Menyigi “Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein”

1

SEJARAH tidak selalu hadir pada cerpen-cerpen dalam antologi Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein dan Cerita-Cerita Lainnya (Yogyakarta: Buku Mojok, 2022) karangan Muhammad Nanda Fauzan. Kita menemukannya hadir misalnya dalam cerpen “Pemuda Malang dan Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein” atau “Kagum 5 Juta”, tetapi kita akan sukar mengelompokkan cerpen “Permen itu Lezat Sekali” atau “Karabaong Menyaru Burung” ke dalam kategori yang sama.

Dengan kata lain, antologi ini tampaknya memang tidak diniatkan sebagai antologi cerpen sejarah semacam Semua Untuk Hindia (2014) Iksaka Banu, Berburu Buaya di Hindia Timur (2020) Risda Nur Widia, atau Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon (2021) Edy Firmansyah, meski judul antologi bisa saja mengesankan demikian. Bertolak dari pemosisian cerpen sejarah sebagai judul antologi, ada baiknya obrolan pembuka menelisik sedikit perihal fiksi sejarah.

Perihal pandangan awal terhadap fiksi sejarah, Kate Mitchell dan Nicola Parson mengutip Ernest Bernbaum mengatakan bahwa “fiksi sejarah selalu dinilai terutama berdasarkan akurasinya”.1Kate Mitchell dan Nicola Parson, “Reading the Represented Past: History and Fiction from 1700 to the Present”, dalam Reading Historical Fiction The Revenant and Remembered Past (New York: Palgrave Macmillan, 2013), hal. 2.Penilaian klasik ini memandang fiksi sejarah sebagai sebuah potensi untuk mengisi tautan hilang momen-momen dalam teks sejarah. Fiksi sejarah dipercaya mampu menautkan fragmen-fragmen teks sejarah menjadi satu keutuhan. Ia adalah semacam sejarah berbulu fiksi.

Namun pandangan klasik itu kini sudah banyak ditinggalkan meski bukan berarti sepenuhnya hilang. Kita misalnya masih menemukan kalimat “keenam cerita dalam buku ini menempati celah-celah yang ditinggalkan sejarah tertulis” di kover belakang Berburu Buaya di Hindia Timur. Cara pembacaan baru terhadap fiksi sejarah kini, sebagaimana Clement Hawes katakan dan dikutip oleh Kate Mitchell dan Nicola Parson, bukan sekadar berurusan dengan  “satu tiruan akurat atas apa yang terjadi, melainkan, dan terutama, dengan bagaimana sejarah direkonstruksi dari jejak-jejaknya”.2Kate Mitchell dan Nicola Parson, “Reading the Represented Past: History and Fiction from 1700 to the Present”, dalam Reading Historical Fiction The Revenant and Remembered Past (New York: Palgrave Macmillan, 2013), hal. 3.

Cara pembacaan fiksi sejarah yang lebih baru ini, dengan demikian, melepaskan teks fiksi sejarah dari peran sebagai “suplemen teks sejarah”. Meski memiliki embel-embel sejarah, fiksi tetap fiksi, dinilai berdasarkan kualitasnya sebagai karya kreatif: cara rekonstruksi sejarah dari jejak-jejaknya. Jika sebelumnya pengarang fiksi sejarah dibebani tugas sebagai sejarawan plus kemampuan mengolah data menjadi narasi memikat dengan menggunakan elemen-elemen fiksi, pandangan yang lebih baru memungkinkan dia memiliki lebih banyak kebebasan untuk “bermain-main” dengan sejarah. Konsekuensinya, ekspektasi kita sebagai pembaca terhadap karyanya juga menjadi lebih bervariasi.

Salah satu variasi itu bertaut dengan relevansi sejarah yang direkonstruksi bagi sejarah yang sedang kita jalani. Sedikit banyak pandangan ini mengingatkan kita pada kecenderungan umum interpretasi karya yang semakin bergeser pada mode pendekatan pragmatik, pembaca sebagai pusat. Pada fiksi sejarah, momen pemaknaan yang menjadi proses mondar-mandir antara momen-baca-kini dengan momen-lampau-dalam-cerita pada dasarnya analog dengan momen penulisan: penulis fiksi sejarah bukan lagi sejarawan plus melainkan koki yang memasak data masa lampau dengan menggunakan resep masa kini.

Karena baik kita sebagai pembaca maupun penulis fiksi sejarah kontemporer, tinggal di masa kini sebagai subjek yang membawa memori hasil saringan sekaligus memiliki sekian hasrat tersembunyi. Kita lantas teringat satu bait puisi Goenawan Mohamad yang juga dijadikan penutup libreto Tan Malaka:

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku

Barangkali aku telah menyeka bukan namamu

Barangkali kita malah tak pernah di sini

Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi

“Barangkali Telah Kuseka Namamu” (1973)

Pada akhirnya, teks sejarah sendiri adalah kumpulan barangkali. Fiksi sejarah, dalam pandangan klasik, mencoba mereduksi kebarangkalian itu dengan memilih menjagokan satu barangkali. Dalam pandangan kontemporer, kebarangkalian itu disadari sebagai sebuah kemestian yang karenanya mesti dirayakan alih-alih direduksi. Sebuah upaya rekonstruksi selalu memuat interpretasi dan kokoh tidaknya rekonstruksi itu, dalam fiksi sejarah, ditakar bukan lagi oleh akurasinya dengan data sejarah, melainkan oleh kokoh tidaknya konstruksi fiksi yang memuat data sejarah tersebut.

