Anjing: hewan terkenal, gesit, sangat setia.
Kamaluddin al-Damiri, Hayatu al-Hayawan al-Kubra
1
Salah satu fakta getir tentang anjing adalah meski ia merupakan hewan yang memiliki banyak karakterisasi istimewa, ia paling banyak disalahpahami. Hadir di muka bumi dalam dongeng Islam sebagai penjaga bahtera Nuh dari perusakan komplotan korporasi tambang Tubal-Kain, anjing adalah hewan yang mukanya tampil pertama dalam sejarah di muka bumi sebagai sosok terhormat: ia penjaga bahtera yang kelak menjadi asal-usul peradaban manusia kedua. Anjing, adalah penjaga peradaban.
Mari perjelas kalimat pembuka tulisan ini: anjing paling banyak disalahpahami di Indonesia, sebuah negeri yang selalu bombastis mengklaim dihuni oleh mayoritas pemeluk Islam. Situasi tersebut mau tidak mau menjadi ironis karena teks-teks Islam menempatkan anjing dalam koridor yang sebenarnya tak kalah terhormat dari hewan lain yang mendapatkan perlakuan lebih baik dari mayoritas tersebut: kucing.
Teks-teks klasik Islam memang menempatkan cacat pada anjing sebagai hewan gasang, cacat yang membuat musim kawin dia sampai Hari Kiamat ditandai dengan rasa bersalah. Akan tetapi bahkan setelah itu kita diberitahu kemurahan Tuhan atasnya: doa anjing dikabulkan Tuhan sehingga kucing, musuh bebuyutan dia, dikutuk menjalani musim kawin yang selalu gaduh, lalu dari jenis anjing, bukan kucing, kita temukan nama yang dijamin Tuhan masuk surga.
Sampai titik tertentu kita bisa menyalahkan sikap buruk “mayoritas” terkait terhadap anjing pada fakta bahwa mayoritas tersebut lebih suka mendengarkan kepastian hukum daripada kisah-kisah agama, sementara hukum yang dianut mayoritas tersebut adalah hukum berdasarkan Mazhab Syafii, mazhab yang apa boleh buat paling keras bersikap terhadap anjing. Akan tetapi menyalahkan mazhab adalah tabu karena setiap mazhab memiliki hak hidup masing-masing dan jika pembahasan dilanjutkan dalam koridor tersebut maka tulisan ini akan berubah menjadi diskursus yurisprudensi.
Maka mari kita kembali ke niat awal: ulasan cerpen “Bangkai Anjing” yang dipublikasikan di Kompas edisi 5 Maret 2023. Cerpen dikarang oleh Elvan De Porres, lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, tempat yang juga dicantumkan sebagai penanda lokasi pembuatan cerpen. Dia alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Cerpen menempatkan anjing sebagai karakter yang lebih penting daripada beberapa karakter manusia di dalam kisah, satu situasi yang akan sukar dipahami jika kita mengganti latar kisah dengan tempat lain, katakanlah sebuah perkampungan di pedalaman Ciamis. Kisah ini terjadi di sebuah kampung tempat anjing dikeramatkan dan ketika “seekor anjing mati, seisi kampung bersedih sampai musim berganti.”
Tokoh utama bernama Nikus, anjingnya bernama Helmus, “satu-satunya peninggalan orangtua Nikus, selain gubuk […] dan peralatan berburu.” Cerita dibuka dengan paragraf memikat deskripsi suasana yang lebih mitis dibanding realis, demikian kutipan lengkapnya:
Setelah hujan seminggu berhenti, Nikus keluar dari rumahnya dan pergi ke ladang untuk menguburkan sebongkah bangkai anjing. Ini adalah hari yang basah, tanaman-tanaman berbunga, dan hewan piaraan menepi di sekitar pondok tuannya. Angin terbang sedingin es lalu pecah, dan bulir-bulirnya menjalari perkampungan yang sepi seperti perahu mati. Di kampung hanya terlihat lelaki itu. Ia mondar-mandir di pekarangan belakang rumah, kemudian bergerak ke arah jalan setapak. Punggungnya memanggul karung dan tangkai pacul.
