Aku harus hanya percaya pada Tuhan yang tahu caranya menari.
Nietzsche – Maka Bersabdalah Zarathustra
1
DALAM pengantar salah satu antologi saduran bahasa Inggris sepilihan puisi Rumi, The Books of Love: Poems of Ecstasy and Longing (2003), Coleman Barks mengatakan bahwa hubungan antara Rumi dan Syams Tabrizi adalah hubungan yang tak bisa dipastikan siapakah yang merupakan guru dan siapakah yang merupakan murid. Dengan mengatakan demikian, dia nampaknya memaksudkan bahwa Rumi dan Syams bertukar-tukar posisi sebagai guru dan murid: satu saat Rumi menjadi guru dan Syams menjadi murid, saat yang lain Syams menjadi guru dan Rumi menjadi murid.
Dalam dunia sufi—atau yang di dunia barat dikenal sebagai Islamic Mysticism, Mistisisme Islam, untuk membedakan dengan mistisisme dengan adjektiva yang lain—relasi semacam itu bukan sesuatu yang aneh. Posisi bukan sesuatu yang mutlak, terutama karena dalam ranah sufi dikenal tujuan akhir penyatuan di mana kategorisasi-kategorisasi kemudian menjadi sesuatu yang tak lagi penting.
Bahkan mistisisme dalam Sastra lingkup dunia pun bukan sesuatu yang asing. Transendentalisme lingkaran penyair Amerika Ralph Waldo Emerson (1803-1882 M) misalnya, dengan konsep adanya “percakapan antara dunia dengan meta-dunia” dan di dunia ini manusia bisa “merasakan” yang ilahiat adalah sesuatu yang dekat dengan parabel-parabel Rumi.
Sebagaimana dalam Matsnawi, dalam Diwan Syams Tabrizi pun Rumi banyak berbicara tentang cinta, dan hati:
Bahwa Rumah Tuhan adalah terletak di dalam hati
Dirahmatilah mereka yang bersumpah setia kepada hati.
Betapa menarik melihat kesejajaran antara larik-larik itu dengan larik-larik yang Emerson tulis dalam sajaknya Give All to Love:
Tinggalkan semua untuk cinta;
Patuhilah hati semata;
Dengan demikian, penyair, setidaknya menurut Transendentalisme, adalah mereka yang menulis puisi dengan digerakkan oleh intuisi. Penyair adalah mereka yang mendengar “musik rengeng-rengeng pada udara” dan menuliskan “nyanyian-nyanyian terpenting” yang dia dengar, membagikannya pada kita. Penyair, dalam posisi ini adalah pembawa kabar, dan penyair seperti itulah sesungguh-sungguhnya penyair dalam pandangan Emerson, penyair yang bukan “mereka yang memiliki bakat-bakat puitika”, bukan “mereka yang tekun berlatih diri dan berketerampilan dalam matra”.
Seperti itu pula tampaknya kita bisa memandang Rumi dan puisi-puisinya. Puisi-puisi Rumi lahir dari intuisi, bisikan hati, ilham: sesuatu yang akan dipandang dengan sinis oleh mereka yang terbelenggu tolok ukur logika. Puisi-puisinya lahir dari cinta ilahi yang kemudian melahirkan cinta manusia dalam bentuk kabar yang baik—kabar gembira dari Kekasih.
O yang membuat kebun dan padang rumput tersenyum,
Apakah kau membawa kabar
Dari Kekasih kita?
Namun petunjuk itu tak menemui kita dalam bentuk khotbah-khotbah yang banal, ia lahir dalam bentuk puisi. Puisi tak pernah bisa dialihkan menjadi prosa yang menjelaskan hal-ihwal dengan kosakata yang terang, yang memahamkan dengan mudah dalam struktur yang terpahami dalam sekali tatap. Hal itu di satu sisi membuat para pembaca puisi-puisi Rumi harus melakukan—meminjam istilah kritikus sastra aliran Formalisme, Jan Mukarovsky—deotomatisasi puisi itu terlebih dahulu untuk memahami kabar apa gerangan dari Sang Kekasih.
Proses deotomatisasi melahirkan potensi beragamnya perolehan makna, beranekanya perolehan pesan. Pertemuan seorang pembaca—dengan segala latar belakangnya, zaman yang berlainan, nilai-nilai pegangan yang berbeda, pengalaman menikmati teks sastra yang berbeda—akan memengaruhi hasil akhir tangkapan dia atas puisi-puisi Rumi. Di sisi lain, hal itu juga kemudian memunculkan potensi lain: kita bisa terpancing untuk serakah dan saling klaim bahwa hanya pembacaan kitalah yang benar.