Dalam cerpen yang dijadikan judul, misalnya, kita temukan karakter historis Ilyas Hussein beserta kisah heroik yang sudah menjadi satu karakteristik lazim dilekatkan padanya.3Ilyas Hussein adalah salah satu dari 23 nama samaran Tan Malaka. Lihat dalam TEMPO, Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (Jakarta: KPG, 2010), hal. 9. Memang dalam cerpen tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Ilyas Hussein dimaksud adalah Tan Malaka, tetapi latar Bayah dan penggambaran aktivitas serta pemikiran Ilyas Hussein dalam cerpen mau tidak mau menautkan kita dengan Tan Malaka historis. Cerita yang cerpen kisahkan barangkali sungguh terjadi, barangkali juga tidak. Barangkali Ilyas Hussein historis tak pernah bertemu dengan si “pemuda malang” karena pemuda itu barangkali tak pernah ada dan yang Ilyas Hussein temui hanya “hutan, jauh di selatan, hujan pagi”. Yang mana barangkali yang lebih selaras data historis bukan lagi hal penting terkait status cerpen tersebut sebagai fiksi sejarah. Apa yang penting adalah cara cerpen tersebut merekonstruksi sejarah dari jejak-jejak historis Ilyas Hussein di Bayah.

Dengan demikian, kita pada dasarnya selalu membaca fiksi sejarah dengan semacam tegangan realitas dan fiksi yang lebih besar daripada saat kita membaca hanya fiksi. Ketika kita membaca fiksi, kadang kala untuk mendapatkan kesan riil kita dipandu secara sadar ataupun tidak oleh penautan elemen fiksi dengan realitas. Kita misalnya mungkin menautkan karakter Joana dalam cerpen Ilda Karwayu “Anak-anak Anjing itu Mungkin Akan Mati Juga4Dipublikasikan di sksp-literary.com, 3 Desember 2021.dengan mantan kekasih, atau menyandingkan kisah tragis Andien dan Paramitha dalam cerpen Zaky Yamani “Surat Paramitha”5Dimuat dalam Zaky Yamani, Waktu Helena, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020), hal. 222-243.dengan tetangga sebelah yang anaknya meninggal sepekan lalu.

Jika dalam proses membaca fiksi penautan semacam itu, secara umum, merupakan “kesunyian masing-masing”—bisa saja karakter Joana tidak mengingatkan saya pada siapa pun yang ada dalam kehidupan riil saya dan tautan dengan mantan saya justru ada pada karakter lain dalam cerpen yang sama, misalnya tante Mioki, sebagaimana bisa saja kita merasakan kesan riil cerpen “Surat Paramitha” tanpa dibantu penautan apa pun dalam cerita itu dengan kehidupan riil kita melainkan karena keterampilan Zaky Yamani yang berkombinasi kepekaan kita—maka pada fiksi sejarah penautan itu cenderung berlangsung lebih publik dan seragam. Nama Ilyas Hussein dalam “Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein” dan Arswendo Atmowiloto beserta tabloid Monitor dalam “Kagum 5 Juta” misalnya mengarahkan kita pada realitas yang sama-sama kita kenal. Dengan kata lain, kita diarahkan menautkan fiksi dengan satu realitas universal.

Namun justru di situlah tersimpan paradoks. Ketika kita menautkan karakter Joanna dengan realitas mantan dalam kehidupan riil kita, kita sadar tautan itu hanya kemiripan. Joanna adalah Joanna yang fiktif dan mantan kita adalah mantan kita yang riil, tetapi mereka mirip dalam satu dan lain hal. Sementara ketika kita menautkan Ilyas-Hussein-dalam-fiksi dengan Ilyas-Hussein-historis, kita digoda—diperkuat oleh pandangan klasik tentang fiksi sejarah—untuk bukan lagi menganggap keduanya sekadar mirip melainkan sama, bahwa apa yang Ilyas-Hussein-dalam-fiksi alami juga dialami oleh Ilyas-Hussein-historis. Godaan senada biasanya muncul ketika kita membaca karya penulis yang berbagai faset kehidupan pribadinya kita ketahui. Dalam situasi semacam itu, tegangan menjadi lebih besar karena menyerah pada godaan tersebut adalah satu bentuk tabu dan kita tahu ketika tabu itu dilanggar maka bisa terjadi deviasi, bukan hanya terkait perlakuan terhadap teks fiksi sejarah tetapi juga terhadap pengarangnya.

