Swaplagiarisme Cerpen Risda Nur Widia dan Seks Swalayan

1

BAIK plagiarisme maupun self-plagiarism ‘swaplagiarisme’ sesekali terjadi dalam dunia kepenulisan kita. Tingkat “kejahatan” swaplagiarisme biasa dipandang lebih ringan daripada plagiarisme karena sementara plagiarisme merupakan tindakan maling intelektual yang melanggar hak cipta, swaplagiarisme biasa dipandang secara keliru sebagai sekadar tindakan yang melanggar etika, suatu kelakuan buruk. Salah satu contoh swaplagiarisme adalah ketika seorang penulis mengirimkan ulang sebuah cerpen yang pernah dipublikasikan di sebuah media.

Tanggal 21 Maret 2021, Republika memuat cerpen Risda Nur Widia berjudul “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya”. Membandingkan sekilas cerpen tersebut dengan cerpen lain karya penulis yang sama, dimuat dalam Tribun Jabar edisi 12 Februari 2017 dengan judul “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta”, kita akan langsung mendapatkan kesan bahwa kedua cerpen itu adalah cerpen yang sama, meskipun judulnya berbeda, sehingga bisa dikatakan terjadi swaplagiarisme. Akan tetapi, supaya tidak jatuh ke dalam ketergesaan menuduh dengan zalim hanya berdasarkan asumsi, mari membandingkan dua cerpen karya Risda Nur Widia tersebut dengan sedikit lebih rinci.

   

Tangkapan layar cerpen “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya”

Kedua cerpen sama-sama dibagi menjadi 5 sub-judul yang sekaligus menandai pergantian narator. Kelima sub-judul dalam kedua cerpen tersebut sama persis, yaitu (1) Pria Tua: Surat-Surat yang Tak Pernah Lelah, (2) Tukang Pos: Sebuah Alamat Ajaib di Ujung Dunia, (3) Wanita Tua: Surat-Surat yang Ingin Dibalasnya, (4) Pria Tua: Sebuah Harapan yang Masih Menunggumu, dan (5) Tukang Pos: Harapan yang Terbakar. Tak ada yang luar biasa dalam gaya cerita yang disajikan beberapa narator dengan penanda pergantian berupa sub-judul seperti ini. Kita bisa menemukan gaya senada misalnya pada tiga cerpen Kedung Darma Romansha dalam antologi Rab(b)i ataupun dalam cerpen Risda Nur Widia yang lain, “Babad Goa Jlamprong,” yang dimuat dalam antologi Berburu Buaya di Hindia Timur (Pojok Cerpen, 2020: 81-100).

Baca juga: Pembahasan “Trilogi Telembuk” Kedung Darma Romansha

Pada cerpen “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya” ada beberapa perubahan yang membedakannya dari cerpen “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta,” tetapi perubahan-perubahan tersebut hanya berupa penyuntingan ringan. Lihat misalnya perbandingan paragraf pembuka kedua cerpen sebagai salah satu bagian yang mengalami penyuntingan:

Sudah 50 tahun sejak aku mulai menulis surat-surat untukmu. Surat yang tidak pernah kaubalas. Pun akhirnya aku hanya terus menunggu sembari menata satu per satu tatakan batu bata rasa gelisahku hingga menjadikannya rumah rehat yang murung; yang perlahan-lahan mulai melahirkan anak-anak sunyi di hati. Bahkan dengan cara muskil—pun apabila dipikir tidak ada orang yang dapat setabah diriku—menunggu balasan surat cinta darimu.

“Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta”

Sudah 50 tahun, 50 bulan, 50 hari, 50 menit, lebih 57 detik sejak aku mulai menulis surat-surat untukmu. Surat yang tidak pernah kau balas. Aku akhirnya hanya menunggu sembari menata satu per satu tatakan batu bata rasa gelisahku hingga menjadikannya rumah murung yang perlahan-lahan mulai melahirkan anak-anak sunyi di hati. Bahkan, dengan cara muskil—pun apabila dipikir tidak ada orang yang dapat setabah diriku—menunggu balasan surat cinta darimu.

“Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya”

Perubahan terjadi pada durasi waktu si pria menulis surat dan menunggu balasan menjadi lebih detail, sekaligus absurd: bukankah 50 bulan itu berarti ada tambahan 4 tahun untuk angka 50 tahun dan 50 hari berarti ada tambahan 1 bulan untuk 50 bulan? Sederhananya, angka perubahan tersebut bisa dikonversi “normal” menjadi 54 tahun, 3 bulan, 20 hari (mengandaikan satu bulan 30 hari), 50 menit, lebih 57 detik. Perubahan menjadi angka serba 50 itu mungkin dilakukan untuk memperkuat kesan betapa luar biasanya usaha yang dilakukan si pria tua, mungkin juga karena alasan lain yang entah, tetapi sayang penyuntingan yang sama tidak dilakukan pada satu paragraf di bawah sub-judul “Tukang Pos: Sebuah Alamat Ajaib di Ujung Dunia” yang menyinggung waktu si tukang pos mengantarkan surat.

