“Tulisan pada Tembok” Pesantren dan Sanad Kepenyairan Acep Zamzam Noor

DALAM Rahasia Membutuhkan Kata, sebuah telaah singkat sejarah puisi di Indonesia pada rentang 1966-1998, Harry Aveling (2003: 162) menempatkan Acep Zamzam Noor sebagai bagian dari generasi baru penyair muslim yang muncul pasca-Angkatan ’66 bersama dengan Emha Ainun Nadjib dan Ahmadun Yosi Herfanda. Ciri khas mereka sebagaimana Aveling ungkapkan adalah tendensi ke arah sufisme, keakraban pencitraan dari Alquran, dan lebih dari itu, ketiga penyair ini memiliki latar belakang sama: pesantren.

Pada tahun 2011, Acep Zamzam Noor menerbitkan satu antologi puisi berjudul Tulisan Pada Tembok. Judul diambil dari judul puisi ke-46 dalam antologi yang memuat total 87 puisi. Sebagaimana Acep Zamzam Noor katakan dalam pengantar buku, antologi ini adalah antologi puisi dia yang sebagian besar ditulis antara tahun 1979-1989.

Penjelasan lebih detail mengenai masa pembuatan puisi-puisi yang ada dalam antologi tak bisa ditemukan dalam antologi bersangkutan: semua puisi tidak mencantumkan waktu eksak penulisan. Satu penjelasan dimaksud justru ditemukan dalam salah satu esai Acep Zamzam Noor berjudul “Sekitar Proses Kreatif Saya” (Noor, 2011: 254) bahwa puisi “Mengapa Selalu Kutulis Sajak” yang merupakan puisi ke-12 dalam antologi Tulisan Pada Tembok ditulis pada tahun 1981.

Dengan melihat fakta itu dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi-puisi dimuat dalam antologi ini disusun secara kronologis dari puisi ke-1 sampai ke-87 bertarikh 1979-19891Terkadang puisi dalam satu antologi disusun tidak secara kronologis seperti misalnya antologi Kata-Bakdi Soemanto (terbit 2007) atau Gandari-Goenawan Mohamad (terbit 2013). Sebagaimana Goenawan Mohamad katakan dalam pengantar antologi tersebut, penyusunan secara kronologis hanya penting, kadang-kadang, untuk telaah, tapi tidak ada hubungannya dengan “menikmati puisi”.Antologi ini lantas bisa menjadi bahan telaah menarik mengenai sanad kepenyairan Acep Zamzam Noor, terutama karena masa itu adalah masa awal Acep Zamzam Noor terjun ke dunia kepenyairan

Pesantren dan Kampung Halaman

Jika dalam tulisan ini digunakan istilah sanad, maka itu semata berlandaskan penghormatan untuk Acep Zamzam Noor sebagai seorang penyair yang lahir di pesantren,2Acep atau Cep dalam budaya di tanah Sunda masa lampau merupakan gelar untuk seorang putra kiai, sama dengan Gus di daerah Jawa. Baru kemudian dalam perkembangannya nama itu menjadi lazim pula digunakan oleh orang kebanyakan dengan berbagai variasinya: Cecep, Encep, Asep.ranah sering dianggap tertutup dari dunia luar, tempat para santri mempelajari kitab-kitab klasik. Dunia pesantren, dalam istilah Gus Dur, disebut sebagai sub kultur.

Dalam tingkatan tertentu, pesantren bisa disamakan dengan dunia dalam The Name of the Rose Umberto Eco. Bedanya, pesantren justru menghargai teks-teks klasik yang dalam sejarah kepesantrenan telah dipelajari tanpa henti secara turun-temurun dan dijadikan rujukan utama setelah Alquran dan Hadits. Teks-teks tersebut lebih populer dengan sebutan kitab kuning.

Di dunia pesantren, teks-teks ini—yang sering dianggap tidak ilmiah dan ketinggalan zaman oleh para cendekiawan hanya karena tidak adanya pencantuman daftar pustaka dan tanggal terbit—biasa diseleksi ketat sebelum bisa lolos sebagai sumber rujukan. Seorang santri yang telah mempelajari satu teks secara sempurna, maka dia akan mendapatkan sanad,3Istilah Sanad atau Thariq ini juga digunakan dalam ilmu Hadits yang biasa dipelajari di pesantren merujuk pada rangkaian perawi yang menjadi penyambung sampai ke matan. Lihat misalnya dalam Taysiru Mushthalah al-Hadits karangan Mushthafa bin al-‘Adawy, cetakan Maktabah Al-Haramayn, 1990, hal.7. istilah yang digunakan untuk merujuk pada informasi jalur keilmuan santri yang bersambung pada kiainya, guru kiainya, dan terus ke atas biasanya berujung pada Nabi Muhammad SAW.

Dalam dunia yang mementingkan sanad seperti itulah Acep Zamzam Noor lahir dan dibesarkan. Menarik melihat bahwa tradisi sanad dalam pesantren ini sebenarnya memiliki kesesuaian dengan “tradisi” dalam dunia sastra berdasar pada konsep komunitas tak sadar (unconscious community) antar generasi penyair yang T.S. Eliot ajukan, bahwa setiap penyair pasti memiliki hubungan dengan seniman-seniman dan penyair-penyair pendahulunya (Eliot, 1932: 15).

Sehubungan dengan kitab kuning, sebagai langkah awal baik disimak satu puisi dalam antologi Tulisan Pada Tembok:

Kitab-kitab telah menguning

Dalam kotak batin. Kokok ayam, dentang jam

O, cahaya bulan bergoyang-goyang, kerlip bintang

Mengangguk-angguk. Dan awan mabuk, cuaca buruk

“Catatan Akhir Tahun”

Frasa “kitab telah menguning” bisa bermakna dua hal: kitab, dalam artian buku ditulis dalam bahasa Arab tanpa harakat dan digunakan di pesantren sebagai rujukan, yang saking seringnya dibaca sampai halaman-halamannya menguning, atau memang kitab yang sejak awal ditulis dalam kertas berwarna kuning, satu langkah untuk menyiasati harga kitab terkait sekaligus kemudian menjadi sumber penamaan “kitab kuning”, bahkan ketika kitab tersebut kemudian dicetak lebih eksklusif menggunakan kertas putih. Keterangan “dalam kotak batin” mengisyaratkan bahwa pada diri narator, pembacaannya atas kitab-kitab tersebut sudah sampai ke tingkat pemahaman. Ini didukung imaji alam dalam baris-baris selanjutnya yang menjelaskan bahwa tingkat pemahaman bermakna penerapannya dalam kehidupan berupa kekhusyukan, kontekstual.

