung jawab atas kematian Sydelle, izin kerja ibunya dicabut, ayahnya dipecat dan tidak diterima bekerja di kebun mana pun. Dia kemudian melampiaskan rasa frustrasi pada istrinya sampai akhirnya Cassandra dan ibunya–yang tak tahan lagi karena sering dipukuli–memutuskan pergi dan terlunta-lunta.    

Dalam novel Jamila, kartu Tarot muncul bersama kehadiran karakter Novita, seorang Tarot reader sekaligus ahli palmistri (hal. 27). Pembacaan Tarot yang Novita lakukan mendorong karakter utama, Jamila, untuk mengembangkan gagasan dia karena pembacaan kartu menunjukkan peluang untuk sukses. Gambaran ini merupakan gambaran umum kartu Tarot sebagai media untuk meningkatkan motivasi.

Selanjutnya, di dalam novel ada adegan pembacaan kartu menggunakan tebaran 3 kartu untuk membaca mimpi ayah Jamila, Sumantri (hal. 57-62). Disebutkan bahwa kartu yang pertama muncul  adalah The Empress yang Novita tafsirkan mengilustrasikan kebahagiaan keluarga, kebutuhan untuk dicintai, dan keterlibatan dengan asmara. Pada akhirnya Novita menafsirkan kalau ayah Jamila sedang kasmaran.

Kartu kedua yang disebutkan muncul terkait Jamila dan tautannya dengan mimpi ayahnya adalah High Priestess. Novita menafsirkannya sebagai idealisme yang menonjol, bahwa kemungkinan ide Jamila akan terwujud. Selain itu juga merujuk pada introspeksi diri yang oleh Novita ditarik ke pertanyaan kapan terakhir kali Jamila ziarah ke makam ibunya.

The Empress dan High Priestess

Jamila kemudian menanyakan kemungkinan kasmaran itu pada ayahnya yang lantas menyangkal. Jamila sadar ayahnya berbohong, tetapi dia tidak tahu bahwa ayahnya berbohong karena khawatir Jamila tak bisa menerima ibu tiri. Suatu hari, Jamila menemukan foto perempuan di saku kemeja ayahnya. Dia melacak identitas perempuan itu sampai tahu bahwa namanya Farida, perempuan yang menjalin hubungan asmara dengan ayahnya. Jamila juga kemudian mengetahui bahwa Farida berprofesi sebagai dosen di kampus yang sama tempat ayahnya mengajar.

Menjelang akhir cerita, muncul kembali adegan pembacaan Tarot dengan tebaran tiga kartu, kali ini yang menjadi querent adalah Farida (hal. 191). Kartu yang muncul The Hierophant, The Wheel of Fortune, dan The Emperor.

The Hierophant, Wheel of Fortune, dan The Emperor

Selanjutnya disajikan tafsir masing-masing kartu yang bisa memberikan gambaran sisi positif dan negatif Farida juga peluang kelanjutan hubungan dia dengan Sumantri. Berdasarkan kartu pertama misalnya yang salah satu poin negatifnya “bermuka dua” dan kartu kedua yang menunjukkan optimisme tapi juga ada sisi negatif termasuk “bayang-bayang masa lalu” dan sikap “emosional”, kita langsung diingatkan pada adegan sebelumnya yaitu ketika  Farida bersikap kasar pada pengemis yang sebenarnya adalah Jamila dalam penyamaran menguji sikap calon ibu tirinya. Kartu terakhir  ditafsirkan “ada ancaman kegagalan akibat sombong, otoriter, tidak disiplin, dan kerja sama yang buruk”. Kita lantas mendapat gambaran akan seperti apa adegan selanjutnya dalam alur terkait relasi Farida, Jamila, dan Sumantri, diperjelas juga oleh judul bab tersebut “Ubah Dulu Dirimu, Kami Akan Menunggu”.

Dengan kata lain, kartu Tarot dalam novel ini membantu menyusun alur dengan memberikan tautan sebab akibat pada beberapa adegan dalam cerita. Karakteristik dasar kartu Tarot yang memberi gambaran “masa depan” juga digunakan sebagai pemberi petunjuk pada adegan-adegan yang akan terjadi selanjutnya dalam alur.