Akhirnya—selama 50 tahun ini—aku hanya memiliki satu tugas pokok mencari alamat tersebut. Aku tidak perlu memikirkan surat-surat lainnya. Selama 50 tahun terakhir, aku terus mengelilingi kota-kota, samudra, dan pantai.

“Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta”

Akhirnya—selama 50 tahun ini—aku hanya memiliki satu tugas pokok mencari alamat tersebut. Aku tidak perlu memikirkan surat-surat lainnya. Selama 50 tahun terkahir [sic], aku mengelilingi kota-kota, samudra, dan pantai.

“Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya”

Mengabaikan salah tulis pada kata “terakhir,” satu-satunya perubahan yang dilakukan Risda Nur Widia hanya perubahan diksi “terus mengelilingi” menjadi “mengelilingi,” perubahan yang logis karena tanpa diksi “terus” pun kalimat itu sudah mengandung makna diksi tersebut secara tersirat sebab adanya diksi “selama” pada awal kalimat. Yang membuat absurd adalah ketika angka 50 tahun itu tidak diubah menjadi sama dengan perubahan penanda waktu usaha si pria tua di awal cerpen. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan 4 tahun, 3 bulan, 20 hari, 50 menit, lebih 57 detik antara waktu si pria tua menulis surat dan menanti balasan dengan waktu si tukang pos mengantarkan surat.

Kita sukar mengandaikan bahwa si pria tua lebih rinci menghitung waktu karena dia berada di posisi menulis surat dan menanti balasan sementara si tukang pos tidak “setabah” dia karena tugasnya hanya mengantar surat, karena beda waktu 4 tahun terlalu lama untuk diabaikan begitu saja dari hitungan. Pada saat yang sama, ungkapan “selama 50 tahun terakhir” juga mengindikasikan ada masa si tukang pos tidak sungguh-sungguh mengantarkan surat—atau bahkan tidak mengantarkan surat?—selama 4 tahun, 3 bulan, 20 hari, 50 menit, lebih 57 detik pada masa awal. Kita tak punya petunjuk tentang mengapa si tukang pos melakukan itu sebagaimana kita juga tak punya kepastian mengapa si pria tua di awal cerita mendadak menjadi mania numerologi 50.

Dengan kata lain, andai penanda waktu tersebut tidak diubah dan dibiarkan sama seperti pada cerpen “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta,” cerpen justru lebih mudah “dipahami”, atau kalaupun mau diubah maka, demi koherensi cerita, bagian lain yang menyinggung penanda waktu pun idealnya disesuaikan. Sementara itu, beberapa perubahan lain dalam cerpen juga tidak signifikan bagi keutuhan cerita, misalnya “alisnya keriput ketika mengetahui aku kembali datang membawa surat” menjadi “alisnya mengeriput ketika mengetahui aku kembali datang membawa surat”, “sebuah kalimat harap bahwa surat pasti sampai tepat waktu” menjadi “menerima kalimat harap jika surat pasti sampai tepat waktu”, atau “aku memang sering mendengar cibiran tentang diriku” menjadi “aku sering mendengar cibiran tentang diriku.” Ada juga beberapa pemenggalan paragraf dan penyuntingan tanda baca, meski kita juga masih menemukan salah eja yang sama pada kata “sebuh” (tampaknya yang dimaksud “sebuah”).    

Perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menimbulkan ketidakkoherenan seperti yang diakibatkan penyuntingan penanda waktu dan beberapa memang menghasilkan kalimat lebih efektif (pada paragraf kedua misalnya ada pemangkasan satu kalimat yang memang tidak efektif, juga ada perubahan dari “hari ini untuk yang ke-101 dan memakan sekitar 1.875 kata” menjadi “hari ini, misalnya, untuk yang ke-101 dan memakan sekitar 1.000 kata”. Menyebut “sekitar 1.875 kata” kira-kira analog dengan menyebut “seorang pria berinisial Salman Rushdie” dan bukannya “seorang pria berinisial SR”), tetapi hal tersebut—termasuk perubahan judul—tidak cukup membuat cerpen “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya” (2021) menjadi cerpen yang berbeda dari “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta” (2017).

