Ryunosuke Akutagawa, Bapak Cerpen Jepang

TOKYO, 24 Juli, 1927. Pria berusia 35 tahun itu mengingat percobaan bunuh dirinya yang gagal beberapa waktu lalu. Dia mungkin tersenyum mengingat Fuku, ibu kandungnya, satu di antara tiga wanita yang sudah menjadi “ibu” baginya. Sekitarnya hening dini hari, sekilas dia mendengar bisikan angin, bunyi khas gerak daun bambu yang dulu sering dilihatnya dari tengah jembatan Kyubashi, di belakangnya tak ada siapa-siapa tapi dia merasakan usapan halus bibinya di rambutnya, ibu kedua baginya.

Tokyo selalu indah, meski bagi dia kota-kota lain di belahan bumi mana pun sama indahnya, termasuk kota-kota di Barat. Lalu matanya sekilas menangkap lanskap Verona dan dia menunduk memandang Alkitab yang dia pegang sebelum kemudian dia menoleh ke meja tempat botol yang sudah sangat akrab dengannya tergeletak. Dia mungkin kembali tersenyum sambil membaca tulisan yang tertera di sana, Veronal

Hari itu Ryunosuke Akutagawa, pria berusia 35 tahun itu mati bunuh diri menenggak obat tidur Veronal yang sudah dia konsumsi lama untuk menangani insomnia. Penyebabnya sederhana: dia selalu memiliki kekhawatiran mewarisi gangguan mental ibu kandungnya dan dia merasakan “kegelisahan yang tidak jelas” tentang masa depannya. Halusinasi visual kerap mengganggu dia di akhir hidupnya. Setelah melakukan satu kali percobaan bunuh diri yang gagal, kali kedua dia berhasil.

Ryunosuke Akutagawa meninggal pada usia muda, 35 tahun, tetapi orang mengenang pria ini sebagai “Bapak Cerita Pendek Jepang”. Dalam tiga belas tahun kepenulisannya, dia menghasilkan lebih dari 150 cerita pendek, jumlah sangat besar yang mengantarkannya pada gelar tersebut.

Rekam jejaknya dalam dunia sastra memang tak biasa: dia mulai menulis haiku dan membaca sastra kontemporer Jepang saat berusia 9 tahun, berkenalan dengan sastra Inggris enam tahun setelahnya, menjadi murid Natsume Soseki delapan tahun setelahnya—debutnya dimulai setelah Soseki memuji cerpen satirnya, “Hana” (“Hidung”), berdebat panjang dengan Junichiro Tanizaki tentang pentingnya plot dalam fiksi. Sementara Akutagawa berpendapat bahwa cara bagaimana sebuah cerita disajikan itu lebih penting daripada konten atau plot cerita, Tanizaki berpendapat sebaliknya.

Karena lahir dari garis keturunan samurai minor, keluarga Akutagawa bukan merupakan keluarga kaya, tetapi sejak lahir dia sudah dikelilingi buku-buku, dan juga seni tradisional Jepang. Latar belakang pendidikannya kemudian tampaknya membuat Akutagawa memiliki pandangan toleran terhadap dua kultur yang sering kali dianggap sebagai dua sisi bertentangan oleh penulis Jepang lain: kultur Jepang dan Barat. Dia lulus dari Tokyo Imperial University dengan tesis tentang William Morris, seorang sastrawan Inggris yang terkenal karena jasanya mengukuhkan genre fiksi fantasi modern. Salah satu novel Akutagawa, Kappa, yang sering dianggap sebagai masterpisnya, adalah sebuah contoh yang sangat pas tentang bagaimana dia menggarap fiksi fantasi modern dengan sekaligus mengkritik kondisi sosial pada masanya.

Pada satu titik, karya-karya Akutagawa adalah karya “klasik”, term yang dalam dunia sastra digunakan bukan untuk menyebut karya-karya yang lahir pada zaman yang sudah sangat lama lewat melainkan karya-karya yang selalu relevan untuk dibaca kapan saja, karya-karya yang tak tersentuh waktu. Dalam pengantar terjemahan bahasa Inggris kumpulan cerpen Akutagawa Rashomon and Seventeen Other Stories, Haruki Murakami, yang juga merupakan salah satu sastrawan besar Jepang kontemporer menyebut bahwa saat dia membaca cerpen yang Akutagawa tulis saat berusia 23 tahun, dia menemukan kesan seolah penulisnya adalah penulis kawakan.

Dengan kata lain, Akutagawa adalah penulis yang matang di usia sangat muda. Bisa ada banyak analisis tentang penyebab hal itu, tetapi perjalanan hidupnya yang sejak kecil tak lempang mungkin menjadi salah satunya: ibunya terkena gangguan mental tak lama setelah melahirkan dia, di sekolah dasar konon dia termasuk anak lemah, secara fisik, meskipun Ryunosuke artinya adalah putra naga, dan dia menjadi sasaran perundungan teman-temannya.     

Di kemudian hari karya-karya anak yang lemah ini menemukan popularitasnya sampai-sampai karyanyadifilmkan oleh Akira Kurosawa, tokoh besar dalam dunia perfilman, dengan judul Rashomon. Film itu sendiri diangkat dari cerita pendek Akutagawa berjudul “Yabu no naka” (“Pada Sebuah Hutan Kecil”, atau dalam versi terjemahan Inggris “In a Bamboo Grove”) sementara beberapa detail dari cerita pendek “Rashomon” hanya diambil untuk pengambilan gambar.

Dalam komentarnya atas terjemahan Indonesia karya-karya Akutagawa, Jacob Sumardjo mengatakan bahwa dia menemukan kesan gaya bercerita Akutagawa yang injili: kalimat-kalimat sederhana dan pendek, tetapi kaya akan makna. Hal itu mungkin bisa menjelaskan juga kenapa setahun sebelum meninggal Akutagawa menunjukkan ketertarikan terhadap Alkitab dan membacanya dengan saksama, terutama ketika penjelasan lain misalnya bahwa dia menunjukkan ketertarikan pada Tuhan sama sekali termentahkan: Akutagawa tak bisa percaya pada apa pun berkaitan dengan ketuhanan.

Tokyo, 24 Juli, 1927, dini hari. Seorang penulis besar dunia meninggal pada usia 35 tahun. Pada tahun 1935, satu kusala sastra paling bergengsi dimulai dengan menahbiskan namanya: Akutagawa Ryunosuke Sho. Hadiah itu diberikan dua kali dalam tiap tahunnya, bulan Januari dan bulan Juli untuk kategori prosa, untuk penulis-penulis pemula yang menampakkan masa depan sastra menjanjikan. Jika mengetahui hal itu, mungkin Akutagawa akan tersenyum dan tak perlu berkata sedih di akhir hidupnya: aku merasakan kegelisahan yang tak jelas tentang masa depanku.

Karena dunia ternyata telah menciptakan masa depan sendiri untuknya.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.