“Nostalgi dan Melankoli”: Puisi-puisi yang (Selalu) Menemukan Cintanya Sendiri

Pembaharu atau bukan, setiap penyair yang baik pasti memberikan sesuatu, mewariskan sesuatu.

Acep Zamzam Noor, “Puisi”

1

TAHUN 1981, Budi Darma menulis sebuah esai berjudul “Milik Kita: Sastra Sepintas Lalu”. Esai itu dipublikasikan dalam Kompas edisi 9 Nopember 1981 kemudian dibukukan bersama 16 esainya yang lain dalam Solilokui: Kumpulan Esai Sastra (jakarta: GPU, 1983, cetak ulang  2020). Di dalam esai tersebut, sastrawan sekaligus kritikus sastra kita itu membahas pandangannya seputar banyaknya penulis yang melahirkan karya sastra, kemudian pergi, kadang kembali lagi, lalu pergi lagi. Dengan kata lain: hanya mampir, atau dalam istilah Budi Darma, “keterlibatan mereka dalam sastra hanyalah sepintas-lalu”. Dengan “hanya mampir” itu maka mereka “bermain ala kadarnya, tanpa berusaha keras untuk memperbaiki mutu permainannya”.  

Antologi puisi Nostalgi dan Melankoli (Pati: CV Kataba Group, 2017) adalah antologi puisi tunggal Khoirun Niam yang pertama. Bahwa penganggitnya bisa kita harapkan bukan penyastra sepintas-lalu maka itu pertama-tama bisa kita lihat dari rekam jejaknya di dunia sastra yang sudah lumayan panjang. Sebelum penerbitan antologi ini, karya-karya dia sudah termaktub dalam lima antologi bersama. Nostalgi dan Melankoli terbit ketika sang penulis merupakan Ketua Komite Satra Dewan Kesenian Pati yang dia jabat sejak tahun 2015.

Kover Nostalgi dan Melankoli (2017)

Nostalgi dan Melankoli memuat 51 puisi yang dibagi ke dalam tiga tajuk besar: Risalah (16 puisi), Cerita Cinta (15 puisi), dan Ayat Kopi (20 puisi). Jika melihat tarikh yang terkadang dicantumkan di akhir puisi, baik berupa tahun ataupun bersama dengan bulan, maka nampaknya kelima puluh satu puisi itu ditulis dalam rentang 2014-2017. Meski demikian, ada juga kita temukan banyak puisi yang tak memiliki penanda tarikh sehingga mungkin saja proses kreatif sang penyair sebenarnya sudah bermula jauh sebelum tahun 2014: lihat misalnya dalam biodata singkat penulis dicantumkan bahwa puisi-puisinya ada yang sudah termuat dalam antologi bersama rilisan Dewan Kesenian Kudus, Dari Dam Sengon Ke Jembatan Panengel yang terbit tahun 2013.

Sementara itu, penempatan puisi-puisinya sendiri tidak didasarkan pada urutan kronologis, sebuah metode yang akan menyulitkan penelaahannya akan tetapi di sisi lain mungkin memudahkan penikmatan puisi-puisi itu sendiri. Pembagian ketiga tema—atau katakanlah tajuk—berupa judul besar yang merangkum sejumlah puisi sendiri bukan sesuatu yang baru, kita bisa menemukannya sebagai sesuatu yang juga sudah dilakukan beberapa penyair kita sepanjang waktu, misalnya pada antologi Buku Puisi Hartojo Andangdjaya yang terbit tahun 1973, Notasi Pendosa Acep Iwan Saidi yang terbit tahun 2007, ataupun Pleidoi Malin Kundang Indrian Koto yang terbit tahun 2017.

Penikmatan sebuah puisi, apa boleh buat, memang tak selalu bisa sejalan dengan penelaahan puisi-puisi tersebut. Sementara penikmatan sebuah puisi adalah hal yang mungkin dilakukan semua orang ketika membaca puisi, maka penelaahan merupakan langkah lebih lanjut berupa pembacaan kritis yang idealnya dilakukan oleh seorang kritikus sastra. Sebuah puisi, dengan demikian, bisa saja memukau dalam sesi penikmatan sementara dalam sesi penelaahan nilainya rendah. Ada banyak syarat sebuah puisi bisa memikat kita dan syarat-syarat tersebut tak selalu berbanding lurus dengan bagus tidaknya puisi berdasarkan kritik sastra.

Pada momen kita menyinggung perihal bagus dan tidaknya puisi, wilayah baur telaah teks sastra langsung menyergap kita. Tak ada kesepahaman, atau ijmak, tentang hal itu. Pada akhirnya kita pertama-tama mesti menjelaskan berdasarkan paradigma apakah kita memutuskan menilai puisi yang bersangkutan, karena setiap paradigma memiliki penilaiannya sendiri-sendiri tentang bagus tidaknya sebuah puisi. Sebuah puisi mungkin saja dinilai bagus berdasarkan satu paradigma akan tetapi dinilai buruk berdasarkan paradigma lain.

