“Orang-orang menemukan bukti lain bahwa Laskar Pelangi merupakan ‘plagiat’ dari sebuah novel Jepang”, demikian Edy Firmansyah menulis dalam “KLAIM SESAT PARA PENUMPANG GELAP” yang dipos di akun Facebook dia pada 27 Januari 2022, lantas saya teringat Harriet Scrope dan Philip Slack.
Pada suatu hari Philip Slack tidak sengaja menemukan novel The Last Testament karya seorang novelis era Viktoria, Harrison Bentley. Philip merasa alur cerita novel tersebut familier: seorang penulis biografi penyair bernama K mendapati bahwa sang penyair, pada akhir hayatnya, sakit parah sampai-sampai tidak mungkin dia mampu menulis sajak-sajak yang membuatnya terkenal. Kemudian terbukti istri si penyairlah yang menulis sajak-sajak itu atas nama si penyair.
Di halaman-halaman akhir buku, Philip Slack menemukan iklan “publikasi terbaru Mr. Harrison Bentley”, novel berjudul Stage Fire. Iklan itu mengisahkan alur cerita: sejarah seorang aktor yang meyakini dirinya dirasuki arwah Kean, Garrick, dan aktor-aktor terkenal lainnya dari masa silam. Akibatnya dia memiliki karir gemilang di panggung.
Philip Slack sekali lagi merasa alur itu familier. Akhirnya dia ingat pernah membaca cerita Stage Fire dalam sebuah novel Harriet Scrope, seorang novelis kontemporer terkenal. Dia tidak ingat judulnya, tetapi ingat bahwa novel Scrope mengisahkan seorang penyair yang meyakini dirinya dirasuki arwah-arwah para penulis yang sudah mati dan si penyair diakui sebagai penyair paling orisinal pada masanya.
Setelah itu Philip Slack juga ingat kenapa dia merasa alur The Last Testament familier: Harriet Scrope pernah menulis sebuah novel yang mengisahkan seorang sekretaris penulis bertanggung jawab atas banyak publikasi “anumerta” majikannya. Sang sekretaris sangat mengenal gaya si penulis sampai-sampai dia mampu menirunya tanpa susah payah. Hanya penelitian cermat seorang penulis biografilah yang mengungkapkan pemalsuan itu.
Namun Philip Slack tidak lantas tergesa mengumumkan kepada publik bahwa Harriet Scrope adalah plagiator. Dia percaya bahwa “jumlah alur yang ada di dunia ini terbatas (realitas, walau bagaimana pun, terbatas) dan tak ada keraguan bahwa mau tidak mau alur-alur itu diproduksi ulang dalam beragam konteks”. Selain itu, Philip Slack adalah penulis yang sempat menulis novel tapi tak pernah selesai karena dia hentikan setelah mencapai sekitar 40 halaman. Disebutkan bahwa “bukan hanya dia menulis dengan sangat lambat dan takpasti, melainkan bahkan dalam pandangannya halaman-halaman yang dia garap dipepati gambar dan frasa-frasa dari karya para penulis lain yang dia kagumi”.
Karena itu, membandingkan dirinya sebagai novelis yang gagal menulis novel karena berpegang pada pemaknaan usang konsep Orisinalitas yang kaku dengan Harriet Scrope yang memiliki pemaknaan lebih kontemporer dan longgar sehingga berhasil menjadi novelis, Philip Slack akhirnya bertanya: apa yang membuatku berhak mengutuk Miss Scrope?
Kisah Philip Slack dan Harriet Scrope bukan kisah nyata meski tidak menutup kemungkinan kisah tersebut terjadi di dunia riil. Saya membacanya di novel Chatterton (1987) karangan Peter Ackroyd.1Adegan di atas bisa dibaca dalam Peter Ackroyd, Chatterton,(New York: Grove Press, Inc, 1987), hal. 68-70. Brian Finney menulis sebuah artikel menarik tentang Chatterton terkait konsep Plagiarisme, Orisinalitas, dan Ansietas Pengaruh di ranah sastra berjudul “Peter Ackroyd, Postmodernist Play, and Chatterton”, dipublikasikan dalam Twentieth Century Literature, Vol. 38, No. 2 (Summer, 1992), hal. 240-261. Saya teringat adegan novel tersebut bukan karena saya membenarkan tindakan memplagiat atau bersepakat sepenuhnya dengan Philip Slack, saya toh pernah membuat tulisan ringkas tentang swaplagiarisme, melainkan karena saya sadar satu hal yang tampaknya tidak Edy sadari: pembahasan tentang plagiat bukan pembahasan enteng dan mesti bertolak dari konsep Orisinalitas karya, satu konsep yang tolok ukurnya harus jelas dulu dari awal terutama karena pemaknaan konsep tersebut selalu berkembang.