Tepat pada poin itu, pembaca Rumi sudah bukan lagi pembaca Rumi. Keserakahan tak memiliki tempat dalam ranah sufi. Karena keserakahan hanya akan membentengi manusia dari berakrab-akrab dengan Tuhan: termasuk keserakahan mengklaim diri sebagai satu-satunya penafsir yang benar.
Dengan kata lain, puisi-puisi Rumi hadir menemui siapapun dan kapanpun tanpa batas kategorisasi. Coleman Barks—dalam buku yang sudah disebutkan di awal tulisan ini—mencatat bahwa di Barat, pembaca Rumi terus meningkat sampai mengalahkan Rubaiyat Umar Khayyam yang dalam jangka lama termasuk salah satu puisi yang paling banyak dibaca, sementara Annemarie Schimmel dalam pengantar buku Me & Rumi: The Autobiography of Shams-i Tabrizi (2004) mengatakan bahwa kini Rumi menjadi salah satu penyair terlaris di Amerika Utara. Puisi-puisi Rumi dijadikan lirik-lirik lagu, tarian-tariannya dipelajari, dan kita bahkan bisa menemukan puisi-puisi tersebut dalam wujud kartu Tarot dan Orakel.
Seperti itulah puisi-puisi Rumi hadir menemui kita pada hari ini. Kita sebagai individu, kita sebagai orang-seorang. Sebuah pertemuan dengan karya—dan pada akhirnya dengan apa yang kita anggap sebagai “nilai” bagi kita—mengisyaratkan sebuah kelengangan pertemuan yang akrab, seperti pertemuan Chairil dengan Tuhan dalam “gelanggang” puisinya.
Dari sana kemudian tafsir pun lahir, hasil pencerapan teks, hasil “pertemuan” yang memiliki kebenaran dalam skala partikular. Ia mungkin benar bagi kita, tapi memaksakan bahwa ia juga musti benar bagi selain kita adalah semacam kejahatan tersendiri. Kejahatan semacam itu, tentu saja, membuat sia-sia perkenalan kita dengan Rumi dan Syams Tabrizi.
2
Jalaluddin Rumi lahir di Balkh, Afganistan, pada 30 September 1207. Demi menghindari tentara Mongol, keluarganya membawa dia berpindah-pindah ke Waksh, Samarkand, Damaskus, dan pada akhirnya menetap di Konya, Anatolia tengah. Belajar di bawah bimbingan ayahnya, mistikus Bahauddin Walad, saat sang ayah meninggal pada tahun 1231 M, Rumi menjadi pengajar di Konya. Kecakapannya kemudian membuatnya disebut “Mawlana” (tuan kami), karena itu pulalah kemudian tarekat Sufi yang dinisbatkan pada ajarannya kemudian disebut sebagai Mawlawi.
Syam Tabrizi, Syam dari Tabriz, adalah salah satu sosok paling dekat dengan Rumi sekaligus paling misterius. Syam adalah pengembara yang tiba di Konya pada 11 Oktober 1244. Ia lahir di Tabriz pada 1185 M dan meninggal serta dimakamkan di Khuy pada tahun 1248 M, meski dikatakan juga bahwa tahun meninggalnya adalah 1273 M. Ada kesimpangsiuran perihal meninggalnya Syam dan dikatakan juga bahwa makamnya bukanlah di Khuy melainkan di Konya, tak jauh dari makam Rumi.
Syam dikatakan menemani Rumi selama tiga tahun, meski sumber lain mengatakan empat tahun. Disebutkan bahwa Syams menghilang pada tahun 1247 M, sementara Coleman Barks menyebutkan tanggal menghilangnya Syams adalah 5 Desember 1248. Penyebab menghilangnya juga tidak pasti. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Syams menghilang demi kematangan Rumi melalui jalan “perpisahan”.
Kematangan: persatuan dengan “Kekasih”. Syams meninggalkan Rumi saat Rumi berusia 40 tahun, usia yang biasa dianggap sebagai simbol kematangan spiritual karena pada usia itu pulalah Nabi Muhammad dulu diangkat menjadi Rasul. Syams, sebagaimana dirujuk oleh namanya yang bermakna “mentari”, adalah mentari yang bagi Rumi menerangi jalan menuju Kebenaran sejati. Syams dalam pandangan Rumi nampaknya adalah—meminjam pasase dari sajak Emerson—“setengah dewa”, dan
Ketika dia yang setengah dewa pergi,
Dewa pun memunculkan diri.
