Mengunjungi Kembali Maria Pinto, Natalie, dan Afair-Afair Lain

1

SETIAP cerpen dalam antologi Kuda Terbang Maria Pinto (Yogyakarta: EA Books, 2017) karya Linda Christanty pada dasarnya adalah sebuah afair. Ia mengandung sisi puitis, bahkan dalam bentuknya yang realis, tetapi ia bukan puisi, ia mengandung kemungkinan menjadi novel, tetapi ia disajikan singkat. Seperti sebuah afair: ia mungkin romantis, tetapi ia keromantisan yang sepintas, ia mungkin tertanam dalam angan, tetapi ia hanya satu bagian dari kisah cinta dalam kehidupan.

Kisah cinta—dalam pengertian denotatif—hadir langsung dalam kisah yang membuka antologi ini: “Kuda Terbang Maria Pinto”. Tema cerpen sebenarnya sederhana: perang dan kisah cinta yang tak boleh. Akan tetapi tema itu diolah dan kisah itu diakhiri dengan cara unik. Akan klise jika kisah diakhiri ala Sitti Nurbaya, akan membosankan jika kisahnya berakhir seperti ini: Yosef membelot ke pihak Maria Pinto, keduanya bahu membahu melawan pihak yang awalnya Yosef bela, lalu keduanya bisa mati bersamaan. Heroik. Klise. 

Sejak awal cerpen kita sudah didorong untuk berekspektasi bahwa cerpen ini bukan cerpen realis:

Menjelang senja, Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala.

hal. 1

Akan tetapi kita mungkin tetap terkejut dengan akhiran cerpen ini:

Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya.

hal. 10

Sebuah akhir yang menutup tetapi menyisakan celah yang masih memungkinkan cahaya mengintip, cahaya yang merangsang imajinasi. Puitisme, yang merupakan sifat dasar puisi, mengisyaratkan keperluan akan sebuah tafsir. Puitisme menunda makna, tidak menyodorkannya secara langsung, ia mengulur-ulur dan memperluas kemungkinan makna yang hadir.

Dalam pandangan Freud, ketika dua orang saling mencintai, yang ada dalam ingatan masing-masing adalah hanya sosok yang dicintainya. Lain tak ada. Akan tetapi sejak awal kisah cinta mereka, kalaupun pertemuan singkat mereka bisa dikatakan sebagai sebuah kisah, keduanya sudah paham bahwa cinta mereka terlarang: Maria Pinto adalah panglima pemberontak di “negeri jeruk dan kopi”, Yosef Legiman adalah prajurit yang dikirim ke pulau itu .

Cinta adalah urusan id, tetapi ego-lah yang bertugas mengatakan keduanya tak mungkin bersatu berdasarkan mandat super-ego: bahwa karena keduanya berada di pihak yang berbeda dan saling bermusuhan maka cinta keduanya tak mungkin disatukan. Cinta, dengan demikian, bukan semata merupakan urusan pribadi yang melibatkan hanya id, tetapi juga sebagian masuk ke ranah sosial, diatur oleh super-ego yang tertib.  

Dengan kata lain, cinta Maria Pinto dan Yosef Legiman terhambat oleh latar. Ia tidak terjadi pada saat dan tempat yang tepat. Perang, tulis Freud,  terjadi ketika insting kematian berubah menjadi insting destruktif yang diarahkan pada objek, menghancurkan the extraneous one, ‘si liyan yang asing’. Yang jadi masalah, setiap manusia memiliki insting cinta dan insting kematian dalam dirinya.

Maka tak heran jika Yosef memiliki kekasih, meski kemudian dia ditolak oleh keluarga kekasihnya nya karena “salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa” dan gaji Yosef mungkin terlalu kecil untuk menghidupi kekasihnya itu nanti. Dia menceritakan tentang sang ibu yang “kasihan sekali”, karena dia “menangis lagi” saat kepulangannya. Insting cinta. Akan tetapi Yosef menghibur diri seputar tangisan ibunya bahwa “ini sudah pilihan”.

