Ilusi-Ilusi Sigmund Freud

1

PADA tahun 1928, Die Zukunft einer Illusion anggitan Freud diterjemahkan untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris oleh W. D. Robson-Scott menjadi The Future of an Illusion, diterbitkan sebagai edisi ke-15 International Psychoanalytical Library setebal 98 pagina. Penyair sekaligus kritikus sastra TS Eliot membaca terjemahan buku tersebut kemudian menuliskan ulasannya.

Buku tersebut bukan pertemuan pertama T.S. Eliot dengan Freud. Sejak tahun 1916 dia sudah berkali-kali menyinggung nama Freud dalam tulisannya. Tulisannya yang mulai membahas Freud agak panjang bermula dengan tulisannya dalam bahasa Prancis berjudul Le Roman Anglais Contemporain, dimuat dalam makalah sastra La Nouvelle Revue Francaise pada tahun 1927.

Dalam tulisan yang sempat hilang dokumentasinya itu T.S. Eliot memperbincangkan pengaruh “munculnya (ajaran) Freud” terhadap novel (dan novelis) kontemporer. Dia ada dalam posisi tidak menyetujui konsepsi psikoanalisis tentang sastra dan memberikan penilaian negatif atas karya-karya D.H. Lawrence yang terkemudian—sebagai seorang novelis yang berada di bawah bendera Psikoanalisis, meski sebenarnya D.H. Lawrence juga mengkritik beberapa poin pemikiran Freud sebagaimana bisa dibaca dalam Psychoanalysis and The Unconscious dan Fantasia of the Unconscious—sebagai “dangkal”.

Benih ketaksetujuan T.S. Eliot pada konsepsi Freud kian mengemuka dalam ulasannya atas The Future of an Illusion. Ulasan dimuat dalam jurnal The Criterion: A Literary Review edisi 8 Desember 1928, halaman 350-353. Dari ulasannya tampak bahwa T.S. Eliot sepenuhnya tak setuju dengan “pandangan Freud tentang masa depan Agama”. Ulasannya sangat pedas, tapi sebagaimana lazim dalam tulisan-tulisannya yang lain, Eliot menyajikannya dengan kenyinyiran yang mungkin menjengkelkan Freudian meski bukan berarti tak menarik untuk didiskusikan.

Terjemahan atas ulasan itulah yang disajikan berikut ini.

2

TAK DIRAGUKAN lagi buku ini adalah salah satu buku paling aneh dan menarik pada saat ini: ikhtisar singkat pandangan Dr. Freud tentang masa depan Agama. Sukarlah bagi kita untuk menyifatinya dengan apa pun selain kata ingkar: buku ini tak memiliki hubungan apa pun dengan masa lalu atau masa kini agama, dan juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan, sejauh yang bisa saya lihat, masa depan agama. Ia tajam tetapi bodoh; kebodohan muncul tidak terlalu banyak dalam penolakan historis atau kekurangan simpati terhadap sikap religius dibandingkan dalam ketakjelasan verbal dan ketakmampuan berpikir sehat. Buku ini memberikan persaksian terhadap fakta bahwa sang genius dalam ilmu pengetahuan eksperimental tidaklah mesti sama dengan sang genius dalam logika atau kekuatan menggeneralisasikan.1Dalam sebuah surat untuk I.A. Richards bertarikh 9 Januari 1929, TS Eliot menulis bahwa Freud “berurusan dengan subjek yang pengetahuannya sendiri tentang subjek itu tidaklah relevan…Kesulitan-kesulitan utama dia dalam buku ini sama sekali tidaklah tampak bagi saya sebagai kesalahan-kesalahan psikologis melainkan kesalahan-kesalahan logika dan epistemologi” (L4 379).

Apa yang bolehlah kita sebut sebagai kepolosan Dr. Freud tertampak hampir pada halaman awal:

Kebudayaan manusia—dengan terminologi tersebut saya maksudkan seluruh ihwal yang dengannya kehidupan manusia telah mengangkat dirinya sendiri pada posisi di atas kondisi-kondisi hewani dan dengannya ia berbeda dari kehidupan hewan-hewan buas, dan saya tidak menyetujui pemisahan budaya dan peradaban—menyajikan, sebagaimana sudah diketahui, dua aspek bagi penelaah. Di satu sisi ia mencakup seluruh pengetahuan dan kekuatan yang mesti dibutuhkan manusia untuk menguasai kekuatan-kekuatan alam dan menguasai sumberdaya-sumberdaya dari alam demi terpuaskannya kebutuhan-kebutuhan manusia; dan di sisi lain ia mencakup seluruh aturan yang diperlukan untuk mengatur hubungan satu manusia dengan yang lainnya, dan khususnya mencakup aturan yang memungkinkan distribusi kekayaan yang bisa diperoleh. (8-9)

