1
Air dan Cinta: Alam dan Yang (Tak Selalu) Alami
SUMUR (Gramedia Pustaka Utama, 2021) karya Eka Kurniawan adalah sebuah cerita disajikan jauh lebih pendek daripada persoalan yang ia kandung. Cerita dipublikasikan pertama dalam antologi tentang perubahan iklim dan kesenjangan sosial ini bisa diselesaikan “sekali duduk”, tetapi persoalan yang ia angkat mungkin tak selesai bahkan dalam beribu kali duduk.
Karena Sumur berbicara tentang dua hal yang tanpanya peradaban kita tak akan sempurna: air dan cinta. Dalam Sumur kita menemukan satu poin yang mungkin selama ini luput dari perhatian, yakni bahwa air dan cinta saling berhubungan lebih dari fakta umum bahwa sehabis bercinta kita biasa mandi besar menggunakan air. Saking berhubungannya maka ketika salah satu terganggu, satu yang lain pun tak sempurna.
Hal tersebut Toyib dan Siti tunjukkan sepanjang cerita. Karena kelangkaan air maka hubungan cinta mereka tak bisa bersatu, lahir batin. Lahir: kelangkaan air membuat Siti pergi ke kota, membuat dirinya menjauh secara fisik dari Toyib. Batin: kelangkaan air membuat bapak Toyib memarang bapak Siti sehingga segala relasi antara keduanya pun terputus. Akan tetapi paradoksnya, kelangkaan air pula yang mampu menjaga dan menyuburkan cinta, seperti Toyib yang rela mengisi bak penampungan di rumah Siti bahkan ketika Siti tak ada, ataupun mampu membuat cinta mereka bersemi kembali di tepi sumur menjelang akhir cerita.
Dus, di sini kita menyaksikan benturan antara tindakan manusia dengan tindakan alam, sebuah ciri khas teks ekokritik sastrawi. Jika kita menyimpulkan bahwa kelangkaan dan berlebihnya air merupakan buah tindakan manusia yang tak “alami” maka kita bisa menyimpulkan bahwa ujung ketidakalamian manusia adalah tragedi, seperti ditunjukkan oleh kematian bapak Toyib yang terseret air bah ataupun kematian berjamaah pasangan Toyib dan pasangan Siti, di sumur.
Cinta adalah sesuatu yang alami pada setiap manusia, tetapi manusia yang memang tindakannya memiliki potensi untuk mengejutkan dengan segala penyimpangannya membuat cinta tak selalu alami. Hal tersebut menjadi masalah karena kealamian merupakan hukum tertinggi alam untuk memutuskan “mendukung” manusia. Kisah cinta Toyib dan Siti tidak berakhir semanis kisah FTV karena cinta mereka menjelang akhir tidak lagi sealami sebelumnya: masing-masing memiliki pasangan, masing-masing terlalu sembrono untuk memamerkan bahwa cinta mereka terarah bukan pada pihak yang semestinya.
Maka kita temukan Sumur sebagai cerita pendek tentang kisah cinta yang tak pendek sekaligus tak bahagia. Cinta adalah satu emosi paling kuat mengendalikan manusia, tetapi alam jauh lebih kuat dan kita kadang tak menyadarinya. Teks-teks ekokritik sastrawi membongkar pandangan warisan buruk bahwa manusia sebagai kultur merasa lebih superior dari natur, alam. Dari sudut pandang ini, yang lebih superior itu secara alami memiliki yang lebih inferior, alam adalah milik manusia yang bebas memperlakukannya sekehendak hati.
Dari pandangan yang sama kita mendapati pertentangan panjang superioritas pria dan inferioritas wanita dalam tradisi patriarki. Wanita dikonstruksi sebagai lebih inferior maka secara alami dia dipandang merupakan “milik” pria, menggunakan metafora kitab suci: sawah ladang yang boleh diolah kapan pun dan dengan cara apa pun yang pria kehendaki. Tak heran jika kita temukan istri Toyib tiap kali mengungkapkan kecemburuan yang tentu saja merupakan hak dia sebagai istri, justru mendapatkan balasan kekerasan verbal dari suaminya.