Apa yang Yosef lakukan bisa dikatakan sebagai sebentuk displacement, ‘pengalihan’. Dia terjun ke dalam perang tapi dia tak sepenuhnya turun, dia hanya dikirim, dia cuma objek dan bukan subjek. Dalam cerpen ini pemantik “ketidaksepenuhan” itu adalah wanita, sang ibu dan Maria Pinto. Maria Pinto mengusik insting cinta dia yang tersembunyi. Hanya mengusik, tak membuatnya sampai ke titik menolak perang. Pertanyaannya, kalau insting destruktif itu selalu ada dalam diri manusia berdampingan dengan insting cinta, lantas kenapa ada orang-orang yang menolak perang?

Karena kita sudah mengalami evolusi kebudayaan, perubahan standar antara mereka yang hidup di tengah perang pada zaman lampau dengan kita yang hidup dalam kecamuk perang di masa kini. Di masa kini perang ada pada “posisi oposisi yang paling bodoh terhadap pendirian fisik yang ditentukan bagi kita oleh proses budaya”. Dengan kata lain, perang masa kini tak lagi memenuhi kualitas apa yang kita sebut sebagai heroisme.

Namun, apakah heroisme? Maria Pinto yang gagah menaiki kuda terbang dan menyapu bersih musuhnya dengan sihir, atau Yosef yang menembak mati “pemimpin para teroris” dari jarak yang jauh?

Hero dalam bahasa Yunani bermakna “pelindung”. Tindakan Yosef di akhir cerita yang membunuh si pemimpin teroris bisa diklasifikasikan sebagai tindakan seorang hero atau wirawan. Dengan tindakan itu dia sudah melindungi “negaranya” yang mengirim dia sebagai prajurit.

Namun, ada satu hal lain yang Yosef lindungi, yakni “sebagian rahasia hidupnya”. Kita bisa memaknainya sebagai “rahasia seputar hubungan Yosef dengan Maria Pinto” dan mungkin seperti itulah pada dasarnya yang Yosef pikirkan. Pada saat menarik pelatuk, dia masih menjunjung tinggi kesetiaan pada negara, kesetiaan dia pada insting destruktif, meski mungkin tak sepenuhnya demikian, meski mungkin Yosef mengharapkan sepenuhnya demikian.  

Tidak heran jika kemudian dia bertanya-tanya ketika melihat kehadiran Maria Pinto: Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Sama juga dengan kita yang bertanya-tanya apakah perempuan muda yang bertemu dengannya di kereta, perempuan “pemimpin para teroris” yang dia tembak, dan Maria Pinto “panglima para pemberontak” adalah orang yang sama? Kita bisa lebih pasti bahwa dua perempuan yang disebut terdahulu adalah sama, meski kita hanya bersandar pada pikiran Yosef. Akan tetapi sama-kah juga antara perempuan itu dengan Maria Pinto?

Mungkin saja, terutama jika kita membandingkan pengenalan Maria Pinto sebagai “semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra” dengan pengenalan si perempuan muda dalam kereta yang membaca—dan ingin menamatkan—novel Stephen King. Akan tetapi kalau begitu kenapa Yosef tak mengenali dia sebagai Maria Pinto? Apakah karena wajah Maria Pinto hanya dia kenal sebagai wajah dengan “sepasang bola mata yang menonjol keluar serta kulit wajah mengeriput” dan pengenalan sisanya hanya pada tubuh telanjang, tangan putih dan halus, dan kuda terbangnya?

Yang mana pun kemungkinan yang kita pilih untuk diyakini, kehadiran Maria Pinto menggugurkan tindakan Yosef untuk menjadi sepenuhnya hero sebagai prajurit. Kita tahu kemudian bahwa pengarang membuat akhir kisah tak klise, karena inilah salah satu kemungkinan tafsir akhir yang surealis itu: Yosef bunuh diri setelah membunuh si pemimpin teroris dan kemudian melihat kehadiran Maria Pinto. Satu bunuh diri yang indah karena diidealkan oleh imajinasi. Bidadari yang terbang adalah idealisasi kesempurnaan: sosok yang tak menyentuh bumi yang kotor, semacam Eva sebelum dia menapakkan kaki di bumi Jeddah, ia belum harus mengeluarkan darah kotor setiap bulan, ia belum wajib mengenakan pakaian, karena di langit kosakata kotor, cela, aib, adalah kosakata yang tiada.

