Kritik sastra adalah seni mengetahui jalan-jalan tersembunyi dari satu puisi menuju ke puisi lain.
Harold Bloom, The Anxiety of Influence
1
SEORANG penulis kontemporer yang gandrung epigraf adalah seorang pembaca kuat yang sadar tautan kreatif karya dia dengan karya lain bukanlah cemar. Konsep orisinalitas yang dia pegang bukan konsep orisinalitas Romantisisme yang yakin bahwa orisinalitas merujuk pada frasa kreasi dari ketiadaan dan manusia bisa mengambil alih frasa itu dari tangan Tuhan.
Dengan kata lain, orisinalitas yang dia pegang adalah orisinalitas Pascamodernisme, meski akarnya bisa ditelisik ke pemikiran kritikus sastra Psikoanalisis Harold Bloom, salah seorang pembaca terkuat yang pernah lahir di muka bumi. Bloom melacak tautan antara satu karya dengan karya yang datang lebih awal sebagai proses kreatif yang bermula dari misreading ‘salah baca’ atau misprision ‘salah takar’. Setiap karya membentuk jejaring pengaruh yang jika bertahan setelah melewati satu generasi lantas membentuk satu tradisi dalam kesastraan.1Harold Bloom memperkenalkan teori dia tentang “pergulatan penyair dengan tradisi” yang biasa disebut sebagai Anxiety of Influence ‘Ansietas Pengaruh’ dalam The Anxiety of Influence: A Theory of Poetry (1973, edisi kedua dengan tambahan pengantar 47 halaman tahun 1997). Dia kemudian menunjukkan contoh kritik puisi berdasarkan teorinya dalam A Map of Misreading (1975) dan mengelaborasi lebih lanjut dalam Kabbalah and Criticism (1975), Poetry and Repression: Revisionism from Blake to Stevens (1976), Figures of Capable Imagination (1976), Agon: Towards a Theory of Revisionism (1982), Poetics of Influence (1988), ditutup dengan “perenungan pamungkas tentang proses pengaruh” dalam The Anatomy of Influence: Literature as a Way of Life (2011). Kritik sastra pascamodernisme, kita tahu, menggeser paradigma mimetik yang percaya bahwa teks memiliki tautan dengan realitas eksternal statis melalui kegandrungan akan intertekstualitas. Bagi para kritikus pascamodernis, sebuah teks memiliki tautan bukan dengan realitas eksternal yang (dengan salah kaprah dipahami sebagai) statis, melainkan justru dengan teks(-teks) lain.
Dalam puisi kontemporer kita, kita menemukan kegandrungan terhadap epigraf pada puisi-puisi M. Aan Mansyur. Menyebut sedikit contoh, kita menemukan epigraf kutipan dari Pramoedya Ananta Toer, Mahmoud Darwish, dan Milan Kundera pada buku Melihat Api Bekerja (GPU, 2015), kutipan dari Mary Ruefle dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (GPU, 2020), dan kutipan dari Robert Scholes dan Audre Lorde dalam antologi dia yang terbaru, Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu (Shira Media, 2021).
Bahkan ketika tidak ditemukan epigraf bagi satu buku, kita akan menemukannya diperuntukkan puisi-puisi dalam buku terkait, misalnya antologi dwibahasa Tidak Ada New York Hari Ini (There is No New York Today) (GPU, 2016) yang tidak mencantumkan epigraf tetapi menyambut kita dengan kutipan Fernando Pesoa yang menjadi epigraf puisi pertama di dalamnya, “Cinta”. Jika diperpanjang, dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau yang dibagi menjadi 5 bagian, kita menemukan epigraf pada tiap bagian.
Epigraf, dalam terminologi Gérard Genette, kritikus sastra Naratologi yang sangat cermat meneliti segala bentuk tautan antarteks dari mulai intertekstualitas sampai arsitektualitas, adalah bagian dari parateks dan parateks hadir pada threshold ‘gerbang’, merujuk pada the literary and printerly conventions that mediate between the world of publishing and the world of text ‘konvensi literer dan cetak yang menengahi dunia penerbitan dan dunia teks’. Menurut Genette, parateks adalah
an “undefined zone” between the inside and the outside, a zone without any hard and fast boundary on either the inward side (turned toward the text) or the outward side (turned toward the world’s discourse about the text), and edge, or, as Philippe Lejeune put it, “a fringe of the printed text which in reality controls one’s whole reading of the text.”2Gérard Genette, Paratexts: Thresholds of Interpretation (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 2.
(“zona samar” antara bagian dalam dan bagian luar, satu zona tanpa batas yang mewujud dan stabil apa pun baik di sebelah dalam (mengarah pada teks) ataupun di sebelah luar (mengarah pada diskursus dunia tentang teks), sebuah tepi, atau sebagaimana Philippe Lejeune nyatakan, “pinggiran teks cetak yang pada kenyataannya mengendalikan keutuhan pembacaan kita terhadap teks terkait.”)
Epigraf-epigraf yang Aan Mansyur hadirkan dalam karya-karya publikasi dia tampaknya ditujukan untuk fungsi kedua dari empat kemungkinan fungsi yang Genette rinci, fungsi “paling kanonis”, yakni untuk “mengomentari teks yang maknanya secara tidak langsung ia spesifikkan atau tekankan”3Commenting on the text, whose meaning it indirectly specifies or emphasizes. Selengkapnya lihat dalam Gérard Genette, Paratexts: Thresholds of Interpretation (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 157..Dengan kata lain, ia adalah satu bentuk intertekstualitas sadar, lahir dari kesadaran penyair bahwa alih-alih bersama para pekarya lain membentuk—dalam terminologi T. S. Eliot—“komunitas taksadar”, dia justru membentuk “komunitas sadar”, menolak memonopoli kata sebagai milik aku dan memilih menyandarkannya pada kita.
Epigraf pertama yang dicantumkan dalam Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu adalah kutipan dari Robert Scholes:
Some poems are more like essays, others more like plays or stories. Poetry is thus not a genre but a delivery system, something resembling a medium, within which we will find a number of genres.
(Sebagian sajak lebih mirip esai, sebagian lainnya lebih mirip drama atau cerita. Dus, puisi bukan sebuah genre melainkan satu sistem penyampaian, sesuatu semacam medium, yang di dalamnya akan kita temukan sejumlah genre.)
Kutipan bersumber dari “Reading Poetry: A Lost Craft”4Robert Scholes, “Reading Poetry: A Lost Craft”, dalam The Crafty Reader (New Haven: Yale University Press, 2001), hal. 56. yang dimuat dalam buku The Crafty Reader. Judul buku itu sendiri bisa diterjemahkan sebagai Pembaca Ahli, atau Pembaca Terampil, sebagaimana kata craft sendiri merujuk pada kriya (yang mestinya bisa tetapi jarang kita tautkan dengan kata kreatif sehingga kata tersebut kehilangan makna pleasure, ‘kenikmatan’: creative writing kita terbayang bukan merujuk pada tindak menulis yang menyenangkan dan, sebagaimana hobi, tidak mempertimbangkan tujuan akhir sebagai hal utama, melainkan tindak menulis yang dikontrol oleh aturan a-z tentang cara memproduksi tulisan bagus dengan orientasi lempang mendapatkan nilai mata kuliah tinggi atau tembus ke surat kabar dalam durasi yang juga ditentukan secara pasti dan ketat), jenis pekerjaan yang bukan hanya berfaedah tetapi juga memuat kesenangan. Buku tersebut memang memuat tuntunan cara membaca berbagai jenis teks sastra tanpa kehilangan kenikmatan, satu buku yang ditujukan di antaranya untuk menghapus “ansietas puisi”, the fearful prejudice of the average lettered man against the mere form of verse ‘prasangka ngeri pada diri orang terpelajar kebanyakan terhadap bentuk sajak belaka’.
Ansietas puisi, yang juga lazim kita temukan di tengah-tengah kita dalam bentuk pandangan umum semacam “membaca puisi itu bikin pusing”, “untuk apa baca puisi, ruwet, gak berguna, buang-buang waktu, mending baca sains lebih jelas makna dan gunanya”, dalam pandangan Robert Scholes disebabkan oleh paradigma New Criticism tentang puisi.
Few people would deny that poetry now plays a very minor role in our culture. The New Critics did not want this to happen. They tried to make a case for the supreme importance of poetry, based on a supposed opposition between poetry and other ways of using language.5Robert Scholes, “Reading Poetry: A Lost Craft”, dalam The Crafty Reader (New Haven: Yale University Press, 2001), hal. 3.
(Sedikit orang yang akan menyangkal bahwa puisi memiliki peran sangat minor dalam kultur kita kini. Para kritikus New Criticism tidak ingin hal ini terjadi. Mereka mencoba mempertahankan nilai sangat penting puisi, berdasarkan pada satu cara yang diandaikan berlawanan antara puisi dan cara-cara lain menggunakan bahasa.)
Dari paradigma bahwa “puisi itu sangat penting”, lahir dikotomi hierarkis puisi-sastra dan puisi-pop serta anggapan bahwa puisi yang menggunakan bahasa sehari-hari bukan puisi kelas tinggi. Kita boleh yakin seorang pengusung picik paradigma New Criticism tidak akan mau membaca puisi-puisi Insta sebagaimana orang picik yang gagal mengusung paradigma kritik sastra apa pun akan langsung mencaci puisi Putri Marino atau Hamzah Muhammad setelah hanya meliriknya sekilas.
Dus, puisi dicitrakan sebagai sesuatu yang elit, harus hanya dipahami oleh segelintir orang, satu situasi yang menjadikan publik dengan sendirinya menjauhi semua puisi dan pada akhirnya puisi hanya dibaca oleh sesama penyair, satu dua kritikus, atau sebagian orang dekat: anggota keluarga, anggota komunitas, ephebe (istilah Harold Bloom untuk pendatang baru di dunia sastra. Saya lebih suka menggunakan istilah “penyair magang” karena sifat kepenyairan mereka yang masih temporer: mereka mungkin mengakhiri masa magang dengan menjadi penyair yang memiliki puitika kuat atau justru keluar dari padepokan untuk menjadi, katakanlah, ustaz). Istilah-istilah teknis yang kritikus New Criticism sodorkan seperti simbol, nada, ironi, tema, juga membuat pembaca sibuk menghapus kebingungan mereka terkait istilah-istilah tersebut saat membaca puisi sehingga kehilangan momen menikmati tindak membaca itu sendiri.