Dengan kata lain, keduanya tetap merupakan cerpen yang sama karya penulis yang sama, yakni Risda Nur Widia.

2

Sigmund Freud dalam “Inhibition, Symptom, and Fear,” menyinggung analogi tindakan menulis dengan persanggamaan. Analogi tersebut lahir dari kemiripan antara tindakan menulis pada zaman dulu berupa menumpahkan tinta ke atas kertas dengan menumpahkan sperma pada vagina. Apa yang kemudian menarik adalah, secara teori, ketika orang percaya bahwa tindakan menulis itu analog dengan tindakan persanggamaan terlarang, dia akan mengalami disfungsi menulis demi menghindari adanya represi.

Maka tiap kali kita melihat seorang penulis mendadak mengalami disfungsi menulis, kita boleh menduga dalam dirinya berlangsung proses semacam itu. Mungkin saja secara psikologis dia mendadak meyakini bahwa kemampuan dia untuk menulis masih nihil sehingga dia belum boleh menulis, sama dengan keyakinan normatif bahwa tanpa disertai pernikahan maka persanggamaan hukumnya haram.

Situasi semacam itu lantas menjadi problematis ketika di satu sisi dia memiliki kebutuhan untuk menghasilkan tulisan, sama problematisnya dengan pria yang belum punya pasangan sah tetapi hasratnya untuk bersanggama menggebu-gebu. Salah satu solusi yang mungkin adalah melakukan swaplagiarisme karya (bagi si penulis), melakukan seks swalayan (bagi si pria penuh hasrat).

Swaplagiarisme berbeda dengan plagiarisme hanya dalam hal pilihan objek. Jika swaplagiarisme analog dengan seks swalayan, maka plagiarisme analog dengan persanggamaan dengan pasangan orang lain: tindakan yang lahir dari perasaan bahwa dia adalah orang yang sama dengan pasangan sah. Peradaban memberikan larangan tegas terhadap yang disebutkan belakangan melalui berbagai agennya dari mulai norma masyarakat sampai agama. Seks swalayan, sementara itu, hukumnya cenderung dipandang lebih ringan, maka tak heran jika tindakan itu bisa sangat menggoda untuk dijadikan alternatif.

Pada seorang penulis, tindakan itu bisa dilakukan misalnya dengan mengirim ulang karya yang sudah pernah dipublikasikan di sebuah media. Bahwa dilakukan penyuntingan sekadarnya termasuk perubahan judul seperti terjadi pada cerpen “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta” yang setelah empat tahun berubah menjadi “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya”, maka hal itu tak menghilangkan statusnya sebagai swaplagiarisme, sama seperti seks swalayan seorang pria tetaplah seks swalayan baik hal itu dilakukan dengan bantuan sabun mandi ataupun pantat ayam.

Ada sebuah buku unik berukuran mini, 10 x 8 sentimeter, disusun oleh Dr Richard O’Nan dan Pamela Palm berjudul Kama Sutra for One (West Sussex: Summersdale, 1999), anak judulnya: The Single Man’s Guide to Self Satisfaction, Panduan Seks Swalayan Bagi Pria Jomblo. Anak judul itu sudah menggambarkan isinya, bagaimana melakukan seks swalayan secara sehat, termasuk dengan menggunakan tangan dan beberapa “teknik lanjutan.” Akan tetapi apa yang paling menarik adalah buku itu menyajikan banyak ilustrasi berupa sketsa lucu, salah satunya seperti ini:

Tangkapan layar hlm. 9 buku Kama Sutra for One

Gambar menunjukkan bahwa para dinosaurus punah karena tangan mereka saking pendeknya tak bisa menjangkau kemaluan sehingga konsekuensinya mereka tak bisa melakukan seks swalayan. Memang buku mini ini disusun sebagai buku panduan ringan dan lucu sehingga klaim tentang dinosaurus itu tak perlu dipercaya mentah-mentah, tetapi kita boleh menduga, sambil tersenyum, jangan-jangan memang ada hubungan pula antara kepunahan diri penulis dengan swaplagiarisme.

Atau lebih tepatnya: kekhawatiran berlebihan seorang penulis bahwa status diri sebagai penulis akan punah ketika dia tak melakukan swaplagiarisme karya. Kekhawatiran berlebihan ini tentu bisa dikaitkan dengan disfungsi menulis yang menimpanya sebagaimana sudah diurai di awal, yakni kekhawatiran penulis kehilangan gelar “penulis” atau “penulis produktif” karena mengalami disfungsi menulis sehingga satu-satunya cara untuk mempertahankan gelar itu adalah dengan menghasilkan tulisan melalui swaplagiarisme.