Terakhir, kartu Tarot juga digunakan sebagai elemen kunci novel Yang Maya Yang Bercinta. Saya tidak ingin banyak berbicara tentang karya sendiri dan hanya ingin mengatakan bahwa novel tersebut sedikit banyak terinspirasi oleh The Castle of Crossed Destinies Italo Calvino yang sudah disinggung di atas dan kutipan darinya saya jadikan epigraf. Novel menjadikan kartu Tarot sebagai penggerak alur dengan kehadiran seorang Tarot reader yang menguasai baik sisi mistis maupun interpretasi semiotik kartu yang prosesnya analog dengan proses interpretasi simbol-simbol dalam karya sastra. 

2

IIN Farliani adalah cerpenis kontemporer kelahiran Lombok yang sudah menerbitkan satu kumpulan cerpen berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut pada akhir tahun 2019, memuat 15 cerpen yang sebelumnya pernah dipublikasikan di berbagai media dalam rentang 2014-2017. Pada pertengahan 2020, satu cerpen dia memuat pembacaan kartu Tarot dipublikasikan di basabasi.co dengan judul “Ramalan di Hari Angin”.

Cerpen tersebut menyampaikan cerita sederhana menggunakan fokalisasi ekstra-heterodiegetik: narator mengisahkan cerita pada posisi lapis pertama dan tidak memiliki hubungan dengan cerita yang dikisahkan. Karakter-karakter cerita adalah satu keluarga yang terdiri dari Revi, Nyonya Sintia, dan Ayah. Satu karakter lain adalah Paman Beni Jale, “teman masa kecil” sang ayah yang sering datang untuk membacakan kartu.

Cerpen dibuka dengan seruan Nyonya Sintia kepada Revi supaya dia menutup pintu dan mengangkat jemuran karena angin bertiup kencang. Saat itu akhir bulan Desember dan cuaca memang sangat buruk. Nyonya Sintia sedang masak sementara ayah Revi sedang tidur di sofa. Setelah itu hujan turun, Paman Beni datang lalu dia membacakan kartu untuk ayah Revi. Sedikit sorot balik, Paman Beni pertama dikenalkan oleh ayah Revi sebagai teman masa kecil, setelah itu dia sering datang dan tiap kali dia datang mereka selalu “makan besar”.

Suatu sore, Revi dan ayahnya pergi bersepeda. Langit mendung tetapi Revi sangat menikmati sore itu sambil membayangkan nanti malam Paman Beni akan datang menceritakan kartu-kartu “yang cantik” dan “mendatangkan kabar baik”. Sayangnya, malam itu kartu-kartu yang muncul menunjukkan kabar buruk. Meski demikian, sang ayah menanggapi itu dengan santai, mengatakan bahwa hal itu “hanya perkara tafsir” Paman Beni. Mereka kemudian kembali “makan besar”.

Beberapa hari setelah itu, ayah Revi sakit dan dirawat di rumah sakit. Nyonya Sintia menautkan kejadian itu dengan ramalan Paman Beni, tetapi ayah Revi tidak. Paman Beni makin sering datang ke rumah dan Revi meminta dia membacakan kartu, tetapi kartu-kartu yang muncul “bernuansa kelabu”.

Hari demi hari berlalu, cuaca masih berangin dan Nyonya Sintia rutin menjenguk ayah Revi sambil membawa makanan. Paman Beni kerap menghiburnya. Revi tahu kondisi ayahnya semakin buruk, sementara Paman Beni dan Nyonya Sintia makin sering bepergian dengan alasan mau ke rumah sakit tetapi tanpa membawa rantang makanan. Cerita ditutup dengan adegan Revi duduk di beranda sendiri mengamati “tumpukan daun kering” yang ia susun menyerupai bukit kecil, kemudian disapu kembali oleh angin. Dia kemudian teringat seruan Nyonya Sintia tentang mengangkat jemuran, tetapi dia tetap duduk di beranda.