Jika tinjauan terhadap fiksi sejarah terutama berfokus pada cara ia merekonstruksi sejarah dan dengan demikian melepaskannya dari beban nilai guna historiografis sebagai suplemen teks sejarah, maka kita menemukan nilai guna fiksi sejarah dari relevansi rekonstruksi tersebut bagi masa kini. Relevansi itu dimungkinkan kehadirannya secara natural oleh hakikat eksistensi penulis dan pembaca fiksi kontemporer itu sendiri: penulis fiksi sejarah kontemporer hidup pada masa kini dan merekonstruksi sejarah dituntun oleh pandangan kekiniannya sebagaimana kita sebagai pembaca hidup di masa kini dan juga dituntun oleh kekinian kita dalam menjalani proses membaca fiksi sejarah.

Ungkapan klasik mengatakan bahwa sejarah adalah kaca benggala. Selaras dengan itu, kita boleh mengatakan bahwa fiksi sejarah memancing kita untuk mematut-matut diri di depan kaca benggala tersebut lebih lama dan khusyuk dari biasanya. Ketika teks sejarah misalnya hanya membuat saya sadar bahwa ada tahi lalat di tepi kiri oreng dan lekuk pada pipi kiri kanan, fiksi sejarah memungkinkan saya melihat hal-hal yang lebih kecil dan karenanya selama ini luput semisal tiga lembar kumis yang gagal tercukur atau takik akibat kacamata pada pangkal hidung kiri yang lebih dalam daripada pada pangkal hidung kanan.

2

Pada cerpen-cerpen dalam Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein dan Cerita-Cerita Lainnya yang memuat sejarah, kita serta-merta menyadari sejarah hadir tanpa menempatkan diri di pusat panggung. Bahkan pada “Pemuda Malang dan Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein”, cerpen yang boleh kita katakan paling “sejarah”, Ilyas Hussein memang mendapatkan porsi cerita yang banyak, tetapi poros cerita bukanlah ia melainkan si “pemuda malang”. Melalui cerita kita tahu misi Ilyas Hussein berhasil dan dia juga selamat, tetapi di akhir cerita yang terbuka kita tahu nasib si pemudalah yang kita ingat.

Dengan kata lain, sejarah hadir sebagai konteks sehingga memungkinkan kritik lahir, satu sikap yang secara tersendiri juga merupakan kritik terhadap adagium klasik Thomas Carlyle tentang sejarah sebagai biografi orang-orang besar.6Terjemahan kutipan persisnya: “Sejarah Dunia, sejarah tentang apa yang telah manusia capai di dunia ini, pada dasarnya adalah Sejarah tindakan Orang-Orang Besar di dalamnya”. Lihat pada bagian awal “Lecture I: The Hero as Divinity. Odin. Paganism: Scandinavian Mythology” dalam Thomas Carlyle, On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (London: Chapman and Hall, Strand., 1842), hal. 1. Lektur itu sendiri disampaikan pada 5 Mei 1840. Memuat sejarah ataupun tidak, cerpen-cerpen dalam antologi tidak menjadikan orang besar sebagai pusat cerita. Cerpen-cerpen itu merekonstruksi sejarah dengan semacam laku kritik sastra dekonstruksi: bayangkan sejarah sebagai sebuah narasi strukturalis dengan tokoh besar sebagai pusat pemberi nilai tokoh-tokoh minor, lalu balikkan paradigma dengan menggeser tokoh-tokoh minor itu menjadi pusat, bahwa mereka justru memiliki nilai dan selama ini diabaikan semata karena konstruksi paradigma.

Maka jika sejarah fokus pada kisah heroik Tan Malaka, cerpen membalik fokus pada si “pemuda malang”. Ia memang hadir seolah-olah hanya pelengkap, ia hadir tanpa nama, tetapi kita tahu ia memiliki nilai: ia yang memberitahu situasi di Sangko, ia yang memberitahu tentang Goa Lalay, ia memilih bungkam. Ia tidak memiliki nama dan justru karena itulah ia mungkin saja siapa pun, ia simbol universal kita.

Mungkin karena itulah perhatian kita akan cenderung tertuju pada ia, sosok yang selama ini diabaikan sejarah karena—mengutip kata-kata Aristoteles saat menyatakan alasan fiksi lebih filosofis dan lebih layak mendapatkan perhatian serius daripada sejarah—“fiksi berbicara lebih tentang yang universal, sejarah berbicara tentang yang partikular”.7Aristoteles, “Poetics”, dalam Classical Literary Criticism (London: Penguin Books, 2004), hal. 69.Yang universal: “pemuda malang” yang berperan tetapi tak bisa dimasukkan ke dalam teks sejarah justru karena ia—berbeda dengan individu Ilyas Hussein—tanpa nama dan dengan demikian universal. Ia hanya mungkin hadir dalam fiksi karena fiksi—berbeda dengan sejarah—sangat peduli alur. Alur narasi Ilyas Hussein di Banten tak lengkap tanpa adegan si “pemuda malang” mengobrol dengan Ilyas Hussein.

Namun, tidakkah dengan demikian kita kembali pada pandangan klasik tentang fiksi sejarah sebagai pelengkap data sejarah?