Tulisan ini, sebagaimana ilaharnya sebuah pengantar, sama sekali tak ditulis dengan pretensi sebuah kritik sastra. Ia hanya resepsi sepintas seorang pembaca yang dalam pembacaannya mungkin sesekali mampir ke teori sastra yang terlintas dalam benaknya. Ia, dengan kata lain, hanya sebuah coba-coba mengenal lebih dekat apa yang mungkin ditawarkan sebuah teks sastra. Kita tahu sebuah teks yang baik selalu menawarkan sesuatu, selalu memberikan sesuatu.

2

Setiap puisi merupakan eksperimen penyairnya untuk mempraktikkan kemampuannya menulis puisi, demikian pula puisi-puisi dalam antologi ini. Tampak bahwa sang penyair tak berpretensi menulis puisi-puisinya dengan aturan rima akhir yang ketat. Puisi-puisinya cenderung merupakan puisi-puisi bebas (free verse), atau lebih tepatnya puisi-puisi awarima. Meski demikian, bisa juga kita temukan terkadang beberapa rima ketat pada bait-bait puisi tertentu, misalnya pada bait awal puisi “Plukaran” yang berima aabb.

Pembarisan atau pelarikan (lineation) puisi-puisi dalam antologi ini juga cenderung tak menggunakan aturan umum. Maka kita temukan misalnya huruf-huruf awal per barisnya tidak menggunakan huruf kapital kecuali ketika kata paling awal adalah nama. Ini merupakan teknik umum pada puisi-puisi yang menggunakan baris-baris sambung, enjambemen, terutama ketika aspek tanda baca pun tidak digunakan dengan ketat. Kita misalnya hanya menemukan beberapa saja tanda petik, titik dua, koma, titik, ataupun tanda tanya pada posisi yang memang sangat membutuhkan tanda-tanda tersebut. Teknik seperti ini memberi kebebasan pada pembaca untuk mengambil jeda sendiri yang kadang tak bisa mengandalkan pemenggalan per baris.

Ada banyak juga ragam gaya bahasa dan bahasa figuratif yang penyair gunakan dalam puisi-puisinya. Kita bisa menemukan banyak penggunaan kilatan atau alusi, misalnya dalam puisi Kau, aku lirik yang “mencari” kekasihnya digambarkan sebagai si “majnun mengendarai rocinante”. Majnun yang dimaksud adalah tokoh fiktif Don Quixote yang kudanya memang bernama Rocinante dalam masterpis dunia rekaan Cervantes. Alusi tersebut memperkuat penggambaran kegilaan si aku.

Alusi-alusi lain juga bisa ditemukan misalnya Selma dalam “Kesedihan Selma” sebagai Selma Karamy (Salma Karamah) dalam Al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap-sayap Patah) karangan Kahlil Gibran. Dalam puisi “Suluk Burung” kita bahkan bisa menemukan tiga alusi sekaligus: Attar, Rumi, dan Arabi. Dua yang awal adalah penyair sufistik Persia, sedangkan yang terakhir, Ibnu Arabi, adalah tokoh sufistik kelahiran Spanyol yang digelari Syaikh al-Akbar. Masih dalam puisi yang sama, kita juga bisa menemukan penggunaan Epizeuksis, pengulangan bagian yang dianggap paling penting yang dalam kasus puisi ini adalah frasa “ada yang terbang”.

Sebuah alusi digunakan dengan mengandaikan pembaca mengenal apa yang dirujuk oleh alusi tersebut. Tanpa adanya pengenalan tersebut maka alusi bukannya memberikan efek memperkuat subjek yang dibicarakan, justru malah membuat puisi tersebut membingungkan. Khoirun Niam dalam hal ini nampaknya mengambil alusi yang memang mudah dikenal sehingga cenderung memudahkan pembaca untuk memahaminya. Terkadang dia juga memberikan petunjuk: dalam puisi “Kesedihan Selma” misalnya, dia bahkan mencantumkan epigraf berupa nama Kahlil Gibran.    

Selain alusi, kita juga banyak menemukan penggunaan simile terutama ditandai dengan penggunaan kata seperti, misalnya cahaya bulan mengapung/di langit/seperti warna surga (Subuh), terkadang ada juga penggunaan metafora seperti pada baris aku adalah daun-daun (“Risalah Rumah”), polisindeton pada “Sajak Buat Kurniawan Junaidi”, dan anafora pada “Sajak Untuk Palestina”.   