Jika disusun secara lebih sistematis, poin-poin alur cerpen sebagai berikut:

  • Ayah Revi memperkenalkan Paman Beni kepada Revi dan Nyonya Sintia sebagai teman masa kecilnya. Paman Beni kemudian sering datang berkunjung.
  • Setiap Paman Beni datang, Nyonya Sintia selalu memasak untuk “makan besar”, ayah Revi suka dibacakan kartu, Revi menyukai kartu-kartu yang cantik dan membawa kabar baik.
  • Suatu malam, kartu-kartu yang muncul buruk. Beberapa hari kemudian ayah Revi sakit dan karenanya harus dirawat di rumah sakit.
  • Nyonya Sintia memiliki rutinitas baru menjenguk ayah Revi sambil membawa rantang makanan.
  • Paman Beni sering menghibur Nyonya Sintia dan akhirnya sering bepergian berdua sehingga Revi hanya sendirian di rumah.   

Di dalam cerpen, ada 3 adegan pembacaan Tarot yang menampilkan deskripsi kartu-kartu tarot. Dua adegan berlangsung sebelum ayah Revi sakit, satu adegan setelahnya. Normalnya, interpretasi pembacaan kartu Tarot biasa dilakukan berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh querent ‘penanya’, satu hal yang tidak kita temukan informasinya dalam cerpen kecuali dalam pembacaan terakhir. Akan tetapi kita bisa menafsirkan adegan-adegan pembacaan Tarot dalam cerpen sebagai pembacaan tebaran 3 kartu yang biasa dilakukan untuk mengetahui masalah yang sedang dihadapi, sebabnya, dan saran untuk mengatasinya.

Dalam adegan pertama, kartu yang muncul adalah The Sun, The Empress, dan The Magician. Mengandaikan pembacaan tersebut dilakukan berupa tebaran 3 kartu, kita bisa menafsirkan bahwa The Sun melambangkan kesejahteraan yang sudah dicapai oleh ayah Revi yang berdasarkan teks maka bisa kita tafsirkan hadir dalam bentuk memiliki keluarga. Akan tetapi kemudian muncul kartu The Empress, melambangkan bahwa ada potensi masalah terkait keharmonisan keluarga. Kartu ketiga menarasikan sikap yang kira-kira bisa diambil untuk mengatasi permasalahan itu, The Magician, menyimbolkan kesadaran diri dan kemampuan diplomasi.

The Sun, The Empress, The Magician

Maka kita bisa mengatakan bahwa kemunculan kartu Tarot pada bagian ini merupakan kode naratif yang membocorkan apa yang sedang dan akan menimpa keluarga Revi. Sasaran dari kode naratif itu adalah pembaca, bukan ayah Revi, karena ketika ayah Revi menanyakan arti semua kartu itu, Paman Beni tidak menjawab. Dalam hal ini, kita sebagai pembaca menjadi lebih tahu dari ayah Revi, tetapi kita tak berdaya untuk mengingatkan ayah Revi supaya mengantisipasi konflik yang akan berlangsung. Dengan situasi semacam ini, terlepas dari kompetensi pembaca yang berbeda-beda, kita sebagai pembaca didorong untuk merasa geregetan sekaligus juga penasaran menanti adegan-adegan selanjutnya.

Dalam adegan kedua yang berlangsung menjelang ayah Revi sakit, salah satu kartu yang disebutkan muncul adalah Five of Cups, menyimbolkan rasa kehilangan ataupun pengkhianatan cinta. Selaras peristiwa-peristiwa dalam cerita dan juga petunjuk interpretasi sebelumnya, kita akan cenderung menautkan rasa kehilangan itu dialami oleh ayah Revi sebagai querent dan merupakan petunjuk apa yang akan terjadi nanti: kehilangan Nyonya Sintia karena pengkhianatan.9Ditafsirkan dari sudut pandang seksual, Five of Cups memang bisa ditafsirkan sebagai putusnya hubungan dengan pasangan seksual, impotensi temporer, relasi seksual yang dingin, atau pernikahan yang bermasalah. Lihat dalam Theodor Laurence, The Sexual Key to the Tarot (New York: Citadel Press, 1971), hal. 87.