Saya rasa dan saya pikir tidak. Apa yang “Pemuda Malang dan Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein” lengkapi bukan data sejarah, melainkan alur narasi sejarah. Dengan kata lain, sebuah rekonstruksi berdasarkan data sejarah yang lantas menghasilkan alur narasi sejarah. Data mengandaikan informasi dengan validitas maksimum, sementara alur narasi hanya mengandaikan sebuah kemungkinan, sesuatu yang Michael Riffaterre sebut sebagai fictional truth ‘kebenaran fiktif’.

Melalui kebenaran semacam itu, kebenaran yang validitasnya hanya mencapai level barangkali, sejarah dalam fiksi sejarah mungkin tidak tampak sebagai kumpulan tindakan hero yang menggetarkan tetapi bertempat jauh di awang-awang. Sebaliknya, ia hanya tindakan-tindakan kecil manusia daif yang menggetarkan justru karena ia manusiawi dan dengan demikian dekat, sangat dekat untuk mampu—mengutip Kafka melalui Goenawan Mohamad—“memecahkan laut yang membeku dalam diri kita”.8Goenawan Mohamad, “Ilusi-Ilusi Seni Modern di Indonesia”, dalam Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 173.

Kedekatan itu jelas hadir melibatkan strategi naratif, pilihan yang bisa pengarang lakukan secara sadar ataupun taksadar, termasuk strategi menyajikan masa silam dengan spirit masa kini. Simak misalnya adegan dialog Kuncho Badri dengan si “pemuda malang” terkait romusa dan nasib ibunya serta dirinya. Sang Kuncho sejak awal digambarkan berada pada di posisi lebih atas dalam struktur relasi kuasa, ia adalah Bendoro, kelas terdidik yang fasih mengutip Dewaruci dan menganalogikan si pemuda dengan Bima:

Sehebat amuk Raksasa Rukmuka dan Rukmakula yang menghalangi niatnya di hutan Tikbrasara, di lereng gunung Reksamuka, sehebat itu pula tanggung jawab Bima atas janjinya.

“Pemuda Malang dan Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein” (hal. 25)

Si pemuda lantas menjadi Bima, menggantikan ibunya yang sudah “tak cukup tenaga untuk menjadi romusa” sementara sang ibu masih memiliki “tanggung jawab atas janjinya”. Tentu saja kita tahu, sebagaimana juga si pemuda itu kelak, bahwa kata-kata Bendoro tersebut hanya omong kosong, ia hanya “Resi Durna dengan seperangkat tipu-muslihat”. Lalu menariknya ke masa kini, tidakkah kita kerap melihat adegan dan karakter sama dalam perkataan dan tindakan kaum elite kita?  

Simak juga misalnya cerpen “Kagum 5 Juta”, cerpen terpanjang dalam antologi. Kita diberi petunjuk epigraf “Mengenang Arswendo Atmowiloto” dan kita mungkin spontan bertanya-tanya tentang posisi cerpen itu—dan pengarang—tentang kasus Arswendo dan tabloid Monitor, apakah di pihak Arswendo atau penentangnya.

Namun statusnya sebagai cerpen paling panjang akan menjadi mubazir kalau cerpen seklise pertanyaan kita. Sepertiga awal cerpen kita mendapatkan kisah tentang si aku narator dengan sahabatnya yang komik, Abdul Aziz. Sepertiga kedua kita mendapatkan kisah si aku narator dengan anaknya. Baru di sepertiga terakhir kita mendapatkan jawaban pertanyaan kita di awal yang bersifat oposisi biner sehingga luput memperhitungkan satu kemungkinan lain.

Fokus cerita “Kagum 5 Juta” bukan si aku narator ataupun Abdul Aziz, melainkan kisah bapak si aku yang disajikan dengan mode intra-homodiegetik dalam terminologi Genette. Intra karena narasi tentang sang bapak berada di dalam narasi si aku, artinya narasi itu berada di lapis kedua, sebagaimana kisah Seribu Satu Malam sebagai narasi Syahrazad. Akan tetapi berbeda dengan Syahrazad yang tidak memiliki relasi dengan apa yang dia narasikan, narasi si aku tentang bapak memiliki relasi dengan si aku sendiri, ditunjukkan dengan memori si aku usia 8 tahun yang menyaksikan kepergian bapaknya (hal. 97-99) dan pertanyaan anak si aku tentang sang kakek (hal. 99-103). Oleh sebab itu berbeda dengan narasi Syahrazad yang heterodiegetik berdasarkan relasi narator dengan narasi, narasi si aku tentang bapak bersifat homodiegetik.9Pembahasan komprehensif tentang fokalisasi bisa dibaca dalam Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), Bab Voice, hal. 212-262. Fokalisasi tidak sama persis dengan konsep klasik point of view ‘sudut pandang’, tetapi justru memperkaya pembahasan tentang narator dengan merinci narator berdasarkan posisi dalam narasi dan relasi narator dengan narasi. Dalam teori sastra, penggunaan konsep fokalisasi merupakan bagian dari Naratologi.