Maria Pinto—dengan kuda terbangnya—juga adalah simbolisasi imajinasi Yosef, bentuk ideal insting cinta yang membawa insting kematian pada titik jenuh. Pada akhirnya Yosef memilih menyerahkan diri sepenuhnya pada insting kematian, tetapi dengan cara yang tak disangka: dia menghancurkan dirinya sendiri dengan menjemput kematian, dan pada saat yang sama menjemput imajinasinya tentang cinta. Dia menempuh jalur Thanatos untuk meraih Eros.

Maka Yosef tidak bisa dikatakan sepenuhnya patuh pada perintah super-ego. Siapa pun sebenarnya sang komandan, yang kepadanya dia melaporkan bahwa dia sudah membunuh “pemimpin para teroris”, sang komandan tidak punya lagi kesempatan untuk mempergunakan dan memerintah Yosef. Kematian Yosef membuat Yosef bebas dan mungkin pada akhirnya bersatu dengan Maria Pinto di dunia langit, bersatu dengan imajinasi, dunia yang kita bayangkan tidak memuat ego dan super-ego: di sana id semata yang berkuasa.

2

Setiap cerpen dalam antologi Kuda Terbang Maria Pinto pada dasarnya adalah sebuah afair, dan setiap afair selalu mengandung erotisme tersendiri. Erotis, erotic, kata itu merujuk pada maknanya sebagai adjektiva dalam bahasa Inggris: ditandai atau dipengaruhi dengan kuat oleh hasrat seksual. Hasrat seksual adalah frasa yang bermakna luas, sesuatu yang pernah Freud singgung sebagai dimaknai terlalu sempit ketika ia hanya mencakup reproduksi, konsep yang kita temukan jejaknya dalam doktrin puritan mengenai reproduksi sebagai satu-satunya tujuan tindakan seksual, sementara kesenangan, pleasure, adalah bonus yang tak harus ada. Seksual, dengan demikian, dalam arti yang luas mencakup bukan hanya hubungan beda jenis kelamin, tetapi juga yang sama.

Maka kita temukan misalnya dalam The Penguin Books of Erotic Stories by Women bukan hanya hubungan suami istri dalam “A Spaceship of Tenderness to the Moon” Laila Baalabaki, melainkan juga hubungan mesra Myra dan Olga dalam “Forbidden Love” Anna-Elisabeth Weirauch. Makna yang dijangkau oleh erotisme tak berpretensi bersopan-sopan dan berlazim-lazim seperti yang seringkali disodorkan frasa “cinta”: dalam Great Love Scenes From Famous Novel yang diseleksi oleh Carl F. Mason, petikan yang diambil dari Sons and Lovers D.H. Lawrence bukan adegan hubungan antara Gertrude Coppard dan anaknya Paul, melainkan hubungan Paul dengan Miriam Leivers, putri kawan Gertrude sang ibu. Cinta cenderung menciptakan sensornya sendiri, disengaja ataupun tidak, disadari ataupun tidak.

Dalam antologi ini, “Kuda Terbang Maria Pinto” adalah kisah hubungan pria dan wanita, tetapi “LubangHitam” adalah kisah hubungan Tina dan Lilian, Tina dan Natalie, demikian juga dalam cerpen “Danau”. Sementara “BaladaHariHujan” adalah hubungan antara seorang waria dengan seorang pria tua. Dan bahkan dalam hubungan antara dua manusia beda jenis kelamin pun lahir apa yang menyalahi kelaziman, misalnya inses antara Rena dan sang ayah dalam “LubangHitam” yang dibingkai oleh Kompleks Elektra.

Tak normal. Mungkin. Tak lazim. Mungkin. Akan tetapi jelas bahwa di sini sang pengarang memainkan peran dia untuk menggugat pemaknaan “normal” dan “lazim”. Karena, apakah “normal”, dan apakah “lazim”? Dalam pandangan Freud, bahkan, kondisi normal selalu menunjukkan ciri neurosis, karena dunia modern menjanjikan banyak aturan dan karenanya kekangan.