Robert Scholes adalah seorang pengajar sekaligus kritikus sastra, ahli James Joyce, dan giat mempraktikkan metode pengajaran sastra yang lebih bersahabat dibandingkan metode umum warisan para kritikus aliran New Criticism sebagai para jagoan modernisme. Lebih bersahabat: memberikan perhatian besar pada kenikmatan pembaca—biasa disebut secara akademis sebagai reader response theory ‘teori tanggapan pembaca’ dan dikategorikan sebagai pendekatan pragmatis, sementara New Criticism menggunakan pendekatan objektif—sebagai penginterpretasi, sikap yang meski fondasinya bisa ditemukan dalam kaidah klasik Horatius tentang aspek faedah dan kesenangan seni tetapi baru populer kembali dalam teori sastra pascastrukturalis sebagaimana misalnya kita temukan dalam risalah terkenal Roland Barthes, “The Death of the Author”.
Kritik Robert Scholes terhadap paradigma puisi New Criticism ditujukan pada hilangnya aspek kenikmatan dalam membaca puisi. Harus tetap diingat bahwa New Criticism sebagai teori kritik sastra objektif juga mewariskan banyak nilai positif yang tetap relevan untuk digunakan dalam kritik sastra seperti warisan metode pembacaan dekat. Jasa-jasa New Criticism juga Robert Scholes akui meski dengan cara yang agak sarkastis6We all know that the New Critics privileged poetry and did some brilliant work in the exegesis of poetic texts, especially those by metaphysical poets, but also other kinds of poems that could be read in a metaphysical sort of way—and quite a few poems allow this kind of reading. Robert Scholes, “Reading Poetry: A Lost Craft”, dalam The Crafty Reader (New Haven: Yale University Press, 2001), hal. 13., tetapi di sisi lain dia menggunakan sudut pandang seorang pengajar yang berhadapan dengan para pembaca awal sehingga menaruh perhatian besar pada paradigma bahwa sebuah teks sastra pertama-tama hadir untuk dinikmati, baru kemudian untuk ditelaah.
Epigraf kutipan dari Robert Scholes menunjukkan pandangan lebih fleksibel terhadap puisi yang biasa dipahami sebagai genre modern bersama prosa dan drama, menggantikan lirik, epik, dan drama sebagai genre klasik. Penempatan puisi sebagai medium yang membawahi genre alih-alih menempatkannya sebagai genre secara tersirat menunjukkan kemungkinan percampuran bentuk puisi dengan esai, drama, atau prosa, dan dengan itu mengindikasikan kecenderungan yang dikembangkan terutama oleh teori sastra pascamodernisme: satu kegandrungan untuk mencampur genre yang sebelumnya dibedakan satu sama lain secara ketat, satu cemooh terhadap pandangan-pandangan ketinggalan zaman yang berbusa-busa menandai perbedaan kultur tinggi dan rendah dengan cara menciptakan hibrida dua kultur tersebut.
Jika kita memperlakukan kutipan tersebut sebagai salah satu “gerbang”, maka kita tidak akan kaget menemukan hibrida puisi-prosa dalam antologi yang dari judulnya saja sudah menunjukkan keselarasan pada kutipan terkait, “Esai Mini: Kata Kerja”. Puisi semacam ini mungkin akan diakui—dan lebih mungkin tidak—sebagai puisi tetapi bukan sebagai puisi bagus oleh, katakanlah T. S. Eliot, salah satu pentolan modernisme sekaligus pemantik lahirnya New Criticism. Dengan mengutip Robert Scholes sebagai salah satu pintu gerbang interpretasi, Aan Mansyur tampaknya bergabung dengan rombongan pascamodernisme untuk melakukan eksperimen seperti apa pun terkait puisi, satu sikap yang selain menunjukkan keselarasan dengan perkembangan zaman juga jauh lebih terbuka terhadap pembaruan daripada puitika klasik.
Epigraf kedua dalam Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu adalah kutipan dari Audre Lorde:
There’s no such thing as a single-issue struggle, because we don’t live single-issue lives.
(Tidak ada yang disebut sebagai perjuangan persoalan-tunggal, karena kita tidak menjalani hidup yang memuat persoalan-tunggal.)
Kutipan bersumber dari pidato Audre Lorde berjudul “Learning from The 60s” yang disampaikan dalam perayaan pekan Malcolm X di Universitas Harvard pada Februari 1982. The Norton Anthology of American Literature edisi Kesembilan (2017) menyebut Audre Lorde (1934-1992) sebagai “seorang kulit hitam feminis, lesbian, penyair, penyintas kanker, dan aktivis sosial”.
Meski kutipan tersebut, berbeda dengan kutipan dari Robert Scholes, cenderung tampak terkait posisi Audre sebagai aktivis, tetapi menarik dan penting juga melihat pandangan puitika Audre Lorde dalam posisi dia sebagai seorang penyair. Kita bisa mengutip agak panjang pandangan puitika dia dari petikan esai terkenal “Puisi Bukan Satu Kemewahan” (1977):
For women, then, poetry is not a luxury. It is a vital necessity of our existence. It forms the quality of the light within which we predicate our hopes and dreams toward survival and change, first made into language, then into idea, then into more tangible action. Poetry is the way we help give name to the nameless so it can be thought. The farthest external horizons of our hopes and fears are cobbled by our poems, carved from the rock experiences of our daily lives.
As they become known and accepted to ourselves, our feelings, and the honest exploration of them, becomes sanctuaries and fortresses and spawning grounds for the most radical and daring of ideas, the house of difference so necessary to change and the conceptualization of any meaningful action. Right now, I could name at least ten ideas I would once have found intolerable or incomprehensible and frightening, except as they came after dreams and poems. This is not idle fantasy, but the true meaning of “It feels right to me.” We can train ourselves to respect our feelings and to discipline (transpose) them into a language that catches those feelings so they can be shared. And where that language does not yet exist, it is our poetry which helps to fashion it. Poetry is not only dream or vision, it is the skeleton architecture of our lives.7Audre Lorde, “From Poetry is not a Luxury”, dalam Robert S. Levine (ed.), The Norton Anthology of American Literature: Volume E: Literature Since 1945 edisi Kesembilan (New York: W.W. Norton & Company, 2017), hal. 385.
(Dengan demikian, bagi kaum perempuan, puisi bukan sebuah kemewahan. Ia adalah satu kebutuhan vital eksistensi kita. Ia membentuk kualitas penjelasan tempat kita menyatakan harapan dan mimpi-mimpi kita terkait bertahan hidup dan perubahan, pertama dijadikan bahasa, kemudian menjadi gagasan, kemudian menjadi tindakan yang lebih nyata. Puisi adalah cara kita membantu menamai sesuatu yang tanpa nama supaya sesuatu itu bisa dipikirkan. Cakrawala-cakrawala eksternal terjauh harapan dan tangis kita dilepa oleh sajak-sajak kita, diukir dari pengalaman-pengalaman kasar kehidupan harian kita.
Saat cakrawala-cakrawala itu menjadi kita ketahui dan kita terima, perasaan-perasaan kita dan penjelajahan-penjelajahan terbuka atas perasaan-perasaan kita tersebut menjadi kuil, benteng, dan tempat-tempat berkembangbiaknya gagasan-gagasan kita yang paling radikal dan berani, rumah perbedaan yang sangat diperlukan demi perubahan, dan konseptualisasi setiap tindakan yang berarti. Saat ini, saya bisa menyebut sekurang-kurangnya sepuluh gagasan yang suatu waktu bagi saya tak tertahankan atau tak bisa dimengerti dan menakutkan, kecuali jika gagasan-gagasan itu merupakan hasil dari mimpi dan sajak. Ini bukan fantasi kosong, melainkan makna sejati “Ini pas bagiku.” Kita bisa melatih diri kita sendiri untuk menghargai perasaan-perasaan kita dan untuk mendisiplinkan (mengalihkan) perasaan-perasaan kita itu ke dalam satu bahasa yang pas sehingga mereka bisa dibagikan. Dan ketika bahasa tersebut belum eksis, puisi kitalah yang membantu menghiasnya. Puisi bukan hanya mimpi atau visi, ia adalah arsitektur kerangka kehidupan kita.)
Dalam antologi Norton, petikan esai tersebut ditempatkan di bawah tajuk “Manifesto-Manifesto Pascamodern”—bersama “Innovative Fiction/Innovative Criteria” (Ronald Sukenick), “The Medium of Fiction” (William H. Gass), petikan “Projective Verse” (Charles Olson), petikan “Personism: A Manifesto” (Frank O’Hara), petikan “Ontological-Hysteric Manifesto I” (Richard Foreman), “Ridiculous Theatre, Scourge of Human Folly” (Charles Ludlam), dan petikan “A Poem Is a Walk” (A. R. Ammons)—yang menggugat pandangan kritikus sastra modernis tentang objektivitas dan impersonalitas sebagai nilai-nilai penting dalam kritik puisi. Sebagaimana bisa kita baca dalam manifesto dia di atas, Audre Lorde memandang puisi sebagai media untuk mengekspresikan “pengalaman-pengalaman yang tidak diungkapkan atau dianggap tabu”, atau dalam istilah Audre, “puisi adalah cara kita membantu menamai sesuatu yang tanpa nama supaya sesuatu itu bisa dipikirkan”. Kita lihat ada keselarasan antara pandangan Audre Lorde terhadap puisi—dan kritik sastra—dengan pandangan Robert Scholes.
Sebagaimana juga dengan pandangan Aan Mansyur. Dalam puisi “Tuhan di Kedai Kopi”, dimuat dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, kita temukan baris-baris penutup yang kurang lebih senada:
tetapi menulis puisi berarti mengubah setumpuk abu menjadi hutan; berarti merebut bahasa yang telah lama kembali ke mulut tuhan.
