BUKU berukuran mungil, kover keras dan kokoh, desain jaket kover indah, kertas isi tebal, jumlah halaman tak banyak. Dengan kata lain, tipe buku sangat ideal untuk dibawa ketika nongkrong di warkop ataupun kafe, baik untuk sekadar difoto berdampingan dengan segelas kopi yang belum diminum ataupun memang untuk dibaca sambil menikmati kesendirian tanpa kesepian.
Namun, kita mungkin berpikir ulang sebelum melakukan itu. Memampangkan buku tersebut di medsos di tengah masyarakat yang sudah dilatih peradaban dengan segala perangkat abstrak semacam “kesopanan timur” untuk bersikap hipokrit hanya berpotensi membuat kita ditendang dari kelas sosial beradab. Alasannya, judul buku itu sederhana dan sangat menjelaskan bahkan bagi orang-orang yang jarang membaca: Kamasutra Arab.
Buku diterbitkan Serambi pertama kali pada tahun 2008 dan pada akhir tahun 2010 sudah mencapai cetakan kelima. Buku merupakan terjemahan dari risalah terkenal karangan Syekh Muhammad Al-Nafzawi, dalam edisi Inggris ditulis Nefzawi dan terkadang Nefzaoui, berjudul Al-Rawdah al-Athir fi Nuzhat al-Khathir. Dalam edisi bahasa Inggris yang membuatnya terkenal ke seantero dunia, buku tersebut dikenal sebagai The Perfumed Garden.
Tidak banyak informasi tersedia mengenai Syekh al-Nafzawi. Dalam pengantarnya Burton menyebutkan bahwa sang pengarang dilahirkan di Nafzawa, bagian selatan kerajaan Tunisia dan diperkirakan hidup pada abad 16 M. The Perfumed Garden dikarang atas titah Perdana Menteri Tunisia saat itu yakni Muhammad Awanah al-Zawawi.
Terjemahan The Perfumed Garden edisi Serambi bukan terjemahan pertama. Lama sebelumnya buku yang sama sudah diterbitkan terjemahannya oleh dua penerbit dengan wujud yang kurang menarik dan sepertinya tidak selaris versi Serambi. Yang pertama adalah Taman Wewangian: Seni Cinta dan Seks dari Arab (Jakarta: UP Kresno, 1979) dan yang kedua Taman Rekreasi Jiwa: Panduan Cinta dan Erotisme dari Tanah Arab (Jakarta: Panji Digital Pers, 2001).
Tiga terjemahan merupakan terjemahan buku yang sama, tetapi mengambil naskah sumber berbeda. Versi UP Kresno dan Panji Digital Pers menggunakan naskah sumber edisi bahasa Inggris terjemahan Burton, sementara versi Serambi menggunakan sumber edisi bahasa Arab. Kalau kita membandingkan edisi Inggris dan Arab maka kita akan mendapati versi Arab lebih tipis. Penyebabnya sederhana: Francis Burton sebagai penerjemah Inggris—dan dia pun menerjemahkan dari edisi Prancis, terkenal suka “nambah-nambahi” naskah asli ketika ia melakukan terjemahan. Tentu saja kita tak tahu benar atau tidaknya, tetapi yang jelas sampai kini tak ditemukan versi Arab yang persis dengan naskah yang kemudian diterjemahkan Burton.
Edisi bahasa Arab yang bertahan adalah naskah yang kemudian diterjemahkan Serambi. Edisi bahasa Arab ini pun sudah diterjemahkan oleh Jim Colville ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Perfumed Garden of Sensual Delight, diterbitkan oleh Kegan Paul International pada tahun 1999 sebagai bagian dari The Kegan Paul Arabia Library. Burton adalah pencerita ulung, harus diakui bahwa jika menginginkan cerita yang lebih seru dan saru, maka pilihlah baca versi dia, tetapi jika ingin merujuknya dengan basis validitas, akseslah terjemahan Serambi.