Lima puluh satu puisi dalam antologi ini dibagi menjadi tiga tajuk, Risalah, Cerita Cinta, Ayat Kopi. Tajuk-tajuk tersebut tampaknya penyair gunakan untuk pengelompokkan puisi-puisinya sehingga kita terbantu dalam melihat konteks keseluruhan puisi-puisi dalam antologi. Meski demikian, hal itu bukannya tak berisiko, karena mengelompokkan puisi ke sebuah tajuk sering kali bukan hal mudah, terutama jika pengelompokan itu tidak dilakukan secara preskriptif.

Tajuk pertama, Risalah, mungkin dimaksudkan mencakup puisi-puisi yang ditulis dengan tujuan membicarakan berbagai tema yang mungkin saja satu sama lain berbeda, komentar atau kesan sang penulis tentang sesuatu. Tentu tajuk itu juga bisa kita sangkutkan pada empat judul puisi terawal dalam antologi, “Risalah Rumah”, “Risalah Dapur”, “Risalah Perahu”, “Risalah Anak”.

Sementara puisi komentar penyair tentang peristiwa misalnya bisa kita temukan dalam “Sajak untuk Palestina”, “Gaza”, “Gaza 2” dan “Kabar dari Petani Kapulaga”. Kesan tentang tempat tertentu bisa kita temukan dalam puisi “Plukaran”, “Pantai Suweru”, dan “Pantai Benteng Portugis”. Kesan tentang momen tertentu bisa kita temukan dalam “Satu Gelas Jahe Panas” dan “Secangkir Kopi”, sedangkan tentang sosok bisa kita temukan dalam sajak “Ibu” dan “Sajak Buat Kurniawan Junaidi”.

Cukup menarik juga untuk meninjau puisi terakhir di bawah tajuk ini, judulnya “Secangkir Kopi”. Bahkan dari judul sebenarnya puisi ini lebih cocok dimasukkan ke tema ketiga, Ayat Kopi, tapi mari kita tinjau baris-baris selengkapnya terlebih dahulu sebagai berikut:

secangkir kopi

dibaca diam-diam


dari tangan bau tanah

dan kaki masih basah


setelah sehari

berkhidmat di sawah


secangkir kopi


di dalam aromanya 

kita bersua

Dalam puisi ini kita temukan frasa secangkir kopi sebagai baris pertama. Frasa tersebut kemudian disangkutkan dengan verba dibaca pada baris kedua sehingga langsung mengangkatnya ke tataran metaforis sebagai sebuah hipalase: kopi yang sudah diseduh—dalam cangkir—biasanya dikaitkan dengan verba diminum atau padanannya.

Baris pertama secangkir kopi itu diulang pada baris ketujuh diikuti dua baris penutup yang merupakan keterangan untuk baris ketujuh tersebut. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya puisi ini terdiri dari dua kalimat: baris pertama sampai keenam merupakan baris-baris enjambemen yang menyusun satu kalimat, sementara baris ketujuh sampai kesembilan adalah baris-baris enjambemen yang menyusun kalimat selanjutnya.

Dengan demikian, verba dibaca itu menjadi lebih mudah dipahami sebagai upaya memadankan secangkir kopi dengan sebuah kisah. Kisah tersebut tersajikan melalui aroma yang disebarkannya dan di dalamnya “kita” bersua. Relasi dua orang penyusun “kita” ini berdasarkan citraan-citraan yang kita temukan sepanjang puisi akan mudah kita tebak sebagai relasi dua orang pencinta. Oleh sebab itu, andaikata puisi ini tidak ditempatkan di bawah tajuk Ayat Kopi pun maka ia akan lebih cocok untuk ditempatkan di bawah tajuk kedua, Cerita Cinta.

Tajuk kedua, sementara itu, tampaknya membawahi puisi-puisi yang sebagaimana disinggung penyair dalam pengantarnya merupakan hasil usaha dia “mengungkapkan tentang kisah-kisah saya dengan perempuan ada di hati saya”. Maka sajak-sajak di bawah tajuk ini pada dasarnya sajak-sajak yang cenderung personal dan lebih sukar untuk ditarik ke arah universal. Satu yang berdasarkan kemungkinannya untuk menjadi sebuah puisi yang universal merupakan yang paling berhasil adalah puisi “Nelayan Pantai Juwana” sebagai berikut ini:

perahu berlayar

mengarungi lautan


anak istri

bertatap- setatap


di rumah tuanya

ia sempat berucap


“kang, besok sepetang 

kau sudah ada tangkapan ikan, 

pulanglah”


