Malam Pernikahan Kedua

Henry Rider Haggard

Jejak-jejak kaki—jejak-jejak kaki—jejak-jejak kaki orang mati. Betapa mengerikan jejak-jejak kaki itu terlihat saat mereka tampak di depanku! Naik turun lorong panjang, dan aku mengikuti jejak-jejak kaki itu. Pit, pat jejak-jejak itu hadir, langkah-langkah tidak wajar itu, dan di bawah mereka muncul kesan mengerikan itu. Aku bisa melihatnya muncul di atas marmer, sesuatu lembap dan mengerikan.

Injak jejak-jejak kaki itu; injak jejak-jejak kaki itu menuju ke luar; ikuti mereka dengan sepatu berlumpur, dan tutupi mereka. Dengan sia-sia. Lihat bagaimana mereka muncul menembus lumpur! Siapa yang bisa menginjak jejak-jejak kaki orang mati?

Begitu seterusnya, naik turun pemandangan masa lalu samar-samar, mengikuti suara kaki-kaki orang mati yang berkeliaran begitu gelisah, mencapkan kesan yang tak akan terhapus. Selamat datang, angin liar, suara kekal kesengsaraan manusia; muncullah, langkah-langkah kaki orang mati, gema kekal memori manusia; capkanlah, kaki-kaki lumpur; capkanlah ke dalam kelupaan sesuatu yang tak akan dilupakan.

Dan seterusnya, sampai akhir.

*

Sungguh gagasan-gagasan indah bagi seorang pria yang akan menikah, terutama ketika gagasan-gagasan itu melayang ke dalam benaknya pada malam hari seperti awan yang tak menyenangkan melayang ke langit musim panas, dan dia akan menikah esok hari. Tak ada kesalahan tentang itu—pernikahan itu maksudku. Jelas dan nyata, mengapa ada kado-kado, atau sebagian kado, dan kado-kado itu sangat indah, disusun dalam barisan syahdu di atas meja panjang. Merupakan hal luar biasa untuk diamati ketika seseorang akan menjalani pernikahan yang benar-benar memuaskan, bagaimana banyak teman yang tidak terduga atau terlupakan muncul dan mengirimkan sedikit tanda hormat mereka. Sangat berbeda ketika aku menikahi istri pertamaku, aku ingat, tetapi kemudian pasangan itu tidak berlangsung memuaskan—hanya pasangan cinta, tidak lebih.

Kado-kado itu hadir dalam barisan syahdu, seperti yang telah aku katakan, dan mengilhamiku dengan pikiran-pikiran indah tentang kebaikan bawaan sifat manusia, terutama sifat manusiawi para sepupu jauh kita. Mungkin saja seseorang yang akan menikah esok hari mendadak hampir puitis tentang teko perak. Tentang berapa banyakkah pagi di masa depan aku akan menghadapi teko perak itu? Mungkin sepanjang hidupku; dan di sisi lain teko akan ada stoples krim, dan teko listrik akan mendesis di belakang keduanya. Juga tempat gula berukir akan ada di depan, penuh gula, dan di belakang semua itu ada istri keduaku.

“Sayangku,” begitu dia akan berkata, “mau nambah tehnya?” Dan mungkin aku akan meminum segelas teh lagi.

Yah, sangat penasaran mengamati gagasan-gagasan apa yang kadang-kadang muncul dalam kepala pria. Kadang-kadang sesuatu mengayunkan tongkat sihir ke atas dirinya, dan dari relung jiwanya hal-hal yang redup pun bangkit dan berjalan. Pada saat-saat tak terduga mereka datang, dan dia menjadi sadar akan persoalan-persoalan kehidupan misteriusnya, dan hatinya bergetar dan menggigil seperti pohon disambar petir. Dalam cahaya suram itu semua hal duniawi tampak jauh, dan semua hal yang tak kasat mata mendekat, menunjukkan bentuk, dan membuatnya kagum, dan dia tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, dia juga tidak bisa melacak tepi yang memisahkan Roh dari Kehidupan. Maka langkah-langkah kaki itu pun bergema dan jejak-jejak kaki hantu itu tidak akan terhapus.

