1
DALAM “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility,” kritikus sastra Marxis Walter Benjamin menyinggung soal “aura” pada mode eksistensi karya seni. Dengan istilah tersebut dia merujuk karakteristik “keunikan” karya seni pada zaman kuno yang berbasis pada fungsi ritualitasnya.
Nilai unik karya seni, berbasis pada nilai guna, disebabkan oleh ketidakmungkinan penyalinan massal. Ketika teknologi kemudian membuat hal itu menjadi mungkin, “aura” yang sebelumnya dimiliki karya seni pun memudar. Perubahan mode produksi ini lantas bukan hanya mengubah pandangan tentang “keautentikan”—yang terkait erat dengan “keunikan”—sebuah karya, melainkan juga resepsi terhadap karya.
Jika resepsi terhadap karya dalam tradisi ritual menonjolkan apa yang dalam istilah Benjamin disebut nilai kultus (cult value), kutub berseberangan dalam tradisi produksi massal menonjolkan nilai ekshibisi (exhibition value). Lingkar sempit partisipan dalam tradisi ritual berubah menjadi lingkar lebih luas dalam tradisi produksi massal. Perubahan kuantitas tersebut, dikatakan oleh Benjamin, “menghasilkan jenis partisipasi baru,” perubahan kuantitas itu berkembang menjadi perubahan kualitas. Membandingkan relasi audiens dalam pementasan (era produksi terbatas) dengan dalam film (era produksi massal), dia menyimpulkan bahwa audiens film dimungkinkan untuk “mengambil posisi seorang pengkritik”.
Hal tersebut terjadi karena sementara dalam pementasan dimungkinkan audiens memiliki rasa empati terhadap aktor, dalam tayangan film empati tersebut beralih sebagai empati terhadap kamera. Sebagai “konsekuensinya, audiens mengambil posisi kamera; pendekatannya adalah pendekatan menguji.” Dengan kata lain, perubahan mode produksi akibat perkembangan teknologi itu memungkinkan reduksi empati audiens dan membangkitkan daya pikir kritis.
Teori Walter Benjamin bersesuaian dengan teater “epik” Bertolt Brecht. Tak jelas benar siapa mempengaruhi siapa dalam relasi mereka—biasa dianggap bahwa teater “epik” eksperimental Brecht menyediakan contoh bagi teorisasi Benjamin–tetapi sebagaimana disebutkan oleh Stanley Mitchell dalam pengantar terjemahan kumpulan esai Walter Benjamin, Understanding Brecht, relasi keduanya secara intelektual tidak sesederhana itu dan saling mempengaruhi.
Dalam konsep Brecht, teater epik bertujuan untuk memberikan “efek alienasi”.
Bertentangan dengan teater borjuis yang merefleksikan realitas sebagai bersifat tetap, memberikan ilusi tentang tak mungkin diubahnya realitas tersebut, dan memosisikan audiens sebagai konsumen pasif yang dengan rasa empati kehilangan penilaian kritis serta melulu menerima pertunjukan sebagai “hiburan pelarian” (escapist entertainment), teater epik justru memberikan efek alienasi antara audiens dengan pertunjukan.
Dus, jika ditarik ke karya sastra, alih-alih bertujuan memukau pembaca secara emosional sehingga daya pikirnya raib dan dia terpinga-pinga keadiluhungan sastra, capaian karya sastra justru kebangkitan daya pikir pembaca. Dalam konsep ini, sastra tidak menawarkan ilusi yang mengincar kontrol perasaan dan menumpulkan pikir, melainkan justru menjaga pembaca tetap sadar dengan menawarkan shock, kejutan.
Setiap penulis pasti memiliki kerangka teknik penulisan, baik dalam bentuk coretan-coretan visual riil ataupun dalam benak. Tulisan ini bertolak dari hipotesis kesejajaran kerangka teknik Kedung Darma Romansha dalam menulis Kelir Slindet, Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat, dan Rab(b)i dengan konsep estetika Benjamin-Brecht.
2
Kelir Slindet diterbitkan pertama kali oleh Gramedia pada tahun 2014 dan meraih penghargaan sebagai roman terbaik tabloid Nyata. Buku diterbitkan ulang Buku Mojok pada Juli 2020. Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat diterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh Indie Book Corner, pada tahun yang sama mendapat penghargaan lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa dan direkomendasikan Majalah Tempo untuk kategori prosa. Buku diterbitkan ulang Buku Mojok, November 2020. Rab(b)i diterbitkan pertama kali oleh Buku Mojok pada Juli 2020, berbarengan dengan Kelir Slindet, meski sebagaimana dicatat di akhir buku, sebagian cerita di dalamnya pernah dipublikasikan di berbagai media. Buku ini meraih penghargaan lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2020.
Membandingkan edisi awal ketiga buku ini dengan versi Buku Mojok akan menarik, terutama jika ingin melihat secara rinci perkembangan proses kreatif penulisnya. Kelir Slindet edisi Buku Mojok misalnya mungkin bisa disebut sebagai unexpurgated edition, sementara cerita-cerita dalam Rab(b)i sebagaimana dicatat oleh penulisnya “sudah mengalami revisi di beberapa bagiannya, sehingga tidak sama persis dengan versi yang dipublikasikan”. Akan tetapi tulisan ini hanya memiliki tujuan sederhana mengurai secara ringkas hipotesis yang sudah disebutkan tadi sekaligus merayakan ketiga buku tersebut alih-alih tujuan lebih rumit yang bersifat filologis.
Untuk mewujudkan tujuan sederhana itu, seiring kesadaran bahwa tulisan ini jelas bukan yang pertama sebagaimana juga bukan yang terbaik mengapresiasi ketiga buku tersebut, semua rujukan terhadap ketiganya dalam tulisan ini merujuk pada edisi Buku Mojok. Sementara itu, demi kemudahan membedah aspek-aspek intrinsik karya, secara terbatas digunakan beberapa konsep Naratologi Gérard Genette.
3
Semua Bermula dari Kelir Slindet…
Tempat kita disambut irama gendang yang mengatur putaran bokong penyanyi di panggung hiburan kampanye calon kuwu nomor urut 1, Pak Darmawan. Cikedung, 1990.
Genette (1980: 189-190), membagi fokalisasi, perspektif pengisahan, menjadi tiga, fokalisasi zero, fokalisasi internal, dan fokalisasi eksternal. Fokalisasi zero sama dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu, yakni “narator mengetahui lebih banyak daripada karakter, atau, lebih tepatnya, mengatakan lebih banyak daripada yang diketahui karakter”, sesuai dengan rumus Todorov narator > karakter. Fokalisasi internal merujuk pada “narator hanya mengatakan apa yang diketahui oleh karakter tertentu,” sesuai dengan rumus Todorov narator = karakter. Fokalisasi eksternal merujuk pada “narator mengatakan lebih sedikit daripada yang diketahui oleh karakter,” sesuai dengan rumus Todorov narator < karakter.
Tiga puluh empat bab dalam buku ini menggunakan fokalisasi eksternal kecuali bab 16, 24, dan 34. Pada tiga bab tersebut, fokalisasi eksternal (narator < karakter) berubah menjadi fokalisasi internal (narator = karakter [Didi]). Peralihan fokalisasi ditandai keterangan narator pada awal bab terkait bahwa apa yang dinarasikan setelahnya diambil dari catatan karakter Didi.