ada kabar yang memar

tentang nasib nelayan

dalam telisik keramba


sore itu

tak pernah istrinya

menemukan suami pulang

Puisi ini adalah puisi naratif. Di dalamnya kita menemukan tiga tokoh: nelayan, istrinya, dan anaknya. Latar tempat ditunjukkan pada judul: pantai Juwana. Diksi “rumah tua” menunjukkan kemungkinan bahwa kondisi ekonomi mereka tidak bagus. “Kabar yang memar” bisa mengisyaratkan dua kemungkinan, pertama, kabar sedih bagi istri si nelayan, kedua, kabar sedih dalam pandangan si pengarang. Atau mungkin bagi kedua-duanya: pesan si istri pada bait keempat ketika sang suami hendak berangkat mungkin menunjukkan firasat buruk terkait kabar sedih yang akan tiba, dan itulah yang kemudian menjadi kabar sedih bagi si pengarang ketika misalnya dia membayangkan penantian seorang istri akan suaminya yang pergi melaut tapi kemudian yang terjadi adalah dia tak pernah “menemukan suami pulang”.  

Dalam 15 baris puisi yang pendek-pendek, variasi dua dan tiga kata per baris, meski ada juga yang menggunakan empat dan lima kata, nada sedih bisa lahir dalam puisi ini. Penggunaan diksi-diksi pada akhir beberapa baris, layar dan memar, dua kata yang berakhiran mengambang –ar menyaran pada ketidakpastian kabar dari lautan, sementara setatap dan berucap, dua kata yang berakhir mengatup –ap justru menyaran pada kondisi mulut terkatup, lawan dari keriangan dan tawa. Diksi lautan, ikan, dan nelayan juga mengisyaratkan pertautan antar diksi yang sangat pas.  Lewat puisi ini, kita bisa menemukan bahwa cinta ternyata bisa ditarik ke spektrum yang sangat luas, termasuk kisah cinta suami istri nelayan yang berujung sedih.

Tentu saja puisi cinta adalah jenis puisi yang hampir selalu ditulis penyair mana pun. Sebagaimana Plato katakan dalam Symposium, “dalam sentuhan cinta, setiap orang menjadi penyair”. Meski kita bisa menemukan kebanyakan puisi di bawah tajuk ini memang puisi cinta dalam maknanya yang luas, tetapi kita hanya bisa menemukan satu nama perempuan yang dijadikan epigraf di bawah tajuk ini: afiz (“Cinta Pertama”), kita justru menemukan dua nama perempuan yang dijadikan epigraf justru pada puisi yang berada di bawah tajuk pertama, nidha ulfa (“Pantai Benteng Portugis”) dan munawwaroh (“Cerita Dari Ujung Desa”), ataupun padatajuk ketiga, yakni khoirunnisa (“Pasar Malam”) dan muna (“Nyanyian Hujan”).

Tajuk ketiga dalam antologi ini, Ayat Kopi, serta-merta mengingatkan pada Ayat-ayat Api penyair Sapardi, meski mungkin saja sama sekali tak ada hubungannya. Akan sangat menarik seandainya sang penyair bisa menarik puisi-puisinya di bawah tajuk ini ke arah kritik sosial alih-alih ke kisah cinta. Hal semacam itu dilakukan misalnya oleh Gol A Gong dengan antologi puisi Air Mata Kopi (Gramedia, 2014). Dalam antologi tersebut termaktub 49 puisi bertema kopi dengan muatan sarat kritik sosial. Apa yang Khoirun Niam lakukan lebih mendekati apa yang dilakukan oleh Agus R. Sardjono dengan puisi-puisinya tentang kopi dalam antologi Kopi, Kretek, Cinta (Komodo Books, 2013).

Lihat misalnya puisi “Pemetik Kopi”, baris awalnya berbunyi: “sebentar, sayangku, aku pamit memetik kopi”, atau puisi “Kopi dan Bahasa Cinta” baris-baris pembukanya seperti ini: dik, secangkir kopi darimu pagi ini | meredakan dingin begitu gegas | seperti seretan udara panas pada tungku | yang berapi-api dalam cintanya | dan cintaku memasak bijih kopi. Jika ingin disimpulkan, adalah benar kata-kata sang penyair dalam pengantarnya bahwa puisi-puisi dia dalam antologi ini—artinya bukan hanya puisi-puisi yang ditempatkan di bawah tajuk Cerita Cinta—memang merupakan puisi-puisi cinta dalam makna yang seluas-luasnya.