Pikiran-pikiran indah lagi! Dan betapa gigihnya mereka datang! Ini pukul satu dan aku akan tidur. Hujan turun dengan sangat lebat di luar. Aku bisa mendengarnya memukul-mukul kaca jendela, dan angin bertiup melalui pohon-pohon elm basah yang tinggi di ujung kebun. Aku bisa mengenali suara pohon-pohon elm itu di mana pun; aku mengetahuinya sebagaimana suara seorang teman. Sebuah malam yang betapa; kita terkadang memiliki malam-malam seperti ini di belahan Inggris ini pada bulan Oktober. Persis pada malam semacam itu pula istri pertamaku meninggal, dan itu terjadi tiga tahun lalu. Aku ingat bagaimana dia duduk di tempat tidurnya.

“Ah! Pohon-pohon elm yang mengerikan itu,” kata dia, “kuharap kau akan menebangnya, Frank; mereka menangis seperti seorang wanita,” dan aku menjawab bahwa aku akan melakukannya, dan tak lama setelah itu dia meninggal, sayangku yang malang. Dan begitulah pohon-pohon elm tua itu tugur, dan aku suka musik mereka. Ini adalah satu hal aneh; aku setengah patah hati, karena aku sangat mencintainya, dan dia mencintaiku dengan segenap hidup dan kekuatannya, dan kini—aku akan menikah lagi.

“Frank, Frank, jangan lupakan aku!” Itu adalah kata-kata terakhir istriku; dan, memang, meskipun aku akan menikah lagi besok, aku tidak melupakannya. Aku juga tidak melupakan bagaimana Annie Guthrie (yang kini akan aku nikahi) datang mengunjunginya sehari sebelum dia meninggal. Aku tahu Annie kurang lebih selalu menyukaiku, dan aku pikir istriku tercinta juga bisa menebak hal itu. Setelah dia mencium Annie dan mengucapkan selamat tinggal padanya untuk terakhir kali, dan pintu telah tertutup, dia tiba-tiba berkata, “Itu dia calon istrimu, Frank,” kata dia; “Kamu seharusnya menikahi dia dulu dan bukan aku; dia sangat cantik dan dia akan hidup dua ribu tahun; dia tidak akan pernah meninggal karena penyakit saraf.” Dan dia tertawa kecil, lalu menambahkan:

“Oh, Frank sayang, aku ingin tahu apakah kamu akan memikirkanku sebelum kamu menikahi Annie Guthrie. Di mana pun aku berada, aku akan memikirkanmu.”

Dan kini saat yang dia ramalkan telah tiba, dan Langit tahu bahwa aku memikirkannya, sayangku yang malang. Ah! Langkah-langkah kaki orang mati yang akan bergema sepanjang hidup kita itu, jejak-jejak kaki wanita itu di lantai marmer yang tidak akan terhapus. Sebagian besar dari kita telah mendengar dan melihat jejak-jejak kaki itu pada satu dan lain waktu, dan aku mendengar dan melihat jejak-jejak kaki itu sangat jelas malam ini. Istri malang yang sudah meninggal, aku ingin tahu apakah ada pintu di negeri yang dulu telah kamu lalui yang bisa kamu lewati untuk melihatku malam ini? Aku harap tidak ada. Kematian memang pasti sebuah neraka jika orang mati bisa melihat, merasakan dan mengukur ketidaksetiaan kekasih mereka yang melupakan. Baiklah, aku akan tidur dan mencoba beristirahat sejenak. Aku tidak begitu muda atau sekuat aku dulu, dan pernikahan ini membuatku lelah. Aku harap semuanya usai atau sekalian saja tidak pernah dimulai.