Audre Lorde menuliskan kalimat-kalimat tersebut dalam konteks perjuangan kulit hitam, bahwa meski “perjuangan kita partikular, tetapi kita tidak sendirian”. Dengan menempatkan kalimat-kalimat tersebut sebagai epigraf antologi puisi dia, Aan Mansyur telah memberikan gerbang empati yang sama ketika kita berhadapan dengan puisi-puisi dalam antologi yang mengungkapkan situasi-situasi sulit individu. Gerbang tersebut bisa bermakna banyak sesuai siapa yang menjadi epigraphee ‘epigrafi, target epigraf’.
Bagi epigrafi yang berada dalam situasi sulit seperti puisi ungkai maka empati penyair akan menjadi sikap yang membantu memberi semangat, sementara bagi epigrafi yang sebelumnya tidak tahu bahwa ada persoalan seperti yang ditunjukkan, epigraf tersebut menjadi ajakan. Dari sekian banyak ajakan yang mungkin kita temukan, terutama ajakan untuk “melatih diri kita sendiri untuk menghargai perasaan-perasaan kita dan untuk mendisiplinkan (mengalihkan) mereka ke dalam satu bahasa yang menangkap perasaan-perasaan tersebut sehingga mereka bisa dibagikan”, ajakan untuk “membagikan perasaan” itu mungkin saja tidak kita sadari sepanjang kita membaca puisi-puisi dalam Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu. Akan tetapi kita pasti menyadarinya saat tiba pada baris-baris penutup puisi terakhir dalam antologi dan membaca bahwa
tetapi puisi selalu bisa melanjutkan puisi dengan meminjam pertanyaan darimu, misalnya: (“Tetapi, Tidak”)
Baris-baris tersebut terletak di ujung bawah halaman. Kita mungkin, karena didorong oleh kehadiran tanda titik dua di akhir dan lupa teknik serupa yang Aan Mansyur gunakan pada akhir puisi terakhir Bagian I, “Menunggu”, meski untuk tujuan berbeda, kemudian membuka halaman selanjutnya mengharapkan masih akan menemukan baris-baris puisi lanjutan. Lalu yang kita temukan adalah halaman kosong.
Halaman kosong itu, saya percaya, penyair peruntukan menampung pertanyaan dan perasaan para pembaca, yakni saya dan anda yang membentuk kita dan bersama sang penyair membentuk unit terkecil peradaban yang disebut “keluarga”.
2
Judul antologi Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu berasal dari dua baris sekaligus bait terakhir puisi “Self Help Poems” yang berada pada Bagian II. Judul tersebut pada halaman judul dalam diberi tambahan atau Cinta Nol Kilometer dari Nama-Nama, berasal dari puisi “Pulang” yang berada pada Bagian I dan petikannya dicantumkan pada kover belakang.
Kehadiran judul tambahan di halaman judul dalam dan ketidakhadirannya pada kover depan bisa mengindikasikan banyak hal, terlepas dari tidak menutup kemungkinan juga pertimbangannya semata terkait aspek estetik kover atau aspek ekonomis penerbitan. Agak sukar membayangkan Cinta Nol Kilometer dari Nama-Nama sebagai subjudul terutama karena ia sama sekali tidak menawarkan makna lebih jelas dan gamblang dari Waktu yang Tepat untuk melupakan Waktu, keduanya sama-sama enigmatis. Selain itu, meski kedua judul tersebut sama-sama bersumber dari puisi, tetapi puisi yang menjadi sumber mereka berbeda dan sukar dibayangkan yang satu menjelaskan yang lain.
Oleh karena itu, lebih mudah membayangkan Cinta Nol Kilometer dari Nama-Nama sebagai judul ke-2 yang statusnya setara tetapi karena pertimbangan satu dan lain hal—yang tidak dan memang takpenting kita ketahui—lantas hanya dicantumkan di halaman judul dalam sehingga berpotensi mengesankan judul alternatif. Dengan demikian, mengutip Genette, judul antologi ini lebih bersifat tematik, menjelaskan tema, bukan rhematic, menjelaskan genre buku. Selain itu, berhubung dua judul tersebut berasal dari dua puisi berbeda yang bertempat pada dua bagian berbeda, sementara pengalaman kita membaca antologi puisi Aan Mansyur menuntun kita untuk menduga bahwa tiap bagian dalam antologi cenderung mengusung tema sendiri yang ketika masing-masingnya digabungkan menyusun satu keutuhan sebagai buku, maka kita boleh menduga dua judul itu menuju pada fokus dan tema berbeda.
“Self-Help Poems” adalah puisi tersusun dari puisi-puisi mini, bentuk yang juga kita temukan, dengan konsep judul dan konten berbeda, dalam “Ibu di Notes Telepon Genggam”. Puisi ini semacam tiruan estetik tuntunan Self-Help yang lazim ditemukan dalam bentuk buku dengan nada utama motivasi dan pengembangan diri. Self-Help, terlepas dari perdebatan tentang aspek tertentu pada nilai gunanya8Beberapa buku yang bisa disebut terkait telaah dan pembahasan buku-buku Self-Help dan psikologi populer adalah Daniel Nehring, dkk., Transnational Popular Psychology and the Global Self-Help Industry (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2016); Robert Ausch, Methodological Problems with the Academic Sources of Popular Psychology: Context, Inference, and Measurement (Lanham: Lexington Books, 2016); dan Scott O. Lilienfeld, dkk., 50 Great Myths of Popular Psychology: Shattering Widespread Misconceptions about Human Behavior (West Sussex: Wiley-Blackwell, 2010)., merupakan bagian dari psikologi populer yang cenderung laris sehingga berkembang menjadi lahan basah industri dan menjelma sebagai bagian dari kultur pop. Kehadiran “Self-Help Poems” bisa dianggap menguatkan keterbukaan Aan Mansyur untuk melakukan eksperimen dengan bentuk-bentuk apa pun tanpa menaruh perhatian besar pada dikotomi sastra tinggi dan pop sebagaimana juga berupaya mereduksi jurang antara puisi dengan pembaca—alih-alih melestarikan ansietas puisi—melalui pengolahan tema populer.9Dalam tulisan terdahulu tentang Mengapa Luka tidak Memaafkan Pisau, saya sempat menyinggung kesadaran akan aspek estetis visual buku puisi sebagai upaya kekinian yang berpotensi membuat puisi lebih menjangkau pembaca. Bisa dibaca selengkapnya di sini.
Puisi-puisi mini pada “Self-Help Poems”, sebagaimana Self-Help pada umumnya, memiliki formula. Judul-judulnya diawali dengan kata “menjadi”, sementara konten puisi menggunakan verba mode saran seperti “temukan pintu terbuka; | berbaringlah di depannya” atau “jadilah meja makan di pagi hari; | biarkan ibu meletakkan di atasmu | telur dadar”.
Berikut puisi mini yang memuat judul antologi:
MENJADI KEBEBASAN (i) orang lain menjalani hidup penuh waspada— bahkan kepada tanda tanya mereka takut; berbahayalah. (ii) atau jadilah waktu yang tepat untuk melupakan waktu.
Puisi “Self-Help Poems” memuat epigraf kutipan dari Ilya Kaminsky: in the street of money in the city of money in the | country of money, | our great country of money | we (forgive us) || lived happily during the war. ‘di jalan duit di kota duit di | negeri duit, | negeri duit kami yang agung | kami (ampuni kami) || hidup bahagia pada masa perang.’ Mengandaikan judul antologi sebagai parateks yang membawa kita pada puisi “Menjadi Kebebasan” dan sekaligus pada parateks lain berupa epigraf kutipan Ilya Kaminsky, sementara parateks “mengendalikan keutuhan pembacaan kita terhadap teks terkait”, relasi antara judul antologi dengan “Menjadi Puisi” sebagai salah satu antologi di dalamnya kemudian menjadi timbal balik akibat posisi judul antologi sebagai baris puisi tersebut: kita diarahkan untuk menyigi makna “Menjadi Kebebasan” melalui baris yang dijadikan judul antologi sebagai baris-baris kunci dan parateks lain berupa epigraf puisi, tetapi ketika makna puisi kita dapatkan, melaluinya kita juga menjadi lebih memahami makna judul antologi.
Epigraf kutipan Ilya Kaminsky memudahkan kita menangkap makna baris-baris puisi yang menyusun puisi-puisi mini yang menyusun “Self-Help Poems”: berbagai gambaran cara bertahan sebagai manusia dalam dunia serba duit yang dianalogikan jauh lebih buruk dari situasi perang. Maka kita temukan di dalamnya saran untuk lebih akrab dengan kesederhanaan “nasi goreng dari nasi | sisa semalam, air tanpa pewarna | & kata-kata tanpa gula”; mengejar mimpi yang lebih kecil sebagai jalan menuju “mimpi besar”; lebih menghargai apa dan mereka yang “disingkirkan” dan “diabaikan” seperti “entah siapa di bilik belakang” “restoran mahal di jantung kota”, “petani tua di dusun [yang] tidak tercatat | gps & bpjs”, atau “buruh di sawah hilang | dirampas lars tentara atau kas negara”; tidak menjadi bagian dari rutinitas materialistis sehingga lebih memiliki “waktu luang”; tidak berlarut-larut memikirkan duka lara yang “berumah di benak | tulang, dalam sumsum”; dan berani bersuara dan tertawa “paling lantang, di hadapan | para penindas”: negara.