Kekhusyukan yang merupakan hasil penghayatan Acep Zamzam Noor terhadap kehidupan pesantren sebenarnya didukung pula oleh keberadaan pesantren tempat dia tinggal, pesantren Cipasung yang ketika itu diasuh oleh ayahandanya, KH Moh. Ilyas Ruhiyat, bertempat di pedesaan Tasikmalaya. Desa: sebuah tempat yang pada tahun-tahun ketika Acep Zamzam Noor menyusun puisi-puisi awalnya merupakan tempat yang sunyi, tenang.

Kesunyian itu kemudian menjadi tema dominan dalam puisi-puisi Acep. Dominannya tema tersebut, khususnya pada puisi-puisi dalam antologi Dari Kota Hujan (1995) yang merupakan kumpulan puisi keempat Acep Zamzam Noor secara kronologi publikasi setelah Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), sudah pernah Acep Iwan Saidi telaah dalam esai “Dari Kota Hujan Acep Zamzam Noor, Repetisi Kesunyian yang Menyebar Lalu Mengental”. Esai dimuat harian Pikiran Rakyat 20 Juni 1999 kemudian dimuat juga dalam antologi esai Acep Iwan Saidi Matinya Dunia Sastra: Biografi Pemikiran dan Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia (Saidi, 2006: 187-198).  

Dalam puisi-puisi Acep Zamzam Noor terkemudian, alam—dengan segala adjektiva yang menyertainya: kekhusyukan, kesunyian—kemudian menjadi tema yang semakin dominan. Satu puisi dia paling berhasil mengangkat tema ini dan disebut oleh Sapardi Djoko Damono (1999: 192) sebagai puisi yang menyampaikan “pengalaman keagamaan” dalam “serangkaian majas yang mengacu ke sebuah dunia yang dikenal baik” oleh Acep Zamzam Noor dimuat dalam antologi kelima, Di Luar Kata (1996), berjudul “Cipasung”:4Puisi ini dimuat juga dalam antologi Cakrawala Sastra Indonesia berjudul Nafas Gunung: Suara dari Jawa Barat dan tarikh penulisannya yang tercantum adalah tahun 1989. Nafas Gunung sendiri adalah sebuah antologi yang diterbitkan atas inisiatif DKJ dalam rangkaian acara forum sastra yang menghadirkan sastrawan dari tujuh provinsi. Lihat dalam Sarjono, Agus R. dkk (peny.). Nafas Gunung: Suara dari Jawa Barat. Yogyakarta: Logung Pustaka dan Akar Indonesia, 2004, hal. 11. Selain itu puisi ini juga dimuat di halaman belakang sampul biografi KH. Ilyas Ruhiyat yang diterbitkan LKiS pada tahun 2006.

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Acep sendiri (2011a: 265) mengatakan puisi tersebut merupakan puisi yang dia buat tentang kampung halaman: dunia yang dia kenal baik. Karena itulah tampaknya kekhusyukan Acep Zamzam Noor dalam menulis puisi pertama-tama merupakan hasil dari pengaruh kampung halamannya di mana pesantren tempat dia dibesarkan terletak.  

Di sisi lain, kekhusyukan tersebut tampaknya merupakan bentuk kompromi Acep Zamzam Noor atas pemberontakan yang dia lakukan terhadap beberapa aspek pesantren sebagaimana tergambar dari baris puisi “Senantiasa”:

Aku jadi malu pada kebebasan

Kemerdekaan yang kini membelengguku

Pemberontakan yang dalam istilah Acep Zamzam Noor (2011a: 257) dikatakan sebagai akibat dari benturan antara “gairah remaja akan kebebasan” dengan “aturan-aturan di pesantren”. Pemberontakan dimaksud sebenarnya tampak juga dalam puisi-puisinya melalui berbagai bentuk. Salah satunya misalnya pemberontakan dia terhadap sistem perpuisian yang cenderung akrab di dunia pesantren.

Sistem dimaksud adalah puitika puisi arab klasik (qadim/lazim) yang ketat. Puitika ini dipelajari juga di pesantren-pesantren Indonesia dan dikenal dengan istilah Ilmu ‘Arudh, artinya prosodi. Ilmu ini biasa dipelajari setelah seorang santri menyelesaikan pengajian Tata Bahasa Arab. Berbagai kitab yang lazim digunakan di pesantren merupakan contoh langsung hasil puitika tersebut dan dikenal dalam istilah pesantren sebagai nazam.5Berasal dari kata nadham dalam Bahasa Arab yang artinya sama dengan syi’r, puisi. Jadi dalam dunia pesantren istilah ini berbeda dengan istilah nazam dalam sastra Melayu yang diambil dari jenis puisi Persia merujuk pada puisi yang terdiri atas 12 larik, berima dua-dua atau empat-empat, berisi perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman (Zaidan, 2004: 136). Tata bahasa Arab yang biasa diajarkan di pesantren dengan rujukan Nazam Imrithi, Nazam al-Maqshud, dan yang paling populer Nazam Alfiyyah, disusun dalam bentuk qasidah, sistem perpuisian arab yang perbarisnya disusun oleh dua hemistich atau dua baris sejajar yang dipisahkan oleh jeda penggal medial dan ketat menggunakan peraturan bahr (matra utama) dan qafiyah (rima).6Acep Zamzam Noor sendiri kemungkinan besar waktu itu sudah mengenal sistem perpuisian pesantren yang mendapat pengaruh dari Sastra Arab dan memiliki keidentikan istilah dengan Sastra Persia. Dalam salah satu ulasannya mengenai rubaiyyat Omar Khayyam (Noor, 2011a: 70), Acep menyebut diksi rubaiyat, ghazal, dan matsnawi. Tentu saja ada kemungkinan bahwa Acep mengenal diksi-diksi tersebut dalam ranah puisi melayu sebagaimana keterangan singkat mengenainya misalnya dapat ditemukan dalam Puisi Lama-nya Sutan Takdir Alisjahbana (hal.129-133), tapi kemungkinan bahwa Acep mengenal diksi-diksi tersebut pertama kali dalam ranah pesantren lebih besar, terutama karena misalnya dalam penulisannya Acep memiringkan diksi matsnawi sehingga mengisyaratkan diksi tersebut sebagai diksi serapan, sementara Sutan Takdir menulis diksi tersebut dalam bukunya sebagai masnawi dengan s biasa dan tanpa ditulis miring sebab konteksnya merupakan bagian dari sastra melayu.

