Erotisisme dalam Karya-Karya Junichiro Tanizaki

TAHUN 1894, gempa bumi berkekuatan 6,6 Skala Richter mengguncang Tokyo dan seumur hidupnya Junichiro Tanizaki, yang sejak lahir tinggal di kota itu, tak bisa menghilangkan rasa takutnya akan gempa bumi. Akan tetapi hal itu tak membuatnya merasa takut untuk membuat gempa bumi yang lain, dengan karya-karyanya.

Nama Junichiro Tanizaki diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan sastra tahunan untuk karya fiksi dan drama di Jepang yang digagas oleh penerbit Chuo Koronsha Inc, Tanizaki Prize. Penghargaan tahunan itu diberikan pertama kali tahun 1965 mencakup uang sebesar satu juta Yen Jepang, kira-kira setara dengan 131 juta rupiah kurs hari ini. Beberapa penulis yang pernah mendapatkannya misalnya Shusaku Endo (1966), Oe Kenzaburo (1967), Kobo Abe (1967), Haruki Murakami (1985), Ryu Murakami (2000), dan Yoko Ogawa (2006).  

Junichiro Tanizaki lahir pada 24 Juli 1886 dan meninggal pada 30 Juli 1965. Meski tahun kelahirannya hanya terpaut 13 tahun dengan Yasunari Kawabata, akan tetapi tahun awal kepenulisan mereka yang tak sama membuat keduanya berada pada era yang berbeda dan dengan aliran yang juga berbeda. Karena menulis mulai tahun 1921, maka Yasunari Kawabata—dan juga Yukio Mishima yang mulai menulis tahun 1937—biasa dimasukkan ke dalam penulis zaman Showa, sementara Tanizaki yang mulai menulis sejak tahun 1909 berada dalam tiga zaman sekaligus: zaman Meiji, Taiso, dan Showa.

Namun, Junichiro Tanizaki adalah pengagum zaman Edo: periode sebelum Showa yang membentang dari tahun 1603-1868. Zaman Edo adalah zaman ketika Jepang dipegang oleh keshogunan Tokugawa, sementara zaman Meiji adalah zaman ketika Kaisar kembali berkuasa. Zaman Edo adalah zaman feodal, sementara zaman Meiji adalah zaman modernisasi, meski sebenarnya hal itu sudah dimulai pada masa Yoshinobu Tokugawa, shogun terakhir Tokugawa.

Kekaguman Junichiro Tanizaki pada zaman Edo mungkin berkaitan dengan pencarian identitas kultural antara Jepang dan Barat. Salah satu pendukung pengembalian kekuasaan pada Kaisar Meiji adalah golongan yang memiliki sentimen terhadap Barat. Akhir zaman Edo adalah masa ketika Jepang membuka pintu lebar untuk “luar”, satu poin yang sering dianggap sebagai kambing hitam perubahan budaya Jepang klasik ke modern.

Satu hal lagi: zaman Edo adalah zaman yang menyediakan banyak amunisi untuk erotisisme, satu hal yang kemudian mendominisai fiksi-fiksi Tanizaki, terkadang dalam tataran lumayan ekstrem. Tanizaki, bersama dengan Nagai Kafuu, adalah pengikut aliran Tanbiha dalam kesusasteraan Jepang: estetisisme. Bersama dengan aliran intelektualisme yang dipelopori oleh Ryunosuke Akutagawa, estetisisme merupakan respons terhadap aliran dominan kesusastraan Jepang saat itu, naturalisme.

Nagai Kafuu dan Tanizaki berkiblat pada pribadi manusia Edo. Nagai mendobrak naturalisme—yang terang-terangan membuka sisi-sisi buruk manusia dengan realis—dengan menyodorkan keindahan Geisha zaman Edo. Posisinya sebagai orang yang pernah belajar di Amerika sehingga memberinya kesempatan untuk mengamati Jepang dari luar, membuatnya mampu menarik kesimpulan bahwa Jepang sudah terlalu realis serta melupakan idealisme dan imajinasi. Penyajian kembali pribadi manusia Edo dimaksudkan untuk menarik Jepang kembali ke jalurnya.