Pada puisi mini “Menjadi Kebebasan”, kita menemukan saran untuk menjadi berbahaya dan tidak takut pada tanda tanya, simbol sikap kritis. Dua frasa “waktu” pada baris “waktu yang tepat untuk melupakan waktu” kemudian tampak merujuk pada dua sudut pandang berbeda tentang momen. Jika waktu yang pertama merujuk pada momen kesekarangan dari sudut pandang kritis, waktu yang kedua merujuk momen lampau sampai sekarang dari sudut pandang umum. Waktu yang kedua mengungkung manusia, hadir dalam sikap menghabiskannya untuk mengikuti rutinitas umum melulu mengejar duit untuk masa depan sehingga lupa menikmati kesekarangan, mengejar mimpi-mimpi besar yang seragam ditakar dengan duit, selalu waspada terhadap keberbedaan sampai-sampai akhirnya lupa “mengalami cinta”. Waktu yang pertama, yang merupakan sebuah momen melupakan waktu yang kedua lengkap dengan segala perwujudannya, adalah waktu yang melahirkan kebebasan.
Sementara itu, petikan puisi “Pulang” yang memuat judul tambahan antologi dan dicantumkan di kover belakang sebagai berikut:
pernah jadi masih. masih jadi rencana buruk tidak terjadi aku aku adalah kita belum memisahkan diri cinta nol kilometer dari nama-nama, nol kilometer dari mana-mana & puisi ini menghilang ke sebelum bahasa. (“Pulang”)
Membandingkan dengan judul pertama, kita langsung menemukan perbedaan menyolok: judul pertama terkait waktu, judul kedua terkait jarak. Dengan kata lain, keduanya merujuk pada dua hal yang mengikat kita sebagai manusia yang hidup di dunia, yakni ruang dan waktu. Hal ini memperkuat dugaan kita di awal bahwa judul kedua bukan subjudul yang memperjelas judul pertama, melainkan judul kedua memuat satu konsep yang berstatus setara. Dua konsep yang idealnya merupakan satu kesatuan tersebut pada akhirnya hanya dicantumkan di halaman judul dalam sehingga mengesankan sebuah alternatif, tetapi juga bisa kita tangkap sebagai semacam pemberitahuan tersirat bahwa jika kita ingin mengintip tema keseluruhan—judul, sebagaimana epigraf dan catatan kaki, adalah bagian buku yang juga bisa menyandang status parateks—puisi-puisi dalam antologi maka berpeganglah pada judul di halaman judul dalam, bukan pada judul di kover depan, atau berpeganglah pada judul di kover depan dan petikan puisi di kover belakang: kita boleh memuji dua strategi ini sama cerdasnya.
Ada aroma Psikoanalisis Lacan dan juga Freud dalam baris-baris terakhir puisi “Pulang”. Hal ini sedikit unik karena Lacan dan Freud membahas memori, sesuatu yang lebih terkait dengan waktu daripada dengan jarak. Puisi yang “menghilang | ke sebelum | bahasa” mengingatkan pada momen dalam kehidupan kita yang dalam konsep Lacan disebut sebagai the Real ‘yang Riil’, momen prabahasa yang dibayangkan pada momen setelah kita mengenal bahasa dan dengan demikian sudah masuk ke dalam kerangkeng peradaban: pandangan masyarakat sekitar, aturan institusi, hukum negara.
Momen kita mengingat momen prabahasa itu adalah momen yang dalam rumusan Freud biasa disebutkan sebagai momen ingin kembali ke dalam rahim ibu akibat penderitaan dalam kehidupan dunia yang terasa hampir taktertahankan, sementara dalam konsep Lacan momen tersebut membangkitkan keinginan mencari dan mengulang mengalami “yang Riil” sehingga secara tidak langsung memberikan kita tujuan hidup: oleh judul puisi ini disimbolkan sebagai momen “pulang”. Kita menemukan kesejajaran dengan konsep itu dalam baris-baris puitis “Penghiburan & Alasan Lain Menikmati Senja”:
kesedihan membikin orang-orang ingin menemukan lagi masa kecil; bahasa ibu yang pernah mereka kenakan kemudian entah kenapa mereka tanggalkan di mana; keharuan sentimentil yang timbul karam di antara keharusan-keharusan.
Dalam momen prabahasa itu, tidak ada jarak, sebuah lanskap “nol kilometer | dari nama-nama, | nol kilometer | dari mana-mana”. Nama, nomina, bagian dari bahasa, sesuatu yang kita kenal saat kita masuk ke dalam tahap simbolik yang mengajarkan kita bahwa setiap kata memiliki arti yang dikungkung oleh konvensi, dan kita ingat puisi lain dalam antologi, “Esai Mini: Kata Kerja”, juga mengkritik kegandrungan akan nomina, atau puisi “Terima & Kasih; Selamat & Tinggal” yang mengkritik pedagogi bahasa dalam kultur hedonis. Pada tahap itu kita resmi menjadi bagian dari “yang sosial”, tetapi pada saat yang sama kita kehilangan “yang individu” karena inaugurasi itu harus dibayar dengan kesediaan kita menerima segala aturan, kerelaan kita masuk ke dalam kungkungan.
Terlihat paradoksal memang, tetapi peradaban, yang dicirikan oleh pemujaan terhadap “yang sosial, objektif, tertib” dan menolak “yang individu, subjektif, kaos”, hadir pada kita dalam wujud berbagai institusi: adat, agama, negara. Yang kerap kita lupakan, sungguhan atau pura-pura, sadar atau taksadar, institusi-institusi itu dipegang oleh manusia dan manusia cenderung tergoda untuk mempraktikkan akal bulus untuk “menyamar | sebagai pesulap” setiap kali ada kesempatan. Maka meski institusi-institusi itu mungkin menampilkan citra menjunjung “yang sosial”, “mengaku | sebagai kekasih”, manusia-manusia di belakangnya bisa saja menjunjung tinggi “yang individu”, yakni mencari keuntungan untuk pribadi mereka sendiri.
Maka meski “nol kilometer | dari nama-nama” mengisyaratkan kerinduan akan momen prabahasa dan dengan demikian menolak “yang sosial”, penolakan itu lebih diarahkan terhadap “yang sosial” yang kini cemar. “Yang sosial” yang dirindukan, “nol kilometer | dari mana-mana”, adalah “yang sosial” murni ketika “aku aku adalah kita | belum memisahkan | diri”, momen yang “timbul karam | di antara keharusan-keharusan”: fase Riil, momen ketika kita belum mengalami keterbelahan individu, fase prabahasa yang hilang dan sepanjang hidup kita cari lantas mewujudkan diri dalam variasi bentuk dari mulai pencarian tipe pasangan sampai pembangunan tipe rumah.
Kita lantas bisa menautkan puisi ini dengan puisi “Self-Help Poems” atau khusus puisi mini “Menjadi Kebebasan”. Meski puisi “Pulang” berbicara tentang ruang, tentang jarak, tetapi ruang itu adalah ruang yang dirindukan pada momen lampau “yang entah kenapa [kita] tanggalkan di mana”, sementara meski berbicara tentang waktu, puisi “Menjadi Kebebasan”—dan puisi-puisi mini lain dalam “Self-Help Poems”—menggambarkan ruang-ruang yang mengungkung pada masa kesekarangan, ruang-ruang yang hadir setelah kita beranjak dari nol kilometer lalu dikurung oleh nama dan nomina.
3
Antologi Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu memuat 36 puisi yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian I memuat 16 puisi, Bagian II memuat 7 puisi, dan Bagian III memuat 13 puisi. Berbeda dengan pada Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau yang memuat epigraf pada tiap pembagian tajuk, kita tidak menemukannya dalam antologi ini.
Pada awal tiap bagian, kita menemukan ilustrasi dan pada tiap bagian kita menemukan masing-masing dua ilustrasi lain. Pada Bagian I, satu ilustrasi berhadapan dengan puisi “Kepada Gunung yang Menatap Rumah Kami Sepanjang Hari” dan satu berhadapan dengan puisi “Esai Mini: Kata Kerja”. Pada Bagian II, satu berhadapan dengan puisi “Self Help Poems” dan satu lagi berhadapan dengan puisi “Recycle Bin”. Pada Bagian III, satu berhadapan dengan puisi “Di Luar Segala Keyakinan Kita Ada Daerah” dan satu lagi berhadapan dengan puisi “Kesalahan Kami”. Ilustrasi Isi dan Sampul dikerjakan oleh Wulang Sunu.
Relasi antara ilustrasi dengan teks puisi menarik untuk ditelaah. Kita boleh mengandaikan pola umum teks puisi lahir terlebih dahulu kemudian disusul oleh ilustrasi. Dengan kata lain, proses yang berlangsung adalah mode pembalikan ekphrasis. Jika ekphrasis—mengutip Arif Bagus Prasetyo—adalah representasi verbal tentang representasi visual10Arif Bagus Prasetyo, “Tamsil tentang Zaman Citra: Perihal Segugusan Cerpen Nukila Amal”, dalam Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Jakarta: KPG, 2010), hal. 311. Tulisan tersebut adalah salah satu tulisan bagus yang meninjau tautan antara cerpen-cerpen Nukila Amal dengan karya seni grafis Maurits Cornelis Escher sebagai sumber ilham dan acuan. Tulisan dimuat juga dalam Arif Bagus Prasetyo, Saksi Kata (Yogyakarta: Diva Press, 2021), hal. 15-40. Adapun contoh puisi ekphrasis misalnya puisi Goenawan Mohamad, “Sang Minotaur”, bisa dibaca dalam Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia, 2001), hal. 165-166., maka ilustrasi dalam sebuah antologi puisi merupakan representasi visual tentang representasi verbal.
Namun, representasi adalah kata yang sejak zaman kritik sastra klasik tidak pernah menyandang makna tunggal. Ketika kita sudah sepakat bahwa ilustrasi-ilustrasi dalam antologi puisi Aan Mansyur adalah representasi visual untuk puisi-puisinya sebagai representasi verbal, lantas bagaimana persisnya relasi antara dua jenis representasi tersebut? Sebelum itu, kita bahkan memiliki pertanyaan lain: ke representasi verbal yang mana-kah masing-masing representasi visual itu merujuk?
Saya cenderung menduga ilustrasi pada awal tiap Bagian antologi Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu berfungsi sebagaimana epigraf pada awal tiap Bagian antologi Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, yakni gerbang besar yang menggambarkan tema tiap Bagian. Dua ilustrasi pada setiap bagian lebih enigmatis antara apakah masing-masing merujuk puisi yang berhadapan dengannya ataukah mereka merupakan gerbang-gerbang tambahan yang alih-alih merujuk pada satu puisi khusus justru menangkap tema umum.