Toyib dan Siti mampu mempertahankan cinta mereka dengan sabar dari berbagai “cobaan”, tetapi mereka gagal mempertahankan diri dari “cinta sebagai cobaan” itu sendiri, cinta yang memancing-mancing mereka untuk menjadikan cinta itu tidak alami. Lalu kita tahu pada momen itu alam menunjukkan supremasinya: ia menghancurkan ilusi cinta bahagia.
Namun, kita boleh bertanya-tanya: jika Toyib dan Siti tak berbahagia karena mereka adalah pendosa, kenapa pasangan-pasangan mereka pun harus tak bahagia? Lalu kita ingat bahwa pasangan Siti pun bukan seorang suami selaras alam, ia datang seolah bujangan sementara pada aslinya dia bajingan beristri. Sementara pasangan Toyib? Jika ada ketidakcocokan parah antara suami istri, bukankah jalan alami adalah bercerai?
Tentu saja kita tahu bahwa realitas tak selalu memungkinkan manusia untuk bertindak alami. Mengaku sebagai pria beristri ataupun meminta cerai pada suami itu tidak semudah mengungkapkan kemungkinan tersebut dalam satu kalimat pada sebuah esai. Dalam kasus pertama ada hambatan emosional karena ingin sukses, pada kasus kedua ada hambatan represi dari kuasa yang apa boleh buat sudah dikonstruksi lama untuk secara taksadar dirasakan lebih besar. Akan tetapi kita juga mesti mencatat bahwa tindak menyerah terhadap ketidakmudahan itu juga yang membuat kisah cinta Toyib dan Siti tidak berakhir bahagia, yakni ketidakmudahan untuk menahan keinginan bercakap-cakap, tentang apa pun, dengan hanya dipisahkan oleh sumur. Bahkan ketika hidup menyediakan pilihan, manusia cenderung memilih satu yang praktiknya paling mudah.
Namun, kita juga boleh mengatakan bahwa dalam cerita dua pasangan di dalam Sumur, kasih tak sampai menularkan ketidakbahagiaan kepada orang lain. Jika kita sepakat bahwa kisah cinta Toyib dan Siti pada dasarnya tidak bersatu karena—menggunakan istilah Toyib—“kutukan” alam, maka ketidakbahagiaan mereka kemudian ditularkan pada dua karakter yang bisa mereka “tindas”: suami Siti yang saat itu sudah berubah menjadi si lemah, istri Toyib yang dari awal memang sosok tanpa daya. Lingkaran setan semacam ini merupakan ciri khas segala penindasan, efek bola salju yang setara dengan fenomena lazim bahwa ketika seorang anak kerap ditaboki bapaknya di rumah maka dia akan cenderung terdorong menaboki kawan-kawannya yang lebih lemah di sekolah.
2
Seks yang Absen: Alam yang Rusak
Sumur hadir dengan wujud fisik cantik dibungkus amplop lengkap dengan mantra anti-maling “buku ini milik…” di bagian belakang yang membuatnya sangat layak untuk dijadikan bingkisan. Ukuran 11×18 dan ketipisannya menimbulkan nostalgia buku-buku lama, misalnya Seribu Kunang2 di Manhattan Umar Kayam (Pustaka Jaya, 1972) atau Jagat Alit Godi Suwarna (Rahmat Cijulang, 1984), ukuran cukup untuk dibawa-bawa ke warkop atau kafe tanpa terlihat jemawa. Teks dalam disertai enam ilustrasi realis hitam putih menawan, sementara pada kovernya yang berkuping sehingga mengesankan eksklusif, rupa kover dihiasi kosmetik alami: judulnya Sumur dan kita temukan gambar sumur pula pada kover, ilustrasi adegan menjelang klimaks saat Toyib dan Siti mengobrol dengan dipisahkan sumur.