Contoh dari pembuka nazam Alfiyyah, yang disusun menggunakan bahr rajaz,7Dalam ilmu ‘Arudh ada 15 bahr yang diajukan oleh Imam Khalil ibn Ahmad sebagai bapak ilmu ‘Arudh, kemudian ditambahkan 1 bahr oleh al-Ahfasy menjadi 16. Bahr Rajaz adalah jenis bahr yang paling banyak digunakan dalam nazam-nazam yang dijadikan rujukan pesantren. Rumus baku bahr ini adalah wazan mustaf’ilun 6x, maknanya bahwa perbaris merupakan dua hemistich lengkap yang dipisahkan oleh jeda penggal medial, tiap hemistich tersusun dari 3 foot, dan tiap foot tersusun dari 2 suku kata panjang atau pendek, 1 suku kata pendek, dan 1 suku kata panjang. Keterangan yang lumayan lengkap bisa dilihat dalam satu kitab ‘Arudh yang lazim digunakan di pesantren-pesantren Indonesia karangan Syekh Muhammad al-Damanhuri berjudul Al-Mukhtashar asy-Syafi limatn al-Kafi. adalah sebagai berikut:

Qala Muhammadun huwabnu Maliki

Ahmadu Robbillaha khaira maliki

Mushalliyan ‘alannabiyyil musthafa

Waalihil mustakmilinasy syarafa

Baris-baris itu biasanya disadur juga ke dalam bahasa lokal untuk dibaca bersama-sama sebelum mengaji demi mempermudah hafalan dan kepahaman. Tiap pesantren di tanah Sunda biasanya memiliki versi-versi terjemahan sendiri-sendiri yang dilakukan oleh keluarga pesantren dan digunakan hanya di pesantren tersebut atau juga oleh pesantren yang didirikan oleh alumni pesantren terkait. Salah satu misalnya seperti ini:

Ngadawuh Syekh Muhammad Ibnu Malik

Muji abdi ka pangsaena Malik

Rohmat mugi ka Nabi anu pinilih

Ka ahli wargi sampurna teu kasilih

Dalam melakukan saduran, pihak pesantren biasanya tetap mempertahankan segi struktur rima nazam asli. Dengan kata lain, nazam versi terjemahan bisa dilagukan nyaring dalam irama sama dengan nazam versi asli. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa jenis puisi klasik Arab yang dipelajari di pesantren menitikberatkan pada struktur luar atau bentuk puisi (Kamil, 2012: 10). 

Bentuk-bentuk terikat seperti ini tak banyak ditemukan dalam puisi-puisi Acep Zamzam Noor. Memang ada beberapa puisi dia masih menggunakan kuatrin konvensional dengan rima aabb, misalnya kuplet pertama “Malam Ini Ingin Kutulis Sajak”,tetapi ritme dia gunakan cenderung melepaskan diri dari konvensi-konvensi puitika yang mengikat.

Pemberontakan tersebut tampaknya menemukan landasan pada seorang penyair yang Acep Zamzam Noor cantumkan dalam salah satu epigrafnya: Padwa Tuqan. Dalam penulisan ilahar, nama penyair tersebut adalah Fadwa Tuqan. Penulisan Fadwa dengan Padwa bisa dimaklumi sebagai kecenderungan orang Sunda untuk menyamaratakan pelafalan huruf f dengan p: bukti lain kuatnya pengaruh kampung halaman pada sosok Acep Zamzam Noor.

Fadwa Tuqan adalah wanita penyair Palestina kelahiran tahun 1917 yang dikenal sebagai penyair puisi bebas Arab. Puisi bebas dalam sastra Arab, yang disebut sebagai asy-syi’r al-hurr, yang dikembangkan oleh Fadwa Tuqan adalah jenis puisi bebas yang sama sekali tidak terikat pada satu qafiyah, satu bahr, dan satu taf’ilah (kaki sajak) dalam setiap bait-baitnya. Yang dipentingkan dalam puisi jenis ini adalah bagaimana puisi tersebut bisa menggugah rasa, sesuai dengan asal kata syi’r itu sendiri yang berarti rasa (Kamil, 2012: 17).

Puisi yang mencantumkan epigraf untuk Fadwa Tuqan adalah puisi yang juga dijadikan judul antologi, “Tulisan Pada Tembok”. Salah satu makna yang puisi tersebut antarkan sangat gamblang, menggambarkan protes atas perdamaian dunia yang tidak juga tercipta meskipun nobel-nobel perdamaian terus dianugerahkan, perundingan-perundingan terus diselenggarakan, fatwa-fatwa, seminar, konferensi, terus dimunculkan:

Semuanya belum juga menepi. Kapal-kapal di samudera

Pesawat-pesawat di udara, panser-panser di jalanan

Di medan-medan pertikaian. Dan abad-abad yang bergulir

Tahun-tahun yang mengalir. Musim-musim yang anyir

Entah kapan berakhir.

…………

Bukankah seratus Hadiah Nobel telah diobral

Dan seribu perundingan digelar? Tapi di manakah

Perdamaian? 

Puisi dengan tema protes seperti ini merupakan puisi yang juga banyak Fadwa Tuqan tulis selain satu jenis lain: rasa sepi dan romantisme cinta.8Salah satu contoh puisi Fadwa Tuqan yang sudah diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja bisa dibaca dalam buku Puisi Arab Modern, hal. 126-127. Puisi berjudul “Takkan Kutukarkan Cintanya”, mengungkapkan perasaan romantis seorang perempuan yang terbelah antara cinta seorang penyair dengan cinta kekasih di tanah air. Tema protes dalam puisi dia diarahkan kepada ekspansi Israel terhadap kampung halaman dia, Palestina, sementara rasa sepi dan romantisme mendorong sebagian besar puisinya menjadi jenis puisi personal (Meisami, 1998: 786).

Jenis puisi banyak Acep Zamzam Noor tulis adalah puisi lirik, yaitu puisi menonjolkan perasaan pengarang dalam bentuk teks monolog (Zaidan, 2004: 178). Jenis puisi ini Acep Zamzam Noor sendiri sebut sebagai jenis puisi paling banyak ditulis para penyair Indonesia (Noor, 2011a: 23). Dalam antologi Tulisan Pada Tembok, dari 87 puisi di dalamnya, sebanyak 71 puisi adalah puisi lirik, sisanya elegi (sajak ratap), sajak peristiwa (occasional poem), dan satire. Jenis terakhir ini dalam sastra Arab juga dimasukkan ke dalam kategori puisi lirik dan disebut sebagai hija’ (Kamil, 2012: 16).