Dalam The Meandering Narrative: Poetry and Illustration Engage in a Moment of Indiscipline (2013), sebuah Tesis yang dengan memukau menyigi relasi antara ilustrasi dengan puisi dalam buku Sara Fanelli, And all men kill the thing they love, Carla Kreuser mengatakan bahwa pembacaan terhadap imagetext, pasangan antara gambar dan teks, bermula dari pilihan ilustratif, yakni
Whether the illustrator choose to incorporate ambiguity or humour in the visual signs, whether a magic gap is orchestrated between the two art forms, and so on11Carla Kreuser, “The Meandering Narrative: Poetry and Illustration Engage in a Moment of Indiscipline, demonstrated in an analysis of Sara Fanelli’s illuminated poem And all men kill the thing they love”, Thesis for Faculty of Arts and Social Sciences Department of Visual Arts, University of Stellenbosch, 2013, hal. 98.
(Baik ilustrator memilih memberi bentuk berupa tanda-tanda visual bagi ambiguitas dan humor, atau satu celah magis diatur antara dua bentuk seni itu, dan seterusnya)
Hal tersebut kemudian menghasilkan apa yang dia sebut sebagai meandering reading ‘pembacaan taklempang’. Karena pilihan pembacaan yang ilustrator lakukan maka relasi antara ilustrasi dengan puisi tidak selalu sesederhana pernyataan bahwa ilustrasi berfungsi ilustratif atau dekoratif, melainkan ada “dialog antara puisi dan ilustrasi ketika mereka bertemu pada satu halaman”. Ilustrator bukan hanya menjelaskan teks dalam bentuk visual melainkan—sebagaimana pernyataan Sara Fanelli yang Carla Kreuser kutip—“memberikan interpretasi-interpretasi pribadi dan komentar-komentar visual terhadap teks”.
Dus, ilustrasi-ilustrasi karya Wulang Sunu bisa kita perlakukan sebagai tafsir visual terhadap teks-teks puisi Aan Mansyur, sebuah metateks dalam bentuk gambar. “Membaca” gambar-gambar tersebut menjadi laku mengungkai sebuah interpretasi dalam bentuk karya estetik: sebuah tafsir terhadap tafsir.
Pada gambar yang berhadapan dengan puisi “Kepada Gunung yang Menatap Rumah Kami Sepanjang Hari”, kita melihat lanskap muram tersusun dari potongan-potongan acak: ranjang yang mengingatkan kita pada ranjang rumah sakit, meja yang mengingatkan kita pada meja bedah lengkap dengan tangan menjuntai ke bawah. Kita melihat tiga sosok dengan tampilan identik: dua berbaring di lantai (mengapa? bukankah ranjang kosong?) dan satu duduk di kursi menonton televisi dari arah yang salah. Ada tanaman-tanaman kecil di pot di atas televisi, di lantai, di atas bufet.
Sementara pada gambar yang berhadapan dengan puisi “Esai Mini: Kata Kerja”, kita melihat sekumpulan pigura beragam ukuran pada dinding. Di bagian atas kita melihat gambar satu sosok berdiri membelakangi kita, lukisan 5 mata, lukisan separuh wajah, sementara di bagian bawah gambar kita temukan lukisan moncong buaya menyeruak dari permukaan air, lukisan 3 sosok hantu, lukisan wajah dengan ukuran kepala aneh dan lokasi mata tidak simetris. Pencahayaan, satu aspek yang tampaknya sangat diperhatikan dalam penggarapan ilustrasi-illustrasi dalam antologi, membagi gambar menjadi dua wilayah sama besar dengan potongan miring dari atas kiri ke bawah kanan, menempatkan wilayah atas sebagai wilayah dalam bayang dan wilayah bawah sebagai wilayah terang.
Dua gambar tersebut sukar ditautkan dengan masing-masing puisi yang berhadapan dengan mereka. “Kepada Gunung yang Menatap Rumah Kami Sepanjang Hari” merupakan seruan yang menempatkan manusia sebagai bukan hanya penggusur rumah, tetapi juga gunung. Bait terakhir menyaran konklusi yang lebih jelas: keserakahan manusia yang lebih luas dari angkasa menyebabkan kesengsaraan bukan hanya manusia lain melainkan juga alam sekitar. Jika ingin ditautkan dengan gambar, puisi tersebut lebih mudah ditautkan dengan gambar yang menghias kover depan bagian dalam, kover belakang bagian dalam, atau kover belakang.
Sementara puisi “Esai Mini: Kata Kerja” adalah kritik terhadap penggunaan bahasa nasional oleh pihak tertentu. Persoalan penanda waktu dalam bahasa, persoalan kata kerja dan kata benda, keduanya ditarik ke pemaknaan filosofis tentang posisi manusia: kegandrungan akan kata benda menempatkan manusia pasif dipimpin, cara menggunakan penanda waktu membuat manusia berilusi “berkuasa atas waktu”. Konten seperti itu juga sukar ditautkan dengan ilustrasi ragam pigura.
Oleh sebab itu, lebih mungkin bagi kita menempatkan kedua ilustrasi itu sebagai ilustrasi bagi puisi-puisi di Bagian I sebagai satu kesatuan alih-alih merujuk pada satu puisi, meski tetap tidak menutup kemungkinan ada satu cara untuk menautkannya dengan puisi-puisi yang letaknya berhadapan dengan mereka. Berdasarkan kumpulan objek pada gambar pertama yang anakronis dan lukisan pada dinding dalam gambar kedua yang alih-alih menghias dinding justru menampilkan objek-objek yang individu, kita bisa mengatakan bahwa salah satu tautan umum yang mungkin antara dua ilustrasi tersebut adalah disharmoni sekitar.
Lalu kita bergerak ke ilustrasi Bagian I: dua sosok, yang satu membantu yang lain tampak sedang bergerak dalam lorong remang menuju cahaya di ujung. Jika dua ilustrasi sebelumnya menggambarkan disharmoni yang sepenuhnya muram, maka ilustrasi ini menggambarkan kepedulian dan harapan. Kalau kita menyigi puisi-puisi Bagian I, kita akan menemukan bahwa puisi-puisi tersebut mengangkat tema-tema kesekitaran yang ditautkan dengan diri. Dengan kata lain, relasi antara diri dengan makrokosmos.
Maka kita temukan, misalnya, suasana terisolasi ketika “burung-burung | beristirahat…| …diam-diam | bersembunyi di tempat rahasia mereka selama 24 jam.” dalam “Berapa Besar Kemungkinan” yang membuka antologi, relasi rakyat biasa dengan negara yang bersifat hierarkis mutlak dalam “Cerita dari Pengungsian”, kisah senada yang kita temukan dalam “Penggusuran”, “Terima & Kasih; Selamat & Tinggal” (lengkap dengan baris-baris membentuk pola “moncong senjata”), dan “Esai Mini: Kata Kerja” melalui fokus pada bahasa, lalu mengerucut menjadi relasi dengan penguasa dalam “Membayangkan Kematian yang Indah Seorang Penguasa” atau dengan aparat dalam “Lucid Dream”. Lalu dalam “Petani” kita menemukan kisah relasi manusia dengan alam, satu kisah yang kita temukan juga dalam “Pulang” dan “Kepada Gunung yang Menatap Rumah Kami Sepanjang Hari”, dispesifikkan sebagai hutan dalam “Hal-Hal yang Kau Tahu” dan “Kami Ingin Lapar Memakan Kami”. Di sela-sela relasi-relasi muram itu kita menemukan banyak kritik dan renungan terhadap dan terkait kultur dan situasi kontemporer, dalam “Aku Selalu Terlambat”, “Terima & Kasih; Selamat & Tinggal”, “Penghiburan & Alasan Lain Menikmati Senja”, dan “Menunggu”.
Kita bisa menggunakan pola sama untuk memaknai ilustrasi-ilustrasi di Bagian II. Pada ilustrasi berhadapan dengan puisi “Self-Help Poems” kita melihat satu sosok duduk di kursi dalam remang memandang gedung di kejauhan dengan tulisan angka 10.000 di bagian atas gedung. Di belakangnya hadir sosok gelap, kegelapan yang juga disumbang oleh bayang kursi yang dia duduki. Kita sangat bisa menautkan gambar ini dengan puisi “Self-Help Poems” terkait obsesi manusia terhadap uang sebagai satu-satunya benda yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan tetapi obsesi itu sendiri pada akhirnya membuat manusia gagal bahagia, tetapi demikian juga halnya dengan puisi “Meme” dan “Inner Selfie”.
Selanjutnya, ilustrasi yang berhadapan dengan puisi “Recycle Bin” menggambarkan sosok anak sebagai fokus, mengenakan masker, memeluk bola. Di empat sudut kita melihat dua wajah dewasa mengenakan masker dan dua tubuh separuh tampak. Kita bisa menautkan gambar ini dengan suasana pandemik yang memberi dampak besar terhadap cara manusia berinteraksi dengan manusia lain, termasuk pada akhirnya membuat anak kehilangan teman dan momen bermain. Sementara pada gambar yang membuka Bagian II, kita mengintip dua ruang, yang satu berisi sosok orang duduk di atas kasur, tampak merenung, sendiri, sementara di ruang di atasnya tampak citra seekor gajah, dan kaktus dekat dinding.
Tautan ketiga ilustrasi tersebut tampaknya merujuk pada konsep diri, ke-diri-an, terlihat dari tampilan sosok-sosok yang tampak teralienasi: sosok yang duduk sendiri di kursi menatap mimpi, sosok anak kecil yang membisu tanpa kawan bermain, sosok yang sendiri duduk di kasur dalam kamar. Kita bisa menautkan tema tersebut dengan “Self-Help Poems”, sebagai puisi paling mudah dibaca bertema konsep ke-diri-an yang salah satunya mengingatkan kita pada epigraf dari Audre Lorde “menghargai perasaan kita sendiri”. Lalu berlanjut puisi-puisi yang juga menyodorkan tema senada: “Meme”, “Inner Selfie”, “Halo, Halo…”, “Recycle Bin”, dan “1,5 Soneta: Algorithm is Jawakarta-Centric” yang menautkan pengaruh internet terhadap pemaknaan akan ke-diri-an. Untuk penyair liris yang lebih gandrung menyebut kita daripada aku, tidak mengherankan puisi pada Bagian II ini paling sedikit dibandingkan dua bagian lain: jika Bagian I dan III hampir seimbang, Bagian II hampir separuhnya.