Usai membaca keseluruhan cerpen kita sadar bahwa paragraf pembuka itu sekaligus paragraf penutup, bahwa bangkai anjing itu adalah bangkai Helmus. Di antara dua paragraf itu kita mendapatkan cerita tentang teror terkait “penyingkiran anjing-anjing” oleh para tentara yang naik “kendaraan berstempelkan muka presiden”.
Akan tetapi Helmus mati bukan oleh mereka. Secara tersirat kita tahu ia mati dibunuh oleh Nikus setelah “perjamuan terakhir” keduanya berupa rebus ubi keladi yang biasanya. Nikus adalah tokoh yang sepanjang kisah didera takut anjingnya ikut menjadi sasaran penyingkiran di kampung yang terus-menerus diguyur hujan.
Uniknya, pengarang menggambarkan teror yang Nikus hadapi bukan melalui action ‘lakuan’ para tentara, melainkan dari peringatan Oom Piduk, dugaan dan kesimpulan Nikus berdasarkan pengamatannya, dan kasak-kusuk tetangga. Kita boleh memuji pilihan teknik ini: teror yang dimasak secara psikologis cenderung lebih kuat dan kaya daripada teror yang disajikan berlembar-lembar baku hantam di atas pelepah kelapa.
Lalu kita tahu Nikus membunuh Helmus dan kita mungkin tercenung: mengapa pria yang takut anjingnya mati itu berujung mematikan anjingnya sendiri?
Memang cerpen menyediakan jawaban dalam satu kalimat penutup:
Sebab, Nikus tidak ingin melihat anjingnya mati di tangan tentara, dan ketakutan itu mesti dibereskan dengan caranya sendiri.
Akan tetapi jawaban itu justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan: apa beda Helmus mati di tangan tentara dengan di tangan Nikus? Mengapa jika tentara membunuh anjingnya merupakan sumber ketakutan sementara jika Nikus yang membunuh anjingnya maka ketakutan itu beres?
2
Tampaknya bukan tanpa sengaja cerpen ini dibuka dan ditutup dengan kata-kata kunci yang mengingatkan kita pada kisah yang bersumber dari agama: hujan, seminggu, perjamuan terakhir. Hujan, dalam terminologi agama samawi, mengingatkan pada banjir Nuh. Seminggu adalah waktu Tuhan menciptakan semesta, ditutup dengan hari ketujuh yang kemudian menjadi hari puja. Perjamuan terakhir adalah perjamuan sebelum pengorbanan.
Dugaan tersebut bukan tanpa alasan, karena tampaknya memang ada sesuatu berbau agama primitif dalam keyakinan Nikus terkait Helmus dan keyakinan penduduk perkampungan terkait anjing: totemisme. Ada banyak ahli yang sudah membahas totemisme, tetapi sesuai sanad kritik sastra yang saya pelajari maka dengan sadar saya memilih membaca melalui jalur Freud.
Totemisme menempatkan hewan tertentu sebagai tabu. Mengutip Reinach, dalam Totem und Tabu Freud menyebutkan bahwa hewan-hewan tersebut tidak boleh dibunuh atau dimakan dan pada sebagian kasus hewan-hewan tersebut dibesarkan dan dijaga. Ketika hewan tersebut mati, maka dia diratapi dan dikuburkan selayaknya manusia anggota klan.
Bandingkan konsep tersebut dengan deskripsi dalam cerpen:
Sepanjang hidupnya Nikus tumbuh besar bersama anjing ini. Kampung ini sungguh mengeramatkan anjing, begitu bapaknya bertutur sebelum meninggal. Seekor anjing mati, seisi kampung bersedih sampai musim berganti.
Contoh mudah hukuman untuk pelanggar tabu totem kita simak dalam kisah lokal dari tanah lain, Sang Kuriang atau Sang Guriang. Sang Kuriang membunuh “Helmus” bernama Tumang, sang Bapak Besar. Dia kemudian dikutuk untuk menjadi orang usiran, “mengembara serupa Ahasveros” lalu kembali hanya untuk “dikutuk-sumpahi Eros” berhadapan dengan kasih tak sampai.