Five of Cups dan The Chariot

Dalam cerpen, Paman Beni mengatakan bahwa kartu itu buruk, tetapi tidak ada penjelasan rinci tentang buruk itu. Ketika beberapa hari kemudian ayah Revi sakit, Nyonya Sintia langsung menautkan hasil pembacaan itu dengan situasi tersebut. Mengandaikan Paman Beni tahu arti pembacaan kartu sebelumnya, dia jelas tahu juga bahwa penautan itu tidak pas, tetapi Revi dan Nyonya Sintia merupakan orang awam yang tidak tahu cara menafsirkan kartu sebagaimana mereka juga memang tidak diberi tahu oleh Paman Beni. Demikian juga ayah Revi.

Namun sikap ayah Revi mengenai Tarot dari awal memang ambigu. Di satu sisi dia suka dibacakan Tarot dan dia

tidak senang kalau Paman Beni hanya mengartikannya secara lumrah saja. Misalnya, ketika Paman Beni membaca kartu “The Chariot”, kartu bergambar seorang lelaki berbaju baja di atas kereta yang ditarik oleh sphinx. Paman Beni berujar bahwa gambar laki-laki dengan kereta sphinx itu menandakan Ayah sebentar lagi akan memiliki motor baru. Nyatanya, Ayah tidak pernah membeli motor baru dan ia masih setia dengan sepeda tuanya setiap bepergian ke mana-mana.

Akan tetapi di sisi lain ketika bacaan kartu yang muncul buruk, dia mengatakan bahwa “toh itu hanya tafsiran” Paman Beni. Demikian juga ketika Nyonya Sintia menautkan peristiwa sakitnya dia dengan kemunculan kartu-kartu buruk sebelumnya, dia juga mengatakan bahwa sakitnya dia “tak ada hubungannya dengan kartu itu”.

Adegan pembacaan ketiga berlangsung dengan Revi sebagai querent “meminta Paman Beni meramalkan apakah Ayah akan sembuh dalam waktu dekat dan bisa bersepeda lagi”. Kartu yang muncul “seorang wanita yang bersembunyi di balik pohon dan sedang menatap sesuatu yang sangat jauh”.

Sukar menebak kartu tersebut merujuk kartu yang mana dalam set kartu Tarot Rider-Waite, bisa jadi deskripsi visual tersebut merujuk pada kartu Tarot jenis lain. Tipe tebaran yang dilakukan juga sukar ditebak, yang jelas bukan tebaran 3 kartu karena kartu yang muncul disebutkan sampai kartu kelima dan belum selesai, mungkin saja tebaran 9 kartu yang memang bisa menggali lebih dalam terkait persoalan yang sedang dihadapi. Akan tetapi berdasarkan narasi bahwa semua kartu yang muncul “bernuansa kelabu dan memiliki simbol yang serupa dengan gambar piala yang melayang-layang”, kita tahu bahwa kartu-kartu tersebut adalah kartu-kartu Cups, kartu-kartu elemen air yang menyimbolkan perasaan. Maka kita kembali mendapat petunjuk mengenai klimaks cerita: akhir hubungan ayah Revi dengan Nyonya Sintia.

Berdasarkan adegan-adegan pembacaan kartu Tarot tersebut, kita bisa melihat bahwa kartu Tarot dalam cerita hadir sebagai simbol-simbol yang memberi petunjuk—kode naratif yang Gérard Genette sebut sebagai seed ‘benih’—peristiwa-peristiwa kelanjutan alur, kira-kira mirip dengan yang kita temukan dalam puisi T.S. Eliot dan terutama cerpen Angela Carter. Selain itu, mengandaikan Nyonya Sintia benar-benar percaya peristiwa sakitnya Ayah Revi ada kaitannya dengan ramalan kartu buruk sebelumnya, bisa juga dikatakan bahwa dalam kasus dia hasil pembacaan kartu Tarot ikut menjadi bahan pertimbangan dia tentang seberapa buruk situasi yang dia hadapi sehingga mungkin mendorong dia untuk berselingkuh dengan Paman Beni. Fungsi Tarot-dalam-cerita semacam ini analog dengan yang kita temukan dalam novel Jamila.