Dalam Civilization and Its Discontents, Freud memandang bahwa genesis karya seni terkait erat dengan proses sublimasi insting, yakni penukaran tujuan seksual menjadi tujuan lain yang aseksual tetapi secara psikis tetap terhubung pada tujuan awal. Dengan demikian, apa yang primer bagi seorang penulis dari tindakan menulis adalah perasaan senang atau nikmat, sama halnya dengan apa yang primer dari tindakan seksual adalah kenikmatan. Bahwa kemudian penulis mendapatkan uang dari tulisannya atau mendapatkan popularitas atau mendapatkan pasangan, maka hal-hal tersebut merupakan kenikmatan sekunder.

Penulis yang melakukan swaplagiarisme supaya tetap bisa menghasilkan tulisan pada dasarnya telah membalik hierarki kenikmatan ini. Kenikmatan proses menulis diabaikan dan apa yang menjadi fokusnya adalah kenikmatan yang idealnya sekunder: kenikmatan dipuji sebagai penulis produktif, kenikmatan mendapatkan pemasukan finansial dari tulisan. Tindakan semacam itu sama banalnya dengan persanggamaan yang dilakukan semata demi menghasilkan anak sementara kenikmatan prosesnya itu sendiri diabaikan.

Pandangan semacam itu tentu tak mungkin dimiliki oleh penulis yang sudah matang dan hanya mungkin dianut oleh penulis kekanak-kanakan. Berkaitan dengan “kekanak-kanakan” ini, Freud menunjukkan adanya tradisi pemberian “ancaman kastrasi” terhadap anak yang tertangkap basah melakukan seks swalayan, bahwa kalau dia melakukan kembali tindakan semacam itu maka dia akan kehilangan penisnya sehingga memunculkan rasa “takut kastrasi” pada diri si anak. Rasa takut kastrasi ini kemudian mendorong anak untuk masuk ke fase selanjutnya dalam perkembangan psikoseksual menuju maturitas.

Dus, apa yang dibutuhkan supaya penulis kekanak-kanakan yang melakukan swaplagiarisme merasa kapok adalah “ancaman kastrasi”. Jika penis adalah simbol popularitas sebagai penulis yang hasrat untuk mendapatkannya mungkin justru menjadi satu pendorong penulis terkait melakukan swaplagiarisme, satu-satunya yang bisa membuat dia tidak mengulang melakukan swaplagiarisme adalah ancaman bahwa dia justru akan kehilangan popularitas—atau bahkan status—tersebut kalau dia melakukannya.

Dari kisah-kisah plagiarisme yang pernah terjadi dalam dunia kepenulisan kita, kita sudah melihat bahwa banyak penulis plagiarisme yang sudah merasa terancam “kastrasi” ketika diramaikan di media sosial. Mereka biasanya mengaku salah, meminta maaf, lalu menulis lagi tanpa mengulangi plagiarisme, ataupun memutuskan berhenti menulis. Kita tentu berharap “ancaman kastrasi” yang selama ini sudah lazim dilakukan terhadap kasus semacam itu bisa berakhir dengan pola yang sama ketika diterapkan terhadap kasus swaplagiarisme. Kita, sebagai pembaca, selalu memberikan kesempatan kedua bagi penulis yang terpeleset satu kali masuk lubang lalu menyadari bahwa dia telah berjalan di jalur yang tak semestinya.

Namun, berhubung penulis plagiarisme ataupun swaplagiarisme adalah penulis kekanak-kanakan, maka kita mesti menyadari pula eksistensi sebagian anak-anak yang kerasan terjebak dalam fase anak-anak, dalam istilah psikoanalisis disebut fiksasi. Pada para penulis yang mengalami fiksasi kekanak-kanakan seperti ini, “ancaman kastrasi” mungkin membuat mereka menempuh pola lazim berupa minta maaf, lalu membisu di medsos selama sebulan atau dua bulan, tetapi karena psikotulis mereka tidak berkembang maju ke fase berikutnya yang memungkinkan mereka menjadi penulis matang, maka pola lazim itu mereka tempuh cenderung hanya sebagai formalitas, bukan didorong rasa bersalah yang sungguh-sungguh. Dalam kasus semacam ini, tidak mengejutkan jika mereka kemudian mengulangi melakukan swaplagiarisme, sama seperti pria yang mengalami fiksasi fase falik cenderung tak bisa berhenti melakukan seks swalayan bahkan ketika dia sudah menjalani pernikahan. Wallahualam bissawab.

Yogyakarta, Komunitas Imajiner, 2021.             

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.