*

Apa itu tadi? Itu bukan angin, karena angin tak pernah berbunyi seperti itu di sini, dan itu bukan hujan, karena hujan telah berhenti tercurah sesaat; juga bukan lolongan anjing, karena aku tidak memelihara anjing. Itu lebih mirip suara tangisan wanita; tetapi wanita mana yang mungkin berada di luar pada malam seperti ini atau pada jam seperti ini—pukul setengah satu dini hari?

Bunyi itu lagi—bunyi mengerikan; bunyi itu membuat darah membeku, tapi ada sesuatu yang akrab tentangnya. Itu suara seorang wanita memanggil di sekitar rumah. Itu dia sekarang di jendela, dan menggetarkannya, dan, demi langit! Dia memanggilku.

“Frank! Frank! Frank!” dia memanggil.

Aku berusaha menggerakkan dan membuka jendela itu, tetapi sebelum aku bisa sampai di sana, dia mengetuk dan memanggil di jendela lain.

Hilang lagi, bersama ratapan mengerikannya “Frank! Frank!” Kini aku mendengarnya di pintu depan, dan, setengah gila karena rasa takut yang mengerikan, aku berlari menyusuri lorong panjang dan gelap itu dan membuka palang pintu. Tidak ada apa pun—tidak ada apa pun selain deru angin yang liar dan tetesan hujan dari teritis. Akan tetapi aku bisa mendengar suara ratapan di sekitar rumah, dari balik semak belukar. Aku menutup pintu dan mendengarkan. Di sana, dia telah melintasi halaman sempit, dan sekarang berada di pintu belakang. Siapa pun itu, dia pasti tahu jalan di sekitar rumah ini. Aku kembali pergi melintasi aula, melalui pintu ayun, melewati aula para pelayan, menuruni beberapa anak tangga ke dapur tempat api masih menyala di perapian, menyebarkan sedikit kehangatan dan cahaya ke dalam kegelapan pekat.

Siapa pun yang ada di pintu sekarang mengetuk kayu keras dengan kepalan tangan, dan luar biasanya meskipun dia mengetuk sangat pelan tetapi suara ketukannya bergema melintasi dapur yang kosong.

*

Aku berdiri di situ dan ragu-ragu, seluruh anggota tubuhku gemetar; aku tidak berani membuka pintu. Tidak ada kata-kataku bisa menyampaikan rasa hampa total yang menguasaiku. Aku merasa seolah-olah aku adalah satu-satunya orang yang hidup di seluruh penjuru dunia.

Frank! Frank!” Teriak suara itu dengan nada mengerikan yang akrab di dalamnya. “Buka pintunya; aku sangat kedinginan. Aku hanya punya sangat sedikit waktu.”

Hatiku membeku, tetapi tanganku dipaksa patuh. Pelan-pelan, pelan-pelan aku mengangkat gerendel dan membuka palang pintu, dan, setelah aku melakukannya, aliran udara yang besar merenggut pintu dari tanganku dan membukanya lebar-lebar. Awan hitam telah pecah sedikit di atas sana, dan ada sepetak langit biru yang diguyur hujan dengan hanya satu atau dua bintang berkerlipan di sana. Selama sesaat aku hanya bisa melihat sedikit langit ini, tapi perlahan-lahan aku melihat bentuk biasa pohon-pohon besar yang berayun-ayun menantang langit dan garis kaku dinding kebun di bawahnya. Kemudian sehelai daun berpusing tepat menghantam wajahku dan secara naluriah aku mengalihkan pandangan ke sesuatu yang masih belum bisa kulihat jelas—sesuatu yang kecil, hitam, dan basah.

“Kamu apa?” Aku terkesiap. Entah bagaimana aku merasa bahwa itu bukan seseorang—aku tidak bisa mengatakan, Siapa kamu?