Dalam Perjanjian Lama, dikisahkan Tuhan sudah menciptakan manusia pada hari keenam, langsung laki-laki dan perempuan. Suatu penciptaan yang bisa kita pahami sebagai manusia pra-Adam. Dalam kitab Arais al-Majalis Ats-Tsa’labi dikisahkan bahwa Qabil dilahirkan bersama saudari kembarnya Iqlima, sementara Habil bersama Labuda. Qabil ingin menikahi Iqlima, tapi Adam melarangnya karena putra-putri Adam yang lahir masing-masing kembar pria wanita, harus menikah bersilangan, tak boleh dengan pasangan lahirnya.

Dasar larangan itu, konon, adalah firman Tuhan. Dengan kata lain: super-ego, kode moral. Bukankah pada dasarnya menikahi saudari yang bersamaan lahirnya ataupun menikahi saudari yang beda waktu lahirnya pun sama-sama inses? Bukankah pada masa itu pun sudah ada manusia-manusia yang Tuhan ciptakan pada hari keenam?

Pengekangan id melalui super-ego itu menciptakan pembunuhan Habil, pada kasus masa lampau, dan menciptakan represi, pada kasus manusia modern. Represi, suatu upaya melarikan diri. Sebagian “melarikan diri” dengan menikahi pasangan yang mengandung kemiripan dengan sosok yang terlarang untuk dinikahi, sebagian lagi hanya bermimpi, berimajinasi (yang dikarenakan sebab yang berbeda disajikan dengan sangat memikat dalam cerpen “Makam Keempat”), sebagian yang lain lagi menuangkannya dalam karya seni, sublimasi, seperti si Ia dalam cerpen “Qirzar”.

Rena jatuh cinta pada ayahnya, sang ayah menyetubuhinya, Ayah mabuk malam itu dan menyeret dia ke tempat tidur. Mabuk: suatu kondisi ketika tubuh dikuasai ketaksadaran dan super-ego terlupakan. Apakah itu berarti sang ayah pun pada dasarnya mengharapkan Rena? Lalu suatu hari, Rena membunuh sang ayah dengan cara memasukkan pil tidur ke dalam wiskinya.

Suatu kisah yang aneh dan bisa membuat mereka yang “normal” menggeleng-gelengkan kepala. Kita tidak tahu pasti apa alasan Rena membunuh ayahnya. Tina sendiri, yang merupakan tokoh utama dan dari narasi tentang dia-lah kita bisa mendapatkan kisah tentang Rena dan ayah, tidak tahu apa yang terjadi pada Ayah dan Rena saat dia tak ada. Akan tetapi kita bisa mengira-ngira dari ucapan Rena, tapi, aku ingin lagi.

Menarik bahwa Rena menangis ketika sang ayah menyebut-nyebut nama “perempuan itu”, mungkin nama Tante Ira, satu perempuan selain ibu dalam jalur hidup ayahnya. Sang ibu sudah meninggal, artinya, sosok yang selama ini paling mungkin dianggap rival sudah tiada. Akan tetapi ternyata muncul rival lain dan mungkin karena menyadari hal itulah dia menangis, dan ayah sudah minta maaf. Kita tak tahu pasti apakah sang ayah minta maaf karena dia menyadari perasaan sang anak yang mungkin memandang nama “perempuan itu” sebagai rival, ataukah karena dengan menyebut nama itu, dan bukan ibu, berarti sang ayah mengkhianati cinta dia terhadap ibu Rena.

Dalam pandangan Freud, Kompleks Elektra lebih sukar “sembuh” daripada Kompleks Oedipus, ia menetap pada kondisi itu untuk waktu tak terhingga, dan hanya terkemudian dia bisa meninggalkannya, tanpa sepenuhnya bebas. Kondisi Rena adalah kondisi cinta, salah satu sifat kondisi ini adalah posses the beloved object, ‘memiliki objek yang dicintai’. Apakah mungkin sang ayah masih terpeleset menyebut-nyebut nama “perempuan itu” sepanjang afairnya dengan Rena saat Tina tak ada dan hal itu membuat Rena merasa dia tak sepenuhnya memiliki objek cintanya?

Mungkin saja. Dan kalau benar maka itulah alasannya sang ayah ditemukan mati kaku di tempat tidur. Sebab, apa boleh buat, Rena tak seberani si Aku dalam “Rumput Liar” yang mengatakan bahwa ia tak bisa sendirian seperti ibu, lantas bersikukuh melanjutkan hubungannya dengan Paul. Rena tak berani memaksa ketika Ayah mereka melarang Rena berpacaran dengan petualang: pemuda yang tak punya pekerjaan tetap, tapi selalu tampil dandy. Dari sana lahir cinta, pada sang ayah, dari sana lahir irama tragis yang mengendalikan hidupnya, dan hidup ayahnya.

