TIAP 20 November kita merayakan Hari Anak Sedunia dan tahun 2023 ini, saat berbagai ucapan terkait seliweran di medsos, saya teringat puisi lama Toto Sudarto Bachtiar yang pada saat masih kanak-kanak saya temukan dalam buku ajar Bahasa Indonesia:
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah-jambu Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Puisi itu berlatar “kota”, satu wilayah yang bagi saya sampai kini pun kerap kali terasa asing. Ditulis tahun 1955, puisi itu tampak masih memuat gema kaum modernis tentang dikotomi kota dan desa sebagai oposisi biner yang menampung adjektiva dengan konotasi tidak monoton: jahat-baik, bising-sunyi, dinamis-statis, maju-tertinggal. Pertama kali membacanya, imajinasi saya tak sampai tentang gadis kecil berkaleng kecil karena desa saya lumbung padi dan orang desa kami yang tidak punya uang sepeser pun masih bisa makan kenyang. Jika pun ada gadis kecil “tengadah…pada bulan merah-jambu” maka dia tengadah bersama kawan-kawan lain dalam jeda bermain lompat tali dan petak umpet di halaman rumah yang luas.
Bahkan dalam puisi itu Toto berbicara tentang kematian:
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu, tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda
Unik bahwa atmosfer getir itu justru menjadi penanda “hidupnya kota”, sesuatu yang sekaligus menautkan narator dengan hidup di ruang kota. Dalam ruang “tanpa jiwa” yang digerakkan oleh efektivitas dan efisiensi itu, para penghuninya luput menatap bulan, satu “pekerjaan” tanpa guna, selain pemilik “jiwa begitu murni, terlalu murni”: si gadis kecil, dan penyair. Sementara itu, 7 tahun kemudian, kita temukan penyair lain, Saini KM, menulis dengan lebih optimis tentang ruang yang sama: “Kota adalah seorang ibu, dari rahim siapa | lahir dirimu yang kedua…”.
Namun Saini KM juga menulis puisi lain yang—sebagaimana “Gadis Peminta-minta”—menempatkan penyair dan kanak-kanak dalam satu lanskap. Pada lanskap berlawanan kita temukan panglima, saudagar, dan laksamana sebagai representasi para penghuni “dunia orang dewasa”. Dibaca kembali tahun 2023 saat perang Israel-Palestina masih berkecamuk mencatut korban sebagian besar anak-anak, puisi yang ditulis tahun 1985 itu masih terasa mengetuk:
Tiap pagi penyair dan kanak-kanak merayakan kelahiran bumi: Tanah wangi tubuh bayi!
Sebagaimana berulang kali saya katakan, salah satu alasan saya menolak mendukung pihak mana pun yang kekeh memperpanjang perang di Palestina adalah fakta bahwa anak-anak merupakan salah satu korban paling dirugikan dalam perang mana pun. Dalam posisi semacam itu, orang dewasa patut melonggarkan ego mereka dan berkompromi dengan banyak hal, termasuk tentang hak kepemilikan tanah bertaut asal-usul moyang yang tak pernah benar-benar jelas.
Namun “ego” dan “kompromi” adalah dua leksem yang sukar akur. Mengharapkan keduanya hidup berdampingan secara damai dalam cakupan jemaat yang menyusun bangsa lebih tampak sebagai sesuatu yang utopis meski bukan berarti tak layak diharapkan. Orang-orang dewasa cenderung lebih merasa penting menjulangkan ego mereka, satu kegandrungan yang dalam puisi Saini KM digambarkan dalam wujud “menghitung mayat; | mata menatap bendera, hidung mencium darah.”
Anak-anak banyak menempati posisi penting dalam karya sebagian sastrawan kita. Saya pikir kita juga sepakat bahwa bacaan bagus bagi anak-anak sama pentingnya dengan novel dan puisi bagus untuk kita orang dewasa. Ajaibnya, sampai kini sebagian orang masih merasa gagah menolak memasukkan bacaan untuk dan oleh anak sebagai sastra, seolah ada karakteristik independen dan baka pada makhluk yang kita sebut “sastra”, karakteristik yang lantas dipercaya melegitimasi label “kualitas” teks. Kita tahu keyakinan semacam itu sama usangnya dengan dikotomi pop dan sastra kini empat dekade setelah pascastrukturalisme meluluhlantakkan pola pikir biner, empat dekade setelah Rendra berbicara lantang lewat sajaknya bahwa “kawan dan lawan adalah saudara”.