“Kamu tak mengenaliku?” ratap suara itu dengan nada yang terasa akrab. “Dan aku tak mungkin masuk dan menunjukkan diriku. Aku tak punya waktu. Kamu lama sekali membuka pintu, Frank, dan aku sangat kedinginan—oh, sangat dingin! Lihat, bulan muncul, dan kamu akan bisa melihatku. Aku kira kamu ingin melihatku, sebagaimana aku sangat ingin melihatmu.”

Saat sosok itu berbicara, atau lebih tepatnya meratap, sinar bulan berusaha menembus udara berair dan menyinarinya. Sosok itu pendek dan menyusut, sosok seorang wanita kecil. Juga berpakaian hitam dan mengenakan tudung hitam menutupi seluruh kepala, menyelubunginya, seperti model tudung pengantin. Dari setiap bagian tudung dan pakaian ini tetes-tetes air berjatuhan deras.

Sosok itu membawa keranjang kecil dengan lengan kirinya, dan tangannya—tangan kecil kurus kering menyedihkan—berkilauan putih tertimpa sinar bulan. Aku perhatikan di jari ketiga ada garis merah, menunjukkan pernah ada cincin kawin di sana. Tangan satunya direntangkan kepadaku seolah-olah memohon.

Semua ini aku lihat dalam sekejap, kebetulan, dan ketika aku melihatnya, kengerian tampaknya mencekam tenggorokanku seolah-olah ia adalah makhluk hidup, karena suaranya familier, begitu pula bentuknya, meskipun halaman gereja telah menerimanya bertahun-tahun silam. Aku tidak bisa berbicara—aku bahkan tidak bisa bergerak.

“Oh, apakah kamu belum mengenaliku?” ratap suara itu; “padahal aku datang dari jauh untuk mengunjungimu, dan aku tidak bisa berhenti. Lihat, lihat,” dan dia dengan tergesa-gesa mulai menyingkap tudung hitam yang menyelimutinya menggunakan tangan kurusnya yang menyedihkan. Akhirnya tudung itu terlepas, dan, seperti dalam mimpi, aku melihat sesuatu yang dengan cara beku yang samar-samar aku duga akan kulihat.—Wajah putih dan rambut kuning pucat istriku yang sudah meninggal. Tidak bisa berbicara atau bergerak, aku menatap dan menatap. Tak salah lagi, itu dia, ya, bahkan seperti terakhir kali aku melihatnya, putih dengan putihnya kematian, dengan lingkaran ungu di sekitar matanya, dan kain kafan di bawah dagunya. Hanya sepasang matanya terbuka lebar dan menatap wajahku, dan seikat rambut kuning lembut terjatuh, lalu diterbangkan angin.

“Kau mengenaliku kini, Frank—ya, kan, Frank? Sangat sulit untuk datang menemuimu, dan sangat dingin! Tapi besok kamu akan menikah, Frank; dan aku sudah berjanji—oh, dulu sekali—untuk memikirkanmu ketika kamu akan menikah di mana pun aku berada, dan aku telah menepati janjiku, dan aku telah datang dari tempatku kini sambil membawa kado. Mati saat masih sangat muda itu pahit! Aku masih sangat muda untuk mati dan meninggalkanmu, tapi aku harus pergi. Ambillah—ambillah; cepat, aku tak bisa tinggal lebih lama lagi. Aku tak bisa memberimu hidupku, Frank, jadi aku membawakan untukmu kematianku—ambillah!

Sosok itu menyodorkan keranjang ke tanganku, dan saat itu hujan turun lagi sehingga mulai mengaburkan cahaya bulan.

“Aku harus pergi, aku harus pergi,” lanjut suara yang mengerikan dan familier itu, disertai tangisan putus asa. “Oh, kenapa kamu lama sekali membuka pintu? Aku ingin bicara denganmu sebelum kamu menikah dengan Annie; dan kini aku tidak akan pernah melihatmu lagi—tidak akan pernah! Tidak akan pernah! Tidak akan pernah! Aku telah kehilangan kamu untuk selamanya! Selama-lamanya! Selama-lamanya!