[16] Pada bagian ini, saya menyertakan catatan yang saya kulik dari tokoh Didi. Ketika saya meminta catatannya, ia sedikit malu. Hingga kemudian setelah saya memberinya penjelasan bahwa ini penting dan demi sebuah kebenaran mengenai cerita Safitri, akhirnya ia merelakannya. Tapi disebabkan tulisannya buruk dan kurang terstruktur, saya mengeditnya dengan bahasa yang mudah dimengerti. (Romansha, 2020a: 105)
[24] Diambil dari catatan Didi: (Romansha, 2020a: 149)
[34] Di bawah ini adalah catatan terakhir yang aku peroleh dari Didi. Sebetulnya masih ada lagi, tapi Didi tak mau memberikannya padaku. Karena ia sudah berjanji pada Safitri untuk tidak menceritakannya pada siapa pun. Seperti biasa catatan ini kuedit untuk memudahkan pembaca. Lagipula ia tak mau tulisan aslinya diketahui orang banyak. (Romansha, 2020a: 210).
Penjelasan narator semacam ini adalah metanaratif, yakni “kisah tentang bagaimana cara cerita yang disajikan itu muncul.” (Mullan, 2008: 178). Penggunaan metanaratif berupa penjelasan tentang pembentukan cerita sebagaimana kutipan di atas merupakan digresi atau lanturan dari narasi utama. Lanturan bisa berfungsi mencegah pembaca larut dalam narasi, sementara pendedahan bagaimana cerita terbentuk menyiratkan bahwa realitas bukan sesuatu yang terberi, hadir tanpa proses. Pengubahan realitas bisa dilakukan dengan mengubah proses itu sendiri.
Masuknya narator, yang selain pada tiga bab tersebut berada di luar cerita (extradiegetic-heterodiegetic), sebagai “Saya” dan “Aku” mengisyaratkan statusnya sebagai analog dengan status Syahrazad dalam Alfu Layla wa Layla. Dalam konsep Genette (1980: 248) tentang status narator berdasarkan level naratifnya dan hubungannya dengan cerita, status narator semacam ini adalah intradiegetic-heterodiegetic, narator derajat kedua mengisahkan cerita yang sama sekali tidak memuat dirinya. Status narator-karakter Didi sendiri adalah intradiegetic-homodiegetic, narator derajat kedua yang mengisahkan ceritanya sendiri.
Naratif Selir Klindet disajikan secara prolepsis, artinya kejadian-kejadian dalam cerita disajikan secara berurutan dari yang paling awal sampai paling akhir. Awal cerita, Prolog, bertarikh 1990, Bab 1 bertarikh 1997, dan akhir cerita, Bab 33, bertarikh Agustus 1997. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa waktu naratif (narrative time) dan waktu cerita (story time) berjalan sejajar.
Meski demikian, ada beberapa bagian tempat naratif disajikan secara analepsis atau kilas balik, misalnya kilas balik tentang masa lalu karakter Saritem pada Bab 21. Kilas balik paling penting disajikan dalam Bab 16, 24, dan 34 melalui catatan karakter Didi yang melengkapi kepingan-kepingan peristiwa naratif bab-bab sebelumnya, secara terbatas. Sebagai contoh, Bab 34 yang merupakan penutup, memberikan informasi tentang peristiwa pada malam Mapag Sri yang waktu terjadinya dikisahkan dalam Bab 12, dan dugaan tentang penanda waktu tersebut sebagai awal kehamilan Safitri, sementara kehamilan Safitri sendiri dikisahkan dalam Bab 27.
Maka tampak ada relasi antara perubahan fokalisasi pada tiga bab terkait dengan kebutuhan naratif. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, fokalisasi tiap bab selain ketiga bab tersebut adalah fokalisasi eksternal yang mensyaratkan keterbatasan pengetahuan narator. Dengan demikian, narator misalnya tidak mengetahui bagaimana lengkapnya peristiwa yang membuat Safitri hamil, narator hanya tahu itu melalui peristiwa saat Safitri manggung (Bab 27). Akan berbeda halnya jika fokalisasi yang digunakan adalah fokalisasi zero yang akan memungkinkan kisah kehamilan Safitri diceritakan secara rinci dan utuh.
Karena tuntutan fokalisasi terbatas, dibutuhkan pengetahuan lain yang kemudian disodorkan oleh narator-karakter Didi. Meski demikian, karena narator karakter Didi sendiri juga memiliki keterbatasan sebagai karakter, pengetahuan yang bisa dia sodorkan pun memiliki tipe sama dengan pengetahuan narator eksternal. Ia hanya bisa menyodorkan kepingan peristiwa yang tidak diketahui narator eksternal—sehingga bisa melengkapi pengetahuan narator eksternal—tetapi kebenaran yang dihasilkan dari pengetahuan itu hanya sampai level praduga.
Dalam bab kedua sebelum akhir, Bab 33, bertarikh Agustus 1997, dikisahkan Safitri mengenang beberapa hal, ditutup dengan adegan dia pergi dari rumah malam-malam. Setelah itu, bab terakhir memuat catatan narator-karakter Didi yang sudah diedit oleh narator eksternal. Dengan perubahan fokalisasi itu maka keterbatasan pengetahuan narator eksternal pun menjadi sah diungkapkan:
Dan sekarang yang membuatku paling terkejut, Safitri hilang. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Bersamaan dengan itu, Mukimin pun hilang entah ke mana. Orang-orang masih menyimpan tanda tanya besar, sebenarnya siapakah yang menghamili Safitri? Benarkah Mukimin? (Romansha, 2020a: 209)
“Orang-orang” dalam kutipan di atas bukan hanya merujuk karakter-karakter yang hidup dalam dunia Kelir Slindet dan kita sebagai pembaca, melainkan juga narator eksternal dan narator-karakter Didi. Tindakan menghindari fokalisasi zero menyiratkan upaya menghindari kebenaran tunggal. Jika dalam fokalisasi zero narator merupakan “Tuhan” yang maha tahu, pemegang otoritas kebenaran tunggal, maka dalam fokalisasi eksternal narator adalah juru kamera. Statusnya hanya sebatas saksi, sebagaimana ditunjukkan juga oleh keterbatasan pengetahuannya tentang kisah Safitri.
Dengan kata lain, saat tiba di pagina 213 yang menutup cerita buku ini, bukannya menarik nafas lega karena cerita usai dan alur tergambar lengkap dalam benak kita, kita justru berpikir dan merasa terganggu. Benar bahwa alur menyodorkan klimaks, tetapi ada kepingan-kepingan yang kita pikir raib baik pra- ataupun pascaklimaks. Keraiban itu mungkin merupakan bagian dari teknik penulis untuk memberikan “shock” bagi pembaca, sebagai bagian dari upaya mencegah pembaca sepenuhnya larut dalam dunia rekaan yang berpotensi memunculkan ilusi bahwa dunia rekaan tersebut adalah realitas terberi dan tak mungkin diubah.
Sambil mencatat kepingan-kepingan itu, kita bisa beranjak karena sudah menyelesaikan buku pertama.