Maka kita temukan cerpen “Bangkai Anjing” menyodorkan latar “langit memacakkan petir tunggal” dan jendela yang “bergetar oleh gelegar guntur”. Kita mendapatkan momen ketika Nikus mengalami langit cerah hanya dua kali, pertama saat dia pertama kali mendengar kabar bahwa “anjing-anjing itu mau segera dibasmi”, kedua ketika Nikus pergi ke ladang, setelah “perjamuan terakhir” dia dengan Helmus. Karena teknik penyajian cerpen, momen cerah kita temukan di bagian pembuka dan penutup.
Dus, kita bisa melihat cerita di dalam hujan seminggu ini pertama-tama sebagai simbol campuran momen penciptaan dan banjir bandang Nuh. Banjir bandang Nuh biasa disebut juga momen penciptaan kedua, momen ketika Tuhan membalas para pendosa dengan menyapu bersih mereka sebelum kemudian manusia-manusia baru disebarkan ke seluruh penjuru bumi.
Dalam “Bangkai Anjing”, kita menemukan wujud para pendosa itu sebagai para pelanggar tabu, para pembasmi anjing yang kekejamannya kita dengar bersama pendengaran Nikus:
Para anjing seperti menangis dan suara mereka beriringan dengan gelongsor peluru dan bunyi penggorok.
Dengan melakukan tindakan semacam itu, orang-orang tersebut bukan bagian dari “kampung ini”, mereka orang-orang dari luar. Kita, dan mungkin juga Nikus, mungkin paham bahwa mereka datang dan melakukan itu dengan maksud baik, tetapi—mengutip Rendra—”maksud baik tidak selalu berguna”. Jika maksud baik mereka melakukan pembasmian anjing adalah untuk membasmi penyakit rabies, maka maksud baik tersebut “berlaga” dengan maksud baik penduduk kampung yang “mengeramatkan anjing”.
Padahal tidak perlu menjadi mahasiswa kedokteran untuk tahu bahwa pembasmian anjing bukan cara efektif untuk membasmi rabies. Cara yang lebih solutif dan juga tidak membuat dua maksud baik berhadap-hadapan adalah vaksinasi. Dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kultur lokal, cara gampangan “pembasmian anjing” tersebut juga menjadi simbol represi pusat terhadap lokal, kisah khas yang banyak terjadi di muka bumi.
Rabies jelas malapetaka, baik bagi perkampungan Nikus atau perkampungan mana pun, tetapi bagi Nikus dan penduduk sekampung membunuh anjing merupakan malapetaka yang tak kalah mengerikannya karena ia meramalkan malapetaka lain yang akan datang dari langit sebagai balasan atas pelanggaran tabu (“Malapetaka akan menimpa kampung,” kata Nikus). Maka kita boleh membayangkan penduduk perkampungan itu, termasuk Nikus, mengalami teror ganda. Selain “malam yang sepi dan panjang” sekaligus mencekam berisi ketakutan anjing mereka akan dibunuh oleh tentara, hujan yang mengguyur perkampungan itu juga bukan sekadar tetes air, hujan itu datang dari langit, ia meruyakkan luka lama basis totemisme: rasa bersalah.
Namun kisah berakhir tidak dengan sepenuhnya cara Nuh, melainkan dengan suntikan cara Yesus. Tidak ada penyapubersihan para pendosa, tidak ada manusia-manusia baru, dan cerpen “Bangkai Anjing” bukan pengisahan ulang harfiah kitab suci sebagaimana juga harus diakui interteks kitab suci ini bisa jadi hanya produksi imajinasi penafsir. Hujan, dalam cerpen, memang menyebabkan perkampungan sunyi karena
Orang-orang kampung mengunci rumah rapat-rapat dan menyalakan pelita minyak damar yang bersinar terang benderang. Tidak ada seorang pun yang tampak lalu lalang.
Akan tetapi apa yang kemudian kita temukan setelah hujan reda adalah lanskap seorang pria usai mengadakan jamuan terakhir dengan anjingnya sebelum kemudian mungkin membunuhnya. Perjamuan terakhir itu bagian dari apa yang Freud sebut dalam bukunya sebagai upaya untuk “mengurangi pelanggaran tabu”: kita juga boleh menduga dengan satu dan lain cara ada apologi terucap dari Nikus pada Helmus.