Juga hidup Tina. Karena kisah Tina berkelindan tanpa terpisahkan dari kisah hidup mereka yang berada di sekelilingnya. Rumit. Dia bisa menjalin hubungan dengan Lilian, tetapi dia juga bisa menjalin hubungan dengan seorang pria peniup saksofon sampai si pria pergi dan dia memiliki bayi. Akan tetapi Natalie, sampai akhir cerita, dan juga akhir hidupnya, adalah satu-satunya yang paling melekat dalam ingatan dia. Natalie di Perth, nun jauh di sana.

Dalam diri seorang pria atau wanita normal, selalu dapat ditemukan jejak-jejak perangkat seksual lawan jenis. Itu adalah teori Freud yang kelak Carl Gustav Jung kembangkan dengan konsep Animus dan Anima dalam Psikologi Analitis. Pilihan objek seksual, dengan demikian, bukan sesuatu yang nature, bawaan, melainkan nurture, pengasuhan, bentukan. Jika Tina, wanita, kemudian bisa berhubungan bukan hanya dengan pasangan pria, melainkan juga dengan wanita, maka hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.

Yang menarik, pada Natalie-lah kita menemukan Tina benar-benar terikat, bukan sekadar apa yang dia sebut sebagai having fun sebagaimana ketika dia menyaran pada hubungannya dengan si pria peniup saksofon. Bila pun dia masih menyimpan pasmina pemberiannya, maka itu bukan merupakan bagian dari fetisisme, setidaknya itu yang dia katakan. Sementara hubungannya sendiri dengan Lilian baru dua minggu, dan kita menemukan cerita sudah ditutup….

Lilian tak bisa menggantikan Natalie, tetapi pada sosoknya kita mungkin bisa menemukan sedikit petunjuk tentang Tina. Rambutnya yang panjang ikal berderai di atas seprai satin, seperti kawanan ular tidur. Ular-ular itu sering ditarik dan dibelai Tina, tergantung perasaan dan keadaan. Itu deskripsi fisik Lilian. Rambut panjang ikal, simbol femininitas. Tina suka membelai dan menariknya, simbol posisi aktif. Apakah Tina kemudian bisa dikategorikan sebagai sosok maskulin, pihak yang mengambil posisi sebagai “pria” dalam hubungan sesama wanita?

Mungkin saja. Tak ada deskripsi apakah Tina berpenampilan “maskulin”, meski kita juga tak bisa pasti bahwa dia mesti berambut pendek untuk mengambil peran “maskulin”. Meskipun demikian, deskripsi bahwa dia merasa jengkel pada beda efek timbunan lemak di perut pria dan wanita mengindikasikan dia merasa iri pada efek yang terjadi di tubuh pria. Petunjuk yang lain adalah pertanyaam dia yang unik di makam ibunya: Ibu, kenapa perempuan harus punya lubang?

Pertanyaan itu bisa juga menyiratkan gejala penis envy, iri zakar, yang lantas memasukkan dia pada kondisi Kompleks Kastrasi. Dalam teori Freud, ada tiga jalur yang lazim diarahkan oleh Kompleks Kastrasi: neurosis atau penyimpangan seksual, perubahan karakter dalam citarasa kompleks maskulinitas, dan ketiga femininitas normal. Tampaknya Tina mengalami yang pertama, terutama karena didorong banyak hal: kisah-kisah kekacauan Rena yang dia tampung, pemahaman “semua pria adalah kucing” berdasarkan kisah ayahnya, jalan cinta ibunya, kisah cintanya dengan Natalie yang dia tinggalkan.

Namun yang memantik dia untuk kemudian bunuh diri tampaknya adalah pengakuan Rena bahwa dia membunuh sang ayah. Dulu Tina meninggalkan kisah bahagianya dengan Natalie karena ayahnya meninggal, Rena depresi, lantas Tina berhubungan dengan pria peniup saksofon, lantas dia punya bayi yang kemudian mati, selanjutnya berhubungan dengan Lilian.