Di bawah tajuk ketiga ini kita temukan puisi yang bisa kita duga merupakan sumber judul antologi: Nostalgi. Sementara separuh yang lain, Melankoli, secara literal tidak ada dalam antologi. Kita bisa menduga bahwa kata itu mungkin dihasilkan dari penyimpulan atmosfer puisi-puisi tertentu yang termuat di dalamnya. Sebagaimana tadi sudah ditunjukkan bahwa ada beberapa puisi yang kadang nampak kurang pas di bawah tajuk pertama dan kedua, pada tajuk ketiga ini pun puisi Nostalgi tampak sebagai anomali. Simak baris-barisnya selengkapnya:

kemarau panjang mengerkahkan

ladang tebu penuh kembang


aku memetik setangkai

merangkainya kerontang


dan kupasang di gerai rambutmu

“aih, kau kelihatan cantik sekali”


sebuah nostalgi

memaksa kita untuk setia

pada masa lalu


memperkenangkan kembang tebu

memperkenangkan dirimu

yang takkan bisa layu di hadapanku

Akan sukar untuk menyangkutkan puisi ini dengan tema besar Ayat Kopi. Citraan yang ada sebagai latar adalah ladang tebu, sementara kontennya sendiri lebih mudah ditarik ke Cerita Cinta. Puisi ini termasuk salah satu puisi yang berhasil dan enak dibaca: atmosfer yang pas disusun melalui diksi yang berima antara panjang, kembang, dan kerontang, jeda yang membuat baris-baris enjambemen tidak terasa dipaksakan, ataupun anafora pada bait terakhir: memperkenangkan. Memang masih kita temukan citraan-citraan yang maknanya sukar diimajinasikan seperti baris merangkainya kerontang, apakah yang dimaksud “kembang tebu yang kering kerontang”? Karena kalau sesuai sintaksis diksi kerontang menjadi adverbia merangkainya, baris tersebut menjadi aneh.

Ambiguitas itu tentu saja berbeda dengan paradoks yang ada dalam baris selanjutnya: rangkaian kembang tebu yang kerontang itu ketika dipasang di gerai rambut maka hasilnya “cantik sekali”. Ini paradoks karena hasil yang logis sebenarnya “buruk sekali”. Akan tetapi paradoks itu terjelaskan oleh baris selanjutnya:

sebuah nostalgi

memaksa kita untuk setia

pada masa lalu

Rangkaian kembang tebu kerontang itu bagian dari nostalgi, kenangan masa lalu, dan kenangan tak pernah menua. “Kita” dalam baris tersebut bisa saja diarahkan untuk menyapa pembaca yang dibayangkan, artinya ungkapan itu merupakan ungkapan umum, tetapi bisa juga subjek lirik dengan “kau” yang disebut dalam baris kelima. Bahwa kenangan tak pernah menua maka hal itu tersirat dari perbandingan kembang tebu yang di musim kemarau panjang pun tetap membuat si “kau” cantik sekali dengan “dirimu yang takkan pernah layu”: sebagaimana “kembang tebu” yang tak tersentuh musim, maka demikian juga “dirimu”.

3

Sebuah pengantar yang seorang penyair tulis untuk buku puisinya sendiri biasanya dimaksudkan atas satu dari dua kemungkinan tujuan, atau mungkin kedua-duanya, meski tak menutup kemungkinan pula adanya tujuan lain yang lebih personal. Tujuan pertama, memberikan sekadar ucapan terima kasih atau persembahan kepada mereka yang berperan banyak dalam proses lahirnya antologi itu atau puisi-puisi di dalamnya. Pengantar bisa juga ditujukan untuk memberi penjelasan seputar teknis penerbitan antologi, misalnya ketika antologi tersebut berisi sepilihan puisi dari beberapa antologi lain yang pernah terbit. Untuk yang satu ini kita bisa mencontohkan pengantar Agus R. Sardjono untuk antologi Kopi, Kretek, Cinta (Komodo Books, 2013), pengantar Gol A Gong untuk antologi Air Mata Kopi (Gramedia, 2014), ataupun pengantar Acep Zamzam Noor untuk antologi Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004).

Tujuan kedua, memberikan semacam kredo kepenulisan puisi selaras pemahaman sang penyair. Untuk yang kedua ini kita bisa mencontohkan yang paling mudah: pengantar Sutardji Calzoum Bachri untuk kumpulan sajak O yang diterbitkan dalam satu buku dengan Amuk dan Kapak (Sinar Harapan, 1981) yang kemudian dimuat juga dalam buku kumpulan esainya, Isyarat (Indonesiatera, 2007).

Pengantar yang Khoirun Niam tulis untuk antologi Nostalgi dan Melankoli lebih pas jika dimasukkan ke dalam kategori kedua. Hal itu tampak dari pernyataan-pernyataan dalam kata pengantar yang menyinggung pandangan dirinya sebagai penyair tentang puisi. Sebelum kita masuk ke sana, mari membaca sebuah puisi karya penyair lain yang mencantumkan pasase sebagaimana disajikan terjemahannya di bawah ini:

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.

Mereka adalah putra putri kerinduan Kehidupan akan dirinya sendiri.

Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,

Dan meskipun mereka bersamamu tetapi mereka bukan milikmu. 