Pada ilustrasi yang berhadapan dengan puisi “Di Luar Segala Keyakinan Kita Ada Daerah” kita menemukan citra yang dengan mudah kita tautkan pada ilustrasi di awal Bagian III: jerapah, kamar, orang. Kamar pada ilustrasi yang pertama disebutkan adalah kamar tidur, tampak dari adanya kamar tidur dan cermin besar. Jerapah tampil utuh di dalam kamar selain kepalanya yang terpotong sisi atas, orang hanya tampak kaki tanpa sandal, melangkah ke sisi kanan. Sementara pada ilustrasi di awal Bagian III, jerapah berada di luar ruang dan hanya tampak dua kaki depan berlatar gelap, orang berada di dalam. Ada sebuah gada di lantai, stop kontak di dinding, di bawahnya pigura foto bergantung dan kita boleh menduga: foto keluarga?
Pada ilustrasi yang berhadapan dengan puisi “Kesalahan Kami”, kita melihat gambar orang sedang berendam di bak mandi disorot cahaya dari atas sementara ruang sekitar dia remang. Orang itu telanjang, air itu tidak penuh tetapi luber: dua citra yang menggambarkan suasana privat dan kontemplatif.
Namun, ketika ditautkan dengan puisi-puisi yang berada pada Bagian III, tempat kita menemukan banyak nama: Anna (“Sajak Kecil Menjelang Keabadian”), Sapardi Djoko Damono (“Sembilan Belas Juli Dua Ribu Dua Puluh”), Daras & Sabda (“Kesalahan Kami”), Felix K. Nesi (“Sapi Bulan Sabana”), kita tahu bahwa tema utama Bagian III bukan tentang kesen-diri-an, dan berdasarkan nama-nama di atas sekaligus kata kunci “istriku” dalam “Jatuh”, suasana keluarga pada bait pembuka “Di Luar Segala Keyakinan Kita Ada Daerah”, “ibumu & ayahmu” dalam “Pelajaran Melupakan”, dan “kekasih” dalam “Muslihat”, kita boleh menduga bahwa puisi-puisi pada Bagian III, sebagaimana puisi-puisi pada Bagian I, berbicara tentang relasi antara diri dengan makrokosmos, tetapi dalam lingkup yang lebih kecil dan privat: Keluarga, orang-orang yang dengan mereka diri menjalin satu unit terkecil peradaban.
Dengan deskripsi itu kita bisa memahami kenapa puisi “Ibu di Notes Telepon Genggam” tidak dimasukkan ke dalam Bagian III dan justru hadir di Bagian II: meski jelas-jelas memuat kata “ibu” yang jelas-jelas juga merupakan keluarga, tetapi puisi tersebut lebih berbicara tentang ke-diri-an, bukan tentang relasi diri dengan status ke-ibu-an. Demikian juga puisi “Muslihat” yang membicarakan para tukang tipu khas politikus dan sepintas lebih cocok ditempatkan pada Bagian I kita temukan berada di Bagian II sehingga memperkuat gambaran keahlian para tukang tipu tersebut untuk “menyamar | sebagai pesulap” dalam mimpi kita sampai-sampai saat kita terjaga dan mereka “mengaku | sebagai kekasih”, orang yang sangat dekat dengan kita, kita lantas menerimanya
Maka jika kita coba menyederhanakan tema buku puisi ini dalam bagan, kita akan menghasilkan bentuk kira-kira seperti ini:
Bagian II adalah tema diri, ke-diri-an, aku, poros. Bagian I adalah tema makrokosmos secara umum yang beririsan dengan ke-diri-an pada momen aku bersama aku lain menjadi kita. Bagian III adalah tema unit terkecil peradaban yang beririsan dengan ke-diri-an sebagai sesuatu yang lebih privat daripada Bagian I: Keluarga. Ketiga Bagian itu berada dalam kotak Ruang dan Waktu yang fleksibel, bisa menjadi kurungan atau menjadi kebebasan tergantung pada cara kita memandang.
Ada satu puisi yang menarik untuk dibahas terkait parateks pada Bagian III Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu, yakni puisi “Maut” yang memuat catatan kaki taklazim. Berikut tampilan lengkapnya:
MAUT kehidupan adalah mimpi, orang-orang bilang. ke dalam mimpi itu ia datang menyerahkan persoalan yang tidak rumit buat dipahami. misalnya: “dunia sebakul nasi basi, aku buah-buahan matang sempurna di dahan.” & kita1 kawanan kelelawar sudah terlalu lama terusir2 dari hutan __ 1 tidak, kita tidak betul-betul berbeda, kematian mencintai kita sama dalamnya. 2 kadang lahir kebahagiaan yang tidak bisa terjelaskan membayang-bayangkan penderitaan ada akhirnya.
Catatan kaki secara umum dimasukkan ke dalam pembahasan Gérard Genette tentang parateks. Akan tetapi berdasarkan karakteristiknya, tidak semua jenis catatan kaki termasuk parateks. Genette membahas catatan kaki dalam fiksi dan puisi secara tersendiri dan dia mengatakan bahwa catatan kaki tipe ini paling sering ditemukan dalam ‘teks-teks yang aspek fiktifnya “tidak murni”’. Contoh mudah teks semacam itu adalah fiksi historis, sehingga catatan kaki menjelaskan ‘aspek-aspek nonfiksi dalam naratif’. Dalam puisi, contoh yang kurang lebih sama adalah anotasi untuk puisi T. S. Eliot The Waste Land yang sebagian besar menjelaskan sumber-sumber rujukan. Dalam kasus catatan kaki yang ditulis oleh penulisnya sendiri (authorial notes) semacam itu, Genette cenderung tidak memasukkannya sebagai kategori parateks, karena catatan-catatan tersebut cenderung memiliki “relasi kontinuitas dan homogenitas formal” dengan teks yang dikomentari.
Catatan kaki yang termasuk parateks adalah catatan kaki yang ditulis oleh editor (allographic notes), karena catatan kaki semacam itu “terdiri dari komentar eksternal (dan sangat sering anumerta)”. Kita bisa menemukan contoh catatan kaki semacam ini misalnya dalam banyak karya yang dimuat dalam Pujangga Baru: Prosa dan Puisi susunan H. B. Jassin atau dalam Aku Ini Binatang Jalang suntingan Pamusuk Eneste.
Catatan kaki pada puisi “Maut” unik karena dari segi penyusunan bisa dikategorikan sebagai authorial notes, ditulis oleh Aan Mansyur. Akan tetapi puisi itu sendiri bisa disebut sebagai “murni”, artinya bukan puisi yang memuat aspek-aspek, misalnya, historis dan dengan demikian catatan kaki itu sendiri bukan penjelas aspek-aspek nonfiksi. Karakteristiknya lebih mirip dengan apa yang Gérard Genette jelaskan dalam bagian catatan kaki pada discursive text,teks diskursus, yang dia bedakan dari teks fiksi dan puisi, sebagai digression ‘lanturan’.
Catatan kaki pertama disematkan setelah diksi “kita”, seperti jeda yang hadir ketika lintasan pemikiran bahwa kata ganti tersebut, yang mengikutsertakan pembaca, memungkinkan anggapan bahwa kita—sebagai kawanan kelelawar—berbeda, baik satu dengan yang lain ataupun dengan kawanan lain. Konten catatan kaki itu seperti gumaman yang melintas, menekankan kesamaan di depan kematian. Lalu kalau Bagian III berisi puisi-puisi yang memberikan irisan antara ke-diri-an dengan Keluarga, orang-orang dekat, mengapa puisi “Maut” dimasukkan ke bagian ini? Mungkin karena maut bukan sesuatu yang asing, dia “mencintai | kita sama dalamnya.”
Sementara catatan kedua disematkan setelah diksi “terusir”, status yang mengindikasikan penderitaan karena ketika ditafsirkan secara metaforis dan utuh “kawanan kelelawar | sudah terlalu lama terusir | dari hutan” merupakan analogi untuk orang-orang yang terusir dari tempat tinggal yang sudah lama dihuni. Penggunaan diksi “terusir” alih-alih “diusir” menarik untuk dicermati karena prefiks ter- mengindikasikan “menderita keadaan atau kejadian (dengan tidak sengaja atau dengan tiba-tiba)” sehingga menekankan kekaburan identitas “pengusir” sekaligus juga ketidakjelasan sebab “pengusiran”: satu hal yang bisa kita tarik lebih jauh pada berbagai kecurangan dalam pembebasan lahan dan tumpulnya hukum, tema yang berulang muncul pada puisi-puisi Aan Mansyur baik dalam antologi ini maupun dalam antologi lain. Dus, konten catatan kaki mirip gumam orang-orang usiran yang dalam penderitaan membayangkan “kebahagiaan | yang tidak bisa terjelaskan” itu akan berakhir.
Dengan posisi sebagai lanturan seperti itu, catatan kaki tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari teks alih-alih merupakan parateks. Mengandaikan teks tersebut adalah teks diskursus sebagaimana pembahasan Genette—kita bisa membangkang pada konsep dia sejenak dan bertaklid pada Antony Easthope memandang puisi sebagai teks diskursus, satu pandangan yang terlihat sepele tetapi menimbulkan berbagai konsekuensi dalam ranah interpretasi teks12Lihat selengkapnya dalam Antony Easthope, Poetry as Discourse (London: Methuen, 1983).—maka catatan kaki tersebut sama juga jika ditempatkan di dalam parentesis atau kurung sebagaimana kadang kita temukan juga pada puisi beberapa penyair lain. Akan tetapi kita tahu bahwa Aan Mansyur memilih menggunakan bentuk catatan kaki dalam puisi ini dan dengan demikian membuat tampilannya unik secara visual.