Jika Nikus, sebagaimana orang-orang kampung, “menebak-nebak kenapa hujan mendadak datang bak air bah”, maka bukan hal sukar melihat bahwa bagi mereka hujan adalah peringatan malapetaka atas pelanggaran tabu: pembasmian anjing-anjing, pembunuhan totem.
Totemisme, dalam pandangan Freud, menyiratkan rasa bersalah dan menyesal atas dosa asal. Pembunuhan totem dilarang karena melakukannya berarti mengulang dosa silam. Karena itu kita boleh menduga pada akhirnya alasan Nikus memutuskan membunuh sendiri Helmus, lengkap dengan tahapan pengurangan “pelanggaran tabu”—dan mungkin apologi—adalah posisi yang analog dengan heroisme Yesus: dia memilih mengakhiri spiral dosa asal tersebut dengan menjadi martir yang menanggung dan menebus dosa tersebut sendirian.
Nikus, dengan kata lain, adalah Nuh sekaligus Yesus.
3
Cerpen “Bangkai Anjing” disajikan dengan racikan anasir intrinsik cerpen yang pas sehingga kita boleh menduga koki cerpen ini bukan pemula. Cerpen menyajikan karakterisasi kuat, fokus cerita yang tidak terdistraksi kehendak khotbah, dan pengaluran yang berpotensi menahan kita membuka halaman koran sebelum cerita tuntas.
Cerpen “Bangkai Anjing” jelas mengangkat isu lokalitas. Kita juga menemukan glosari 5 kata lokal yang diselipkan tanpa kekenesan dalam cerita. Khas karya yang mengangkat lokalitas, kita akan temukan persentuhan yang lokal, yang kampung, dengan Modernisme yang datang dari jauh.
Persentuhan tersebut ditandai oleh kehadiran tentara dan truk hijau, juga imajinasi Nikus tentang “peluru terbang”. Modernisme sejak awal merupakan produk kota, tempat pabrik-pabrik mampu menciptakan “stempel muka presiden” dan peluru-peluru terbang yang dulu “menghanguskan salah satu kampung di tanah bagian timur”.
Bahwa modernisme itu hadir dalam cerpen sebagai sinonim bagi kekerasan tampak dari kehadiran mereka untuk mengobati penyakit di perkampungan bukan dengan obat, produk positif modernisme, melainkan dengan pembasmian anjing. Masalah semacam itu memang cenderung hadir tiap kali kita membahas modernisme di berbagai wilayah di Indonesia seolah dosa asal: sejak awal modernisme hadir di Indonesia sebagai suntikan, bukan sebagai tahap perkembangan natural disebabkan sudah terciptanya situasi modernitas.
Dengan kata lain, dalam lanskap perkampungan tersebut kita bukan hanya menyaksikan anjing-anjing diburu tentara, melainkan totemisme yang diburu modernisme. Apa yang dibunuh bukan sekadar anjing, melainkan sumber penyakit, sesuatu yang kotor. Modernisme membersihkan, seperti hujan badai membersihkan umat Nuh yang ingkar.
Lantas kita bayangkan Nikus sebagai Nuh yang melankolis menatap bangkai usai hujan reda. Jika ada nilai pada bangkai itu maka hal itu karena bangkai tersebut mati bukan sebagai bagian dari pembersihan, melainkan bagian dari kurban, ritual. Helmus harus menjadi bangkai supaya teror berhenti dan langit berlanjut cerah, lupa akan amarah akibat anjing-anjing, para totem yang dibunuh secara sewenang-wenang melanggar tabu.
Maka di akhir cerpen kita tampaknya mendapatkan paradoks. Di satu sisi misi tentara dari kota sukses, anjing-anjing di perkampungan musnah, apa yang dianggap sumber penyakit sudah dibasmi. Akan tetapi di sisi lain melalui pilihannya sendiri Nikus menjadi Yesus sekaligus simbol totemisme yang tetap bertahan, percaya bahwa kematian seekor anjing memiliki nilai bukan sebagai kematian rendahan sumber penyakit melainkan kematian kurban yang di dalamnya bertukar kejam dengan kasih. Salam.
Mei 2023.