4
…Dilanjutkan Telembuk, Perihal Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat…
Yang membawa kita ke latar Tumaritis tahun 2000, tempat kita disapa sebagai Anda oleh Saya, narator intradiegetic-heterodiegetic. Sebagaimana dalam bab 16, 24, dan 34 Kelir Slindet narator yang sama muncul mengisahkan “proses kreasi cerita” sebagai metanaratif dalam bentuk paling sederhana, demikian juga pada bab 1 buku kedua ini, dalam bentuk jauh lebih ekstrem. Setelah memberikan pembukaan menerangkan proses kreasi awal cerita dalam satu halaman penuh, fokalisasi kemudian berubah menjadi narator extradiegetic-heterodiegetic.
Dalam Telembuk, kepingan narasi lanjutan adegan kaburnya Safitri (Bab 33 Kelir Slindet, Agustus 1997) baru bisa ditemukan pada Bagian Pertama Bab 26 (Romansha, 2020c: 141). Artinya, penyajian naratif Telembuk tidak langsung bertaut dengan akhir naratif Kelir Slindet. Jika dipetakan, secara umum naratif Telembuk Bagian Pertama disajikan secara analepsis dari Bab 1 (Tumaritis, 2000)-Bab 19, dilanjutkan secara prolepsis dari Bab 20 (Cikedung 1998)-Bab 25, lalu Bab 26 (Agustus 1997)-Bab 43 secara prolepsis. Sementara untuk Bagian Kedua naratif disajikan secara prolepsis bertarikh 2005, kecuali pada beberapa bab ditemukan naratif analepsis, misalnya kilas balik kisah Mukimin di pesantren (Bab 10) penyebab Sondak dipenjara (Bab 18), atau kilas balik Safitri tentang peristiwa pemerkosaannya (Bab 23).
Buku dibagi dua bagian; Bagian Pertama bertajuk “Kisah yang Tak Selesai” terdiri dari 43 bab, sementara Bagian Kedua bertajuk “Sepenggal Kabar dari Kota Mangga” terdiri dari 29 bab. Jika dalam Kelir Slindet dilakukan eksperimen satu kali perubahan fokalisasi, dalam buku ini jumlah perubahannya meningkat drastis. Untuk lebih memudahkan, perubahan-perubahan fokalisasi berikut status narator, diurutkan berdasarkan kemunculan, bisa dirinci sebagai berikut:
BAGIAN PERTAMA
Narator (Saya) < karakter, intradiegetic-heterodiegetic: awal bab 1, 12, 38.
Narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic: setelah awal bab 1, 2-6, 8, 10-15, 17-24, 26, 29, 31-36, 39-43.
Narator = karakter (Aan), intradiegetic-homodiegetic: bab 7, 9, 16, 28.
Narator = karakter (Govar), intradiegetic-homodiegetic: bab 25, 30.
Narator = karakter (Safitri), intradiegetic-homodiegetic: bab 27, 37.
BAGIAN KEDUA
Narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic: bab 1-2, 4-9, 11, 13, 15, 17-21, 24,
Narator = karakter (Aan), intradiegetic-homodiegetic: bab 3, 12, 22, 25, 27, 29.
Narator = karakter (Mukimin), intradiegetic-homodiegetic: bab 10, 14, 26,
Narator (Saya) = karakter (Aan), intradiegetic-homodiegetic: bab 16, 22 (p. 401),
Narator = karakter (Safitri), intradiegetic-homodiegetic: bab 23,
Narator = karakter (Govar), intradiegetic-homodiegetic: bab 28,
Jika perubahan-perubahan fokalisasi ini diurutkan berdasarkan bab dari nomor paling kecil ke nomor paling besar, tampak bahwa mereka membentuk struktur cerita dengan teknik montase, menghubungkan fragmen-fragmen berbeda. Teknik montase dalam Telembuk memang pertama-tama dikembangkan memanfaatkan jumlah bab yang banyak sehingga menciptakan adegan-adegan filmis, dikombinasikan perubahan teknik naratif analepsis-prolepsis atau sebaliknya sehingga memungkinkan perubahan bukan hanya latar tempat tetapi juga latar waktu, tetapi perubahan fokalisasi berperan sangat besar dalam melengkapi potensi kedua aspek itu.
Ambil contoh Bagian Pertama Bab 1-6, meski teknik naratif prolepsis, tetapi perubahan latar, fokus cerita, dan lakuan dilakukan menggunakan perubahan bab sehingga misalnya narasi sambungan narasi Bab 1 bukanlah narasi Bab 2 melainkan Bab 4. Baru kemudian pada Bab 7 terjadi perubahan fokalisasi dari narator < karakter menjadi narator = karakter (Aan). Perubahan fokalisasi ini memungkinkan bukan hanya dinarasikannya fragmen baru yang merupakan lanturan narasi utama, melainkan juga pengenalan karakter lain (Diva Fiesta) yang dalam bab-bab sebelumnya hanya disinggung sekilas.
Teknik Montase, yang memberikan loncatan dari satu fragmen ke fragmen lain, berpotensi mendorong pembaca menjadi aktif berpikir alih-alih hanya bersikap pasif menikmati narasi seperti lazim didapatkan dari cerita dengan teknik naratif prolepsis yang saling terkait tanpa jeda.
Karena itu, dengan melakukan analogi pada teknik penyajian film, Benjamin memandang teknik montase, teknik menyambungkan hal-hal berbeda untuk mengejutkan audiens sehingga mendapatkan wawasan, sebagai “prinsip utama produksi artistik dalam era teknologi” (Eagleton, 2002: 59). Sementara saat membahas konsep tersebut, Mullan (2008: 182) mengatakan bahwa gaya naratif ini paling cocok untuk “merepresentasikan berbagai perbedaan,” meski dia juga mencatat bahwa pembaca “mesti menerima hal tersebut atas dasar kepercayaan bahwa fragmen-fragmen tersebut menyusun kesatuan.”
Dari pemetaan perubahan-perubahan fokalisasi di atas, berkaitan dengan status narator sebagai penyusun cerita yang sekaligus membagi peran-peran narator = karakter, bisa dilihat bahwa dalam Bagian Pertama ada perubahan fokalisasi (1) narator (Saya) < karakter dari status intradiegetic-heterodiegetic, di dalam cerita dengan titik tekan status penyusun cerita tanpa menjadi bagian cerita, menjadi (2) narator < karakter ekstradiegetic-heterodiegetic, di luar cerita dengan titik tekan cerita itu sendiri, tetap tanpa menjadi bagian cerita, dan menjadi (3) narator = karakter Aan. Dengan kata lain, narator Saya dengan narator Aan tampak memiliki identitas berbeda.
Namun, pada Bagian Kedua, muncul perubahan fokalisasi lain, yakni Narator Saya = karakter Aan. Dengan perubahan ini, status penyusun cerita yang dari awal, melalui metanaratif dan juga sudah tergambar dalam Kelir Slindet, disematkan pada narator Saya dalam posisi bukan bagian dari cerita (heterodiegetic), berubah menjadi bagian dari cerita (homodiegetic), karena sejak awal karakter Aan ikut ambil bagian dalam cerita.