Ketika membaca Maut sebagai sosok, kita mungkin teringat satu sosok pada kover depan: sosok besar berlatar kegelapan yang tatapannya menguasai dua sosok lain yang jauh lebih mini dan berada dalam ruang sempit menatap awan pada dinding. Ingatan itu membawa kita kembali pada obrolan tentang kombinasi judul 1 dan judul 2 di halaman dalam atau kombinasi judul 1 di kover depan dengan petikan puisi di kover belakang sebagai gambaran keutuhan isi buku. Kini kita memiliki kombinasi ketiga: judul 1 di kover depan dengan ilustrasi kover depan. Yang satu representasi teks tentang waktu, simbol kematian yang nanti akan mengakhiri penderitaan. Yang satu representasi visual tentang ruang tempat dua sosok “kawanan kelelawar | …terusir | dari hutan”. Ruang itu adalah “mimpi”, “kehidupan”, yang diserahkan oleh maut, direpresentasikan secara visual sebagai sosok besar berlatar gelap yang mengindikasikan malam.
Tampilan visual kover depan bernada pesimis memang, dan gelap, sama pesimisnya dengan gambar kover depan bagian dalam yang juga kita temukan pada bonus Kartu Pos: gajah yang terbaring mati, kursi yang tergeletak asal, dua sosok yang tanpa gairah, tanah gersang menyisakan sebatang pohon yang tak bisa kita lihat bagian atasnya dan dua wujud di balik selubung entah, satu bangunan tembok persegi kecil tanpa atap tempat kaki menyembul keluar dari lubang pintu, matahari panas menciptakan bayangan, nyala api pada tong. Akan tetapi kita menemukan gambar lebih segar pada kover belakang bagian dalam: gajah yang mati itu kini hidup, berjalan memunggungi kita, meninggalkan kita, pada lanskap yang dihiasi coretan anak-anak. Lalu di kover belakang kita temukan anak perempuan itu: siluet yang berlari riang sambil merentangkan tangan ke atas, bebas. Cuaca hujan saat itu, tetapi dia memilih menggeletakkan payungnya di belakang. Di depan sana, pada lanskap tanpa batas yang dia hampiri, tampak samar bayang gajah, dan jerapah.
Kita tak tahu pasti siapakah anak itu dan apakah lanskap yang lebih ceria itu hanya menyimbolkan memori kita sebagai kanak-kanak sementara lanskap murung kover depan adalah kekinian yang kita hadapi ataukah anak itu adalah simbol sebuah awal, harapan akan masa depan bagi generasi setelah kita sementara kita sudah menjelma orang-orang seperti ibu yang “masa mudanya | sudah lama hilang” dicuri. Akan tetapi saat menemukan gambar sosok besar di kover depan menghiasi satu sisi pembatas buku dan sosok anak perempuan riang itu di sisi lain, kita boleh menduga bahwa mungkin juga dengan mengingat masa kanak-kanak kita sambil berusaha mereduksi kegersangan dunia bagi anak-anak masa kini, kita tanpa sadar merasakan harapan dan dengan demikian tidak lagi memandang sosok besar berlatar gelap pada kover depan sebagai pemberi mimpi yang kedatangannya kita sambut bahagia karena hanya dengan itu kita tak lagi menderita.
Apa boleh buat, hidup bermula saat matahari terbit dan “matahari terbit ialah pengumuman | datangnya hari baru, pertempuran | baru”, suatu pertempuran “melawan kematian”. Nanti ketika matahari terbenam, kita menyambutnya sebagai pertanda bahwa “kita menang”.
4
Antologi Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu ditutup dengan puisi “Tetapi, Tidak” dengan epigraf jernih kutipan Layli Long Soldier: But | is the small way to begin. “Tetapi, Tidak” adalah sebuah puisi tentang puisi, mengingatkan pada deret panjang puisi-puisi yang kita baca di Bagian I Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau. Atau lebih spesifik lagi mengingatkan kita pada puisi “Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun” dalam Tidak Ada New York Hari Ini.
Simak petikan baris ke-7-14:
tetapi puisi selalu rendah hati mengakui puisi tidak bisa menyelamatkan siapa dari siapa. puisi tidak bisa berdiri merentangkan badan di antara senjata polisi & tubuh korban. puisi tidak bisa menjadi penjara yang tidak ada. puisi tidak bisa mematahkan tangan negara yang merebut segala dari segala. (“Tetapi, Tidak”)
Untuk pembanding, berikut puisi “Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun”:
Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun memberi keberanian membuka jendela dan pintu pada pagi hari. Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh di jalan-jalan kota yang tidak berhenti berasap. Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun dari matanya kulihat seekor anjing berjalan menuntun seorang pria tua buta di taman. Dari hidungnya kuhirup ladang-ladang jauh yang tumpah sebagai parfum mahal di pakaian orang asing. Dari telinganya kusimak musik dari getar senar gitar para imigran bernasib gelap. Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun jari-jarinya menyisir rambutku yang dikacaukan cuaca. Sepasang lengannya memeluk kegelisahanku. Tubuh ayahku kumakamkan di punggungnya yang bersayap. Tanah kelahiranku memanggil-manggil di suaranya yang sayup. Dan, di lembap bibirnya kukecap senyummu berulang kali setiap redup dan berharap. (“Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun”)
Meski ada kesejajaran pemikiran, tetapi ada perubahan objek dari apa pada “Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun” menjadi siapa pada puisi “Tetapi, Tidak”, objek mati menjadi objek hidup, menandai pergeseran—atau mungkin lebih tepatnya kelanjutan—pandangan aku lirik dari fokus terhadap “jalan-jalan kota yang tidak berhenti berasap”, “anjing [yang] berjalan menuntun seorang pria tua | buta di taman”, “ladang-ladang jauh | yang tumpah sebagai parfum mahal di pakaian orang asing” menjadi terhadap mereka yang dikokang senjata, “tubuh korban”, penjara bagi penjahat, atau korban kejahatan negara.
Sementara perubahan fokus tersebut mungkin menandakan progres sisi humanis, puisi itu sendiri menandakan kesadaran penyair akan kedaifan puisi, dua hal filosofis terkait aspek ontologis dan aksiologis puisi. Persoalan nilai guna puisi, yang kerap mengerucut dan diformulasikan dalam pembahasan puitika dan kritik sastra sebagai fungsi sosial puisi, adalah persoalan yang tak pernah usai diperbincangkan sekaligus bukan persoalan remeh. Menyebut contoh, bentrokan Lekra dan Manikebu dalam historiografi kita ditinjau dari segi estetika—bukan politik—berakar pada perbedaan pandangan terkait fungsi sosial seni, demikian juga aliran sastra model Forum Lingkar Pena mendasarkan filosofinya pada muatan dakwah dalam sastra yang dengan demikian menitikberatkan pada fungsi sastra alih-alih elaborasi aspek estetik.
Yang penting dan jarang diperhatikan terkait penentuan fungsi sosial sastra adalah zeitgeist, semangat zaman. Pada zaman Nabi Muhammad Saw, puisi memiliki peran sosiokultural penting dalam masyarakat sebagai warisan tradisi zaman pra-Islam sehingga menempatkan muatan dakwah dalam puisi sangat relevan, demikian juga pada era bujangga kendali ilmu pengetahuan dan keterbatasan sarana penyebar teks memungkinkan sastra memegang fungsi didaktik tinggi. Robert Scholes dalam bukunya juga menyinggung bahwa pada masa Allen Tate, salah seorang kritikus New Criticism yang menyatakan dikotomi kualitas antara puisi dan cara massa menggunakan bahasa, “puisi memainkan peranan yang jauh lebih besar dalam kultur Anglo-Amerika daripada peranannya kini”13Robert Scholes, “Reading Poetry: A Lost Craft”, dalam The Crafty Reader (New Haven: Yale University Press, 2001), hal. 5..
Peran bujangga—dan karya—semacam itu memudar seiring melonggarnya kendali ilmu pengetahuan dan kemudahan percetakan. Kini, saat batasan untuk mengakses ilmu pengetahuan semakin longgar dan penggandaan teks semakin mudah, menyematkan peran sosial yang terlalu tinggi terhadap puisi tampak sebagai anakronisme kocak, seperti ashabulkahfi yang tertidur selama 309 tahun di dalam gua lalu terbangun mengira hanya tidur setengah hari dan gagap menghadapi dunia luar yang sudah sangat banyak berubah.
Pada titik inilah sikap “rendah hati” puisi—dan tentu saja penyair—untuk menyadari semangat zaman yang membuat peran lama puisi memudar adalah satu sikap semestinya. Baris-baris puisi di atas terasa pesimis memang, dan pesimisme semacam itu kerap membuat penyair yang kurang kuat mental mengalami delusi bujangga lalu khilaf menganggap agitasi demonstran sebagai puisi dan menakar aspek estetik puisi dengan aspek politik: bahwa semakin garang teks puisi, semakin bagus kualitasnya, satu pandangan yang bahkan berada di bawah tataran sekadar nalar medioker. Akan tetapi dalam pesimisme itu kita temukan “tetapi”, suatu “cara kecil untuk memulai” yang dalam puisi “Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun” diformulasikan dalam bentuk “Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun…” pada awal tiap bait.
Maka tidak ada yang muluk dalam puisi kini sebagaimana ia tidak memuat kesakralan yang langsung menautkan kita para pembaca pada pintu surga atau neraka. Puisi tidak memiliki kekuatan untuk memindahkan koruptor dari tempat tidur empuk ke dalam penjara sebagaimana puisi juga tidak bisa langsung mengenyangkan perut lapar tanpa proses ekonomi mundan: ia harus melewati saringan hompimpa redaktur, menunggu masa transfer, mengharuskan penyair pergi ke mesin ATM, baru memungkinkan nilai kulturalnya berubah menjadi nilai tukar yang bisa digunakan untuk membeli pengenyang perut.