Pasase ini tampak sebagai jalan setapak sebuah definisi; bagaimanapun juga pasase ini mendekati definisi “kebudayaan” sebagaimana yang kita punya. Dengan janggalnya ia tidaklah memadai dan bahkan berputar-putar. Kebudayaan manusia adalah “seluruh ihwal” yang dengannya kehidupan manusia berbeda dari kehidupan barbar, kita diberitahu itu; tetapi tentu saja apa yang pertama-tama mesti kita pertanyakan, untuk mendefinisikan kebudayaan manusia, adalah dengan cara apa manusia berbeda dari hewan. Lantas kebudayaan manusia “mencakup” pengetahuan dan kekuasaan; kita dibiarkan berada dalam keraguan seperti misalnya tentang apakah “mencakup” bermakna “sama dengan” atau mungkin bermakna “tergantung pada”. Pengetahuan dan kekuasaan memenangkan sumberdaya dari alam demi terpuaskannya kebutuhan-kebutuhan manusia, tetapi apa yang tepatnya ingin kita ketahui adalah apakah kebutuhan-kebutuhan manusia itu, sebelum kita bisa banyak mengetahui tentang kebudayaan. Pada akhirnya, kebudayaan manusia juga “mencakup” sesuatu yang tampak berarti pengaturan politis dan ekonomis. Ini tidak terlalu menjelaskan; dan jika semua itulah yang merujuk pada kebudayaan dan peradaban, maka kebudayaan dan peradaban tidaklah banyak berarti. Sejauh ini karena kebudayaan bermakna pengaturan sosial belaka, maka kata-kata Dr. Freud selanjutnya, karena kebutuhan untuk mempertahankan kebudayaan dari individu, cukuplah pantas. Akan tetapi ini membawanya pada pandangan bahwa kebudayaan dan peradaban selalulah “dipaksakan” oleh yang sedikit terhadap yang banyak—yang mana hal itu hanya bisa dimengerti jika kita meneruskan membatasi kebudayaan pada pemeliharaan hukum dan tata tertib, dan bertindak demikian sama sekali tidak benar. Akan tetapi kita sangat dibingungkan pada halaman selanjutnya (11) saat kita membaca bahwa

Orang pertama-tama menganggap bahwa esensi kebudayaan terletak pada penaklukan alam demi sarana menopang kehidupan, dan pada penghilangan bahaya-bahaya yang mengancam kebudayaan melalui distribusi yang sesuai untuk hal-hal tersebut di kalangan umat manusia…

Jika orang sungguh berpikir bahwa esensi kebudayaan mengada dalam penghapusan bahaya-bahaya yang mengancam kebudayaan, maka mestilah ada sesuatu yang sangat keliru pada kekuatan-kekuatan untuk berpikir sehat pada orang itu. Saya bisa merasakan kebingungan ketika membaca rentetan argumen semacam itu. Dan sepanjang bab pertama ini, orang merasakan kesan bahwa manusia yang sungguh berkebudayaan dan berperadaban adalah Polisi yang  sangat mangkus. Dr. Freud mengamati sambil menarik nafas bahwa “mungkin sekian presentase umat manusia…akan selalu asosial” (14). Kata “asosial” mungkin memiliki semacam makna psikologis dalam di luar pemahaman saya; tetapi tampak bagi saya bahwa beberapa kontribusi terhadap sesuatu yang saya sebut peradaban sudah diberikan oleh orang-orang soliter atau pemberontak.

Gagasan Dr. Freud yang mengherankan tentang kebudayaan terus membesar. Selanjutnya kita mendengar bahwa “merupakan tugas utama kebudayaan, raison d’etre yang nyata, untuk membela kita melawan alam”; dan kembali kita tidak diberitahu soal apakah kita itu dan apakah alam itu (26). Akan tetapi “kelestarian umat manusia melawan alam” merupakan “tugas umum yang agung” (27). Tentunya Dr. Freud memiliki semacam personifikasi suram tentang dewi Alam yang marah ini di balik pikirannya. Saya melewati sejumlah hal yang bagi saya tampak sebagai istilah-istilah psikologis yang menyembunyikan satu ruang hampa belaka, seperti “super ego manusia,” yang merupakan “satu fungsi mental khusus”—dengan kata lain, makhluk-makhluk astral Dr. Freud yang lainnya (18). Tesis utamanya tampaknya adalah ini: penyelidikan ini tidaklah berhubungan dengan nilai doktrin-doktrin agama sebagai kebenaran; melainkan “dianggap secara psikologis” bahwa mereka adalah ilusi (57). Bagian pertama tesis ini mesti berarti, jika ia memang memiliki arti, bahwa Freud tidak tertarik dengan kebenaran gagasan-gagasan religius, atau dengan realitas “objek-objek” religius; tetapi saya gagal memahami bagaimana mereka bisa menjadi ilusi dalam pengertian “psikologis” tanpa menjadi ilusi-ilusi secara murni dan sederhana. Pembedaan antara kebenaran psikologis dan kebenaran biasa semacam itu jauh terlalu bagus untuk dipahami oleh pikiran sehat saya. Sungguh, saya yakin bahwa bagi Freud sendiri demikian adanya; karena sepanjang sisa halaman buku tersebut dia meneruskan memperlakukan agama sebagai ilusi dalam pengertian biasa, dan sebagai ilusi yang sedang dalam proses ditolak oleh masyarakat.