Lalu Rena mengakui membunuh sang ayah. Pada titik ini, Tina kemudian tampak membandingkan semua kisah cintanya, Natalie, pria peniup saksofon, Lilian: sebuah pembandingan yang kita ikuti dalam alur yang tak kronologis seolah untuk menunjukkan bahwa ingatan manusia berlaku acak, dan itulah salah satu yang membuat cerpen ini pendek, loncat-loncat, tetapi justru sangat menarik.

Pada akhirnya Tina tampak menyadari bahwa tak ada yang bisa menggantikan Natalie dan dia tak tahu alasannya mengapa. Pada akhirnya dia mungkin merasa bahwa laku dia meninggalkan Natalie, demi keluarga, ternyata sia-sia, setelah pengakuan Rena—ikhwal yang juga kita temukan lebih gamblang dalam cerpen “Makan Malam”. Mungkin seharusnya dia dulu tak meninggalkan Natalie, karena ternyata ikatan keluarga di antara mereka bukanlah semacam ikatan keluarga Halifa dalam “Lelaki Beraroma Kebun”yang sekaligus mengikatnya pada kampung halaman. Mungkin andai dia tak memilih kembali, hubungan Tina dan Natalie akan berakhir bahagia, tidak seperti bagaimana kita menemukannya di akhir cerita.        

Cerita Tina dengan Natalie dan Rena dengan ayahnya adalah cerita yang tak lazim, tetapi apa yang tak lazim bukan berarti tak mungkin. Satu-satunya tugas pencipta karya representasi, kata Aristoteles, adalah menyodorkan kemungkinan, bukan menyodorkan kenyataan. Andai kita percaya bahwa cerpen adalah bentuk pendek dari novel, dan novel mendapatkan bentuk narasinya dari puisi epik, maka aturan Aristoteles itu pun mencakup cerpenis pula, pekarya yang belum ditemukan pada zamannya dalam bentuk yang kita kenal sekarang.

Segala kemungkinan: termasuk apa yang tak lazim, termasuk bahkan yang tak biasa. Jika kelaziman adalah hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda, dalam istilah yang lebih bias disebut “normal”, maka pada cerpen-cerpen dalam antologi ini kita bisa menemukan kenormalan itu dipermainkan. Garis kemungkinan pun bisa ditarik sejauh-jauhnya sampai titik di mana hubungan antara laki-laki tua yang dalam keseharian tampak sopan dan penyayang pada sang istri tetapi melakukan hubungan seksual dengan sangat bergairah dalam afair dengan seorang waria dimungkinkan.

Insting seksual adalah dasar gunung es, puncaknya yang tampak di permukaan dicoba ditundukkan dengan segala perangkat kesopanan dan kelaziman: pernikahan beda jenis kelamin, pernikahan bukan-mahram, hubungan cinta dengan bukan-musuh. Akan tetapi bagian yang tenggelam tetap tak tertundukkan dan tetap berkuasa menggerakkan manusia. Bagian itulah yang menggerakkan si lelaki tua dalam “Pesta Terakhir”untuk mengkhianati teman-temannya, tanpa ketahuan, karena dia tak tahan kungkungan sel sempit padahal nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. Bagian itu juga yang menggerakkan si bapak tua yang tampak santun, seperti ayah dan suami yang bijak dalam keluarga harmonis dalam Balada Hari Hujan itu bercumbu dengan liar bersama waria.

Mari kita percaya bahwa usia mungkin mempengaruhi gairah seks, menurunkannya. Akan tetapi mari kita juga melihatnya dari sudut lain: tidakkah penurunan itu muncul karena pasangan, disebabkan satu dan lain hal, tak lagi menarik? Maka berusia muda ataupun tua, si bapak itu mungkin saja demikian andai pasangannya tidak lagi menarik dalam pandangan dia.

Terdengar tak adil memang, tetapi salah satu karakter gairah seksual pria adalah imajinasinya dominan dan dia sering kali diuntungkan patriarki untuk mencari berbagai saluran lain pemuasan imajinasi. Kasus si bapak tua itu sama dengan kasus pria impoten—secara denotatif ataupun konotatif—karena dia merasa bermasalah ketika berhubungan seksual dengan pasangannya.