Dilihat dari fungsinya, kemunculan narator Saya di bawah kerangka metanaratif digunakan untuk mendialogkan penyusunan cerita dengan para karakter cerita itu sendiri. Hal tersebut muncul dalam Bagian Pertama Bab 38 dan Bagian Kedua Bab 22. Dalam struktur metanaratif pada kedua bab tersebut, narator Saya (dalam Bagian Pertama Bab 38 belum diketahui identitasnya sebagai karakter Aan), diprotes oleh karakter-karakter cerita yang dia susun. Dalam Bagian Pertama Bab 38 tersebut, narator bahkan didakwa karakter Safitri menjadi narator yang tak bisa dipercaya (unreliable narrator)—dalam istilah Wayne C. Booth—atau narator yang tak memadai (inadequate narrator) dalam istilah John Mullan. Hal tersebut merujuk khusus pada kisah pemerkosaan karakter Safitri dalam kereta yang narasinya ada dalam Bagian Pertama Bab 26 dan dalam Bab 28 dikisahkan kepada narator karakter Aan oleh karakter Govar.
Karakter Safitri mengatakan bahwa “cerita ini sudah nggak sesuai dengan yang aku ceritakan, dan aku akui aku salah karena sudah berbohong dalam cerita ini.” Tentu yang dimaksud Safitri “sudah berbohong” itu adalah dalam posisinya sebagai karakter yang “direka” narator-karakter Aan. Selanjutnya karakter Safitri mengatakan:
Aku paham sampean membikin adegan ini biar keren gitulah. Biar penonton kasihan gitulah. Tapi cerita tentang aku diperkosa empat orang itu terlalu berlebihan, Mang. Terus saya keguguran gitu. memang sih pasti pembaca kasihan denganku tapi jadi aneh saja gitu. (Romansha, 2020c: 219)
Jika dikaitkan dengan informasi bahwa narator Saya = Aan yang dibuka pada Bagian Kedua Bab 16, di mana narator Aan sendiri menjelaskan kenapa dia pertama-tama membedakan antara posisinya sebagai narator di luar cerita dengan narator di dalam cerita adalah karena
saya sebagai Aan merasa tidak puas jika tidak menceritakan pengalaman batin saya pada pembaca. Karena ketika saya sebagai pencerita, saya merasa kehilangan diri saya yang lain. (Romansha, 2020c: 365).
Maka bisa dilihat bahwa motivasi narator Saya = Aan melakukan “kebohongan” perihal karakter Safitri bukan sebatas supaya ceritanya keren atau pembaca kasihan, melainkan karena sebagai karakter yang dinarasikan “jatuh cinta” terhadap karakter Safitri, ia memiliki dorongan emosional untuk berpihak pada karakter Safitri dan dengan demikian mengajak para pembaca untuk melakukan hal serupa.
Dengan demikian, satu-satunya status narator yang tak bisa dipercaya dalam Telembuk bisa dikatakan diakibatkan oleh luapan emosi. Jika dikaitkan dengan cara narator mendapatkan kisah karakter Safitri dari cerita-cerita yang dia dengar, maka bagian narator yang tak bisa dipercaya ini analog dengan bagaimana buruknya efek ketika audiens (pembaca) cerita dikuasai emosi. Efek semacam itu—penciptaan dusta, ilusi—seperti yang terjadi pada narator Saya = karakter Aan, merupakan kebalikan dari efek alienasi Benjamin-Brecht.
Lebih lanjut, struktur metanaratif juga digunakan untuk memunculkan pengarang riil, Kedung Darma Romansha, dalam struktur cerita pada Bagian Kedua Bab 22 (Romansha, 2020c: 400). Bab tersebut memuat metanaratif dengan status Aan sudah diketahui sebagai penyusun cerita. Kemunculan Kedung sendiri hanya sekadar datang menemui narator karakter Aan, tidak terjadi obrolan antara keduanya.
Teknik masuknya pengarang riil cerita ke dalam cerita dalam novel-novel lama biasa dilakukan untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita yang disajikan itu riil. Sebaliknya, kemunculan Kedung dalam cerita Telembuk justru meneguhkan kefiksian cerita. Di dalam cerita, karakter Aan diposisikan penyusun cerita, andai Kedung tidak muncul dalam cerita maka dimungkinkan membayangkan bahwa karakter Aan = Kedung, yakni karakter Aan adalah pengarang tersirat (implied author).
Ketika kemudian Aan dan Kedung muncul dalam cerita sebagai dua “karakter” yang saling mengenal, status pengarang (author)—dalam konsep Romantisisme—sebagai pemegang otoritas (authority) pun menjadi tak jelas. Kedung seolah mengolok-olok norma-norma “standar lama” penulisan cerita, sebagaimana juga dilakukan oleh narator Saya dalam beberapa kemunculannya di bawah struktur metanaratif.
Bisa ada banyak interpretasi terhadap penggunaan teknik-teknik ini, salah satunya dengan mempertimbangkan pandangan Benjamin-Brecht bahwa
pengarang terutama adalah seorang produsen (produser), analog dengan pembuat satu produk sosial lainnya. Artinya, mereka bertentangan dengan gagasan Romantis tentang pengarang sebagai pencipta (creator)—sebagai sosok seperti Tuhan yang secara misterius memunculkan hasil kriya-nya dari ketiadaan. (Eagleton, 2002: 63).
Dari petikan ini bisa disimpulkan bahwa penggunaan metanaratif dalam Kelir Slindet yang diikuti kemunculan pengarang riil (pengarang 1, Kedung Darma Romansha) sejalan dengan konsep estetika Benjamin-Brecht. Pengarang sebagai produsen menghapus mitos karya sastra sebagai semacam ilham orakel yang hadir secara misterius, tak bisa dijelaskan; “produksi karya” menyaran adanya proses, langkah-langkah yang bisa dirinci secara terukur. Metanaratif memungkinkan pengungkapan proses-proses tersebut sebagaimana ia menolak kebenaran tunggal pengarang pencipta yang seperti Tuhan.
Selain itu, dalam Telembuk, metanaratif juga tampaknya digunakan untuk kritik terhadap konsep kepengarangan umum. Cara paling mudah untuk melakukan kritik tentu dengan pertama-tama menunjukkan konsep yang akan dikritik, baru kemudian melakukan kritik langsung pada poin-poin spesifiknya. Dengan menempatkan Kedung sebagai pengarang 1 dan Aan sebagai pengarang 2, kita bisa mengandaikan bahwa ada momen ketika konsep kepengarangan Aan sama dengan konsep kepengarangan Kedung, tetapi ada juga momen ketika Aan diposisikan sebagai pemilik konsep kepengarangan yang akan dikritik oleh Kedung.
Cara membedakan dua momen itu bisa dilakukan dengan klasifikasi sederhana. Ketika metanaratif dengan Aan sebagai narator tidak digugat oleh siapa pun, atau digugat tetapi dia bisa mempertahankan diri, pada momen itu konsep kepengarangan Aan sama dengan konsep kepengarangan Kedung. Akan tetapi ketika metanaratif tersebut disela oleh salah satu karakter dan dia tidak bisa mempertahankan diri, berarti konsep kepengarangan Aan tidak disetujui oleh Kedung dan konsep Kedung pun muncul secara tersirat berupa kebalikannya. Kemunculan Kedung yang sama sekali tidak melakukan interupsi langsung hanya berfungsi menyiratkan adanya otoritas lain di atas otoritas yang dimiliki narator-karakter Aan sebagai penyusun cerita, yakni otoritas Kedung sebagai pengarang riil, sebagai produsen.