Melalui pencarian jejak bapak yang hilang, cerpen ini meninjau kasus Arswendo dan tabloid Monitor dengan sudut pandang moderat, sudut pandang yang mungkin luput dari tangkapan hitam putih kita yang mengandaikan oposisi biner pendukung versus penentang. Karakter bapak bukan tokoh historis terkenal seperti Arswendo Atmowiloto dan Gus Dur, kita bahkan tak tahu namanya. Tindakan dia yang berada di posisi menentang Arswendo mungkin tampak menggelikan, sama menggelikannya dengan para penentang lain dalam jejak-jejak sejarah peristiwa tersebut. Akan tetapi cerpen menunjukkan bahwa menggelikan ataupun tidak, tindakan itu memiliki alasan yang sangat sederhana, sangat manusia. Sampai akhir cerita kita tidak tahu kejelasan nasib sang bapak, tetapi kita, sebagaimana aku-narator, tahu bahwa ia menghilang sebagai harga yang harus ia bayar untuk rasa cinta dan satu keyakinan tentang kebenaran.

Mode yang sama bisa kita temukan juga dalam cerpen-cerpen lain. Kita menemukan tindakan-tindakan besar dalam politik bisa saja didorong oleh motif personal dalam cerpen “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” sebagaimana pada cerpen yang sama kita bisa menemukan sindiran pada negara yang kini makin menujah kehidupan personal kita melalui beragam undang-undang. Dalam cerpen “Tando” kita mendapatkan gambaran adegan-adegan tragis di balik narasi pembangunan yang mengingatkan kita pada banyak kasus bukan hanya di masa lalu tetapi juga di masa kini di mana rakyat di satu pihak berhadapan dengan negara di pihak lain.   

3

Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein dan Cerita-Cerita Lainnya memuat total 18 cerpen, jumlah lumayan banyak untuk sebuah antologi dengan cerpen-cerpen yang panjang pendeknya beragam. Beberapa cerpen pernah dimuat di media, “Fianchetto di Buitenzorg” misalnya pernah dimuat di Koran Tempo edisi 31 Oktober 2021, “Permen itu Lezat Sekali” pernah dipublikasikan di detikhot pada 27 Juni 2021, “Dendam dan Dua Ember Kalajengking” pernah dipublikasikan di Solo Pos edisi 25 Agustus 2019. Sayang informasi pemuatan awal cerpen-cerpen—yang paling banyak hanya akan memberi tambahan ketebalan satu lembar—tidak dicantumkan dalam antologi. Memang informasi semacam itu mungkin tidak ada hubungannya dengan kenikmatan membaca cerpen, tetapi ia jelas berguna untuk jangka panjang sebagai bagian dari sejarah sang penulis sebagai pengarang dan sangat mungkin berguna bagi penelaah.    

Pada beberapa cerpen dalam antologi, kita menemukan perulangan kemunculan beberapa nama karakter. Nama Uqel muncul dalam “Kutuk Banaspati: Empat Cerita dalam Satu Malam” dan “Kau atau Topengmu yang Menjadi Pembunuh Malam Ini?”. Nama Sentot Mugali muncul dalam “Tamasya Para Hantu” dan “Permen itu Lezat Sekali”. Nama Sadra dan Joao Barrabas muncul dalam “Fianchetto di Buitenzorg” dan “Teka-Teki Delapan Menteri”. Nama Badri muncul dalam “Tikar itu Merah, Jenderal!” dan “Tando”. Nama Karabaong muncul dalam “Suara di Telinga Karabaong”, “Meruwat Laut”, dan “Karabong Menyaru Burung”. Nama Marauleng muncul dalam “Mendengar Marauleng Bercerita” dan “Meruwat Laut”.

Lantas, apakah perulangan itu menunjukkan intertekstualitas antar cerpen atau sekadar alasan sederhana semisal kesukaan personal pengarang pada nama terkait?

Intertekstualitas paling kentara terkait perulangan tersebut ada pada cerpen “Fianchetto di Buitenzorg” dan “Teka-Teki Delapan Menteri”, dua cerpen yang memang saling terhubung baik dari segi alur maupun dari segi cerita yang sama-sama memanfaatkan anasir permainan catur. Sementara dua cerpen yang memuat nama Marauleng sama-sama berlatar pesisir dengan usia karakter Marauleng lebih tua dalam cerpen kedua. Akan tetapi selebihnya tidak ada tanda-tanda yang memungkinkan kita menautkan keduanya. Kita misalnya tidak tahu apakah karakter aku dalam “Mendengar Marauleng Bercerita” sama dengan karakter Karabaong dalam “Meruwat Laut”.