Pilihannya atas jenis puisi lirik itulah tampaknya yang menjadi pendorong Acep Zamzam Noor mencantumkan nama Saini KM sebagai satu epigraf dalam puisi:

Mengurung diri dalam tungku

Dibakar cinta dan rindu

Api memercik dari setiap tetes darah

Tubuhku yang luka. Dan iman pun menyala

Di tengah hamparan gurun tak bernama

Pasir-pasir hanyut

Dalam sujudku. Batu-batuTumpah

Mataku buta oleh tangis seratus tahun

Pada puncak tiang salib

Gairahku menari. Gerobak sejarah

LewatMenyeret Sodom dan Gomorah

Kata-kata mengalir

Dari setiap desah nafas

Tahajudku. Dan iman pun membara

Mengobarkan pertempuran tanpa akhir:

Kematian melahirkanku kembali, mengulangku

Berkali-kali

“Le Poete Maudit”

Yang pertama menarik dari puisi di atas adalah judul yang sama dengan judul puisi Wing Kardjo dimuat dalam Laut Biru Langit Biru Ajip Rosidi (2013: 429). Le Poete Maudit artinya Pujangga yang Dikutuk.9Istilah Poete Maudit adalah frasa populer pertama kali di Prancis merujuk pada meluasnya jurang pemisah antara penyair berbakat dengan khalayak. Penyair dikatakan selalu dikutuk (maudit/cursed) oleh mereka yang memiliki kekuatan di muka bumi. Para penyair—karena mereka memiliki kualitas-kualitas superior—selalu menjadi sumber rasa iri dan benci masyarakat dan penguasa yang takut pada kebenaran-kebenaran yang mereka ungkapkan (Preminger, 1993: 925). Puisi Wing Kardjo berjudul demikian merupakan gambaran suram aku lirik yang merupakan seorang penyair menanggapi pandangan sinis sekitar atas dia yang menenggelamkan diri dalam dunia dengan segala sisi buruknya: dunia yang tak biasa bagi manusia yang biasa.

Puisi Acep Zamzam Noor di atas juga menggambarkan hal senada: perjalanan kreatif seorang penyair. Imaji “tungku” dalam baris pertama merujuk pada dunia nyata seorang penyair tempat dia menggodok sisi rohani yang digambarkan dengan ungkapan “cinta dan rindu”. Iman kemudian menjadi sandaran, kekuatan yang datang dari Tuhan dan dikuatkan dalam diri penyair yang sudah melewatkan segala luka termasuk merelakan “mata yang buta oleh tangis seratus tahun”: gambaran perjuangan yang sangat berat untuk mendapatkan ekstase kepenyairan.

“Tiang salib” menggambarkan puncak penderitaan, beban berat harus ditanggung penyair sebab dia mengemban tugas bawaan berupa “pertempuran tanpa akhir” menularkan penaklukan nafsu duniawi yang sudah dilakukan penyair pada khalayak. Godaan selalu datang bagi penyair: rintangan dari khalayak sendiri sampai membuat “tubuh luka meneteskan darah”, keinginan untuk menjadi sombong, membangkang pada titah Tuhan seperti pada kisah kaum “Sodom dan Gomorah”. Untuk mencegah si penyair kembali terperosok pada maqam rendah dia harus selalu menundukkan diri kepada Tuhan dalam menciptakan puisi-puisinya: kata-kata mengalir | dari setiap desah nafas | tahajudku.

Dengan mempersembahkan puisi ini untuk Saini KM, tampaknya Acep Zamzam Noor berpendapat Saini KM adalah tokoh yang mengajari dia bagaimana hakikat seorang penyair. Selain itu, kecocokan antara Acep Zamzam Noor dengan konsep yang disodorkan Saini KM tampaknya juga didorong oleh latar belakang Acep sebagai seorang santri: peran iman pada diri seorang penyair sepadan dengan ayat Alquran surat Asy-Syuara ayat 224-227 bahwa para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat kecuali penyair yang beriman, berbuat kebajikan, banyak mengingat Allah, dan mendapat kemenangan setelah terzalimi, sementara kisah mengenai Sodom dan Gomorah juga merupakan kisah yang dapat ditemukan dalam Alquran.

Saini KM adalah penyair kelahiran Sumedang, dikenal sebagai pengasuh rubrik Pertemuan Kecil dalam harian Pikiran Rakyat Bandung yang telah melahirkan banyak penyair. Acep Zamzam Noor sendiri menempatkan Saini KM dalam posisi sama dengan Umbu Landu Paranggi (Noor, 2011a: 35), guru para penyair Yogyakarta.

Selain menunjukkan adanya pengaruh dari Saini KM, dalam puisi Acep Zamzam Noor juga tampak adanya pengaruh Goenawan Mohamad,10Puisi-puisi awal Acep Zamzam Noor misalnya memiliki kecenderungan judul hanya satu kata atau dua kata atau lebih dengan mencantumkan preposisi di atau diksi lagu. Kecenderungan semacam ini juga dapat ditemukan dalam puisi-puisi awal Goenawan Mohamad. Lihat misalnya dalam Mohamad, Goenawan. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor Publishing, 2001. meski pengaruh Saini KM, yang sebagaimana Goenawan Mohamad merupakan penyair lirik, cenderung lebih dominan. Ini tampak dari posisi Acep Zamzam Noor yang mengadopsi kekhusyukan selain dari dua penyair itu tapi juga dari pesantren sehingga membuat dia tampaknya memilih menjadi penyair yang betah dengan tema alam sebagai simbol kampung halamannya seperti Saini KM alih-alih menjadi seperti Goenawan Mohamad dengan konsep “penyair sebagai Malin Kundang”-nya.

Baik Saini KM ataupun Goenawan Mohamad, keduanya pernah dijadikan tema esai Acep Zamzam Noor. Tulisan tentang Saini dimuat dalam harian Pikiran Rakyat tahun 2002, sementara tulisan tentang Goenawan Mohamad dimuat dalam harian sama 12 tahun sebelumnya. Di akhir tulisannya untuk Saini KM, Acep menulis sebagai berikut:

Di akhir tulisan ini saya tidak akan menyarankan Saini KM untuk belajar “tidak setia” dan sedikit “berkelana” seperti halnya Goenawan Mohamad, karena bagaimana pun “kesetiaan” yang keras kepala itu sangat berharga untuk zaman kita yang penuh perselingkuhan ini.

Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif, hal. 41

Tulisan tersebut merupakan semacam “pembelaan” untuk komentar Goenawan Mohamad mengenai puisi-puisi Saini KM sebagai puisi yang “pasti dan selesai” sehingga “tak banyak memberi ruang untuk ditafsir ulang oleh pembaca”.11Tulisan Goenawan Mohamad terkait berjudul “Saini dan Puisi Platonis”, semula dimuat dalam Budaya Jaya (1968), kemudian dimuat dalam antologi esai Goenawan Mohamad Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 313-334. Tampak bahwa Acep Zamzam Noor lebih mementingkan “kesetiaan” akan kampung halaman: alam yang permai yang ia sadari atau tidak juga meresapkan kekhusyukan yang dilatih oleh pesantren:

Setelah khusyuk berdoa

Lebur menjadi puisi

“Airmataku Lilin”

Ini juga menjelaskan kenapa puisi-puisi dalam Tulisan Pada Tembok tidak menunjukkan adanya pengaruh WS Rendra. Memang ada beberapa diksi dan frasa terkesan tabu yang mengingatkan pada puisi Rendra seperti misalnya “menyusu di dadamu” (Pertemuan), “selangkangan putih cakrawala” (Seperti Seorang), ataupun diksi “aku cinta padamu” (Nokturno), tetapi diksi dan frasa demikian tidak dominan dan lebih dekat dengan gaya puisi Kriapur daripada Rendra. Satu-satunya hal yang lumayan jelas untuk dikaitkan dengan Rendra adalah bahwa dalam antologi Tulisan Pada Tembok, puisi ke-36 berjudul “Dari Pelukis Buat Penari”dan puisi ke-37 berjudul “Dari Penari buat Pelukis”. Gaya puisi yang saling berjawab seperti ini juga bisa ditemukan dalam puisi-puisi Rendra yakni “Sajak Joki Tobing untuk Widuri”dan “Sajak Widuri untuk Joki Tobing” (Rendra, 2013: 74-75).

Nama Kriapur sendiri Acep Zamzam Noor singgung dalam puisi ke-74:

Sepucuk surat yang penuh catatan sunyi

Dikirimkan kemurunganmu dengan sampul jingga

Aku membacanya sambil minum darah bulan

Yang dituangkan langsung dari lukanya di langit

Sejenak aku mabuk dan menari-nari

Menangisi bumi yang terus dikhianati

Sedikit kegembiraan kusisakan untuk kupu-kupu

Yang menandai jejakmu dalam sepi. Di kamarku

Lampu teramat redup untuk jadi petunjuk

Bintang-bintang menyisih ke balik selimut

Dan tenggelam dalam kerumunan mimpi anak-anak –

Aku genggam suratmu dan kubaca fajar yang tiba

Seberkas cahaya seperti menyemburkan kata-kata

Yang membuka sungai lain buat airmata

“In Memoriam Kriapur”

Kata kunci puisi ini adalah diksi “fajar” yang membawa “cahaya” sehingga mengubah suasana suram yang dibangun sejak awal baris. Dalam ulasan mengenai Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noor, Aveling (2003: 163) menengarai adanya kecenderungan penggunaan diksi “cahaya” dalam menggambarkan “dunia yang dipenuhi dengan Tuhan yang keagungan-Nya selalu menuntun manusia untuk memuja-Nya secara spontan” dalam puisi-puisi mereka. Dalam Tulisan Pada Tembok pun diksi cahaya dengan segala padanannya memang berkali-kali muncul, misalnya dalam “Orang Usiran”, “Jalan Tamansari, Bandung”, “Dari Pelukis Buat Penari”, dan “Aku Menjerit”.

Puisi “In Memoriam Kriapur”sejak awal baris dibuka dengan adanya kabar, “sepucuk surat”, yang buruk dan lantas membuat si aku “mabuk dan menari-nari” sambil menangis: gambaran ketidakterimaan si aku akan kabar itu. Kemudian sampai pagi si aku masih berlaku demikian, “menggenggam surat”, bolak-balik membacanya, baru kemudian ketika fajar tiba dia berubah: “seberkas cahaya” yang “menyemburkan kata-kata” adalah gambaran Tuhan yang berfirman, atau dengan kata lain, ayat Alquran. “Sungai lain” yang kemudian terbuka buat “airmata” adalah gambaran tangis haru setelah si aku akhirnya menerima kenyataan, bahwa Tuhan Maha Mengatur. Dengan kata lain, tangis di ujung puisi ini adalah tangis beda dengan yang sebelumnya.

Kriapur, nama lengkapnya Krianto Agus Purnomo, adalah penyair kelahiran Solo dan pernah mengajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Solo. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis pada tahun 1987 (Aveling, 2003: 273). Jika melihat letak puisi “In Memoriam Kriapur” dalam antologi pada posisi ke-74, besar kemungkinan puisi ini memang Acep Zamzam Noor tulis saat dia mendengar kabar kematian Kriapur, atau setidaknya penulisan puisi tersebut memang memiliki kedekatan hubungan waktu dengan saat terjadinya kecelakaan tersebut. Meskipun tentu saja tidak menutup kemungkinan puisi ini dibuat satu tahun berikutnya, tahun 1988, yakni saat antologi puisi Kriapur berjudul Mengenang Kriapur dipublikasikan. 

Dalam ulasan Aveling (2003: 190-192), Kriapur digambarkan sebagai penyair romantik yang sering menulis tentang politik, dengan aroma protes terhadap kebijakan Orde Baru yang cenderung menganakemaskan perkotaan dan melupakan pedesaan. Dia cenderung simbolis dan banyak menulis puisi dengan tema kematian yang indah: kematian sebagai langkah pembebasan dari penderitaan dunia, jawaban atas pertanyaan yang juga pernah Acep Zamzam Noor pikirkan dalam “Nasib”:

Harus kita apakan hidup

Terlanjur masuk

Diksi “mimpi kanak-kanak” dalam puisi “In Memoriam Kriapur”di atas juga merupakan diksi akrab dengan tema yang sering diangkat oleh Kriapur. Selain itu, meskipun dalam satu esai Acep Zamzam Noor mengatakan dirinya pengagum Chairil Anwar, juga puisi dicantumkan di awal antologi ini adalah puisi bertemakan kematian sehingga bisa memancing praduga keselarasan dengan tema kematian sebagai tema puisi paling awal Chairil (“Nisan”), makna dan bentuk puisi itu tampaknya lebih dekat dengan Kriapur alih-alih Chairil.

