PASAR UKAZH. Dalam banyak literatur yang menggunakan bahasa latin, pasar yang satu ini biasa ditulis dengan ejaan “ukaz” atau “okaz”. Akhiran “z” itu membuatnya terdengar enak dibaca dan didengar, tapi keenakan itu berpotensi menimbulkan kekeliruan pembacaan dan kelucuan pendengaran terutama di telinga mereka yang tahu penulisan frasa tersebut dalam tulisan Arab: عكاظ.
Bahwasanya huruf ظ (dha) ini dalam pedoman transliterasi bahasa Indonesia yang merupakan hasil SKB Menag dan Mendikbud tahun 1987 dilambangkan dengan huruf “z dengan titik di bawah” (ẓ). Sedangkan “z tanpa titik apa-apa” (z) digunakan untuk lambang hurufز (zai) Nah, di sinilah biasanya kekacauan bermula, karena kita mudah mengelirukan “transliterasi” dengan “penyerapan” yang mana dalam pedoman penyerapan bahasa asing ke bahasa kita edisi Kemendikbud 2016 baik huruf ظ, ز , ataupun ذ (dzal) semuanya diubah menjadi “z”.
Praktis karena betapa risaunya pembacaan huruf “z” sendiri dalam bahasa kita, maka kita mudah membaca “ukaz” menjadi “ukas” dengan desisan hebat di akhir (ini yang paling lazim dan terus terang enak), atau bahkan “ukaj” dengan tanpa desis. Padahal, huruf ظ sesuai dengan aturan pelisanan abjad arab, tempat keluarnya ada pada ujung lidah menempel pada ujung dua gigi atas yang tentu saja tak sesuai dengan dua cara pelisanan di atas.
Pasar Ukaz, سوق عكاظ, souq/souk okaz, adalah pasar yang bukan sekadar pasar. Bahwa di pasar itu terjadi juga segala macam transaksi dan ia hanya dibuka pada waktu tertentu maka masih bisalah kita menyamakannya dengan beberapa pasar di negeri ini semacam pasar minggu yang benar-benar buka pada hari minggu saja misalnya. Akan tetapi di sana biasa berlangsung juga semacam lobi-lobi politik antar kabilah, termasuk misalnya kabilah mana siap bersekutu dengan kabilah mana dalam perang besok-besoknya.
Dalam budaya arab ketika itu, ada dua kategori bulan, yakni bulan biasa jumlahnya delapan bulan, dan bulan haram yakni bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada delapan bulan biasa mereka lazim berperang dan saling membunuh, sedang pada bulan haram mereka tak diperbolehkan melakukan hal semacam itu: pamali, tabu.
Nah, pada bulan Dzulqa’dah-lah Pasar Ukazh diselenggarakan, selama 20 hari. Tempatnya di Utsayda, sebuah daerah di antara Mekah dan Thaif. Nama Ukazh sendiri sebagaimana dijelaskan dalam Mu’jam al-Buldan anggitan Doktor Jawad ‘Ali, berasal dari akazha yang artinya membanggakan atau menyombongkan (sesuatu), karena ketika orang Arab berkumpul di sana maka mereka saling membanggakan kabilah mereka masing-masing.
Salah satu cara membanggakan kabilah itu adalah dengan menghadirkan penyair dari kabilah mereka, menandingkan puisi mereka satu sama lain, memperdebatkannya, lalu pemenangnya mendapatkan peringkat tertinggi dengan dituliskannya puisi tersebut kemudian digantungkan di pintu Kabah. Dari sinilah konon lahir sebutan Mu’allaqat , berasal dari kata ‘alaqa, artinya bergantung.
Konon puisi yang digantungkan itu ditulis dengan tinta emas—dalam makna denotatif—pada linen dari Mesir. Karena itu, 7 puisi dari 7 penyair—beberapa riwayat mengatakan 10 puisi dari 10 penyair—yang memiliki kehormatan itu kemudian disebut sebagai al-mudahhabat, artinya yang disepuh emas.
Marilah kita ambil periwayatan yang terbanyak, bahwa ada sepuluh penyair dengan sepuluh puisi. Nama mereka adalah: Imru al-Qays, Tharafah bin al-‘Abd, Zuhayr bin Abi Sulma, Labid bin Abi Rabi’ah, ‘Amr bin Kultsum, ‘Antarah bin Syaddad, Al-Harits bin Halluzah, An-Nabighah ad-Daybani, Al-A’sya al-Akbar, dan ‘Abid bin al-Abrash.
Perlu satu buku khusus untuk membicarakan mereka satu demi satu dalam semacam bunga rampai, dan perlu satu buku tebal untuk membicarakan puisi dan kisah-kisah kehidupan masing-masing penyair. Sudah ada banyak yang melakukannya dengan sungguh-sungguh dari mulai Az-Zauzani yang membahas kesepuluh penyair dan puisi mu’allaqat-nya, sampai Doktor Thahir Ahmad Makky yang mengarang buku khusus membahas kehidupan Imru al-Qays dan puisinya setebal 300 halaman.