Pesan yang ingin disampaikan oleh Sumur juga sangat mudah ditangkap, apalagi jika kita dibantu petunjuk judul antologi yang pertama memuat terjemahannya: Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World [Kisah Dua Planet: Cerita-Cerita tentang Perubahan Iklim dan Kesenjangan dalam Satu Dunia yang Terbelah] (Penguin Books, 2020). Buku setebal hampir 300 halaman itu memuat esai, cerpen, dan puisi 36 penulis dari berbagai negara berbeda dengan tema sama sesuai judul: perubahan iklim dan kesenjangan.
Secara sederhana, Sumur menunjukkan dampak alam yang tak lagi ramah kepada manusia karena dirusak oleh manusia sendiri. Dampak itu bukan hanya menyentuh hal-hal umum seperti banjir yang merusak tanaman padi siap panen atau membuat ikan-ikan kita berpindah ke kolam milik orang lain sejarak ratusan meter, melainkan juga salah satu hal paling privat dalam kehidupan manusia: cinta. Terlepas dari adagium bahwa pesan teks sastra itu tak bisa dikekang, tapi minimal kalau kita membaca cerita ini lantas lieur dan gagal sekadar menangkap pesan seperti di atas maka kita layak meragukan kemampuan kita sebagai komunikan.
Sumur memang tidak mengisahkan asal-mula perubahan iklim, ia meloncat dari perbandingan dalam jarak yang jauh antara dulu, disajikan dalam dua paragraf penuh nostalgia yang menjadi satu-satunya halaman dalam buku ini yang memuat kebahagiaan, dengan sekarang. Akan tetapi ia mengisahkan kelanjutannya: manusia-manusia yang mengalami kesulitan hidup karena perubahan itu, bukannya memperbaikinya justru malah menambah kerusakannya karena keinginan untuk mendapatkan “uang mudah.”
Para cukong datang dan membujuk para penduduk kampung menjual kayu-kayu yang tersisa, dan itu berarti uang yang mudah didapat. Pohon-pohon menghilang, dan itu membuat air semakin sulit. Karena air semakin sulit, pohon-pohon semakin enggan bertunas.
Sumur, hal. 34
Individu dan korporasi, yang disimbolkan oleh cukong, sama-sama merusak alam dengan porsinya masing-masing. Lantas seperti biasa, meski korporasi memiliki andil perusakan yang lebih besar, pihak paling sengsara adalah pihak paling lemah. Korporasi, sebagai pihak yang kuat, bahkan memiliki kuasa untuk menimpakan kesalahan itu ke para individu, hal yang diungkapkan dengan sangat gamblang oleh Grace Blakeley dalam The Corona Crash:
Para penyebab polusi mendapatkan keuntungan dengan membuat kita percaya bahwa kehancuran iklim merupakan pertanggungjawaban individu: percakapan publik tentang kerusakan iklim yang hanya fokus terhadap sedotan plastik, daur ulang, dan veganisme memberikan rasa tenang dan nyaman bagi perusahaan-perusahaan minyak.
The Corona Crash, hal. 86-87
Terlepas dari itu, kita bisa bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi dalam paut jarak antara zaman dulu dan zaman sekarang. Kenapa generasi dulu tampak lebih ramah alam sementara terlepas dari gembar-gembor back to nature, kita masih lebih suka memusuhi alam dengan cara memperlakukannya seenaknya sebagai milik kita secara eksklusif dan tak sadar bahwa itu merupakan kesalahan bahkan setelah alam balik memusuhi kita?
Ada banyak kemungkinan jawaban, tetapi kita boleh menengok pada sesuatu yang absen dalam kisah orang-orang Sumur: seks.