*
Sebagaimana biasa ditemukan dalam buku-buku klasik berbahasa Arab, The Perfumed Garden dibuka dengan identitas pengarang dan pujian terhadap Tuhan:
Syekh al-Imam al-Allamah al-Humam Sayyidi Muhammad al-Nafzawi—semoga Allah merahmati dan meridainya—berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kenikmatan terbesar bagi laki-laki di kemaluan perempuan dan menjadikan kenikmatan terbesar bagi kaum perempuan di kemaluan laki-laki. Kemaluan wanita tidak akan merasa nyaman dan tenang kecuali apabila dimasuki kemaluan laki-laki. Sebaliknya, kemaluan laki-laki juga tidak bisa demikian kecuali bila bertemu dengan kemaluan wanita.
Kamasutra Arab, hal. 9
The Perfumed Garden memuat 21 bab, diawali dengan bab perihal Lelaki Idaman dan ditutup dengan bab yang memuat 38 resep ramuan untuk mengatasi lemah syahwat. Ada bagian yang konon tidak diterjemahkan dalam bab ini, yaitu bagian tentang homoseksualitas. Burton dikisahkan sebelum mati sudah mengusahakan satu terjemahan Inggris baru yang memuat bagian tersebut, tetapi ketika dia mati, istrinya membakar naskah tersebut sehingga sampai sekarang tidak ada yang mengetahui seperti apa penggambaran homoseksualitas dalam naskah ini.
Perbedaan antara versi Burton dengan versi Colville sangat mencolok pada beberapa Bab. Sebagai contoh, di bab 6 yang diberi judul “Concerning Everything that is Favourable to the Act of Coition” dalam versi Burton dan “Sexual Technique” dalam versi Colville, versi Colville hanya memuat penjelasan singkat tentang foreplay, termasuk juga ciri-ciri perempuan yang sudah bergairah, kemudian dilanjutkan dengan 11 contoh posisi sanggama. Sementara itu, dalam edisi Burton, setelah penjelasan 11 contoh tersebut, ditambahkan penjelasan 29 posisi sanggama, berikut nama-namanya, yang “biasa dilakukan oleh orang-orang India”. Setelah itu, dia memberikan posisi-posisi lain yang bisa dilakukan oleh pasangan-pasangan dengan petunjuk spesifik fisik, semisal posisi sanggama yang mungkin dilakukan oleh perempuan bertubuh sangat mungil dan tinggi.
The Perfumed Garden menarik karena memuat pula banyak kisah yang meskipun beberapa aktornya merupakan tokoh historis seperti Musailamah Al-Kadzdzab, akan tetapi validitasnya tidak bisa dipastikan meskipun sebagaimana disebutkan Burton dalam catatannya kisah-kisah semacam itu diambil oleh Nafzawi dari buku-buku lain (Burton menyebutkan bahwa kisah Musailamah diambil dari buku al-Tabari meski dia tidak menyebutkan buku yang mana). Dalam hal ini The Perfumed Garden memiliki kemiripan dengan Kisah Seribu Satu Malam. Sepertinya bukan kebetulan misalnya kita menemukan nama Badr al-Budur yang juga ditemukan dalam Kisah Seribu Satu Malam meski dengan peran berbeda: dalam Kisah Seribu Satu Malam dia merupakan istri Aladdin, dalam The Perfumed Garden dia menjadi istri Umar ibn Said.
Sementara itu, kisah yang melibatkan Badr al-Budur dalam The Perfumed Garden justru menyerupai kisah populer tentang Umar Bin al-Khattab yang bisa ditemukan, misalnya, dalam buku Raudhatul Muhibbin karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Dikisahkan bahwa Umar bin al-Khattab bertanya kepada putrinya Hafsah tentang berapa lama seorang wanita sanggup berpisah dengan suaminya. Hafsah menjawab: “Satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan. Dan setelah empat bulan, kesabaran itu pasti akan habis.”