Sebagai contoh, tidak ada gangguan misalnya dalam struktur metanaratif ketika narator-karakter Aan mengolok-olok “cara membuka cerita pada Bagian Pertama Bab 1, sementara ketika karakter Safitri menggugat kenapa Sondak sebagai karakter jahat tidak mendapatkan balasan setimpal dan justru dinarasikan bertobat (gugatan ini tampaknya mengungkit aliran dongeng di mana “yang baik akan berakhir bahagia, yang jahat akan berakhir sengsara”) pada Bagian Kedua Bab 22, narator-karakter Aan bisa bertahan. Maka kita bisa menduga dalam dua poin obrolan perihal konsep kepengarangan ini Kedung sepakat dengan Aan.
Akan tetapi lain halnya dengan kritik karakter Safitri terhadap kisah bohong yang direka narator-karakter Aan tentang pemerkosaan dalam kereta yang menempatkan Aan sebagai narator yang tak bisa dipercaya pada Bagian Pertama Bab 38. Pada poin ini, pemosisian narator-karakter Aan sebagai unreliable narrator tampak ditujukan untuk mengangkat konsep kepengarangan Kedung yang berbasis konsep Benjamin-Brecht. Jika benar alasan Aan menuliskan peristiwa bohong tentang Safitri semata untuk membuat “penonton kasihan”, maka konsep kepengarangan semacam itu jelas tidak sesuai dengan konsep estetika Benjamin-Brecht yang sebaliknya bertujuan membuat penonton berpikir kritis.
Dugaan ini diperkuat juga oleh protes narator-karakter Aan atas kemunculan Govar karena menurut dia
Dengan munculnya kamu di sini itu bisa mengganggu jalannya cerita, kamu lihat, pembaca sudah mulai terhanyut, sudah ada yang nangis. Ini gara-gara kamu keluar, semua berantakan. (Romansha, 2020c: 216).
Jika narator-karakter Aan tidak setuju “empati” pembaca terganggu, maka tampaknya Kedung justru sepakat dengan gangguan itu. Pada akhirnya karakter Safitri kemudian mendapat kesempatan menarasikan “realita” sebagaimana nanti ketika karakter Safitri protes soal nasib karakter Sondak pun narator-karakter Aan kemudian mengatakan bahwa realitasnya memang demikian. Persoalan tugas pengarang adalah menyajikan realitas—dan bukan mengincar keterlibatan pembaca secara emosional—itu kemudian dikemukakan juga oleh narator-karakter Aan di akhir buku ini:
Aku tidak bisa berbohong untuk mengarang-ngarang cerita yang tidak pernah terjadi. Dan untuk hal ini aku tidak berbohong. Meskipun sebenarnya aku bisa saja mengarang untuk memuaskan pembaca. Aku bisa saja menceritakan bagaimana akhir cerita ini dengan sangat manis, tapi bagiku itu bukanlah pilihan yang tepat… Aku juga bisa mengarang-ngarang cerita supaya pembaca puas dan lega… Semua bisa saja aku karang-karang. Supaya tidur Anda nyenyak, supaya hari-hari Anda tidak dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan… (Romansha, 2020c: 435).
Dalam petikan itu kita mendengar bukan hanya suara narator Aan, melainkan juga suara Kedung Darma Romansha. Dengan sudah sepakatnya “dua pengarang” itu, maka tidak heran jika kita menemukan naratif akhir cerita yang mirip dengan akhir naratif Kelir Slindet:
Akhirnya aku harus menyimpulkan kisah ini sendiri, untuk memuaskan rasa kecewaku. Sampai di sini saja semuanya berakhir. Cerita kecil ini. Dan sebenarnya memang tidak pernah berakhir. Sebab tidak ada cerita yang sungguh-sungguh berakhir. (Romansha, 2020c: 434-435)
Petikan diambil dari paragraf ketiga sebelum akhir buku. Narator “aku” pada kutipan adalah karakter Aan yang mungkin kekecewaannya juga kita rasakan, sekaligus membuat kita urung terlena oleh cerita sebagaimana saat kita menutup buku pertama. Sambil berharap kekecewaan itu akan terobati, kita bisa beranjak ke buku ketiga…
5
…tetapi Jangan Lantas Berharap Rab(b)i adalah Akhir Cerita.
Buku ini berisi sebelas cerita—meski Daftar Isi mencantumkan 10 karena cerita 1 dan 2 ditulis tergabung menjadi satu—dengan judul buku diambil dari cerita kedua. Berdasarkan strukturnya, tampak jelas teknik montase kembali digunakan dengan lebih ekstrem daripada dalam Telembuk. Fragmen-fragmen itu bisa dibaca masing-masingnya sebagai cerita utuh, meski sebagian saling terhubung satu sama lain dan dengan cara langsung ataupun tidak langsung semuanya terhubung dengan Kelir Slindet dan Telembuk.
Bukan hanya eksperimen teknik montase yang lebih ekstrem, buku ini juga memuat eksperimen fokalisasi yang tak kalah ekstremnya. Jika dirinci maka fokalisasinya sebagai berikut:
Cerita 1 dan 2: narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic
Cerita 3: narator (Govar) < karakter, intradiegetic-heterodiegetic
Cerita 4: narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic, berubah menjadi narator = karakter (Dulatip), intradiegetic-homodiegetic, kemudian berubah lagi menjadi narator = karakter (Cartini), intradiegetic-homodiegetic
Cerita 5: narator Saya = karakter (Rasmini), intradiegetic-homodiegetic, berubah menjadi narator Aku = karakter (Sukri), intradiegetic-homodiegetic, berubah lagi ke narator = karakter (Rasmini), intradiegetic-homodiegetic, lalu berubah lagi ke narator Saya = karakter (Rasmini), intradiegetic-homodiegetic.
Cerita 6: narator Aku = karakter (Tarman), intradiegetic-homodiegetic
Cerita 7: narator < karakter, intradiegetic-heterodiegetic
Cerita 8: narator Saya = karakter (Aan), intradiegetic-homodiegetic, berubah menjadi narator Aku = karakter (Kriting), intradiegetic-homodiegetic
Cerita 9: narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic, berubah menjadi narator = karakter (Mang Kaslan), intradiegetic-homodiegetic, berubah lagi menjadi narator = karakter (Ustaz Karim), intradiegetic-homodiegetic
Cerita 10: narator Aku = karakter (Mak Dayem), intradiegetic-homodiegetic, berubah jadi narator < karakter, extradiegetic-heterodiegetic
Cerita 11: narator = karakter (Mang Kaslan), intradiegetic-homodiegetic.
Yang paling tampak dari pemetaan di atas adalah perubahan fokalisasi banyak dilakukan dalam satu cerita. Jika dalam Kelir Slindet hal sama hanya terjadi berkaitan dengan metanaratif narator Saya, sementara dalam Telembuk dilakukan senada dan perubahan dominan terjadi seiring tanda pergantian bab, maka bisa dikatakan bahwa dalam Rab(b)i eksperimen dilanjutkan dengan menerapkannya pada ruang narasi yang lebih sempit: antar bab digantikan oleh antar sub-bab.