Berbeda dengan beberapa kisah lain anggitan Eka Kurniawan yang melukiskan seks sebagai bagian biasa dari kehidupan tanpa terasa terlalu norak digembar-gemborkan atau terlalu syahdu dikekang, tak ada porsi untuk itu dalam Sumur. Kita bisa membayangkan para tokohnya tentu melakukan itu, tetapi tak ada ruang untuk menyajikannya secara tekstual. Dunia Sumur seolah dunia yang terlalu muram untuk memandang seks sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup.
Kita bahkan bisa merasakan bahwa sampai titik tertentu cinta antara Toyib dan Siti adalah cinta platonik dalam pengertian umum dan KBBI yang sebenarnya tidak sepenuhnya tepat, sesuatu yang agung di mana seks tak memiliki tempat dan libido dirampungkan cukup dengan bercakap-cakap sejarak lingkar sumur. Cinta platonik semacam ini mungkin dipandang sebagai pertanda kematangan dalam situasi tertentu, tetapi ia tak selalu sehat, sebagaimana kita juga boleh beranggapan bahwa keplatonikan bercakap-cakap itu jika diteruskan bisa jadi meningkat menjadi adegan fisik.
Terutama jika kita mempertimbangkan analisis psiko-antropologis bahwa dalam kehidupan klasik, seks memegang peranan kuat dalam pembentukan kultur. Totemisme yang kita temukan beberapa variannya dalam kehidupan beberapa generasi sebelum kita pada masanya mampu menjaga harmoni antara manusia dengan alam, antara kultur dengan natur. Paham tersebut berakar dari tabu inses: rasa bersalah pembunuhan bapak karena hasrat memiliki ibu yang lantas diwariskan kepada generasi terkemudian dan beralih wujud menjadi kodifikasi aturan adat tak tertulis.
Tabu inses jugalah yang membuat hasrat seks manusia diarahkan ke luar, ke yang bukan-keluarga. Pernikahan lantas hadir untuk menjadi lembaga kultural pelegal relasi cinta, sementara cinta selalu memuat seks, dan penggambaran hal itulah yang absen pada pernikahan tokoh-tokoh dalam Sumur. Pernikahan Siti dengan suaminya mungkin awalnya didorong oleh hasrat seks pihak suami, tetapi pasca-kecelakaan, kita boleh menduga bahwa motivasi sang suami sudah berubah menjadi motivasi lain: kebutuhan memiliki tempat bernaung, memiliki pengurus hidup. Sementara motivasi pernikahan Toyib dengan istrinya didorong oleh patah hati setelah dia tahu Siti menikah. Di sini pernikahan sudah berubah bukan lagi lembaga kultural pelegal relasi cinta melainkan bagian dari penanda status sosial—dan kita boleh bilang sekaligus simbiosis parasitisme pada kasus Siti—sebagaimana lazim kita lihat dalam kehidupan nyata.
Padahal tabu inses yang menimbulkan penghormatan terhadap ibu bukan hanya berjasa memunculkan totemisme semacam pohon besar tua di hulu sungai ditunggui oleh roh leluhur pendiri desa atau penjaga desa, melainkan juga bergerak lebih jauh ke dalam ketaksadaran manusia menanamkan analogi antara tanah dengan ibu. Bukan tanpa alasan kita menyebut tanah air sebagai Ibu Pertiwi, bukan tanpa alasan ada mitologi Dewi Sri di Jawa atau Sari Pohaci di Sunda. Penghormatan terhadap ibu yang melarang melakukan hubungan seks dengannya lantas menanamkan ketaksadaran kolektif berupa penghormatan terhadap tanah sebagai sesuatu yang tak boleh seenaknya dijamah dan harus dijaga supaya tetap subur.
Dengan kata lain, kita boleh mengatakan bahwa absennya pelukisan seks sebagai sesuatu yang alami dalam Sumur merupakan simbol runtuhnya tradisi warisan leluhur yang berakar dari pandangan klasik tentang seksualitas, baik pada Toyib dan kawan-kawan secara khusus maupun mungkin pada kita semua secara umum. Dunia Sumur adalah dunia tanpa seks dan selepas membacanya kita tahu betapa muram dan garingnya dunia semacam itu.