Mungkin karena pandangan usang tersebut dulu dominan dan tak pernah benar-benar tergerus dalam kesusastraan kita kini maka kita tak heran saat di bait akhir puisi Saini KM menemukan adegan saudagar berkata pada laksamana menegaskan bahwa pihak lain, para penyair dan kanak-kanak, berdiam “di tepi padang, di tepi dunia orang dewasa” asyik “menghitung kupu-kupu atau gemintang”. Ada nada cemooh dalam ucapan saudagar tersebut terhadap keasyikan yang, sebagaimana lakuan “tengadah…pada bulan merah-jambu”, memang kerap diremehkan karena tidak memiliki aspek pragmatis langsung, isu yang juga kerap hadir tiap kali kita membahas guna sastra.
Persis pada titik itu pula kita bisa memahami mengapa penyair, sebagaimana anak-anak, kerap kali tidak masuk hitungan dalam hidup yang menjunjung efektivitas dan efisiensi, termasuk dalam situasi perang. Anak-anak, pemilik tubuh yang dianggap belum utuh dan pemilik hak yang dipandang belum penuh, tidak memiliki simbol falus, senjata teracung yang menakar nilai manusia dengan jumlah mayat yang dia ciptakan. Puisi kreasi penyair, label yang dalam banyak kultur disetarakan secara terhormat dengan “nabi” sekaligus secara sial dengan si majnun, dianggap tidak memiliki kekuatan menghancurkan markas musuh, bahkan jika si penyair bukan “bersajak tentang anggur dan rembulan”.
Namun pola pikir semacam itu cacat karena sejak awal premis yang dikedepankan keluyuran dalam kamar yang salah. Pandangan dunia penyair dan kanak-kanak bukan bertolak dari efektivitas dan efisiensi dan apa boleh buat untuk memahaminya dibutuhkan kesabaran dan kesadaran akan dunia lain di “tepi dunia orang dewasa”. Penyair dan kanak-kanak bukan para pengambil peran di pusat, mereka berada di “tepi padang”, ruang yang tampak hanya saat kita legawa mengakui bahwa efektivitas dan efisiensi bukan satu-satunya hukum yang menggerakkan dunia. Hanya saat kita memiliki “jiwa manusia” itulah maka kita bisa memahami mengapa bukan pada panglima, saudagar, dan laksamana melainkan
Pada para penyair dan pada kanak-kanak melati tersenyum dan mawar tergelak
Baris-baris puisi tersebut menempatkan penyair dan kanak-kanak pada posisi setara. Tentu saya tidak sedang menyusun argumentasi gampangan bahwa karena karya penyair adalah puisi adalah sastra dan kanak-kanak setara penyair maka karya kanak-kanak pun adalah sastra. Saya hanya ingin menyatakan bahwa penyair dan kanak-kanak memiliki kesamaan perihal kepemilikan kemampuan mencerap dunia dengan sederhana dalam kesekarangan yang utuh, sikap yang menciptakan harmoni jiwa bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan spesies lain: melati dan mawar, bunga-bunga yang luput dari tatapan saudagar dan laksamana yang melulu sibuk “berhitung dengan emas dan kematian”. Dengan kesetaraan itu, tidak pada tempatnya jika kita menempatkan anak-anak pada status sosial rendah.
Dengan kata lain, salah satu argumen yang biasa dikedepankan oleh mereka yang memandang bacaan untuk dan oleh anak-anak tidak layak dikategorikan sastra dan memiliki posisi rendah dalam hierarki teks karena anak-anak dianggap belum sesempurna manusia dewasa pun bisa tertolak. Jika kita bingung apa yang mungkin kita lakukan untuk mengisi perayaan Hari Anak Sedunia tiap tanggal 20 November, saya pikir kado ini merupakan yang terindah yang bisa kita berikan bagi mereka: mari sepakat bahwa bacaan untuk dan oleh anak merupakan karya bernilai, baik nilai tersebut dihasilkan dari label sastra ataupun label lain, mari sepakat bahwa teks-teks semacam itu sama layaknya untuk dianggit, diapresiasi, dan ditelaah sebagaimana, katakanlah, prosa-prosa terbaru Sasti Gotama dan puisi-puisi Hamzah Muhammad. Salam.