Bunga dan merah tanah

Menyatu atas debu

Doa rabu

Mengurapi udara

Kusandang duka

Diam-diam

Ada yang pergi dalam

Diam

Ada yang lebih basah dari airmata

“Mengantar Jenazah”

Dilihat dari struktur luarnya, puisi ini mengambil bentuk bebas, sangat berbeda dengan gaya Chairil yang cenderung menggunakan kuatrin konvensional dengan rima akhir abab atau aabb. Kuplet pertama menggambarkan imaji visual setelah penguburan jenazah yang dilanjutkan dengan doa para pengantar. Ada diksi debu yang bisa mengingatkan pada tak kutahu setinggi itu atas debu | dan duka maha tuan bertakhta-nya Chairil.

Sementara itu kuplet kedua menggambarkan sikap aku lirik yang “menyandang duka dengan diam”, tanpa menangis. Ada yang pergi dalam | diam mengisyaratkan si mati yang tak memberikan isyarat kematian ataupun gambaran ketidakberdayaan manusia menghadapi takdir Tuhan bahwa setiap manusia akan mati. Kesadaran itulah yang tampaknya dimaksudkan dengan “lebih basah dari airmata”.  

Dalam esai berjudul “Pacar Penyair dalam Tafsir”, Binhad Nurrohmat menyinggung Chairil Anwar dan beberapa penyair yang mencantumkan tokoh dalam puisinya, termasuk Acep Zamzam Noor. Dia kemudian mengatakan bahwa “pengindikasian atau pengidentifikasian nama dalam puisi itu dengan nama dalam kenyataan sehari-hari bakal mubazir belaka, pun bukan sumber pegangan yang berharga untuk menilai mutu puisi” (Nurrohmat, 2007: 13).

Meskipun demikian, dalam penciptaan suatu puisi, seorang penyair sering kali mengandalkan imajinasi yang mendadak muncul ketika dia bertemu atau mengenang seseorang. Sebuah puisi, dalam istilah Wahyu Wibisana, adalah kinanti ati dina sepi (kidung hati dalam kesendirian) (Rosidi, 2001: 46), dengan demikian ketika sebuah puisi mencantumkan nama seseorang, kepada siapa pun nama tersebut merujuk, bisa dipastikan dia memiliki peran penting dalam menyentuh hati penyair untuk menciptakan sebuah puisi.

Satu puisi lain dalam antologi ini yang mencantumkan epigraf dan penting untuk dibahas adalah puisi “Le Nausee”:

Jejak bulan telah hapus

Bumi tinggal rawa peradaban

Kata-kata menjadi belantara nilai

Tak terbaca. Bencana demi bencana

Bahkan pertikaian antara sesama

Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai

yang mengalirkan lumpur dan lahar

sumbernya berasal dari kemarahan

tahun-tahun lindap, abad-abad gelap

mengekalkan kesumat. Langit merendah

berkaca pada lembaran sejarah

yang penuh darah. Harimau dan ular

mengaum dan menjalar

tak tertahan. Naik-turun gunung

keluar-masuk hutan

merambah dunia tanpa peta

Puisi ini mencantumkan nama Wing Kardjo sebagai epigraf. Wing Kardjo, nama lengkapnya Wing Kardjo Wangsaatmadja, adalah penyair ternama Bandung yang lahir di Garut 23 April 1937 dan meninggal 19 Maret 2002. Dia pernah mengajar di Jurusan Prancis Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung (Rosidi, 2013: 427). Salah satu judul puisinya, “Le Poete Maudit” juga Acep Zamzam Noor jadikan judul puisi yang mencantumkan epigraf Saini KM sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Le Nausee adalah judul karya besar filsuf eksistensialis sekaligus sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre, mengeksplorasi tema-tema keterasingan dan kemustahilan (Kurnia, 2006: 176). Puisi yang Acep Zamzam Noor tulis ini tampaknya merupakan pandangan dia terhadap jalan kepenyairan Wing Kardjo. Imaji “bulan yang tiada”, “bumi yang tinggal rawa”, “nilai-nilai yang tak terbaca”, dilanjut dengan “sungai yang mengalirkan lumpur dan lahar”, “tahun yang suram”, “abad gelap”, “langit yang rendah” (imaji hari kiamat), “sejarah yang penuh darah”, “harimau yang mengaum”, “ular yang menjalar”, “penjelajahan tanpa peta” (imaji eksistensialisme Sartre: manusia tanpa Tuhan), semuanya menuntun pada satu suasana kacau balau tidak adanya pegangan yang pasti termasuk bahasa: bencana demi bencana | bahkan pertikaian antara sesama | telah membunuh bahasa.

Dilihat dari posisi Wing Kardjo yang mendapatkan puisi persembahan ini, penyair yang satu ini tampaknya memiliki posisi yang tinggi pula di mata Acep Zamzam Noor yang juga memang pernah mengatakan bahwa Wing Kardjo adalah seorang penyair yang tangguh (Noor, 2011a: 144). Meskipun demikian, melihat gambaran Acep Zamzam Noor dalam puisi di atas tampaknya dia tidak memiliki minat mengikuti konsep kepenyairan Wing Kardjo: satu hal yang sudah Acep dapatkan dari Saini KM.  

Pemberontakan yang Acep Zamzam Noor lakukan dengan segala kreativitasnya, dalam praktiknya hal tersebut kadang diekspresikan dengan satire yang mengundang senyum. Misalnya dalam puisi berikut:

Dengan lembut kau bertanya:

“Kenapa rambutmu selalu kusut?”

“Karena puisi,” jawabku

Lalu kita pun tertawa

Menertawakan kita

“Jembatan Bambu”

Makna dari baris-baris tersebut di atas mengisyaratkan pemberontakan yang dilakukan oleh seorang penyair dalam bentuk penampilan. Diksi “rambut kusut” yang disebabkan oleh “puisi” mengisyaratkan penampilan penyair yang cenderung tidak rapi. Pemberontakan dalam bentuk demikian memang terkesan klise, tapi juga sudah mengakar sebagai ciri kesenimanan disebabkan tradisi bohemianisme yang seringkali dirujukkan pada Chairil Anwar.

