1
Yasunari Kawabata bagi khalayak pembaca di Indonesia harusnya bukan sosok asing. Dia bukan pengarang yang karya-karyanya terlambat dikenal melalui terjemahan ke dalam bahasa Indonesia seperti Salman Rushdie. Dalam ulasan Jacob Sumardjo dirilis tahun 1985 misalnya, bersama 3 sastrawan jepang lainnya yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu Junichiro Tanizaki, Yukio Mishima, dan Ryunosuke Akutagawa, Kawabata menempati tempat spesial: dia tercatat dengan porsi terjemahan lebih banyak daripada tiga pengarang tersebut.
Catatan lebih baru diberikan oleh Anton Kurnia pada tahun 2006 memperkuat kesan tersebut. Tercatat ada sembilan judul terjemahan karya Kawabata dalam Bahasa Indonesia sudah diterbitkan dalam rentang waktu 1972-2003. Judul-judul tersebut mencakup pula terjemahan karya sama oleh penerjemah berbeda dengan pilihan judul berbeda pula.
Dengan demikian, Kawabata dapat dilihat dari kacamata pembaca sastra di Indonesia sebagai penulis yang terus-menerus ditafsir ulang. Suatu terjemahan pada dasarnya adalah suatu proses mentafsir. Penerjemah berbeda akan memberikan hasil berbeda meskipun mereka menerjemahkan karya sama. Dari titik itulah terjemahan kumpulan cerpen Yasunari Kawabata yang diberi judul Daun-Daun Bambu ini menjadi sangat penting. Tujuh cerpen dimuat dengan didahului oleh pidato penerimaan Nobel Sastra 1968 oleh Yasunari Kawabata memberikan banyak sekali ruang untuk melihat sosok Kawabata dari sudut pandang pembaca aliran ekspresif ataupun untuk menikmati pelbagai lanskap yang teks sodorkan bagi pembaca aliran objektif.
2
Yasunari Kawabata adalah seorang penulis unik dan keunikannya itu tak akan kita ketahui kecuali jika kita sudah selesai membaca tulisan dia. “Selesai membaca”: dengan menggunakan frasa itu saya tidak memaksudkan pada kondisi sama dengan ketika anda mendapatkan katarsis ala Aristoteles dan anda bisa melanjutkan aktifitas anda yang tadi anda sisipi dengan membaca cerpen yang “selesai dibaca dalam 10-20 menit”.
Cerpen-cerpen Kawabata, khususnya yang termuat dalam antologi ini, sebagian merupakan jenis cerita pendek yang panjang (long short story), yang tampak sangat memukau dalam “Burung-burung dan Satwa Liar”, cerpen terpanjang dalam antologi ini. Sementara itu beberapa yang lain, misalnya “Burung Kakesu” dan “Daun-daun Bambu” adalah jenis cerita pendek yang pendek (short short story): dua cerpen ini memang bersumber dari versi bahasa Inggris yang dicantumkan di bawah tajuk seven very short stories Kawabata. Bagi pembaca Indonesia, panjang pendek cerpen tentu tak akan menjadi masalah terutama karena dunia cerpen indonesia mencakup jenis cerita pendek yang pendek ala para cerpenis surat kabar ataupun cerita pendek yang panjang seperti bisa ditemukan pada beberapa cerpen Budi Darma.
Para kritikus cenderung mengatakan bahwa Kawabata adalah penulis yang bergerak dari naturalis ke impresionis. Dalam hal ini sastra memang dinamis dengan pengembangan ke arah yang tak terduga. Kawabata memang tak bisa kita kategorikan hanya pada satu aliran saja: naturalis saja atau impresionis saja. Dia selalu ada dalam gerak tak lekang antara gemulai daun bambu yang diterpa angin dan gerak ritmis pikiran menangkap irama yang ditimbulkan. Dia menyerap naturalisme dan karena itu maka dia berpegang teguh pada realisme.
Maka pada cerita Kawabata kita temukan dunia seperti apa adanya: suami yang tetap menjadi suami meski dia berkali-kali terus terang pada sang istri bahwa dia sering bepergian “tugas” ke daerah lain dengan ditemani wanita lain dalam “Burung Higara”, perang tak menampilkan hero-hero yang akan dikenang dalam cerita sejarah—atau epos yang diabadikan seperti dalam mahakarya Homer—dalam Daun-daun Bambu.
Namun, suatu cerita yang apa adanya bukan berarti ia cerita tanpa makna. Melalui bantuan kacamata Derrida misalnya kita bisa melihat bahwa tokoh penting dalam “Burung Higara” bukanlah Matsuo si suami, melainkan Haruko si istri. Cerpen ini, sebagaimana cerpen “Tahi Lalat” yang Donald Keene sebut sebagai cerpen yang menampakkan penguasaan akan psikologi wanita, merupakan kisah pergulatan psikologis Haruko. Dari kacamata sama juga kita bisa melihat bahwa perang yang seolah remeh dalam pandang sekilas pada cerpen “Daun-daun Bambu” justru adalah perangkat pengurang lanskap mooi indie sebagai latar yang merupakan salah satu ciri khas Kawabata dalam kisah-kisah dia.