Dalam “Meruwat Laut” disebutkan Marauleng kecil pernah “membuat kaus yang dikenakan ayahnya kuyup oleh seisi perut yang dimuntahkan” (hal. 151), satu adegan yang sebenarnya bisa ditautkan dengan karakterisasi Ambo Enre sebagai bapak Marauleng dalam “Mendengar Marauleng Bercerita” yang sangat ingin anaknya menjadi nelayan tetapi kemudian si anak “dianggap tak berguna karena tak bisa melaut” (hal. 124). Akan tetapi tidak ada petunjuk lain yang bisa memberikan kepastian bahwa memori Marauleng dalam “Meruwat Laut” itu merupakan memori Marauleng dalam “Mendengar Marauleng Bercerita”. Selain itu, latar cerita juga tidak tampak selaras karena dalam “Mendengar Marauleng Cerita” kita hanya mengetahui Marauleng tinggal di sebuah desa kemudian pindah ke Pulau Garam, sementara latar “Meruwat Laut” adalah pesisir Wanatirta, nama daerah yang beberapa kali menjadi latar cerpen dalam antologi. 

Uqel dalam “Kutuk Banaspati: Empat Cerita dalam Satu Malam” dan “Kau atau Topengmu yang Menjadi Pembunuh Malam Ini?” tampaknya merupakan dua karakter yang berbeda, selain karena karakterisasinya yang terlalu jauh untuk ditautkan, antara Uqel saudagar obat pemecah segala masalah di cerpen pertama dengan Uqel yang tergoda puritanisme agama dalam cerpen kedua, juga karena kematian Uqel melalui bom bunuh diri dalam cerpen kedua—berbeda dengan kematian Sadra dalam “Teka-Teki Delapan Menteri”—tidak tampak sebagai kelanjutan alur hidup Uqel pada cerpen pertama. Kasus yang sama seperti Uqel berlaku untuk Sentot Mugali, Badri, dan Karabaong. Tidak ada informasi dalam teks yang memungkinkan penautan antar cerpen yang memuat perulangan nama-nama tersebut.       

Potensi intertekstualitas kemudian kita temukan juga dalam bentuk lain: tautan judul “”Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” dengan baris sajak Sitor Situmorang, judul “Kagum 5 Juta” dengan angket di tabloid Monitor, judul-judul buku dalam cerpen yang disebutkan terakhir, sebagaimana nama tokoh sejarah seperti Ilyas Hussein sebagai sebuah alusi dan “tikar itu merah, Jenderal!” yang menginterteks kutipan terkenal film Pengkhianatan G30S/PKI besutan Orde Baru: “darah itu merah, Jenderal!”.

“Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” adalah cerpen muram, sebuah “cerita yang tak begitu utuh” dalam istilah naratornya sendiri. Judul cerpen, sebagaimana dijelaskan dalam catatan kaki, merupakan baris pertama sajak Sitor Situmorang berjudul “Kristus di Medan Perang”.10Sitor Situmorang, Wajah Tak Bernama, (JakartaL Pustaka Jaya, 1955), hal. 19.

Sajak tersebut menampilkan Kristus sebagai mesias, “jenderal pemberontak segala zaman”, sang “Penegak Kuasa seribu tahun”. Setiap cerita tentang mesias selalu menampilkan harapan akan masa “tumpasnya hukum lama” dan “menjelmanya hukum Baru”. Akan tetapi sajak Sitor juga menampilkan proses menuju momen itu sebagai proses penghancuran, ketika bumi “diadili,/dirombak dan dihanguskan” dan pada akhirnya “sekeliling hanya reruntuhan”.

Harapan akan mesias disebut dalam sajak sebagai “mimpi [yang] selalu menghadang,/akan sampai di ujung: Menang!”. Cerpen “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” juga menampilkan mimpi sang selir yang melepaskan “tanggung jawabnya untuk Pati Obong” (hal. 9) akan Alas Raya dan pertemuan dengan sang ayah yang memberi arahan untuk “beranjak menuju timur ke Alas Raya” setelah kelok pertama.

Namun kita kemudian tahu

tak pernah ada kelok pertama, tak pernah ada Alas Raya, tak pernah ada pertemuan yang telah dijanjikan.

“Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” (hal. 10)

Dan kita lantas boleh curiga jangan-jangan cerpen ini ingin membicarakan sukarnya sebuah pemberontakan menentang tradisi yang menyudutkan perempuan sebagaimana disimbolkan oleh Pati Obong yang harus dijalani oleh sang selir ketika Raja mati dan menolak melakukannya bermakna pengkhianatan. Kita menemukan penguat akan kecurigaan ini pada bagian lain dalam cerpen yang menarasikan bahwa

Interaksi Raja dan selir, utamanya saat bercinta, telah diatur dalam Undang-Undang Kerajaan No. 166/984 H […] Selir hanya boleh mengerang, menjerit, atau melenguh. Sementara, Raja dibebaskan melancarkan kalimat apa pun—termasuk makian—kecuali menyebutkan nama Tuhan semesta alam.

“Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” (hal. 3)

Mudah untuk menautkan narasi tersebut dengan memori kita tentang upaya penetrasi negara—berlangsung bukan hanya era Orde Baru tetapi juga kini—terhadap kehidupan personal melalui undang-undang yang mengatur perempuan dengan konsep yang tidak mewakili perempuan. Sang ayah sebagai simbol mesias dan Alas Raya sebagai surga di bumi tempat “tumpasnya hukum lama” dan “menjelmanya hukum Baru” menjadi dua hal imajiner, mimpi, utopia. Satu-satunya nada optimis dalam cerpen ini justru hadir melalui akhir yang muram bahwa cerita ini “tak begitu utuh”.    

Selain gemar bermain-main dengan simbol—contoh lainnya hantu lulun samak dalam “Tikar itu Merah, Jenderal!” dengan upaya perusakan citra PKI melalui film yang memuat titik temu bahwa keduanya sama-sama menjadi memori masyarakat, atau burung dan kepakan sayapnya dengan nasib paradoksal Karabaong sebagai kebebasan melalui kematian dalam “Karabaong Menyaru Burung”—Muhammad Nanda Fauzan juga tampaknya gemar bermain-main dengan fokalisasi. Kegemaran ini bisa kita anggap sebagai bagian dari strategi menautkan cerpen-cerpennya dengan (pembaca) masa kini.

Bukan hanya dalam satu dua cerpen kita mendapatkan sapaan pronomina orang kedua yang berpotensi menempatkan kita berada di posisi narratee ‘sasaran narasi’, pasangan narator. Mengapa “berpotensi”—dan bukan “selalu”—karena dalam pandangan Genette, satu jenis cerita yang paling lazim menggunakan sapaan “kau”, yaitu epistolary novel ‘novel warkat’, hanya bisa menunjuk pada sasaran narasi fiktif—alih-alih kita sebagai pembaca—yaitu epistolary correspondent ‘koresponden warkat’.11Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), hal. 260.Kita, misalnya, sukar melakukan identifikasi diri sebagai pihak yang disapa sebagai engkau dalam salah satu novel warkat kita, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) karya Hamka. Engkau dalam “Surat dari Mesir” yang membuka novel tersebut jelas merujuk pada karakter Saleh. Narator saya yang mengirimkan surat merupakan implied author ‘pengarang tersirat’.   

Pada cerpen pertama dalam antologi, “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur”, kita juga menemukan pengarang tersirat di akhir cerita, “seorang pemuda”. Maka narator yang semula tampak sebagai ekstra-heterodiegetik terbukti di akhir merupakan intra-heterodiegetik: narator yang berada di lapis kedua menarasikan cerita yang tak memuat dirinya, seperti posisi Syahrazad.

Dalam konsep Genette, narator dalam novel warkat berada di lapis kedua, intradiegetik, dan narator intradiegetik memang membuat pembaca sukar melakukan identifikasi diri sebagai sasaran narasi. Sementara narator ekstradiegetik justru sebaliknya, karena narator lapis pertama jelas hanya mungkin menujukan narasi pada sasaran narasi yang juga ekstradiegetik, pihak yang “menyatu dengan pembaca tersirat yang lantas bisa menjadi target identifikasi setiap pembaca riil”, yakni kita.

Dus, jika menggunakan konsep Genette di atas, pembaca akan sukar mengidentifikasi diri sebagai sasaran narasi karena mode narasi “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” intra-heterodiegetik. Akan tetapi situasi pengarang tersirat dalam “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur” tidak sama persis situasi Syahrazad dalam Kisah Seribu Satu Malam. Syahrazad sebagai narator lapis kedua memiliki sasaran narasi berupa karakter lain, yaitu Syahriyar: satu elemen yang tidak kita temukan dalam konstruksi “Ia Menyeret Diri dalam Lumpur”. Alih-alih karakter cerita sebagai sasaran narasi pengarang tersirat, kita justru mendapati penekanan bahwa kita para pembaca merupakan “sasaran narasi” berupa “Sementara, kita tahu…” (hal. 10) dan dipertegas dengan kalimat penutup “seorang pemuda menuliskannya hingga sampai kepadamu dalam cerita yang tak begitu utuh” (hal. 11). Dengan strategi penarasian semacam itu, kita lantas mendapati bahwa meski mode narasi yang disodorkan intra-heterodiegetik, tetapi situasi yang pengarang ciptakan mempermudah kita sebagai pembaca untuk mengidentifikasi diri menjadi sasaran narasi.

Ada banyak penggunaan pronomina orang kedua oleh narator pada cerpen-cerpen dalam antologi. Sebagian besar merujuk pada karakter dalam cerita sebagai sasaran narasi, tetapi ada juga yang merupakan bagian dari strategi penempatan kita para pembaca sebagai sasaran narasi. Lihat misalnya dalam cerpen kedua, “Kutuk Banaspati: Empat Cerita Pada Satu Malam”, yang dengan unik menyajikan cerita utuh melalui empat fragmen narasi dengan fokus masing-masing narasi karakter berbeda.