Dalam The Perfumed Garden, plotnya pun mirip. Seorang raja bernama Ali al-Siyai tidak bisa tidur kemudian mengajak beberapa anak buahnya berkeliling (sama dengan kisah Umar bin Khattab yang diawali berkeliling kota Madinah). Sementara dalam kisah Umar bin Khattab dia menemukan seorang wanita yang bersajak tentang keresahannya, dalam kisah Ali al-Siyai dia menemukan Umar ibn Said yang mabuk dan meratap-ratap menderita. Sementara dalam kisah Umar bin al-Khattab dia bertanya kepada Hafsah, dalam The Perfumed Garden Ali al-Siyai bertanya kepada Badr al-Budur dan mendapatkan jawaban yang sedikit berbeda yaitu enam bulan.
Sebagaimana Kisah Seribu Satu Malam, beberapa kisah dalam The Perfumed Garden terasa ajaib, misalnya kisah tentang Abu al-Hayja yang mampu menggauli delapan puluh gadis dalam semalam tanpa ejakulasi, Abu al-Hayluj yang mampu dikerubuti gadis-gadis selama tiga puluh hari dengan penis selalu tegak, ataupun budak Maymun yang mampu menyetubuhi Muna selama lima puluh hari tanpa ejakulasi. Penggambaran alat kelamin pria yang berukuran super bisa dikatakan merupakan kisah pengantar untuk menunjukkan kemanjuran resep dan ramuan-ramuan yang kemudian ditawarkan.
Dari kisah-kisah semacam itu juga tampak bahwa teks The Perfumed Garden menitikberatkan pada kekuatan fisik, gejala yang juga bisa ditemukan dalam deskripsi perihal wanita dan pria idaman, meskipun kalau dibandingkan syarat fisik wanita idaman jauh lebih banyak daripada pada pria. Kita bisa mengatakan bahwa hal itu merupakan jejak-jejak patriarki, tetapi di sisi lain, The Perfumed Garden juga bisa dikatakan cenderung memosisikan pria sebagai pemberi kepuasan seksual bagi wanita sebagaimana juga tuntunan bagi pria untuk tidak seenaknya ketika hendak bersetubuh, termasuk harus memakai wangi-wangian dan juga melakukan foreplay. Dua teks seksologi Islam paling terkenal di dunia pesantren saat ini, Qurrotul Uyun dan Fathul Izar juga memberikan tuntunan serupa.
Jejak-jejak lain juga bisa ditemukan ketika kita membaca bab XI berjudul Tipu Daya Wanita. Cerita-cerita di dalamnya menyodorkan stereotipe perempuan yang juga banyak ditemukan dalam Kisah Seribu Satu Malam. Akan tetapi perlu dicatat bahwa jika kita mengamati cerita-ceritanya dengan saksama maka penyebab wanita melakukan tipu daya terhadap suaminya cenderung disebabkan kelemahan suaminya dalam hal bercinta. Lihat misalnya kisah istri tukang delman yang kemudian memilih bersanggama dengan kudanya karena suaminya berpenis “kecil, cepat ejakulasi, dan jarang membelai.” Demikian juga kisah terakhir tentang salah kamar yang disengaja karena suami si wanita “penisnya kecil dan lembek.”
Di satu sisi, cerita-cerita semacam itu menyodorkan potret stereotipe perempuan sebagai sosok yang gasang, satu stereotipe yang bertahan sampai sekarang di sebagian pemeluk agama Islam. Akan tetapi di sisi lain, cerita-cerita tersebut juga menunjukkan peringatan bagi kaum pria untuk lebih memperhatikan kehidupan seksual mereka jika tidak ingin terkena tipu daya pasangannya yang mencari pria lain untuk memuaskan diri.