3
Desa dan Kota: Yang Ditinggalkan dan Yang Dijelang
Dalam Beginning Theory (2017: 255), Peter Barry mencatat 4 lanskap lazim teks-teks ekokritik sastrawi secara berurutan dari alam murni ke kultur yang dikonstruksi: pertama, wilderness, wilayah yang tak digarap, tak berpenghuni, dan tak ramah, misalnya gurun, laut, benua-benua tak berpenghuni; kedua, scenic sublime, pemandangan indah, misalnya rimba, danau, pegunungan, tebing, air terjun; ketiga, countryside, tanah dan pemandangan daerah pedesaan, misalnya perbukitan, ladang, hutan; dan keempat, domestic picturesque, keindahan lokal, misalnya taman, kebun, jalan setapak. Membicarakan Sumur, kita mendapati penggunaan lanskap tipe ketiga, lanskap desa, yang kemudian dibandingkan dengan lanskap kota.
Menariknya, di dalam Sumur, informasi tentang kota hanya disampaikan sedikit, melalui pengalaman Siti. Tiga karakter minor yang juga pergi ke kota dan memiliki potensi untuk berbagi pengalaman, yakni dua adik perempuan Siti dan adik laki-laki Toyib, tidak berbagi pengalaman. Kita bahkan tak tahu apakah dua adik Siti itu ikut pulang kampung bersama Siti atau tidak, sementara adik laki-laki Toyib yang tak dikisahkan memiliki masalah apa pun mungkin memang berhasil di kota.1 Ada catatan menarik tentang adik Toyib ini yang juga disampaikan oleh Irman Abdurrahman dalam ulasannya, Sumur: Cerita Serba Murung Eka Kurniawan. Catatan terkait inkonsistensi Toyib yang di depan sebutkan memiliki “adik-adik” tetapi di belakang disebutkan memiliki “adik lelaki satu-satunya.” Menarik bahwa dalam edisi bahasa Inggris, inkonsistensi ini tak ada. Bandingkan Sumur (Gramedia Pustaka Utama, 2021) hal. 23, 25, dan 33 dengan “The Well” dalam Tales of Two Planets (Penguin Books, 2020) hal. 190, 191, dan 193.
Dengan kata lain, kota dalam Sumur ditampilkan sebagai sesuatu yang kabur. Hanya sedikit yang kita ketahui tentangnya, sisanya hanya imajinasi, eskapisme dari realitas desa tempat “mata air lebih sering menjadi hamparan lumpur” sehingga manusia harus “berbagi sumber air dengan binatang dan entah apa lagi,” dan “hujan jarang datang dan kemarau memanjang hingga sebelas bulan dalam satu tahun” sehingga “musim panen tak lagi menghasilkan apa pun.” Gambaran kabur tentang kota yang secara imajinatif cenderung kontras dengan realitas desa sebagai the waste land, tanah gersang, merupakan gambaran yang sangat analog dengan gambaran sebuah “tanah yang dijanjikan”.
Di dalam Sumur, ketika upaya untuk mengembalikan alam yang dulu dalam jangka pendek sudah tak terpikirkan sebagai sebuah kemungkinan maka satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah pergi ke kota. Langkah mencari “tanah yang dijanjikan” semacam itu sudah dirintis sejak awal sebagaimana tergambar dalam kata-kata bapak Toyib bahwa “tak ada anak lelaki maupun perempuan seumurmu masih bertahan di kampung ini, kecuali dirimu,” lantas menjadi puncaknya dengan tindakan Toyib yang semula tak pernah mengalah pada godaan itu. Sumur bukan cerita tentang malaikat atau lanskap hitam putih ekstrem ala Dickens, mungkin karena itu ia adalah cerita yang muram: cerita tentang manusia kontemporer.
Dengan kata lain: cerita tentang kita.