Kemungkinan ini cenderung lebih logis daripada kemungkinan lain bahwa Nyonya Sintia sejak awal sudah memiliki niatan untuk berselingkuh dengan Paman Beni lalu bersama Paman Beni menyusun plot meracun Ayah Revi dan melemahkan mentalnya dengan menggunakan kartu Tarot. Kemungkinan tersebut tentu juga ada dan bisa jadi lebih mengasyikkan karena lebih konspiratif, tetapi kita tak menemukan pendukung dalam teks. Oleh sebab itu lebih logis menempatkan Nyonya Sintia sebagai karakter yang menjadi korban situasi lantas terdorong untuk beralih ke sandaran lain yang lebih kuat daripada Ayah Revi yang semakin tidak bisa diandalkan.

Fungsi kartu Tarot sebagaimana dibahas di atas tentu saja berlaku hanya ketika pembaca memiliki kompetensi terkait makna-makna kartu Tarot. Ketika kompetensi itu tidak ada maka pembaca akan cenderung melihat fungsi Tarot dalam cerita lebih sederhana dan umum berdasarkan simbol-simbol yang ditampilkan. Apa yang kemungkinan tertangkap–dibantu oleh deskripsi visual kartu Tarot dalam teks cerpen–adalah gambaran kartu-kartu bagus pada pembacaan pertama dan kartu-kartu buruk pada pembacaan kedua dan ketiga.

Maka deskripsi visual Five of Cups pada pembacaan kedua mungkin mengingatkan pada gambaran orang depresi yang bisa saja mendorong pada dugaan tentang sebab psikis penyakit ayah Revi. Hal ini selaras sikap ambigu ayah Revi terkait Tarot: tampaknya yang dia harapkan bukan hasil pembacaan Tarot, melainkan momen pembacaannya sebagai momen “bermain” dengan teman masa kecil, momen yang menghibur.

Sementara gambar “seorang wanita yang bersembunyi di balik pohon dan sedang menatap sesuatu yang sangat jauh” akan cenderung membuat kita menautkannya pada Nyonya Sintia yang sedang merenungi situasi buruk saat itu. Kesimpulan akhir yang mungkin muncul adalah kartu Tarot menyimbolkan perubahan nasib keluarga Revi dari baik menjadi buruk, satu kesimpulan yang lebih umum tetapi sedikit banyak masih selaras dengan interpretasi berdasarkan pemaknaan kartu-kartu Tarot di awal.

Secara keseluruhan, cerpen “Ramalan di Hari Angin” adalah cerpen muram dengan Revi sebagai karakter utama. Jika melihat bahwa dalam cerpen nama Ayah Revi tidak disebutkan, berbeda dengan Nyonya Sintia, kita boleh bertanya-tanya seperti apa sebenarnya relasi antara mereka bertiga. Kita misalnya mendapati bahwa Revi pernah memanggil Nyonya Sintia sebagai “mama” ataupun “Nyonya Sintia”, tidakkah perbedaan penyebutan ayahnya dengan Ayah dan mamanya dengan Nyonya Sintia tersebut mengindikasikan bahwa Nyonya Sintia adalah ibu tiri?

Jika kita menerima kemungkinan itu maka ada banyak hal terkait karakter Revi yang ikut terjelaskan. Dalam cerpen digambarkan bahwa Revi merasa bahagia menghabiskan waktu bersepeda bersama ayahnya, satu situasi yang kontras dengan kondisi ayahnya yang cenderung digambarkan tak berdaya. Kita lantas bisa melihat Revi sebagai sosok anak perempuan kesepian yang dekat dengan ayahnya dan ingin menjalin kedekatan dengan ibu tirinya. Hal tersebut kemudian menjelaskan alasan mengapa dia suka dengan kedatangan Paman Beni: kedatangan Paman Beni membuat ayahnya bersemangat, membuat rumahnya ramai karena pasti ada makan besar meskipun dia tidak cocok dengan masakan yang disajikan, dan terkait kartu Tarot, yang Revi sukai adalah gambarnya yang cantik dan “mendatangkan kabar baik”.