Sering dikatakan bahwa sementara Nagai Kafuu melukiskan keindahan tersebut dingin dan hampa, Junichiro Tanizaki melukiskan secara ekstrem banyak hal indah yang selama ini tersembunyi. Dengan kata lain, fiksi-fiksinya adalah fiksi psikologis, dan wanita—serta seksualitas—menjadi tema utama yang dominan di dalamnya.

Maka dalam fiksi Tanizaki, kita akan menemukan berbagai gambaran aneh tentang keindahan erotisisme, bahkan sampai taraf yang mungkin selama ini tak terbayangkan. Sado-masokhisme dalam Shisei (perajah), hubungan antara anak dan ibu tiri dalam Yume no Ukihashi (Jembatan Impian), sampai troilisme dalam Kagi (Kunci). Adjektiva “erotik” juga menjadi salah satu yang seringkali ditemukan dalam biografi singkat Tanizaki pada fiksinya edisi terjemahan Bahasa Inggris selain artful (nyeni), elegant (elegan), dan masterful (sangat bagus).

Pernah ada masa dalam kehidupan masa mudanya Tanizaki sangat tertarik pada Barat. Tinggal di rumah bergaya Barat di Yokohama dan hidup dengan gaya bohemian, ketertarikannya kemudian beralih kembali pada estetika dan budaya Jepang setelah gempa bumi menghancurkan rumahnya di Yokohama pada tahun 1923. Satu novelnya—yang semula dimuat sebagai cerbung dalam koran Osaka Asahi Shinbun tahun 1924 dan diteruskan dalam majalah Josei—berjudul Chijin no Ai (secara literal bermakna “Cinta si Bodoh” tapi terjemahan Inggris dan Indonesia memberinya judul “Naomi” berdasarkan karakter utama wanitanya) merupakan kisah lelaki yang mencintai wanita bergaya Barat. Salah satu novelanya berjudul Aoi Hana yang terbit dua tahun sebelumnya menceritakan Aguri, wanita bar yang untuk membangkitkan keeksotikan kulit dan tatoo di sana mengenakan gaun barat.      

Baca juga Ulasan novel Matahari Terbenam karya Osamu Dazai

Junichiro Tanizaki bukan hanya seorang penulis besar, dia juga berjasa dalam merintis masuknya tema-tema modern dalam film Jepang. Dia dikisahkan pernah memiliki karir dalam Film Bisu sebagai penulis skenario. Meski karirnya di sana berlangsung singkat, tetapi Thomas Lamarre menyatakan bahwa banyak orang yang berpendapat pemahaman akan hubungan antara Tanizaki dengan sinema merupakan hal penting demi pemahaman karirnya secara keseluruhan. Tidak mengherankan juga jika kemudian dibandingkan dengan penulis-penulis Jepang semasanya, karya-karya Junichiro Tanizaki paling banyak diangkat ke dalam film.

Pada tahun 1958, tangan kanan Junichiro Tanizaki lumpuh, tapi dia masih melahirkan novel tiga tahun kemudian, Futen Rojin Nikki (Diari si Tua Gila), dan masih mengangkat tema “mengejutkan” tentang hasrat erotik menggebu seorang pria tua terhadap menantunya. Sebagaimana Yasunari Kawabata mengajak dunia—dan terutama Barat—untuk membaca tindakan bunuh diri yang dilakukan penulis Jepang, Akutagawa, tidak dengan sudut pandang Barat melainkan dengan menelusuri ke jejak Zen, mungkin ada baiknya kita membaca Tanizaki dan erotisismenya dengan mengingat Kundera. Dalam l’art du roman-nya penulis kelahiran Ceko itu mengatakan bahwa sebuah roman—dan tentu juga cerpen—memiliki moralitasnya sendiri.

Lalu setelahnya adalah tafsir. Sampai sejauh ini, ada dua sastrawan yang seringkali dianggap sebagai sastrawan Jepang paling populer, Natsume Soseki dan Junichiro Tanizaki. Dunia nampaknya sudah punya tafsirnya sendiri tentang anak saudagar kaya yang takut gempa bumi itu.

Yogya, Komunitas Imajiner, 2021.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.