Nalar bujangga mungkin meradang merasa bahwa mengakui kedaifan puisi sama dengan menistakan keagungan puisi sebagaimana nalar yang sama mungkin memandang penempatan puisi sebagai produk yang akan menjelma uang—satu proses yang lebih dari setengah abad silam sudah dibahas oleh kritikus sastra Marxis—merupakan bentuk komersialisasi haram benda sakral: bujangga, seperti dukun, tidak boleh memasang tarif untuk jasa kultural dia dan hanya boleh menerima “bayaran” seadanya sesuai kemurahan hati patron. Akan tetapi nalar semacam itu lupa bahwa tindakan menyematkan nilai guna praktis terhadap puisi kini justru sama dengan menistakan puisi, menyamakan puisi dengan gorengan yang kita beli semata karena mengharapkan nilai guna sebagai camilan pengganjal perut.
Jika ada nilai magis puisi yang selalu lestari bahkan kini maka hal itu adalah kehadiran dia dalam psike kita, internalisasi makna melalui medium bahasa, kehadiran alami yang tanpa sepenuhnya kita mengerti “memberi | keberanian membuka jendela dan pintu pada pagi hari”. Dus, fungsi sosial puisi cenderung bersifat tak langsung. Puisi adalah—meminjam frasa Robert Scholes—“satu sistem penyampaian” yang menyasar ketaksadaran dan fungsi sosialnya bisa kita lihat hanya jika proses tersebut menjelma dorongan yang mewujud dalam tindakan. Psikoanalisis percaya selalu ada bagian tak terselami dalam psike manusia dan mencoba mengontrolnya secara atomistis cenderung akan berakhir dalam kegagalan, atau delusi.
Bahkan jika kita mencoba mengontrolnya menggunakan teks puisi. Retorika dan Puitika menawarkan berbagai teknik untuk memancing reaksi yang diharapkan dari audiens, tetapi teknik-teknik tersebut juga bukan jaminan dan ketika dicoba idealnya disertai kesadaran bahwa potensi teks, semakin teks dicoba diringkus teknik yang mengandaikan hasil berpikir (dan dengan demikian bersumber dari kesadaran), sangat mungkin semakin terbatas. Hanya ketika teks bersentuhan dengan ketaksadaran yang tanpa batas, baik dalam momen penciptaan ataupun dalam momen pembacaan, maka teks mungkin memulihkan kekuatan magisnya: satu momen orgasme, satu momen kenikmatan, satu momen ketika bahasa puisi justru membawa puisi “menghilang | ke sebelum | bahasa”.
Seorang penyair yang menyadari hal itu dan karenanya dengan rendah hati menyadari kedaifan teks puisi yang dia buat pada masa Empu Tantular dan Empu Prapanca sudah meninggal berabad-abad silam dan anak-anak muda terbiasa membaca puisi dan prosa bukan pada lontar rapuh setelah membaca mantra turun-temurun di tempat suci saat rembulan sidi melainkan pada layar Kindle tahan air yang bisa dimasukkan ke dalam saku dan bisa dibaca kapan pun baik di kafe, warung kopi, ataupun kamar mandi, adalah seorang penyair kontemporer yang baik, seorang penyair yang memiliki filosofi selaras zaman dan dengan demikian sangat mungkin menuliskan puisi-puisi bagus untuk kita.
Karena penyair adalah orang yang pertama-tama percaya pada magis kata, kepercayaan yang merupakan hasil evolusi kepercayaan purba bahwa kata lahir pertama-tama meniru gerak alam dan menyusunnya dalam urutan tertentu mampu menciptakan magis seperti alam mampu memukau kita. Kita membaca dalam puisi “Esai Mini: Kata Kerja” Aan Mansyur membandingkan bahasa lokal dengan bahasa nasional kalangan tertentu dan dalam “Terima & Kasih; Selamat & Tinggal” menciptakan biner kami yang “lahir dari bahasa yang tidak | mengenal kosakata [terima kasih]” dan “tidak | mengenal pula selamat tinggal”, lalu kita lantas ingat bahwa bahasa lokal adalah bahasa natural, lahir dari era ketika nasib kata-kata belum ketat diringkus kamus dan tata bahasa. Penyair, sampai tataran tertentu, adalah penjaga supaya kata-kata, yang mau tidak mau harus mengikuti aturan kontemporer tercetak dalam kamus dan dikendalikan para penguasa tata bahasa, tidak terlalu jauh kehilangan sifat naturalnya, tidak “karam | di antara keharusan-keharusan”.
Ada satu kisah legendaris dari zaman pra-Islam yang saya gemari tentang Tarafah, salah satu dari 7 penyair paling puncak dalam kesastraan Arab pra-Islam yang mulai mengarang puisi saat berusia 7 tahun. Dia kerap pergi mengembara meninggalkan sukunya, suku Bakr ibn Wail, baik karena patah hati—dari Khaula—ataupun karena dia gagal mengelola harta dan jatuh miskin: satu sikap yang menghantuinya sepanjang hidup. Suatu hari dia bosan mengembara dan akhirnya diterima menumpang oleh saudaranya, Ma’bad, dengan syarat dia menggembalakan unta-unta Ma’bad.
Pekerjaan itu sangat sederhana, tetapi tidak bagi Tarafah yang malah hanyut dalam lamunan sebagai penyair. Melihat sikap Tarafah seperti itu, Ma’bad suatu hari mencela: “Apa kamu bisa mengembalikan unta-unta dengan menggunakan puisimu andaikan suatu hari mereka hilang?” Tarafah menjamin bahwa puisi dia tidak akan gagal mengembalikan unta-unta itu kalau memang mereka hilang.
Ma’bad kemudian menguji dia, mengabaikan unta-unta yang lantas diambil oleh orang-orang suku Muzar. Tarafah, yang bertanggung jawab atas unta-unta itu, kemudian memohon pada raja ‘Amr untuk turun tangan memaksa para pencuri menyerahkan unta jarahan mereka. Tarafah menulis puisi Muallaqat yang membuat ‘Amr terpesona saat mendengarnya dan pada akhirnya memberi hadiah seratus ekor unta untuk Tarafah, jumlah yang sebagian darinya sudah cukup untuk mengganti unta-unta Ma’bad yang menjadi tanggung jawabnya.14Versi lengkap cerita bisa dibaca dalam A. J. Arberry, The Seven Odes: The First Chapter in Arabic Literature (London: George Allen & Unwin, Ltd, 1917), hal. 70-71. Bisa dibaca juga dalam versi lebih singkat dan dengan rincian sedikit berbeda dalam Capt. F. E. Johnson (penj.), The Seven Poems, Suspended in The Tempe at Mecca (Bombay: Education Society’s Steam Press, 1893), hal. 31.
Saya suka kisah Tarafah—atau mungkin lebih tepat disebut legenda, karena kebenaran kisah-kisah klasik seperti itu selalu sukar dibuktikan—karena ia membuktikan bahwa bahkan pada ruang dan waktu puisi memiliki peran sosiokultural tinggi, puisi tak lantas memiliki nilai guna langsung. Puisi Tarafah tidak bisa membuat unta yang dirampas orang menyepak perampasnya, melepaskan tali pengikat, lantas berjalan sendiri pulang ke dia. Masa Orfeus dan Nabi Daud yang bisa membuat batu, pohon, dan hewan-hewan terpesona menggunakan rapalan puisi lirik dan mazmur sudah lama berlalu dan kita tak yakin hewan antropomorfis seperti Jolly Jumper pernah hidup di luar komik Lucky Luke. Puisi Tarafah hanya bisa membuat unta yang dirampas orang kembali ke dia secara tidak langsung.
Puisi “Tetapi, Tidak” yang menutup antologi, saya rasa dan saya pikir, bertolak dari keyakinan yang kurang lebih sama: kepercayaan terhadap magis kata tanpa disertai hasrat menempatkan “kata kerja pasif: dipimpin” di antara puisi dan penyair. Karena kepercayaan tersebut justru disertai kerendahhatian bahwa kata-kata yang penyair lahirkan bisa jadi hanya omong kosong yang dia ucapkan semata karena dia “takut membayangkan || apa yang tersisa” “jika omong kosong | dilepaskan dari kehidupan”. Alih-alih agung, penyair bisa jadi hanya anak kecil dalam puisi “Dunia di Mata Anakku” yang saat di meja makan meminta sang ayah mengajari dia menulis puisi semata karena “kertas kosong terlalu gelap”.
Menuntut puisi terlalu banyak dan menempatkan penyair terlalu agung hanya menandakan kekusutan otak yang gagal menjalani evolusi. Para ephebe kontemporer salah padepokan tempat magang yang didorong fantasi naik status menjadi kelas agung yang ketika mati namanya diabadikan sebagai nama satu area di planet Mars lantas tergesa berupaya membawa puisi ke ilusi keelitan usang dengan benak dicekam tugas-tugas besar puisi mungkin berakhir bukan menulis puisi melainkan slogan, pun belum tentu slogan bagus. Bahkan tetap saja tidak ada jaminan apakah slogan itu akan memiliki kekuatan pragmatis yang menguntungkan atau justru membuat publik ingin melempari penciptanya dengan tomat kelewat matang.
Saya selalu percaya justru dengan menempatkan puisi sebagai hasil kriya dan penyair sebagai pengrajin yang bekerja sambil bersiul-siul maka kita akan selalu mengingat potensi puisi yang tidak slogan miliki: kemampuan untuk menggerakkan manusia dengan bisikan, kemampuan untuk menjadikan manusia membantu manusia lain tanpa harus dibentak dan diancam.
Dengan kata lain: seperti jalan panjang muallaqat Tarafah mengembalikan unta yang dirampas melalui baris-baris liris, seperti sebagian besar puisi dalam Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu mungkin membuat kita menaruh lebih banyak perhatian pada banyak hal terkait sekitar, diri, dan “keluarga”, tanpa mengandalkan kehadiran aparat, tanpa iming-iming surga dan ancaman siksa neraka dari mimbar khotbah Jumat. Salam.
Karangsari, 21 Mei 2022.