Karena alasan yang sama kita juga lantas bisa mendapatkan satu kemungkinan penjelasan mengenai makna akhir cerita yang sangat simbolis dan karenanya cenderung enigmatis:

Revi duduk di beranda. Sendirian. Ia mengamati tumpukan daun kering yang sudah ia susun menyerupai bukit kecil. Angin itu datang kembali. segera saja menyapu bukit kecil itu. Halaman yang tadi bersih tertutupi lagi oleh daun-daun kering yang kini berhamburan. Saat melihat daun-daun kering yang berputar-putar dalam tiupan angin, Revi mendadak teringat pesan Nyonya Sintia.

“Jangan lupa angkat jemuran, Revi.” Pesan itu terngiang-ngiang di kepala, tapi ia belum juga beranjak dari beranda.

Di akhir cerita ini kita mendapati diri kita kembali ke situasi awal cerita: angin, Nyonya Sintia, Revi. Akan tetapi berbeda dengan ketika di awal kita mungkin sekadar menerima kemunculan ketiganya sebagai bagian dari eksposisi cerita realis, kini kita bisa menariknya ke pemaknaan simbolis. Bisa jadi Revi membayangkan daun-daun kering yang disapu angin sebagai dirinya, Nyonya Sintia, dan Ayahnya, orang-orang yang kehidupannya semula merupakan “bukit kecil” kemudian tercerai-berai. Karena itulah Revi kemudian teringat pesan Nyonya Sintia perihal mengangkat jemuran.

Jemuran, pakaian, bisa menyimbolkan sesuatu yang menandai kita sebagai bagian dari komunitas manusia: keluarga, masyarakat, negara. Di luar 3 komunitas primer itu kita memiliki kebebasan penuh untuk mengenakan pakaian ataupun berbugil ria. Tindakan menyelamatkan jemuran dari angin lantas menjadi simbol tindakan melestarikan status kita sebagai bagian dari komunitas, dalam kasus Revi, kita di sana jelas merujuk Nyonya Sintia, Revi, dan sang Ayah.

Fenomena angin sebagai bagian dari cuaca buruk disinggung berulang kali dari awal, sepanjang cerita, sampai penutup, sehingga kita bisa memandangnya sebagai satu elemen penting cerita. Angin yang pada awal cerita dihadirkan sebagai angin literal kemudian menjelma menjadi angin simbolis di akhir cerita. Jika di awal cerita Revi digambarkan membenci angin, “angin terkutuk” yang mengobrak-abrik jemuran, maka bukan tak mungkin bahwa dalam perenungan di akhir cerita itu Revi juga membenci angin simbolis yang telah mengobrak-abrik jemuran simbolis.

Berbeda dengan di bagian awal ketika Revi bersegera menyelamatkan jemuran, di bagian penutup cerita meski dia teringat pesan bahwa dia harus melakukan penyelamatan, dia tetap tidak “beranjak dari beranda”. Tampaknya dia menyadari situasi yang dia hadapi sudah kasip, bahwa dia pada akhirnya sendirian, Ayahnya berada di rumah sakit tanpa kemungkinan jelas kapan akan kembali, Nyonya Sintia sudah pergi. Tentu saja Revi, sebagaimana kita, tahu siapa karakter dalam cerita yang berperan sebagai angin pemilik dua karakteristik kontradiktif, angin yang pada awalnya membuat mereka bertiga rukun sebagai satu keluarga dalam keceriaan “makan besar” kemudian berakhir menceraiberaikan mereka semua: Paman Beni Jali. Wallahualam bissawab.

April 2022

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.