*

Saat nada ratapan terakhir menghilang, angin berembus terburu-buru dan berputar dan menyapu seperti seribu sayap, lalu melemparkanku kembali ke dalam rumah, menutup pintu dengan keras sampai menimbulkan bunyi nyaring di belakangku.   

Aku terhuyung-huyung masuk ke dapur, keranjang di tanganku, dan aku meletakkannya di atas meja. Saat itu beberapa bara api jatuh, dan nyala api kecil samar muncul dan memantulkan kilauan pada piring-piring di lemari, bahkan memperlihatkan kandil timah, dengan sekotak korek api di sampingnya. Aku hampir gila karena kegelapan dan ketakutan, dan, menyambar korek api, aku menyalakannya satu lalu menyalakan lilin. Kini terang, dan aku memandang sekitar ruangan. Tak ada yang berubah, persis seperti ketika para pelayan meninggalkan ruangan itu, dan di atas perapian, jam dinding yang harus diputar sepekan sekali terus berdetak. Sementara aku melihatnya, ia berdentang dua kali, dan dengan cara yang samar aku berterima kasih atas suaranya yang ramah.

Lalu aku menatap keranjang itu. Keranjang itu karya anyaman putih yang sangat halus dengan lingkaran pita hitam di atasnya, dan pegangan kotak-kotak hitam putih. Aku sangat mengenal keranjang itu. Aku belum pernah melihat keranjang lain sepertinya. Aku membelinya bertahun-tahun silam di Madeira dan memberikannya kepada istriku yang malang. Akhirnya keranjang itu tersapu ke laut dalam badai di Selat Irlandia. Aku ingat keranjang itu penuh koran dan buku perpustakaan, dan aku harus menggantinya. Sering sekali aku melihat keranjang yang sama berada di sana di atas meja dapur itu, karena istriku tercinta selalu menggunakannya untuk tempat bunga, dan jalan terpendek dari bagian kebun tempat mawarnya tumbuh adalah melalui dapur. Dia biasa mengumpulkan bunga, kemudian masuk dan meletakkan keranjangnya di atas meja, tepat di tempat keranjang itu sekarang, dan menyuruh makan malam disiapkan.

Semua ini terlintas dalam benakku selama beberapa detik ketika aku berdiri di sana sambil memegang lilin, merasa benar-benar setengah mati, tetapi dengan pikiran yang sayangnya hidup. Aku mulai bertanya-tanya apakah aku telah tertidur dan menjadi korban mimpi buruk. Mana ada. Aku harap itu hanya mimpi buruk. Seekor tikus berlari melintasi lemari dan melompat ke lantai, menimbulkan bunyi yang cukup keras memecah kesunyian.

Apa yang ada dalam keranjang itu? Aku takut melihatnya, tetapi ada semacam kekuatan dalam diriku memaksaku melihatnya. Aku mendekat ke meja dan berdiri sejenak mendengarkan suara hatiku sendiri. Lalu aku mengulurkan tanganku dan perlahan mengangkat tutup keranjang.

“Aku tidak bisa memberimu hidupku, jadi aku membawakan untukmu kematianku!” Begitu dia berkata. Apa yang mungkin dia maksudkan—apa mungkin arti semua ini? Aku harus tahu atau aku akan menjadi gila. Apa pun itu maka ia tergeletak di dalam keranjang terbungkus kain linen.

Ah, langit tolonglah aku! Itu tengkorak manusia kecil yang dikelantang!

*

Sebuah mimpi! Bagaimana pun, hanya mimpi di dekat perapian, tapi mimpi luar biasa! Dan aku akan menikah esok hari.

Mungkinkah aku menikah esok hari?

Sumber: “Only A Dream”, dalam The Thrill of Horror: 22 Terrifying Tales (New York: Taplinger Publishing CO., Inc., 1975), hal. 2-7.  

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.