3
Puisi memiliki kedekatan dengan tarian. Aristoteles dalam Puitika memasukkan keduanya pada tataran yang sama sebagai bentuk mimesis, yang membedakannya adalah penggunaan media representasi, objek yang direpresentasikan, dan cara merepresentasikan objek yang bersangkutan. Tentu saja tarian memiliki kedekatan yang lebih dengan musik, tetapi musik dan puisi memiliki salah satu unsur yang sama: irama.
Setiap puisi, baik kita temukan dalam bentuk lisan ataupun tulisan, memiliki unsur matra, unsur irama yang ditunjukkan dalam wujud panjang-pendeknya, nada tinggi rendahnya, atau beraksen atau tidaknya suku kata. Pada puisi-puisi terikat seperti rubaiyat, dan soneta, kecenderungan perhatian terhadap matra juga lebih kuat, terutama lagi pada bahasa-bahasa yang menggunakan model puisi dalam komposisi hemistich (dua baris sejajar yang dipisahkan oleh jeda penggal medial) seperti pada puisi bahasa Arab dan bahasa Persia.
Diwan Syams Tabrizi biasa disebut juga Diwan Kabir. Disebut Diwan Kabir karena jumlah total lariknya, berdasarkan edisi Furuzanfar, adalah 44.282 larik, sedangkan disebut Diwan Syams Tabrizi karena sepertiga dari total 3.229 ghazal ‘ode’ di dalamnya menyebutkan nama Syams Tabrizi. Sebagaimana Rumi menyebut Matsnawi dengan merujukkan pada nama Husam, maka demikian pula dia menyebut diwan yang satu ini dengan merujukkan pada nama Syams.
Edisi Furuzanfar merujuk pada edisi kritis diwan tersebut yang diterbitkan sebanyak total 10 jilid dari tahun 1957-1967. Badiuzzaman Furuzanfar sendiri adalah seorang sarjana Sastra Persia, Linguistik dan Budaya Iran yang berkebangsaan Iran dan sekaligus merupakan seorang ahli Rumi dan karyanya.
Terjemahan bahasa Arab yang bisa disebutkan adalah Qasaid Mukhtarat min Diwan Syams Tabriz Li Jalaluddin Rumi (2008) yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Sa’id Jamaluddin. Bersama dengan terjemahan bahasa Inggris yang dilakukan oleh Nevit Oguz Ergin, seorang spesialis Rumi berkebangsaan Turki, naskah tersebut menjadi sumber primer terjemahan Matahari Diwan Syams Tabrizi (Yogyakarta: Forum, 2018).
Dari puisi-puisinya yang sampai kepada kita sebagai Diwan Syams Tabrizi, mengharapkan kita mendapatkan kepastian tentang posisi Syams dalam hubungannya dengan Rumi, mungkin saja berakhir sia-sia. Memang kita bisa saja menafsirkan bagaimana Rumi memandang Syams misalnya melalui larik-larik ini:
Kubutuhkan seorang pecinta dan seorang kawan
Seluruh perkawanan kau lebihi, tak terbandingkan
Dan tunadaya aku tetap jadinya
Namun bisa jadi seperti itu pulalah Syams memandang Rumi. Diwan Syams memang bisa dikatakan merupakan “nyanyian cinta” Rumi terhadap Syams, tapi bukankah sangat mungkin juga bahwa Syams pun memiliki pandangan yang sama terhadap Rumi? Konsep “cinta”, dalam literatur sufi, mesti dibedakan antara hubb dan isyq, satu hal yang tak mudah terjembatani dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Maka suara Rumi dalam Diwan Syams, adalah suara yang berkelindan dengan suara Syams. Pada ujung sebagian besar struktur puisi di dalam Diwan Syams kita memang menemukan suara Rumi menyerukan nama Syams, tapi apakah dengan demikian kita tahu pasti bahwa suara-suara sebelumnya pun adalah suara Rumi dan bukan suara Syams? Mampukah kita benar-benar membedakan yang mana Rumi dan yang mana Syams?
Atau mungkin pada akhirnya seperti ini: terjemahan Diwan Syams Tabrizi ini hadir bukan untuk menyodorkan Rumi dan Syam sebagai dua individu yang terpisah, ia hadir untuk memotret momen di mana mereka menjadi satu. Di dalam puisi kita bayangkan mereka berdua menari, semakin lama semakin cepat seiring halaman akhir buku yang kian dekat, sampai kita temukan mereka menjadi satu individu menjumpai Tuhan: Tuhan yang “tahu caranya menari”, Tuhan yang tak berfirman menyensor puisi.
*Disunting ulang dari pengantar buku Matahari Diwan Syams Tabrizi: Terbang bersama Cahaya Cinta dan Duka Cita (Yogyakarta: Forum, 2018).