Kamu boleh memberikan cintamu pada mereka tetapi tidak pemikiran-pemikiranmu,

Karena mereka memiliki pemikiran-pemikiran mereka sendiri,

Kamu boleh memberikan naungan raga-raga mereka tetapi tidak jiwa-jiwa mereka,

Karena jiwa-jiwa mereka adalah penghuni rumah hari esok,

Yang tak bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpi-mimpimu.”   

Puisi di atas adalah petikan dua bait awal puisi Kahlil Gibran “On Children” yang merupakan bagian kecil dari satu wadah besar berjudul The Prophet, dipublikasikan pertama kali tahun 1923.

Mari kita anggap bahwa setiap puisi adalah anak penyair, lalu terapkan pendapat Gibran dalam puisi di atas, maka akan kita temukan kesesuaian dengan pendapat hubungan antara pemaknaan puisi dengan sang penyairnya sebagai hubungan yang pecah setelah puisi itu ditulis dan dipublikasikan. Dalam dunia kritik sastra, T.S. Eliot sering kali disebut sebagai sosok yang mengemukakan penjagaan jarak antara penyair dengan puisi yang ditulisnya, hal yang kemudian diperluas pada ranah pemaknaan puisi bahwa sebuah puisi idealnya dimaknai tanpa menyangkutkannya dengan sang penulis.

Atau dalam istilah Barthes: “kematian pengarang”. Dalam satu esai singkat yang menyodorkan contoh telaah  Sarrasine Balzac, dia memberikan kalimat penutup yang masyhur dan sangat sering dikutip ini:

“untuk mengembalikan posisi tulisan bagi masa depan, kita harus membalik mitos: kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian sang pengarang”.

Dengan kata lain, makna sebuah teks sastra adalah milik pembaca, bukan pengarang.  Seorang pembaca teks drama Waiting for Godot misalnya boleh-boleh saja ketika berdasarkan segala kapasitasnya sebagai pembaca, termasuk pemahaman religiusnya, memaknai teks tersebut sebagai sebuah upaya penantian akan Mesias pada sebuah zaman kelak.

Tentu saja pembacaan sebuah teks sastra tidak hanya memiliki satu paradigma. Ada banyak klasifikasi yang bisa kita temukan, salah satu yang masyhur adalah klasifikasi Abrams yang mendasarkannya pada bagaimana teks tersebut dikaitkan dengan dunia luar, pengarang, pembaca, atau teks itu sendiri. Dari pembagian itu lahir empat cara pembacaan: mimetik, ekspresif, objektif, dan pragmatik. Keempatnya melingkupi empat aspek yang berkaitan dengan teks karya sastra: mimetik-dunia luar, ekspresif-pengarang, objektif-teks, pragmatik-pembaca. Setiap teori sastra pada dasarnya bisa diklasifikasikan ke dalam salah satu dari keempat cara pembacaan ini.

“Pada mulanya puisi ditulis tidak jauh dari biografi penulisnya”, demikian Khoirun Niam menulis dalam pengantar. Dengan mudah kita bisa menemukan posisinya dalam deretan penulis yang memandang teks sastra pertama-tama sebagai luapan perasaan sang penulis, ekspresif, atau dalam istilah penyair Wordsworth dalam Preface to Lyrical Ballads yang termasyhur: “luapan spontan perasaan-perasaan yang kuat”.

Meski demikian, Wordsworth tak memaksudkan bahwa sebuah puisi adalah sesuatu yang apa adanya, sekadar kegundahan jiwa yang asal dicetuskan, sebab dalam proses penciptaannya sebuah puisi tetap tak bisa menghindari konvensi sastrawi untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai “kedalaman” (the depth). Konvensi sastrawi inilah yang membuat karya sastra berada pada tataran perlokusi, bukan lokusi. Ia menekankan kesan, bukan pesan. Kesan, terutama dalam bentuk komunikasi tulisan, adalah sesuatu yang ada di luar pengendalian. Kemungkinan “salah paham” antara komunikator dan komunikan pun pada akhirnya ada pada leveln paling tinggi. Ironisnya, “kemungkinan salah paham” itulah yang membuat sebuah puisi abadi, yang membuat kita kini tetap membaca puisi-puisi Homer yang penciptaannya terpisah oleh waktu dua ribu lima ratus tahun lebih.