Untuk zaman sekarang, buku ini mungkin lebih berfungsi sebagai buku cerita daripada sebagai manual erotologi. Kisah-kisah di dalamnya bisa menjadi hiburan, sebagaimana juga deskripsi nama-nama alat kelamin perempuan dan pria berdasarkan sifatnya bisa memancing senyum. Versi Colville mendaftar 38 nama untuk alat kelamin pria dan 40 nama untuk alat kelamin wanita, sementara versi Burton mendaftar 39 nama untuk alat kelamin pria dan 43 nama untuk alat kelamin wanita. Uniknya, pada bab berikutnya juga disebutkan nama-nama alat kelamin binatang berikut karakteristik bercinta mereka.
Cara Nafzawi mendeskripsikan alasan penyebutan masing-masing nama tersebut menarik, contoh untuk dua nama alat kelamin pria:
Kata al-ayr [untuk menyebut alat kelamin pria] berasal dari kata al-akbar yang huruf kaf-nya diganti ya. Selain itu, al-ayr disebut juga Abu Nafhah, karena ketika tertiup bangun, dan ketika kempes tidur. Disebut Abu al-Hamamah karena ketika tidur mengerami telur seperti burung merpati yang mengerami telurnya.
Kamasutra Arab, hal. 106
Contoh untuk alat kelamin perempuan:
[Sebutan] Al-Ghirbal [untuk alat kelamin perempuan] disandangkan pada perempuan yang ketika laki-laki menunggangi dan melakukan penetrasi, ia seperti mengayak dengan farj-nya. Disebut al-Hazzaz karena ketika penis sedang melakukan penetrasi dan keluar-masuk, ia mengguncang tak kenal vigiditas atau capai hingga mencapai ejakulasi.
Kamasutra Arab, hal. 119
Sementara itu penjelasan tentang karakteristik perempuan dan wanita di dalamnya mungkin sesuatu yang dianggap cocok-cocokan oleh sains masa kini, tetapi pada zaman dulu hal tersebut termasuk fisiognomi dan dipercaya sebagai sesuatu yang penting sebagaimana terjadi pada katuranggan dalam kultur Jawa dan Sunda. Bab terakhir buku lain, Fathul Izar juga menyodorkan hal yang kurang lebih sama: bagaimana karakteristik vagina bisa dilihat berdasarkan bentuk mulut. Sementara itu, ramuan-ramuan yang dijelaskan di bab terakhir The Perfumed Garden mungkin bisa menjadi opsi untuk dipraktikkan kemanjurannya baik sebagai obat alternatif ataupun sekadar pemancing sugesti.
Kutipan dari Dr. Boyke Dian Nugraha yang dicantumkan di bagian kover edisi Serambi juga menarik dipertimbangkan: “Buku ini telah menginspirasi para seksolog dan psikolog Barat masa kini. Saya sendiri sering mengutip bagian dari buku ini dalam memberikan tips tentang seks bagi klien saya. Sungguh, ini sebuah khazanah kekayaan dunia di bidang seni hubungan seks.”
Dalam beberapa bagian, ada kecenderungan penyematan prasangka umum terhadap ras tertentu dalam The Perfumed Garden, untuk tidak tergesa menyebutnya sebagai rasisme. Pria-pria kulit hitam misalnya selalu menjadi tokoh-tokoh kelas rendah semacam budak di satu sisi, tetapi di sisi lain juga ditampilkan sebagai pemilik alat kelamin besar. Mereka dipotret sebagai sangat tidak menarik dari segi fisik kecuali alat kelaminnya. Sementara itu, ada juga prasangka terhadap wanita kulit putih sebagai memiliki vulva yang bacin dan dingin sehingga bukan tipe wanita idaman pria.
Dus, teks ini memang teks kuno yang layak dibaca, tetapi justru karena kekunoannya itu kita perlu membacanya dengan disertai sikap bijak dan memperlakukan segala prasangka dengan tidak tergesa. Salam.
Yogya, Komunitas Imajiner, Juli 2021.