Dalam Kelir Slindet penanda pergantian fokalisasi itu adalah narator Saya menjadi narator karakter, sementara dalam Telembuk yang melibatkan pergantian bab biasanya diberi tanda nama narator-karakter, maka dalam Rab(b)i dilakukan hal sama. Pada cerita 4 misalnya, perubahan fokalisasi menjadi narator = karakter ditandai penyematan nama karakter terkait sebagai sub-bab, sementara pada cerita 5, bagian awal dinarasikan oleh narator Saya = karakter (Rasmini), kemudian dengan teknik analepsis mundur ke 3 tahun silam, diberi penanda sub-bab 1 menjadi narator Aku = karakter (Sukri), dengan teknik prolepsis era yang sama fokalisasi berubah menjadi narator Saya = karakter (Rasmini) diberi tanda sub-bab 2, lalu dengan teknik prolepsis kembali ke terusan narasi bagian awal dengan narator Saya = karakter (Rasmini) diberi tanda pergantian sub-bab berupa simbol.
Uniknya, pada cerita 8 dan 10 muncul karakter non-human,makhluk halus, sebagai narator. Pada cerita 8, narator di bawah sub-bab 1 adalah narator Saya = karakter yang meski tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi berdasarkan beberapa petunjuk mengisyaratkan identitas karakter Aan. Lalu pada sub-bab 2 berubah menjadi narator Aku = karakter yang juga tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi berdasarkan beberapa petunjuk mengisyaratkan identitas karakter Aan. Berdasarkan narasinya juga bisa diambil kesimpulan bahwa saat itu tubuh fisik narator Aku ini adalah mayat no. 11 di kamar mayat.
Sementara pada cerita 10, semula fokalisasinya adalah narator Aku = Mak Dayem. Petunjuk mengenai statusnya sudah ditunjukkan dari awal berupa judul (“Jangan Tanya Dulu Bagaimana Aku Mati”), diperkuat lagi dengan perubahan fokalisasi di akhir yang berubah menjadi narator < karakter. Pada bagian akhir ini Kedung kembali masuk ke dalam cerita sebagai pemanggil arwah Mak Dayem. Dalam bagian ini, selain karakter Aan, tampil juga tokoh-tokoh nyata, Koto, Sunlie, dan Dea Anugerah.
Pada cerita 8, narator-karakter Aan mengisahkan bahwa ia sedang menunggu temannya, si Kriting, pulang dari Bekasi, tetapi tokoh yang ditunggu-tunggu ini tidak datang-datang. Narator makhluk halus karakter Kriting hadir sebagai jawaban untuk alasan ketidakdatangannya: ia sudah meninggal. Sementara dalam cerita 10, narator makhluk halus karakter Mak Dayem memberikan informasi kisah hidupnya, sebagian merupakan kepingan-kepingan yang selama ini belum dijelaskan dalam Telembuk.
Terlepas dari kemungkinan memperdebatkan posisi mereka sebagai reliable atau unreliable narrator (sebagian kritikus biasa memasukkan hantu ke dalam kategori unreliable narrator, meski tak ada kesepakatan umum tentang hal tersebut) sehingga nilai informasi yang mereka berikan mungkin diragukan baik sebagian atau keseluruhan, teknik ini menambah deret panjang penolakan otoritas kebenaran tunggal dalam Kelir Slindet, Telembuk, dan Rab(b)i. Hal itu tersirat juga dalam awal cerita 8:
Pos ronda ini akan membuatmu mempunyai interpretasi lain tentang dunia yang sampai saat ini kamu anggap seperti kebanyakan. Bahwa kamu melihat dunia dari kacamatamu, atau dari bisikan orang serba tahu. Tapi kamu sendiri tak benar-benar melihatnya. (Romansha, 2020b: 79)
Statemen narator-karakter Aan itu bisa dengan mudah ditarik ke fakta bahwa bahkan dia sebagai penyusun cerita pun dibatasi oleh “kacamatanya.” Hal sama berlaku juga terhadap narator-karakter Kriting: dia tidak tahu bahwa dia sudah mati. Ironisnya, kita sebagai pembaca justru tahu apa yang tidak diketahui narator-karakter Aan dan Kriting, karena sementara tidak ada komunikasi antara kedua karakter itu, kita justru melihat apa yang menimpa keduanya. Pada titik ini, pembaca justru menjadi pihak yang “serba tahu.”
Sementara pada cerita 10, narator-karakter Mak Dayem justru bisa berkomunikasi dengan karakter lain dalam cerita—dan pembaca—karena kehadirannya memang merupakan undangan. Akan tetapi bukan Kedung namanya jika memberi kepastian final, karena kemudian dalam cerita yang melibatkan dia sebagai salah satu karakter itu, dimunculkan protes Dea Anugerah (“Kalian ini apa-apaan? Musyrik! Lagian nggak ada arwah yang bisa dipanggil. Itu jin kafir,”) dan Sunlie (“Jangan diulangi lagi! Haram!”). Dua protes yang mengisyaratkan terbukanya tafsir untuk kembali memandang informasi yang diberikan oleh narator-karakter Mak Dayem terbuka untuk diragukan kebenarannya.
Selain memiliki keterkaitan narasi, secara langsung ataupun tidak langsung, dengan Kelir Slindet dan Telembuk, Rab(b)i juga masih menggunakan teknik-teknik kepenulisan sama dengan yang digunakan dalam kedua karya terdahulu itu meski dengan intensitas berbeda. Situasi-situasi yang memiliki potensi untuk dipertimbangkan ulang secara kritis juga sebagian memiliki kesejajaran dengan apa yang sudah disampaikan dalam pembahasan tentang dua karya tersebut di atas. Dalam cerita 9, misalnya, Ustaz Karim yang menolak sedekah Warjem untuk masjid hanya karena gosip bahwa Warjem adalah telembuk (dalam cerita 10 dikisahkan bahwa Warjem adalah anak Mak Dayem, germo Diva) pada dasarnya analog dengan pandangan Haji Nasir dan masyarakat terhadap Safitri sebagai anak mantan telembuk Saritem dalam Kelir Slindet.
Rab(b)i melengkapi kepingan-kepingan narasi yang masih misterius dari Kelir Slindet dan Telembuk, misalnya apa yang terjadi pada Kriting pasca-Telembuk (cerita 8), bagaimana dan siapa pembunuh Mak Dayem (cerita 10), atau lanjutan kisah Mang Kaslan (cerita 11). Akan tetapi ia dengan terang-terangan menolak baik menciptakan keutuhan cerita sepenuhnya ataupun menutupnya. Pada bagian akhir buku disediakan halaman-halaman kosong bagi “siapa pun yang ingin melanjutkan cerita”:
Tapi bagaimanapun kemungkinan tak akan menjawab lanjutan cerita ini. Bukankah setiap orang adalah pencerita bagi yang lainnya. Siapapun boleh menentukan akhir cerita ini. Kau boleh mengarang sesukamu dan boleh menentukan akhir cerita sesuai seleramu. (Romansha, 2020b: 126-127).
Bisa dikatakan bahwa “akhir” Rab(b)i tak kalah dari Kelir Slindet dan Telembuk: sangat Kedung Darma Romansha.
6
Kedung Darma Romansha mungkin penulis yang liar dan humoris, tetapi lebih dari itu dia adalah penulis yang teliti. Tiga karya yang dari segi tema saja sudah jelas tak terpisahkan dari persoalan seks disajikan tanpa kesopanan hipokrit eufemisme ataupun erotisisme berlebihan, melainkan hadir secara natural sebagai bagian dari dunia tempat karakter-karakternya tinggal. Di lain sisi, berbagai adegan—dan tentu saja spontanitas makian “kirik!”—memiliki potensi membuat pembaca tersenyum sebagaimana adegan dalam Bagian Kedua Bab 11 Telembuk ketika Mukimin dan Rukminah kehilangan celana sepaket celana dalam mereka setelah bergulat di atas rumput hutan Sinang sehingga harus pulang memakai sarung dan celana pinjaman berpotensi meningkatkan senyum itu menjadi gelak tawa.