Imaji Profan dan Puitika Intens

Dalam pengantar antologi Tulisan Pada Tembok, Acep Zamzam Noor mengatakan bahwa menurut dia religiusitas dalam puisi bukan sekadar urusan tema, melainkan sejauh mana kekhusyukan penyairnya dalam berkarya. Dengan demikian, menarik membahas bahwa dalam beberapa kasus, puisi Acep Zamzam Noor terkesan profan dalam struktur luarnya tapi justru memiliki nafas religius atau transendental dalam ranah makna.

Puisi dimaksud misalnya beberapa puisi yang menggunakan imaji profan dalam hubungannya dengan wanita dan anggur: dua imaji yang lumayan banyak dapat ditemukan dalam puisi-puisi Acep Zamzam Noor. Imaji tersebut misalnya dapat ditemukan dalam puisi-puisi sebagai berikut:

Karena malam

Yang mempertemukan

Kita bersatu

Aku menyusu di dadamu

“Pertemuan”

Imaji “aku menyusu di dadamu” dalam pandangan selintas akan mengesankan tabu. Seolah aktivitas biologis itu terjadi hanya karena dua manusia berbeda jenis kelamin “dipertemukan malam”: kasus “cinta satu malam” yang ilahar terjadi dalam kehidupan urban.

Sementara itu jika direnungkan lebih lanjut, ketika baris tersebut disangkutkan dengan baris-baris lain dalam puisi yang sama, akan tampak bahwa makna yang ia kandung tidak sedangkal itu. Baris-baris dalam kuplet yang sebelumnya adalah Karena kesepian | Kita bertemu | Kau bergayut di leherku. Baris “kau bergayut di leherku” mengisyaratkan ungkapan luapan kerinduan dari pihak perempuan saat bertemu dengan laki-laki yang membuatnya “kesepian” saat tidak berdekatan.

Kuplet kedua yang dikutip di atas memiliki kepadanan struktural dengan kuplet pertama tersebut. Dengan demikian makna yang simbolik dari imaji “aku menyusu di dadamu” adalah imaji pembanding baris “kau bergayut di leherku”. Imaji tersebut merupakan pernyataan bahwa pihak laki-laki pun merasakan kerinduan sama dengan si perempuan. Dengan kata lain, makna dari puisi tersebut juga bisa ditarik pada gambaran kesetiaan pasangan yang terpisah jauh saling merindukan dan kemudian bertemu.

Aku terengah menaiki

Bukit gembur di dadamu

Ladang tempat bertani

Menanam benih

Atau menggali sari

Cinta dan rindu

“Bukit Gembur”

Imaji “bukit gembur di dadamu” akan lantas mengarahkan pada gambaran simbolik payudara perempuan, diperkuat dengan diksi “terengah menaiki” maka akan lengkaplah menjadi gambaran adegan pembuka persetubuhan. Meskipun demikian, apakah puisi tersebut merupakan pernyataan simbolik banal mengenai imaji persetubuhan belaka?

Kuplet-kuplet selanjutnya dalam puisi tersebut mengisyaratkan makna yang lebih sublim, yakni konsep tentang cinta dan rindu: Cinta? Bagiku cinta seperti sungai | seperti sungai yang mengalir | deras, menghanyutkan pakaianku | menyeret dan membanting tubuhku. Lantas ketika semua usai, aku lirik bertanya: Tapi apa yang kutemukan? | apa yang kudapatkan? Kekasihku | Betapa cepat berlalunya waktu | Detik demi detik | Bahkan abad demi abad | Rasanya terlalu singkat bagiku. Aku lirik menemukan kenyataan bahwa rindu yang selama ini ditahan-tahan membuat waktu terasa singkat saat dilampiaskan. Ada yang tidak seimbang antara waktu rindu dan waktu pelampiasan. Dengan kata lain, imaji visual persetubuhan digunakan sebagai alat untuk menunjukkan anomali kedua waktu tersebut.  

Aku terseret pendaran cahaya lampu

Setelah bergelas-gelas anggur yang menawarkan sunyi

Kureguk langsung dari mulutmu.

“Sepanjang Roxas Boulevard”

Mereguk anggur merupakan sesuatu yang haram menurut ajaran Islam, karena itu imaji “mereguk bergelas-gelas anggur” dalam baris-baris ini bisa ditarik ke arah simbolisasi yang biasa digunakan dalam puisi-puisi sufi. Aspek tasawuf memang banyak ditemukan dalam puisi-puisi Acep. Untuk menyebut beberapa di antaranya misalnya “Di Bawah Matahari Kramat Raya”, “Di Tubuh-tubuh Tak Kukenal”, “Di Antara Botol-botol”, “Menyerap Tinta di Lautan”, “Zikir”, dan “Memasuki Terowongan”. Hal ini menunjukkan bahwa jejak-jejak pesantren juga muncul melalui imaji-imaji puisinya, sebab sufisme atau tasawuf adalah disiplin yang juga populer di ranah pesantren yang sedikit banyak dikarenakan kepopuleran Ikhya Ulumuddin karya Imam Ghazali.

Dalam dunia tasawuf, mabuk seringkali digunakan sebagai perlambang ekstase, situasi memperoleh kesadaran rohani. Dalam puisi di atas, anggur yang diteguk dari mulut “-mu”, seseorang, memperlihatkan kesunyian. Imaji demikian lantas bisa dipahami sebagai gambaran si aku lirik yang melihat tokoh yang terasing berlatar Roxas Boulevard.

Keterasingan itu dijelaskan dalam kuplet berikutnya: Manila yang menjulang dalam cahaya suram | seakan membara dalam matamu. Ada dendam dalam mata tokoh “mu” ini pada tempat dia berada yang hanya memberi dia kesunyian. Setelah mengetahui sunyi si “mu”, aku lirik sebenarnya ingin membantu tetapi karena suatu hal dia tidak berdaya membantunya: aku yang terbakar | hanya bisa menandai udara dengan kepulan asap. Diksi “kepulan asap” mengisyaratkan uap keluar seiring hembusan nafas saat cuaca sangat dingin. Aku lirik memaklumi penderitaan si “-mu” yang lantas dijelaskan sebagai rasa lapar: dari mulutmu telah kureguk kelaparan demi kelaparan | dalam ungkapan paling liar. Akan tetapi kemudian karena sesuatu hal tak terjadi komunikasi langsung antara mereka berdua: lalu kau meronta | menarikan pertemuan kita yang maya. Diksi “maya” mengisyaratkan semua yang terjadi sejak awal baris puisi ini hanya ada dalam benak aku lirik. Ada pencerahan rohani karena dia bisa ikut merasakan penderitaan si “-mu”, meski karena sesuatu hal yang tak dijelaskan, tidak ada bantuan yang bisa dia berikan untuk tokoh “-mu”.  