Sebuah puisi mungkin saja pertama-tama ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penyairnya, akan tetapi dalam istilah kritikus sastra Rene Wellek dan Austin Warren dalam Theory of Literature, “meskipun ada karya yang erat kaitannya dengan kehidupan pengarangnya, ini bukan bukti bahwa karya sastra merupakan fotokopi kehidupan”. Dengan demikian, pun ketika sebuah puisi ditulis oleh si penyair pertama-tama untuk seseorang—kekasih, ibu, istri, idola, anak, kawan—tetapi ketika puisi itu sudah dipublikasikan untuk umum, sisi personalnya tidak bisa dipaksakan. Bukan urusan utama pembaca menyelidiki dan mengetahui siapa Ida dan Mirat riil dalam puisi-puisi Chairil sebagaimana siapa misalnya Nidha Ulfa dan Munawwaroh pada puisi dalam antologi ini, melainkan bagaimana kita menarik sisi universal dari puisi tersebut yang memberikan arti pada kehidupan kita kini.

Maka memublikasikan sebuah puisi yang ditulis pertama-tama secara khusus untuk seseorang memberikan konsekuensi puisi tersebut kehilangan privasinya. Dalam kaitannya dengan pemahaman, sebuah puisi selalu memiliki dua dimensi. Pertama, puisi ketika ia ditulis dan dipahami oleh penyairnya. Kedua, puisi ketika ia dipublikasikan dan dipahami oleh pembacanya. Mungkin ada momen ketika antara kedua dimensi tersebut terjadi kesamaan, tetapi lebih sering tidak ada garis lurus antara keduanya. Garis lurus tersebut, apa boleh buat, bukan hal yang bisa dipaksakan, terutama karena memaksakannya akan memberi konsekuensi puisi tersebut hanya bernilai bagi penulisnya dan tidak ada gunanya puisi tersebut dipublikasikan untuk publik.

Benar bahwa sebuah puisi bertolak dari biografi penulisnya, tetapi sebuah puisi yang baik pada akhirnya adalah puisi yang berangkat dari sisi personal ke sisi universal. Dengan kata lain, puisi yang bergerak dari makna pengarang ke makna pembaca. Pada tataran inilah kita bisa memahami kenapa kita mengakui William Wordsworth, Samuel Taylor Coleridge, Dante Alighieri, T.S. Eliot, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Federico Garcia Lorca, Pablo Neruda, dan deret nama lainnya sebagai para penyair besar dunia: puisi-puisi mereka meski lahir dari sisi personal tapi tersajikan dengan peluang ditarik ke arah universal.

Merunut puisi sebagai sumber informasi kehidupan penyair mungkin berguna hanya pada saat kita akan menulis biografi penyairnya, atau dalam istilah Wellek: roman biografi. Hal itu pun mesti diimbangi penelitian tentang seberapa jauh koherensi puisinya dengan dunia nyata. Tanpa tujuan semacam itu maka tak ada gunanya merekonstruksi—mengutip Wellek—“air mata dan perasaan penciptanya” yang sudah lenyap. Justru tanpa merekonstruksi keduanya itulah sebuah puisi tetap hidup tak ikut lenyap, sebab ketika sebuah puisi maknanya dikekang oleh makna penulisnya dan taruhlah hal tersebut bisa kita dapatkan, maka puisi itu pun tuntas sebagai puisi: ia tak berpretensi lagi memukau kita.

Menarik bahwa sang penyair dalam pengantar antologi ini mengutip Lorca. Ada suatu masa ketika penyair Spanyol itu mulai populer dalam kesastraan kita, yakni ketika penyair sekaligus kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo merilis esai panjang dalam Budaja Djaja edisi Januari 1974 berjudul “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”. Esai tersebut kemudian dimuat pula dalam antologi esainya Sosok Pribadi dalam Sajak (Pustaka Jaya, 1980) dan juga dalam Membaca Kepenyairan Rendra (Kepel Press, 2005). Dalam esai tersebut Subagio menelisik adanya pengaruh Lorca terhadap proses kreatif Rendra. Selain beberapa citraan yang digunakan, pengaruh itu juga lahir pada bentuk yang setelahnya mulai banyak ditulis para penyair kita: balada.

Federico Garcia Lorca bukan penyair yang puisi-puisinya banyak sampai kepada kita dalam bahasa Indonesia, pun dalam bahasa Inggris. Ada memang beberapa puisinya dalam terjemahan bahasa Indonesia bisa kita akses dengan gratis di internet, sebagaimana juga dalam bahasa Inggris. Saya kutipkan satu pasase terjemahan dari versi terjemahan Inggris A.S. Kline yang buku elektroniknya bisa diakses gratis di internet, di bawah ini:

Maka kubawa dia ke sungai

Yakin bahwa dia seorang perawan, 

Tetapi tampaknya dia bersuami. 

Saat itu adalah malam Santo Iago, 

Dan hampir merupakan malam bertugas. 


Lampu mati, 

Jangkrik pun berbunyi. 

Di dekat pojokan jalan terakhir

Kusentuh dua susunya yang terlelap,

Dan keduanya mendadak membuka

Seperti dedaunan bunga bakung.