Dalam Understanding Brecht (1966: 101), Walter Benjamin menyatakan “tidak ada titik tolak yang lebih bagus untuk menggunakan daya pikir selain gelak tawa.”
Alasan untuk hal itu, sebagaimana dikatakan oleh Eagleton (2019: 34-35), adalah karena komedi, sama seperti produksi ulang secara mekanis atau teknologis, “menghilangkan aura benda-benda yang bersifat intimidatif dan dengan demikian menarik benda-benda tersebut menjadi lebih dekat.”
Sementara itu, ketelitian Kedung terlihat jelas dari segala teknik yang digunakan dari mulai perubahan-perubahan fokalisasi, struktur montase, sampai penciptaan kesenjangan antara waktu naratif dan waktu cerita. Tanpa ketelitian, penggunaan teknik-teknik itu akan membuat logika cerita menjadi amburadul dan kepercayaan pembaca menyusut. Perubahan fokalisasi menjadi narator = karakter misalnya mensyaratkan ketelitian membangun karakterisasi, sementara struktur montase, baik dikombinasikan dengan teknik naratif prolepsis ataupun terutama analepsis, membutuhkan kepastian bahwa narasi satu karakter tidak bertentangan dengan “fakta” yang disodorkan tentang hal terkait oleh karakter lain.
Ketelitian itu juga mencakup hal-hal kecil—yang terlepas dari kekecilannya, kalau diabaikan akan lumayan merusak—termasuk misalnya pelafalan “p” untuk “f” dalam percakapan beberapa karakter. Pelafalan tersebut, tampak bukan hanya berkaitan dengan persoalan dialek lokal sehingga penggunaan dialek tersebut menunjukkan seberapa jauh pula persentuhannya dengan “dunia luar”, melainkan juga berfungsi menunjukkan tataran intelektual karakter terkait. Maka kita temukan misalnya karakter Govar dan Kriting melafalkan “Pit” sementara karakter Aan melafalkannya “Fit.”
Perubahan lafal “f” menjadi “p”, secara linguistik disebut asimilasi, digunakan pula untuk menjadi pendorong lakuan karakter Mukimin dalam Telembuk yang menggerakkan dia menuju akhir alur. Rasa penasaran untuk mendapatkan kepastian apakah “Sapitri” sama dengan “Safitri” mendorong terjadinya kecelakaan sepeda motor yang secara tidak langsung membawa dia pada pernikahan dengan Sini. Rasa penasaran sama—dengan motivasi berbeda—juga yang mendorong terjadinya kecelakaan sepeda motor menimpa Mang Kaslan pada cerita terakhir dalam Rab(b)i. Pada akhirnya, asimilasi yang tampak sepele itu, juga menjadi sarana untuk membuat kepastian tentang “akhir cerita” Safitri tetap terbuka bagi pelbagai tafsir.
Tinjauan ringkas terhadap tiga karya Kedung Darma Romansha di atas yang bertolak dari hipotesis bahwa kerangka penyusunan ketiganya mengikuti konsep estetika Benjamin-Brecht terbukti. Ringkasnya, teknik-teknik yang digunakan oleh Kedung memiliki kesesuaian dengan konsep mereka tentang capaian karya untuk membuat pembaca, mengutip Eagleton (2002: 62), “memikirkan perasaan dan merasakan dengan penuh pemikiran” alih-alih larut semata dalam perasaan.
Kesesuaian tersebut tentu akan menjadi banal jika hanya terjadi pada level teknik. Idealnya ada kesesuaian lain antara teknik yang digunakan oleh Kedung dengan potensi keberadaan perasaan yang mungkin dipikirkan dan pemikiran yang mungkin dirasakan dalam ketiga karyanya. Pada poin ini kita masuk ke dalam telaah makna yang melalui pendekatan dan jalan yang berbeda tampak sudah dilakukan juga oleh banyak pembahas lain.
Tujuan konsep estetika Benjamin-Brecht, jika dirumuskan dengan cara paling sederhana untuk implementasinya dalam ketiga karya Kedung, adalah menolak ilusi bahwa situasi tertentu dalam karya-karya tersebut adalah situasi terberi yang tak mungkin diubah. Dengan demikian, resepsi ideal pembaca setelah menyelesaikan pembacaan atas tiga karya ini bukanlah menaruh kasihan terhadap nasib Safitri yang tak lekang dari sengsara atau marah terhadap perilaku-perilaku Sondak sebelum dia bertobat (atau bahkan terhadap pertobatannya karena berharap, sebagaimana Safitri, dia berakhir sangat sengsara), melainkan bergerak maju ke pemikiran kritis mengapa situasi semacam itu bisa terjadi.
Dus, karya tidak berakhir sebagai alat penghibur seperti gendang yang iramanya mengontrol putaran bokong pada awal Kelir Slindet, tidak juga sebagai ilusi bahwa “kita sudah melakukan hal sangat baik karena menaruh simpati terhadap karakter baik yang mengalami kesusahan dan marah terhadap karakter yang terus-menerus melakukan perbuatan jahat.” Hal tersebut adalah ilusi karena pada dasarnya “orang-orang” tersebut hanya ada dalam fiksi, sementara fiksi, mengutip dialog antara narator-karakter Aan dengan Jin Hutan (Romansha, 2020c: 399) adalah “cerita karangan, yang dikarang-karang. Bohongan,” sehingga kepercayaan atasnya idealnya diarahkan pada pemosisiannya sebagai kausa yang menimbulkan efek dalam dunia riil, bukan pada pembaurannya dengan dunia riil.
Simpati terhadap nasib Safitri misalnya, jika diandaikan ada pemisah tegas antara dunia fiksi dan dunia riil, tidak akan mengubah nasib Safitri dalam dunia fiksi dan kita tidak melakukan hal baik apa pun secara riil dengan bersikap seperti itu. Sementara penarikan sikap semacam itu ke dunia riil di bawah kerangka didaktik “karya sastra sebagai risalah moral”, dalam artian kita belajar mana yang buruk dan mana yang jelek dari karya sastra, berpotensi mengembalikan “aura” karya sastra. Tentu saja tindakan semacam itu pun cenderung kenes, karena didikan perihal moral bisa didapatkan—terkadang dengan lebih mudah—dari banyak teks sumber bukan-sastra selain juga dari kehidupan riil sekitar.
Artinya, karya sastra layak memiliki peran lebih “revolusioner” dari sekadar menjadi risalah moral dalam pengertian sempit.