Masalah itu sendiri bisa timbul karena banyak hal. Simak kutipan yang kita intip dari pikiran sang waria tentang pria tua itu, Benyamin G:

Ia masih ingat cengkeraman kencang pria itu pada leher dan bahunya yang terbuka. Jari-jari kakek yang kurus terasa tajam di daging muda yang lunak. Dengusan keras seakan mampir di telinganya lagi. Aroma musk, kayu cedar, tembakau … melintas silih-berganti. Di hotel, di taman kota, di mobil …. Sesudah kegaduhan berlalu, ia sering kesal menatap gaun dan stocking sutranya yang robek di sana-sini…

hal. 54

Suatu gambaran percintaan liar, keliaran yang tak mungkin bisa dipenuhi oleh istri pria tua itu. Secara tersirat “ketakmungkinan” itu juga tergambar dari cerita versi Ben yang mengatakan bahwa sang istri meninggal hampir sepuluh tahun lalu, setelah menderita kanker ganas bertahun-tahun. Istri sebagai mayat, istri yang tak bisa memuaskan keinginan seksual sang suami, si pria tua, Benyamin G, yang liar.

Freud suatu hari menulis: Orang-orang yang berprilaku normal, terkadang merupakan pribadi-pribadi yang sakit dalam kehidupan seksual mereka. Si pria tua adalah sosok bapak yang jinak di depan istrinya, inisial G pada sapu tangan pemberiannya mengingatkan sang waria pada milik keluarga kerajaan, ningrat, terhormat, tetapi di sisi lain dia merupakan penikmat hubungan seksual yang “gaduh”, dan hanya itu. Dengan kata lain, Benyamin hanya mengharapkan afair seksual semata untuk memenuhi imajinasinya. Lantas di akhir cerita kita mungkin merasa sedih karena dengan demikian cinta sang waria bertepuk sebelah tangan.  

3

Asal-usul cerpen konon bisa ditelusuri pada Kisah 1001 Malam: sebuah cerpen adalah kisah singkat yang bermula saat malam tiba dan berakhir saat hari baru dibuka. Maka bahkan di zaman yang sudah terpaut demikian jauh dengan tanggal tertua yang bisa dilacak dari manuskrip kisah-kisah menakjubkan itu, kita masih bisa menemukan jejak-jejak Kisah 1001 Malam dalam cerpen-cerpen yang ada dalam antologi ini, misalnya dalam cerpen “Qirzar”.

“Qirzar” adalah cerpen yang memuat nama-nama yang tak pernah kita temukan dalam obrolan sehari-hari: aqtar, qirzar, mizarpur, qabilar. Nama-nama itu mengingatkan pada nama-nama eksotis dalam Kisah 1001 Malam ataupun dongeng-dongeng modern Borges. Nama-nama itu bukanlah realitas objektif, tetapi nama-nama itu merupakan realitas yang mungkin sebagaimana demikian juga kisah tentang perang yang menjadi perangkainya.

Perang, dalam berbagai bentuknya, adalah ikhwal yang hampir selalu ada dalam cerpen-cerpen pada antologi ini. Perang bahkan dijadikan judul salah satu cerpen yang mengisahkan perang zaman Jepang di negeri ini. Dalam cerpen-cerpen itu kisah-kisah manusia tergambar dengan segala kepelikannya. Sesekali kritikan-kritikan terhadap perang itu tampak tersurat: Perang membuat orang memilih menjadi siapa saja atau apa saja. Tak peduli jadi pelacur atau nyonya. (cerpen “Perang”), Ia ingin berbicara pada pemimpin agar perang dilenyapkan dari sejarah negerinya, agar orang tak perlu menghapus semua ingatan terbaik mereka (cerpen “Qirzar”), misalnya, tetapi lebih sering tersirat ala cerpen “Joao”.  

Karena itulah pada akhirnya berbicara tentang karya sastra adalah berbicara tentang tafsir dan setiap tafsir memiliki celahnya sendiri-sendiri. Pemaknaan menggunakan Psikoanalisis Freud bisa diarahkan pada salah satu dari tiga sosok: karakter dalam teks (pendekatan objektif), karakter pengarang (pendekatan ekspresif), atau karakter pembaca (pendekatan pragmatik). Melakukan pembacaan karakter dalam teks adalah pilihan paling “aman”: ia membedah teks untuk mendapatkan pemahaman lebih dari apa yang tak dimengerti hanya dengan, katakanlah, pembacaan tingkat pertama.