Orang-orang dengan kerinduan yang abadi

Semakin mabuk oleh anggur dan puisi

Menjadi budak naluri dan keliaran

“Kerinduan yang Abadi”

Imaji “mabuk oleh anggur” dalam puisi ini terlihat jelas berkaitan dengan konsep tasawuf mengenai pengalaman ekstase atau penyatuan diri secara mistis (Noor, 2011a: 72). Dalam baris-baris selanjutnya dikatakan bahwa mereka tak kembali ke kuil, biara, atau goa | tak lagi menggembala di padang tandus dunia | namun sibuk menerjuni lembah gelap dalam hatinya. Gambaran dalam puisi di atas adalah orang-orang yang melepaskan gemerlap kehidupan duniawi dan fokus dalam membersihkan hati dan menundukkan nafsu: satu aktivitas yang dalam Islam dikenal sebagai jihad paling berat.

Berdasarkan beberapa interpretasi di atas, tampak bahwa simbol-simbol yang sepintas terkesan profan sebenarnya justru bisa ditarik ke arah aspek transendental yang sejak awal memang Acep Zamzam Noor pahami sebagai sesuatu yang bukan berada pada tingkat permukaan. Perjalanan panjangnya dalam menciptakan 87 puisi adalah perjalanan seorang salik yang membuktikan bahwa kekhusyukan adalah aspek terpenting yang dia dapatkan dari pesantren bertempat di kampung halaman tenang: tema yang kemudian banyak menghiasi puisi-puisinya secara intens. Hubungan dia dengan berbagai penyair pendahulu terbatas pada pembelajaran proses kreatif yang tetap melewati saringan aspek kekhusyukan ini. Dari kekhusyukan inilah berbagai imaji dalam puitika yang dia susun sendiri dan dia ungkapkan dalam puisi di akhir antologi kemudian lahir dan menjadi landasan kukuh bagi penciptaan puisi-puisinya terkemudian:

Airmataku lilin yang menulis

Pada lembar-lembar angin

Di udara kunang-kunang bertaburan

Bintang-bintang menyapaku dengan kerlipnya

Tapi aku bukan penyair yang ingin dipahami

Biarlah bahasaku menjadi ketiadaan

Dan matiku bukanlah bunuh diri

“Airmataku Lilin”

Pada akhirnya tulisan ini hanya satu bentuk tafsir, dan selaras puisi Acep Zamzam Noor di atas, tafsir ini hanya mencoba membaca puisi-puisi awal Acep Zamzam Noor bukan untuk menjadikannya “dipahami”, melainkan hanya untuk menunjukkan pada dunia bahwa ada selalu sesuatu berharga dari penyair yang baik. Dalam kata-kata Acep Zamzam Noor sendiri (2011a: 31), “setiap penyair yang baik pasti memberikan sesuatu, mewariskan sesuatu”.

Penutup kalam, puisi-puisi Acep Zamzam Noor dalam antologi ini memang mengisyaratkan sekumpulan Tulisan Pada Tembok: mereka memang memiliki beberapa keidentikan imaji meski cenderung lebih singkat daripada puisi-puisi Kriapur, tapi mereka juga bisa lebih padat daripada 1002 baris nazaman Alfiyyah tempat anjing, wanita, dan anggur tak bisa masuk:

“Dilarang kencing di sini, bangsat!” Seekor anjing

Kembali menyalak pada tembok-tembok kota

Yang sering dikencingi polisi dan tentara

“Tulisan Pada Tembok”

Dalam tiga baris di atas ada irama profan yang liar muncul pada diksi bangsat, anjing, polisi, tentara, tapi pada rima kencing—anjing—sering, kota—tenta (ra), ada irama khusyuk nazaman pesantren tersembunyi: dari sanalah tampaknya sanad puitika intens kepenyairan Acep Zamzam Noor berasal dan berakar.

*Disunting ulang dari tulisan pernah dipublikasikan dalam Jurnal Sajak No. 9, tahun 4, 2014.

Referensi

Al-‘Adawy, Mushthafa. Taysiru Mushthalah al-Hadits fi Sual wa Jawab. Makkah: Maktabah al-Haramayn, 1990.

Alisjahbana, Sutan Takdir. Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat, 2009.

Aveling, Harry. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1066-1998. Magelang: Indonesiatera, 2003.

Al-Damanhuri, Muhammad. Al-Mukhtashar Asy-Syafi limatn Al-Kafi. Tp: Dar al-Ma’rifat, tt.

Damono, Sapardi Djoko. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Eliot, T.S. Selected Essays 1917-1932. London: Faber and Faber Limited, 1932.

Kamil, Syukron. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012.

Kurnia, Anton. Ensiklopedi Sastra Dunia. Yogyakarta: i:boekoe, 2006.

Mohamad, Goenawan. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.

_. Gandari. Jakarta: Tempo, 2013.

Meisami, Julie Scott dan Paul Starkey (ed.). Encyclopedia of Arabic Literature. London: Routledge, 1998.

Noor, Acep Zamzam. Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif. Bandung: Nuansa Cendekia, 2011a.

_. Tulisan Pada Tembok. Depok: Komodo Books, 2011b.

Nurrohmat, Binhad. Sastra Perkelaminan. Lamongan: Pustaka Pujangga, 2007.

Preminger, Alex, and T.F.V.Brogan (ed.). The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton: Princeton University Press, 1993. 

Rendra. Potret Pembangunan Dalam Puisi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Rosidi, Ajip (comp.). Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java. Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.

_. Laut Biru Langit Biru. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Sarjono, Agus R., dkk (peny.). Nafas Gunung: Suara dari Jawa Barat. Yogyakarta: Logung Pustaka dan Akar Indonesia, 2004.

Soemanto, Bakdi. Kata: Antologi Puisi 1976-2006. Yogyakarta: Bentang, 2007.

Tuqan, Fadwa. “Takkan Kutukarkan Cintanya” dalam Puisi Arab Modern (terj. Hartojo Andangdjaja). (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 126-127.  

Yahya, Iip D. Ajengan Cipasung: Biografi KH Moh. Ilyas Ruhiyat. Yogyakarta: LKiS, 2006.

Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah (pen.). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, 2004.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.