Dengan kata lain, dalam cerpen-cerpen rekaan Kawabata, natur, sebagai dunia-di-luar-diri memang menjadi jalan masuk untuk menemukan dunia-di-dalam-diri. Tidak heran jika dalam pidato dia Kawabata banyak mengutip peran natur ini dalam karya-karya pendahulunya:
“Dengan melihat rembulan, ia menjadi rembulan itu sendiri, dan rembulan yang dilihatnya berubah menjelma dirinya. Ia terbenam ke dasar alam, menjadi satu dengan alam.”
Tentu tak semua penulis bisa seperti itu meskipun mereka ingin, karena penulis jelas harus memiliki modal cukup untuk membuat pembaca ikut masuk ke dalam lanskap natur yang dia tawarkan. Dalam “Burung-burung dan Satwa Liar” misalnya, Kawabata menunjukkan kepiawaian menceritakan berbagai jenis burung dengan detail yang mengingatkan kita pada, misalnya, detail lanskap pegunungan dan rimba dalam cerpen-cerpen Annie Proulx tentang dunia Wyoming.
Perenungan bergerak dari luar ke dalam seperti itulah tampaknya yang membuat Kawabata menolak sastra proletar meski dia menyajikan cerita gaya realisme. Gaya yang dia tampilkan menolak sastra pepat propaganda, sebab, sebagaimana dia kisahkan dalam pidatonya, si murid Zen “harus selalu menjadi tuan bagi pemikirannya sendiri dan musti mencapai pencerahan melalui usaha sendiri”, dan “tekanannya lebih pada intuisi, perasaan yang bebas dari intervensi, daripada rasio dan argumen”. Dengan demikian, jika istilah neo-impresionis yang sering disematkan padanya bermakna tarik ulur antara seorang naturalis dan impresionis, memang sebutan itulah satu-satunya yang pas menampung kreativitas dia.
Maka membaca cerpen-cerpen Kawabata kita akan menemukan lanskap alam menawan, suatu lukisan mooi indie yang kemudian ditimpa oleh tumpahan warna dari ruang batin. Cerita disajikan tak menihilkan kita untuk melihat sisi dalam “Sang Juru Makam” di sela-sela gurauan yang akan menarik hati pembaca Freudian, atau mengintip batin gadis desa yang tampak asyik menemani adik tunangannya: seperti mengintip dari balik batang-batang bambu yang fleksibel bercumbu dengan angin dalam “Daun-daun Bambu”. Cerita satu ini menampilkan natur semacam itu tetapi juga memasukkan kisah sedih perang dengan segala kemungkinannya, misalnya kemungkinan si tunangan mati di medan perang, khususnya jika kita memaknai si tunangan yang “lama tak kembali” sebagai isyarat maut.
Lantas bagaimana terusannya? Apakah si gadis bisa bersatu kembali dengan tunangannya dan mereka berdua hidup bahagia di rumah yang sudah selesai dibangun?
Kawabata bukanlah Kawabata jika dia memberikan jawaban sama dengan cerpen-cerpen picisan di majalah remaja, sebab pembaca “musti mencapai pencerahan melalui usaha sendiri”. Dia berhenti di saat kepenasaran anda memuncak dan menyerahkan sepenuhnya pada anda untuk menemukan suatu ujung. Anda mungkin merasa jengkel karena tak menemukan cerita yang bisa anda pesan lengkap dengan appetizer dan dessert, tapi itulah Kawabata: dia terlalu baik untuk menganggap anda sebagai seorang pemesan makanan dan dirinya sendiri sebagai koki. Dia ingin anda ikut berperan memasak makanan yang anda inginkan. Dia ingin anda kreatif.
Dengan kata lain, pada cerpen Kawabata, titik di akhir teks bukan merupakan penanda sebuah ujung, ia justru merupakan gerbang menandai sebuah awal dengan kemungkinan yang tak terbatas. Cerita dia adalah cerita dibuka dengan gambaran indah alam dan ketika anda mulai terlelap, dia pergi dari samping anda seperti Joker dalam The Solitaire Mystery-nya Jostein Gaarder. Kalau anda kreatif, maka anda akan menunda tidur anda dan meneruskan imajinasi anda sendiri tentang bagaimana harusnya cerita itu berakhir.
3
Kawabata menawarkan beragam tema melalui cerpen-cerpen dia. Gaya dia bercerita yang penuh detail—bahkan pada cerpen-cerpen dia yang pendek—penuh dengan citraan yang akan membuat seorang kritikus sastra sibuk. Enam dari tujuh cerpen dimuat di sini menyodorkan perenungan yang membuat kita teringat lanskap muram sapuan kuas Courbet dan hanya satu di antaranya yang bisa menggelitik rasa humor kita: ocehan seorang wanita lima puluh tahunan yang mengunjungi novelis Kasumi di depan tiga tamu lain tentang affaire de coeur berujung lamaran tiga puluh tahun lampau antara dia dengan sang novelis di “Kota Yumiura”, kota yang tak pernah ada. Betapa kuatnya citraan yang tampak tentang keserbasalahan si novelis yang tetap tak bisa mengingat kisah tersebut dan bahkan ketika tiga tamu yang lain sepakat menganggap wanita itu gila, si novelis tetap saja terganggu dengan kenyataan bahwa ingatan dia ternyata tak sinkron dengan ingatan wanita tersebut.