Sementara pembacaan dengan pendekatan ekspresif hasilnya bisa menakjubkan tetapi sekaligus juga sebuah upaya penelanjangan pengarang yang belum tentu tepat untuk dipublikasikan ke umum selain juga validitasnya jelas bukan hal yang mudah untuk dibuktikan. Upaya ini merupakan yang paling mirip dengan bentuk sejati psikoanalisis Freud: sebuah upaya pembongkaran sublimasi pengarang, seperti upaya menjangkau ketaksadaran melalui analisis mimpi, dan kita tahu dalam publikasi penelitiannya Freud tak pernah menyebutkan identitas sosok yang dia analisis, dia hanya menyebutnya “wanita muda”, “pria muda”, “wanita tak berpendidikan”. Adapun pembacaan dengan pendekatan pragmatik mengisyaratkan sebuah penelitian model kuantitatif di mana pembaca diteliti sehubungan efek dari teks yang dimaksud. Dari sana bisa lahir keputusan tentang baik-buruknya teks tersebut berdasarkan pertimbangan tertentu yang mengingatkan kita pada Katarsis dalam terminologi Aristoteles.

Sebuah karya sastra sebagai sebuah teks, dengan mengesampingkan sastra lisan yang ilaharnya diteliti saat sudah ditransliterasi ke dalam bentuk tulisan, membutuhkan pendedahan yang semata sastrawi, pertama-tama. Maka membahas sebuah teks sastra dengan fokus pada karakter-karakter di dalamnya, misalnya, menggunakan teori Psikonalisis mendapatkan tempatnya yang paling “aman” dan lantas bisa dikonsumsi umum, dibaca siapa pun.

Dan inilah sifat pendekatan objektif yang paling mendasar: kebenaran yang tak absolut. Dengan kata lain, pengarang sekali pun tak bisa mengatakan bahwa sebuah tafsir salah ketika tafsir itu tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan saat dia membuat teks terkait. Pertama, di satu sisi adanya “tafsir  berbeda” itu menunjukkan apa yang pengarang tuliskan tak sama dengan apa yang dia pikirkan. Kedua, psikoanalisis membedah ketaksadaran, dan ilaharnya ketaksadaran maka sah saja jika tak sesuai dengan apa yang pengarang sadari.    

Paradigma—pendekatan, teori, metode—apa pun yang digunakan, pembacaan dan pemaknaan sebuah cerpen—dan juga jenis karya sastra yang lain, walau bagaimanapun, tak pernah tuntas. Malam selalu terlalu singkat, pagi selalu keburu tiba (Syahrazad dan Syahriyar harus beristirahat) dan pemaknaan yang lengkap selalu terpaksa ditunda, sementara ketika malam kembali tiba, sudah menunggu pula kisah yang lain. Di sela-sela afair, saat terang mentari yang jumlah jamnya sama dengan jumlah cerpen dalam antologi ini merujuk angka 12, jeda sebelum kita beranjak ke kisah yang selanjutnya pada 12 jam malam, barulah mungkin kita berkesempatan melengkapi makna yang luput, atau justru menemukan makna baru yang sama sekali terputus dari makna sebelumnya.

Begitulah, setiap cerpen dalam antologi Kuda Terbang Maria Pinto ini pada dasarnya adalah sebuah afair, dan setiap afair mengandung sisi menarik justru karena ia adalah afair. Setiap afair mengandung debar yang hendak ditolak tetapi sekaligus terlalu menggiurkan untuk tak dinikmati. Satu momen singkat yang mampir dalam satu kisah yang mungkin membosankan dalam bentuk penuhnya. Ia membuat hidup tetap bergairah, tetapi juga tak bisa akrab sepenuhnya dengan kita karena ketika kita baru saja melesapkan diri sepenuh gairah tanpa menahan diri, kita sudah sampai di akhir halaman. 

* Disunting ulang dari catatan penutup Kuda Terbang Maria Pinto (Yogyakarta: EA Books, 2017)

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.