Kanji

Rok dalamnya bergemerisik

Di telingaku seperti potongan-potongan sutra

Yang dicabik-cabik sepuluh belati. 

Puisi Lorca di atas berjudul “Seorang Istri yang tak Setia”. Puisi itu mungkin memiliki makna sendiri yang Lorca pahami saat dia menulisnya: puisi mungkin ditulis berdasarkan pengalamannya sendiri berkencan dengan seorang wanita bernama fulanah dan suaminya bernama fulan, meski bisa juga tidak dan seluruhnya hanya berdasar imajinasi dia saja. Taruhlah kita bisa mendapatkan bukti bahwa si aku dalam puisi itu benar-benar Lorca, bahwa kisah dalam puisi itu terjadi pada malam Santo Iago tahun sekian dan adegan dalam puisi itu terjadi di pojokan jalan anu dekat sungai una, lalu apa gunanya bagi kita? Andai pun pemaknaan semacam itu berguna bagi kita, bukankah pada saat ketika kita memahaminya maka puisi itu pun berhenti memukau kita karena kita sudah tahu maknanya dan tak ada lagi guna membacanya ulang, memaknainya, karena toh maknanya hanya satu itu tadi?

Maka “aku” yang merupakan salah satu pertanda puisi lirik pun pada dasarnya bukan “aku-penyair”, ia adalah “aku lirik”, tokoh dalam puisi tersebut yang bisa siapa saja, termasuk kita sang pembaca. Dengan pemahaman seperti itu, kita sebagai pembaca bisa menarik makna dari puisi tersebut yang mungkin saja berbeda dengan makna seorang pembaca lain yang juga membaca puisi sama. Makna puisi yang Lorca tulis bukan lagi milik Lorca, karena tepat ketika puisi itu menemukan pembaca, makna puisi tersebut sudah menjadi milik pembacanya. Ketika pembaca bisa menemukan makna puisi tersebut bagi dirinya, pada momen itulah Lorca dikatakan sudah berhasil memberikan keuniversalan puisi tersebut meski—misalnya—puisi itu sebermula dia buat berdasarkan pengalaman personal. 

Lagi pula, bukankah dengan membatasi makna sebagai sesuatu yang mutlak dipegang penyair, pembaca tak memiliki peran apa pun selain menyesuaikan pemahamannya dengan niatan sang penyair ketika menulis puisi itu, atau dalam istilah Khoirun Niam: “puisi itu dapat dipahami oleh penyairnya sendiri”?

Mungkin memang ada pembaca yang menyetujui perannya sebagai hanya seperti itu, tetapi akan ada lebih banyak pembaca yang tidak menyetujuinya dan sebaliknya menuntut kebebasan mereka menciptakan makna. Sebagaimana sudah dikatakan di awal, kita sebagai pembaca selalu memiliki pilihan untuk memaknai sebuah teks sastra melalui perspektif lain, bukan dengan niatan menaruh sang pencipta teks di posisi rendah tanpa diakui sama sekali, melainkan semata supaya teks ciptaannya tetap memberikan makna bagi kita, kapan pun ia dibaca, supaya karya—dan dengan demikian juga nama penciptanya–tetap hidup.

Begitulah baiknya menurut saya puisi-puisi Khoirun Niam ini idealnya dipandang: puisi-puisi yang lahir dengan bimbingan ketat sang ayah tetapi kemudian membangkang dan pergi dari rumah. Pada akhirnya mau tak mau sang ayah mesti merelakan sang anak memiliki hidup dan cintanya sendiri yang tak terkungkung oleh sebentuk rumah yang dia sediakan, sang anak bukan “milik” sang ayah. Justru karena itulah hidup si anak bisa memiliki ragam makna tak terbatas yang mungkin bahkan hanya dalam mimpi-mimpi sang ayah pun tak pernah ada.

“Sastra Indonesia mempunyai jumlah penulis yang bukan main banyaknya. Tapi kebanyakan mereka hanya melongok sastra sebentar, kemudian pensiun.” Demikian kata Budi Darma dalam esai dia yang disinggung di awal. Antologi Nostalgi dan Melankoli adalah antologi puisi tunggal pertama Khoirun Niam. Dengan kata lain, ia adalah bagian dari sebuah awal. Kita bisa membacanya dan menghasilkan kesan kita masing-masing yang membawa pesan sesuai pemahaman masing-masing pula. Setelahnya kita hanya bisa berharap bahwa kehadiran dia dalam dunia puisi bukan kehadiran sepintas-lalu, melainkan suatu kehadiran yang berkelanjutan, dengan “permainan” yang terus dia kembangkan dalam antologi-antologi puisi dia selanjutnya. Semoga.     

* Disunting ulang dari prolog Nostalgi dan Melankoli (Pati: CV Kataba Group, 2017).

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.