Maka nasib karakter Safitri misalnya—menarik bahwa melalui mulut karakter Abad Somad, Kedung membedakan antara nasib dan takdir, bahwa “takdir itu bukan wilayah manusia, wilayah manusia itu hanya di nasib” (Romansha, 2020c: 381)—bisa dilihat sebagai efek dari berbagai ketidakberesan sosial, dari mulai penghakiman buruk “nasab” Safitri yang beribu telembuk Saritem sehingga tak sebanding dengan nasab agung kiai di mata Haji Nasir, ataupun penghakiman berdasarkan poin yang sama bahwa Safitri akan mengikuti jejak ibunya di mata masyarakat yang selalu penasaran nasib orang lain,
Lalu ketika nasib seseorang itu menjadi baik, kalian kecewa karena nasib kalian jauh lebih buruk. Pasti jauh di dalam hati kalian mengatakan itu. Hanya saja kalian menyimpan itu dengan baik. Agar semua orang tahu kalian memang baik. Meskipun sebenarnya kalian iri… (Romansha, 2020c: 210).
Dengan demikian, nasib buruk Safitri sebenarnya bukan takdir, bukan sesuatu yang terberi, kokoh tak bisa diubah oleh manusia, melainkan nasib, sesuatu yang disebabkan oleh tindakan manusia dan karenanya bisa diubah pula oleh manusia. Ketika kemudian Safitri terbukti mengikuti jejak ibunya, hal itu bukan bukti bahwa nubuat Haji Nasir dan masyarakat itu sahih, melainkan justru bukti bahwa nubuat buruk itu terjadi karena ia dinubuatkan dengan malapraktik. Secara tersirat, pemilihan nama Saritem dan Safitri sendiri, sebagaimana disinggung oleh Joni Ariadinata dalam catatan penutup Kelir Slindet, sudah mengisyaratkan bahwa dari status buruk manusia (Saritem, nama lokalisasi) bisa lahir status baik manusia (Safitri, dari fitri, berasal dari fitrah yang merujuk pada kondisi kelahiran sehingga biasa diartikan suci).
Penilaian Haji Nasir dilakukan bersandar pada status sosialnya sebagai pemuka agama. Baik dalam Kelir Slindet, Telembuk, ataupun Rab(b)i banyak digambarkan hipokrisi para pemilik status sosial tinggi dalam kaitannya dengan agama, dari mulai hipokrisi karakter Musthafa yang menyuruh Safitri berjilbab dengan baik dan benar tapi sambil mencuri pandang leher jenjangnya, menasihati murid-muridnya untuk menghindari segala macam zina termasuk zina mata tetapi mengoleksi majalah mesum, Haji Nasir yang mantan pelanggan Saritem, Kaji Warta yang rajin berjamaah di masjid tetapi juga rajin nelembuk, sampai Ustaz Karim yang menolak sedekah Warjem bagi masjid hanya karena gosip bahwa Warjem adalah telembuk.
Sementara itu, perilaku jahat Sondak bermula dari status sosial dia sebagai kepercayaan Pak Darmawan yang kemudian menjadi Kuwu. Akses terhadap uang yang sebanding dengan kepuasan majikan, termasuk kemenangannya menjadi Kuwu, membuatnya melakukan tindakan dengan tolok ukur baik buruk berdasarkan seberapa puas sang majikan. Hal itu tergambar juga dari “pengakuan dosa” yang dia sampaikan ke Abah Somad, termasuk bahwa dia “mencelakakan Safitri” sampai gadis itu pergi dari kampung hanya karena dia “ingin memenangkan kampanye Kaji Darmawan” yang waktu itu bersaing dengan Haji Nasir.
Dengan demikian, perilaku Sondak bukanlah takdir, melainkan nasib. Hal semacam itu bisa diubah—dalam artian bisa dicegah terjadi pada siapa pun—dengan misalnya mengubah pandangan keliru bahwa dalam perebutan kekuasaan, tujuan menghalalkan cara. Sondak berada dalam lingkaran korban pandangan yang sudah dianggap lazim itu dan dia menyeret korban lain terutama keluarga Safitri.
Ada situasi-situasi lain dalam Kelir Slindet, Telembuk, dan Rab(b)i berupa kritik terhadap situasi yang biasa dipandang takdir padahal sebenarnya nasib, tetapi cukuplah beberapa di atas sebagai contoh. Dari situ bisa dikatakan bahwa konsep estetika Benjamin-Brecht yang Kedung praktikkan melalui ketiga karya dia memungkinkan resepsi pembaca berada dalam sungkup efek alienasi sehingga melampaui resepsi emosional atau moralis sempit belaka.
Implementasi beragam teknik tersebut sedikit banyak menunjukkan pula seberapa jauh perjalanan dalam dunia kepenulisan sudah Kedung tempuh. Sebagai penulis, ia tampaknya cukup kontemporer untuk sadar bahwa norak adanya bila mencoba menjadi Poedjangga adiluhung yang menyepi di puncak gunung demi menyematkan “aura karya” dan menulis tanpa peduli tulisannya dibaca manusia atau hanya dia bacakan sebagai monolog di hadapan hanya batu, pohon, dan rumputan pada zaman ketika pascamodernisme sastra di luar sana bahkan sudah dilibas oleh Ketulusan Baru (New Sincerity). “Aura” karya sastra sudah digusah oleh perkembangan teknologi produksi massal sehingga melap-lap konsep sastra adiluhung yang sudah usang adalah semacam ilusi.
Zaman kontemporer memperanakkan karya sastra sebagai sebuah panggung tempat pembaca berbaur akrab dengan pengarang tanpa harus membungkuk-bungkuk dan membawa sesajen, karena sastra diperuntukkan manusia, memuat aspek “revolusioner” yang hanya mungkin diperoleh melalui kombinasi rasa dan rasio. Teknik-teknik komposisi ketiga karya ini—struktur montase, perubahan fokalisasi, metanaratif, prolepsis dan analepsis—yang mencegah pembaca menggapai fase ekstase menyaran pada capaian pembauran dan kombinasi semacam itu.
Karena itu, setelah berangkat bersama Benjamin dan Brecht, menenggak metanaratif yang dioplos prolepsis dan analepsis, lalu dangdutan dalam iringan musik fokalisasi polifonik, dengan akrab dia mengundang riuh pembaca untuk ikut berjoget merayakan rasa tanpa melepaskan rasio: bukankah joget hanya sendirian itu analog dengan kesunyian paling sepi milik Poedjangga delusif yang mencoba menolak perkembangan zaman dengan berperilaku khayali seolah dia masih hidup sebagai pemangku kebenaran tunggal pada zaman kuno melalui karya aura adiluhung?
Dengan menyambut riang ajakan untuk ikut merayakan keriuhan tiga karya sastra selaras zaman tersebut, tulisan singkat ini pun ditutup. Salam.
Jogja, Komunitas Imajiner, 11:24 p.m., 11-12-2020.
Referensi
Benjamin, Walter. 1936. “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility,” dalam The Norton Anthology of Theory & Criticism (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2018), p. 976-996.
– 1966. Understanding Brecht. London: Verso.
Brecht, Bertolt. 1974. On Theatre: The Development of an Aesthetic. London: Eyre Methuen.
Eagleton, Terry. 2002. Marxism and Literary Criticism. London: Routledge.
– 2019. Humour. New Haven: Yale University Press.
Genette, Gérard. 1980. Narrative Discourse: An Essay in Method. Ithaca: Cornell University Press.
Mullan, John. 2008. How Novels Work? New York: Oxford University Press, Inc.
Romansha, Kedung Darma. 2020a. Kelir Slindet. Yogyakarta: Buku Mojok.
– . 2020b. Rab(b)i. Yogyakarta: Buku Mojok.
– . 2020c. Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat. Yogyakarta: Buku Mojok.