Sementara itu, cerpen-cerpen lain menyodorkan tokoh-tokoh aneh yang bergelut dengan sepi dengan cara mereka sendiri-sendiri: lelaki dalam “Burung-burung dan Satwa Liar” yang terjebak dalam bingkai perempuan bernama Chikako dan mengetengahkan mekanisme defensif dengan bersikap “tak benar-benar menginginkan kematian anak-anak anjingnya; tapi ia pun juga tak benar-benar menginginkan mereka bertahan hidup”, “Sang Juru Makam” yang “semakin jauh jarak antara dirinya dengan si mati, semakin dalam pula keinginannya untuk datang melayat” karena dia merasakan duka kematian kakeknya dan terbelenggu antara inferioritas dan superioritas, atau Yoshiko dalam “Burung Kakesu” yang menemukan kesepian dirinya di tengah keluarga yang centang perenang dari cermin keluarga burung.
Tentu saja cerpen-cerpen Kawabata selalu terbuka untuk dimaknai dengan cara lain. Si lelaki dalam “Burung-burung dan Satwa Liar” misalnya dalam satu adegan menyinggung tentang “di Barat orang membuang anak anjing yang tak berguna, bahkan membunuhnya. Dengan cara itu mereka memperoleh anjing yang bagus. Kita orang Jepang yang sentimentil tidak terbiasa melakukannya”, tidakkah itu merupakan cerminan pandangan orang timur yang resah dengan citra barat sebagai “kiblat”?
Tidak heran jika di bagian-bagian akhir pidato dia Kawabata juga beberapa kali menyinggung perihal konsep Barat (penerjemah melakukan pilihan yang sangat bagus dengan menggunakan kata kami alih-alih kita). Salah satunya misalnya mengenai konsep suwung dalam konsep Zen yang berbeda dengan konsep nihilisme ala Barat. Ada aroma oksidentalisme yang mengingatkan kita pada maestro kritik sastra Poskolonial: Edward Said.
Kawabata mungkin tak akan menyenangkan bagi mereka yang menganggap sastrawan sebagai begawan penunjuk jalan. Dia tidak memposisikan diri sebagai sang guru. Dia tidak memposisikan diri sebagai pemberi nasihat yang harus dihadapi sambil menundukkan kepala penuh hormat. Dia hanya bercerita tentang adanya suatu jalan tanpa memberikan peta lengkap tentang bagaimana pembaca bisa menempuh jalan itu sampai ujung.
Pembaca cerpen “Burung Higara” misalnya memiliki kebebasan penuh untuk mengutuk Matsuo dengan mengabaikan air mata Haruko yang mengambang di akhir cerita, atau memilih menepuk dada sambil bersorak bahwa Matsuo adalah “pejantan tangguh”. Seperti kisah tentang murid Zen dalam pidato Kawabata: pencerahan bersumber pada batin, dan tentu saja cara mana yang ditempuh pembaca akan memberikan konsekuensi sendiri-sendiri.
Pada titik yang sama pembaca cerpen “Tahi Lalat” juga bebas menentukan pilihan apakah mereka berpihak pada si suami atau si istri. Dibandingkan 6 cerpen lain, cerpen satu ini bisa dikatakan merupakan cerpen berpotensi terbesar untuk menarik pembaca ke lanskap yang disodorkan. Hal itu disebabkan fokalisasi yang disodorkan seperti monolog antara aku dan kau. Cara itu sangat efektif untuk menyodorkan sebuah cerpen psikologis yang sangat memukau: dalam antologi ini cerpen ini menyajikan anomali.
Pada akhirnya, dengan cara apa pun Kawabata menyajikan cerpen dia, sejauh apa pun perbedaan panjang dan pendek cerpen yang dia buat, alih-alih merupakan sastra bertendens, cerpen-cerpen Kawabata justru merupakan jalan dengan ujung yang tak tepermanai. Pembaca mungkin saja bertemu Kawabata kembali lewat peta yang dia gunakan atau justru dia hanya menemukan dirinya sendiri di akhir penjelajahan.
Saya membayangkan pada titik tertentu seperti itulah gejala posmo: suatu gebalau labirin berlabel makna. Mungkin karena itu Kawabata tetap asyik dibaca sampai kini dan terjemahan-terjemahan—ulang ataupun baru—ke dalam berbagai bahasa termasuk Bahasa Indonesia tetap diburu pembaca. Atau mungkin juga memang itulah wujud asli penulis Jepang pertama yang meraih hadiah nobel sastra itu: dia orang yang selalu kesepian, karena itu dia mengajak pembaca, siapa pun, dari mana pun, dan kapan pun, ikut menyusun peta bersama dia untuk menemukan makna yang mungkin tak terbayangkan tentang cinta, maut, dan batang-batang bambu.
*Disunting ulang dari pengantar buku Daun-Daun Bambu (Yogyakarta: EA Books, 2016).