Namun, ada pembedaan yang lain muncul, yang bagi saya tampak masih lebih jauh lagi menggelapkan masalah ini.

Ketika saya mengatakan bahwa mereka (gagasan-gagasan religius) itu adalah ilusi, saya harus mendefinisikan makna kata tersebut. Sebuah ilusi tidaklah sama dengan sebuah kesalahan, sebuah ilusi tidaklah mesti selalu merupakan sebuah kesalahan. Keyakinan Aristoteles bahwa hama berkembang dari kotoran, keyakinan yang masih dipegang teguh oleh orang-orang bodoh, adalah sebuah kesalahan… Akanlah tidak benar untuk menyebut kesalahan-kesalahan semacam ini sebagai ilusi. Di sisi lain, bagian ketika Columbus meyakini bahwa dia telah menemukan rute-laut yang baru menuju India merupakan sebuah ilusi.

Saya tak pernah menguasai filsafat “Seolah-olah”, dan pada titik ini akal sehat saya sepenuhnya bingung.2Dalam Die Philosophie des Als Ob (The Philosophy of “As If”/ Filsafat “Seolah-olah”) (1911, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1924), Hans Vaihinger menyatakan bahwa karena kita tak bisa memahami realitas-realitas yang mendasari dunia, kita membangun sistem-sistem fiktif untuk menerangkan fenomena yang kita hadapi. Berbuat “seolah-olah” dunia itu sesuai dengan fiksi-fiksi kita. Columbus tentu saja “keliru” dalam hal beranggapan bahwa Hindia Barat adalah Hindia Timur; dia tidaklah keliru dalam hal beranggapan bahwa dia telah menemukan rute yang baru menuju India; tetapi kombinasi sebuah kesalahan dengan sebuah kebenaran tidaklah membuat sebuah “ilusi”. Satu contoh yang sempurna tentang “ilusi” tampaknya dekat: ketika Freud beranggapan bahwa dia telah mendefinisikan istilah “ilusi” ketika dia mengatakan bahwa sebuah ilusi tidaklah sama dengan sebuah kesalahan, hal itu merupakan sebuah ilusi tetapi memang hal itu belum tentu sebuah kesalahan. Labu air (vegetable marrow) tidaklah sama dengan labu (pumpkin), memang belum tentu ia merupakan labu: tetapi hal ini tidak bisa digunakan untuk menyerang Aristoteles dengan memperlakukan hal itu sebagai sebuah definisi labu air. Freud harusnya memulai dengan sebuah definisi atas definisi. Saat ini ilusi diperlakukan seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak mengakui bukti (55). Tentang beberapa doktrin religius (dia tidak mengatakan doktrin religius yang mana) dia mengatakan bahwa “kita bolehlah membandingkan mereka” dengan delusi; tetapi kita tidak diberitahu apa yang bisa dipelajari melalui perbandingan itu. Dia kemudian menepukkan sedikit kata-kata boyak seperti ini:

Teka-teki semesta hanya membuka diri mereka sendiri dengan lambat pada penyelidikan yang kita lakukan, sains belum bisa memberikan jawaban terhadap banyak persoalan; tetapi kerja saintifik adalah satu-satunya cara kita menuju pengetahuan tentang realitas eksternal. (55)

Kita tidak diberitahu apakah sains itu, atau apakah teka-teki semesta itu. Akan tetapi di bagian akhir Dr. Freud menggemakan kembali: “Sains bukan merupakan ilusi” (98). Begitulah sang penyihir dunia mimpi ini bermimpi. Saya memiliki kesan bahwa cendekiawan-cendekiawan yang nyata dalam bidang sains sungguhan, semacam fisika matematis, sering lebih tidak percaya diri dibandingkan kepercayaan Freud terhadap apa pun. Akan tetapi secara alamiah, disebabkan oleh ansietas mereka untuk mengiakan bahwa sains mereka sesungguhnya adalah sains, maka para ahli sains-sains dadakanlah yang membuat klaim-klaim paling berlebih-lebihan atas “sains” secara keseluruhan. Ini adalah sebuah buku yang janggal.

T.S. ELIOT

Sumber: The Complete Prose of T.S. Eliot, jilid 3 (London: Faber and Faber, 2015). Hal. 551-554.


Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.