Kita tentu saja tak tahu apakah Toyib menemukan kebahagiaan di kota, sama halnya kita tak tahu apakah sumur tempat kematian pasangan mereka kemudian, misalnya, menjadi sumur berhantu atau tidak. Cerita tentang Toyib dan Siti dipungkas pada fakta bahwa Toyib sudah menjadi “orang kota” yang tak pernah lagi kembali ke desanya, adegan yang sudah dinubuatkan dari awal oleh namanya.
Pada titik itu kita boleh curiga bahwa Toyib tak bahagia di kota, dan semoga demikian. Kota hanya menjadi tempat pelarian dan dia pada akhirnya menjadi pecundang, terlepas dari apa yang disebutkan dengan nada yang mungkin memancing simpati di akhir cerita Sumur tentang “rasa perih tak berkesudahan”. Ada poin yang tak dikisahkan di akhir cerita Sumur tetapi justru merupakan poin yang sangat penting, yakni nasib Siti setelah peristiwa bunuh diri berjamaah pasangannya dan pasangan Toyib.
Kebiasaan Siti dan Toyib bercengkerama dipisahkan sumur setiap subuh sampai “cahaya langit timur semakin terang” disebutkan sudah menjadi pengetahuan khalayak yang, meskipun demikian, membiarkannya karena mereka lebih “memilih memikirkan urusan masing-masing”. Akan tetapi bisakah kita mengatakan bahwa hal sama akan terjadi ketika sudah terjadi peristiwa kematian pasangan kedua orang itu di sumur?
Kemungkinan besar tidak. Kematian berjamaah dengan cara tidak alami itu sudah cukup untuk membuat orang-orang beranggapan bahwa urusan itu sudah berubah dari urusan masing-masing menjadi urusan mereka semua. Maka kita bisa membayangkan bahwa tekanan psikologis yang dihadapi Siti sebagai perempuan yang tetap tinggal di kampung setelah peristiwa itu sangat besar, tekanan yang harusnya dirasakan juga oleh Toyib jika dia tetap tinggal di kampung, karena tindakan mereka berdualah, bukan hanya Siti, yang menyebabkan kematian tragis itu terjadi. Apakah itu berarti Toyib adalah si pengecut sementara Siti lebih tabah dari dia?
Mungkin saja. Atau mungkin itu menunjukkan bahwa peradaban kita masih/selalu berciri khas patariarki: bagi pria selalu ada pilihan, termasuk pilihan untuk pontang-panting melarikan diri hidup di kota sebagai pria tanpa kemaluan, sesuatu yang ditinggalkan di kampung halaman sebagai simbol masa lalu. Toyib sudah tak punya siapa pun di kampung, ibunya sudah mati. Sementara Siti? Benar bahwa ketika dia memutuskan akan pulang kampung disebutkan bahwa bagi dia kota juga tidak memberi banyak pilihan, sementara
di kampung mungkin ia bisa berkeliling ke kampung-kampung yang lebih subur, membeli pisang, kelapa, pepaya atau singkong dari petani dan menjualnya ke penadah lain.
Sumur, hal. 38
Namun, jangan lupa bahwa situasi kemudian berubah ketika hari h tiba: Siti pulang kampung membawa suami yang sudah cacat dan kita bisa menebak seberapa banyak uang yang dia kumpulkan tersisa ketika tragedi kematian suaminya terjadi. Karena itu, saat tiba di pagina akhir cerita setipis 48 halaman ini, rasa kasihan kita kepada Toyib mungkin sudah semakin berkurang dan sebaliknya rasa simpati kita kepada Siti terus bertambah. Pada saat yang sama kita juga mungkin sadar dalam kehidupan kita kini ada banyak Toyib dan Siti lain dengan kisah kasih serupa sementara kita tak memahami mereka sebaik ketika kisah kasih mereka sudah dirangkai menjadi teks muram yang bagus oleh Eka Kurniawan. Salam.
Yogya, Komunitas Imajiner, 18 Juni 2021.