Dalam fragmen pertama cerpen, kita menemukan kehadiran pronomina “kau”, tetapi sebagaimana pronomina orang kedua dalam novel warkat, kita dengan mudah mengetahui bahwa sasaran narasi adalah karakter anak dalam cerita. Demikian juga dalam fragmen ketiga kita menemukan kehadiran pronomina orang kedua yang kita tahu, berdasarkan fragmen pertama, merujuk pada satu karakter lain, yaitu “seorang perempuan yang mengaku dari kampung pesisir timur”. Hanya pada fragmen kedua kita menemukan pronomina “Anda” yang jelas memiliki fungsi mendekatkan pembaca pada cerita dengan memancing identifikasi diri kita sebagai sasaran narasi.

Bermain-main dengan fokalisasi tentu juga mampu memberi fungsi lain semisal membuat penyajian cerita menjadi lebih unik dan mungkin memikat pembaca. Pada saat yang sama, variasi tema, latar, dan narator juga membuat kita cenderung sukar melakukan identifikasi pengarang dengan karakter-karakter dalam cerpen. Cerpen tidak jatuh menjadi sekadar corong pengarang, karakter di dalamnya tidak mudah didakwa sebagai alter ego dia.

Dengan kata lain, tampak ada jarak tercipta antara pengarang dengan karya, antara kehidupan personal pengarang dengan kehidupan karakter-karakter dalam cerpen, satu hal yang sedikit banyak lebih mudah tercipta dengan sendirinya ketika jenis fiksi yang ditulis merupakan fiksi sejarah. Jarak semacam itu cenderung gagal tercipta pada karya-karya pengarang pemula atau pengarang yang menulis disertai hasrat berkhotbah, pengarang yang gemar menciptakan—mengutip Genette12Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), hal. 259.—“imperialisme spekulatif”, “kepastian kebenaran” di tangan pengarang yang membuat peran penerima narasi—dalam hal ini kita sebagai pembaca—“sepenuhnya pasif”, sepasif kita saat mendengarkan khotbah Jumat.

Imperialisme spekulatif cenderung mengurangi kekokohan konstruksi fiksi menjadi mirip konstruksi gedung yang bahan-bahannya dikorupsi. Pada titik ini ada baiknya kita mengingat satu ungkapan umum dalam penulisan kreatif yang mungkin klise karena terlalu sering diungkapkan tetapi bukan berarti tak penting: pengarang pada awalnya menciptakan karakter cerita, tetapi karakter itu kemudian lepas memberontak memiliki kisah hidupnya sendiri seperti anak-anak dalam puisi terkenal Kahlil Gibran. Pengarang yang baik, tentu saja, bukan berarti selalu pengarang yang mampu melepaskan personalitasnya secara mutlak dari karya-karya yang dia ciptakan, melainkan pengarang yang mampu mendamaikan personalitasnya dengan personalitas karakter yang dia ciptakan tanpa merusak konstruksi cerita.   

Dalam pengantar Cerpen Pilihan KOMPAS 2001, Mata Yang Indah, Hasif Amini menautkan genealogi cerpen pada “kitab Seribu Satu Malam”.13Hasif Amini, “Cerita Pendek di Dunia Eksentrik”, dalam Cerpen Pilihan KOMPAS 2001: Mata Yang Indah (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2017), hal. xvi.Kita tahu persis peran dan fungsi cerita-cerita legendaris itu: menyajikan potret berbagai karakter dalam fragmen-fragmen kecil kehidupan yang melaluinya Raja Syahriyar sebagai sasaran narasi secara bertahap menjadi lebih menghargai manusia dan kehidupan.

Cerpen-cerpen dalam Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein dan Cerita-Cerita Lainnya, dengan menggunakan berbagai cara yang dimungkinkan oleh elemen-elemen fiksi sebaik-baiknya, tampaknya mencoba melakukan hal yang sama dan bisa jadi dengan tujuan yang juga sama. Akan tetapi perihal hasil akhir kita sebagai pembaca setelah menamatkan 18 cerpen di dalamnya menjadi Syahriyar yang bertobat dari kebiasaan tragis “malam nikah paginya menumpahkan darah” ataupun tidak maka itu adalah hal lain: relasi antara konstruksi fiksi dengan efeknya terhadap pembaca bukan semacam garis lempang pancaran cahaya senter yang bisa diukur dan diprediksi dengan akurasi absolut. Ia menyimpan ketaksaan variabel. Ia menyimpan anomali tak terhitung.

Oleh sebab itu, kita tahu membutuhkan waktu 1001 malam bagi Syahrazad menarasikan “cerpen-cerpen” bagus dan Syahriyar berkontemplasi sebelum siklus pengarang-teks-pembaca itu mencapai satu titik tuntas temporer. Di tengah kehidupan yang memuja efisiensi, peran yang fiksi sandang memang terlihat muram, tetapi sebagaimana kemuraman kelok kiri, Alas Raya, dan pertemuan yang tak jadi, ia menyimpan optimisme bahwa suatu saat nanti cerita akan menjadi utuh dan tuntas. Suatu saat itu sendiri tidak pasti sebagaimana tuntas itu sendiri temporer, mengandaikan peran abadi kita sebagai para pembaca, sebagai para penafsir, sebagai para perekonstruksi teks. Salam.

April 2022

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.