Sebutan lain untuk puisi-puisi tersebut: as-sumuth, artinya untaian kalung, meski menurut satu riwayat maknanya merujuk pada untaian sajak yang saling berhubungan.
*
Cerita tentang pasar Ukazh sebagai sebuah pasar festival adalah cerita yang tak sepenuhnya disepakati. Bagian yang lebih banyak disepakati adalah sisi bahwa pasar itu pasar biasa belaka meski tetap dikatakan sebagai salah satu pasar terbesar dunia Arab masa itu: Nabi dikabarkan pernah berdakwah di pasar itu, Umar bin Khattab dikabarkan pernah bergulat di sana. Akan tetapi bahkan cerita tentang sejak kapan pasar tersebut ada sebagai “hanya pasar” pun tak ada tahun pasti: ada yang mengatakan sejak sekitar tahun 585 M, ada yang mengatakan sebelum tahun 500 M pun sudah ada.
Lagipula satu-satunya riwayat penilaian puisi di pasar Ukazh adalah tentang penilaian puisi Nabighah oleh Hasan bin Tsabit yang mana riwayat tersebut diperdebatkan juga kesahihannya, meski dikisahkan juga bahwa penyair ‘Amr memang mengunjungi pasar itu. Sedangkan kisah tentang Muallaqat bersumber dari Hammad ar-Rawiya, seorang penyair yang hidup 200 tahun kemudian pada masa Dinasti Umayyah dan meninggal sekitar tahun 772 M.
Meskipun demikian, kisah tentang pasar Ukazh adalah kisah yang sudah telanjur menjadi legenda, ditopang pula oleh kisah kemeriahannya yang tak pernah alpa ketika kita berbicara tentang zaman penyair pra-islam. Belum lagi kenyataan bahwa para penyair yang tercakup dalam 10 penyair itu adalah sosok-sosok “abadi” yang sajak-sajaknya masih bisa ditemukan sebagai contoh dalam kitab-kitab pelajaran “balaghah” dan “’arudh” di pesantren-pesantren yang masih mengaji kitab kuning. Selain itu, ditambah pula deretan kisah unik: Labid Ibn Rabi’ah yang konon tak bisa lagi menulis puisi setelah hafal surat terpanjang dalam Alquran yakni surat Albaqarah, Imru al-Qays yang “binatang jalang” dan konon jatuh cinta habis-habisan pada keponakannya sendiri.
Maka pada tahun 2007, gubernur Mekah, Pangeran Khalid yang merupakan putra Raja Faishal memulai kembali pasar Ukazh sebagai festival tahunan kesenian di Arab. Diselenggarakan di lokasi yang berdasarkan penelitian merupakan tempat yang sama dengan pasar Ukazh dulu, tempat ini kini menjadi salah satu tujuan wisata budaya kontemporer dengan citarasa masa kini.
Di sana, pada 700 meter jalan Ukazh, 70 toko menjual suvenir, stan-stan yang menjual aneka makanan, warung kopi, ataupun tempat untuk berfoto sambil memakai pakaian tradisional. Tak hanya itu, drama yang mengangkat kisah para penyair silam dipentaskan, replika puisi Mu’allaqat yang ditulis bersepuh emas dipamerkan, para penyair ternama Arab diundang membacakan puisi, dan ini: penganugerahan penghargaan untuk penyair.
“Setiap tahun, 12 penghargaan untuk ragam kontes di dunia Arab ditawarkan oleh pasar Ukazh,” demikian Saudi Commission for Tourism and National Heritage—pihak yang menangani pasar Ukazh setelah selama 10 tahun sebelumnya dipegang oleh Otoritas Mekah—merilis dalam situsnya pada tahun 2017.
Penghargaan yang dimaksud adalah Okaz International Poetry Award for Standard Arabic Language Poetry (Okaz Poet), Okaz International Handicraft Award, Okaz Creativity Award, Okaz Photography Award, Young Okaz Poet Award, Okaz Folklore Art Award, Okaz Children Folk Art Award, Okaz Theatrics and Creativity Award, Okaz Fine Arts Award, dan Okaz Entrepreneurship Award. Total hadiah yang ditawarkan per tahunnya adalah 2,2 juta riyal, kira-kira dengan kurs sekarang jika dirupiahkan sama dengan 7.800.000.000 rupiah.
Selalu ada yang menawan memang dalam keagungan masa lalu. Semoga upaya tersebut tidak hanya berupa sebuah nostalgia atau upaya “melap-lap kebudayaan lama”. Siapa tahu nanti pada tahun 2026 lahir Imru al-Qays baru, siapa tahu lahirnya pada tanggal 6 bulan 6 dan dunia pun pada akhirnya percaya bahwa pasar Ukazh memang pasar seni-budaya yang pernah—dan kini kembali—benar-benar ada.