Saya tidak tahu apakah Edy Firmansyah adalah seorang novelis produktif dan sukses menghasilkan karya-karya orisinal sehingga dia tidak berpikir panjang seperti Philip Slack, tetapi yang pasti dia ikut menyebarkan kabar bahwa Laskar Pelangi merupakan “plagiat” dari sebuah novel Jepang tanpa disertai bukti dan bahkan tanpa menunjukkan judul novel Jepang terkait. Seperti modus kabar burung, sumber yang dia cantumkan adalah “orang-orang” yang “menemukan bukti”, sementara siapa orang-orang itu dan bukti-bukti apa yang telah mereka temukan juga tidak dijelaskan.
Memang kabar burung itu sendiri bukan barang baru. Celetukan tentang kemiripan Laskar Pelangi dengan novel Dua Belas Pasang Mata sudah bisa ditemukan di komentar Farah di Goodreads tahun 2008, pos facebook Boemipoetra dan Kompasiana awal tahun 2013, tanpa pernyataan eksplisit bahwa kemiripan itu sama dengan plagiat. Akan tetapi fakta itu tak berarti celetukan tersebut tak membutuhkan bukti saat diutarakan ulang lebih gamblang sebagai tudingan pada tahun 2022, terlepas dari kata plagiat dalam tudingan itu memakai tanda petik atau tidak. Ketika pada tahun 2022 kita mencoba menelusuri dan gagal menemukan tulisan serius yang membuktikan seberapa miripkah kedua novel itu sampai-sampai Laskar Pelangi layak disebut karya plagiat maka kita boleh bertanya-tanya apakah tulisan semacam itu pernah ada dalam rentang 2013-2022 kemudian lenyap, ataukah waktu satu windu pun terlalu sebentar untuk melakukan pembuktian karena ternyata menautkan antara kemiripan dua karya dengan status plagiat bukan hal mudah?
![](https://cepsubhankm.com/wp-content/uploads/2022/02/Screenshot_20220209-025509_Chrome.jpg)
Tanggal 27 Januari 2022, satu jam setelah Edy Firmansyah mengepos, akun facebook Sunlie Thomas Alexander membagikan tulisan Edy tersebut dengan disertai catatan tambahan di awal dan di akhir. Menarik menyimak dialog akun Indrajaya Syukri dan Edy Firmansyah dalam komentar pos tersebut.
Indrajaya Syukri memberi komentar bahwa
Tuduhan plagiat itu serius, sebaik nya jgn menggunakan “orang-orang menemukan bukti lain”. Mana buktinya..
Edy Firmansyah menjawab
Di tulisan itu saya sudah menambahkan tanda petik di kata plagiat, ya. Tapi kalo mau minta bukti, ini saya sertakan dua bukti tentang orang-orang yg menemukan bukti itu. Sebenarnya kalo mau sedikit gigih mencarinya di mesin pencari Anda bisa menemukan lebih banyak dari saya
![](https://cepsubhankm.com/wp-content/uploads/2022/02/Screenshot_20220209-060028_Facebook.jpg)
Pada dasarnya, diapit tanda petik ataupun tidak, tudingan plagiat adalah tudingan serius yang membutuhkan bukti, lebih lagi pembuktian terkait plagiat karya sastra cenderung lebih sukar dilakukan daripada di ranah tulisan ilmiah. Akun Indrajaya Syukri meminta bukti itu dan Edy Firmansyah berkelit dari tanggung jawab memberikan bukti dengan mengandalkan tanda petik, seolah jika dia mengatakan “Laskar Pelangi ‘plagiat’” maka dia tidak perlu mempertanggungjawabkan perkataannya. Sebagai penulis yang fasih menyebut judul Things Fall Apart dan The Brothers Karamazov Edy Firmansyah tentu kita anggap sudah hafal kalau sekadar PUEBI. Sayangnya, dari 3 poin pedoman pemakaian tanda petik dalam PUEBI Edisi Keempat, tidak ada satu pun poin karet yang bisa menjustifikasi bahwa ketika kata plagiat diberi tanda petik maka maknanya berubah menjadi ‘bukan plagiat’ sehingga tidak membutuhkan bukti lanjutan. Satu-satunya poin yang paling mungkin ditarik-tarik adalah poin ketiga, bahwa
Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.2Dua poin lainnya: (1) Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain. (2) Tanda petik dipakai untuk mengapit judul sajak, lagu, film, sinetron, artikel, naskah, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat. Selengkapnya bisa dicek dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), hal. 52-53.
PUEBI, hal. 52-53
Akan tetapi benarkah kata plagiat adalah “istilah ilmiah yang kurang dikenal”? Tidak juga. Lantas, apakah kata plagiat memiliki arti khusus di samping artinya yang umum? Poin ini dicontohkan dalam PUEBI dengan kata “amplop”. Amplop (tanpa tanda petik) berarti ‘sampul surat’, sementara “amplop” (dengan tanda petik) merujuk makna kiasan ‘uang sogok’. Sejauh ini saya belum menemukan penggunaan kata plagiat dengan arti khusus, setidaknya dalam teks-teks yang pernah saya baca, kecuali jika contoh penggunaan tersebut ada dalam Things Fall Apart atau The Brothers Karamazov dan saya melewatkannya. Mungkin juga “plagiat” (dengan tanda petik) bermakna ‘plagiat yang belum terbukti’, meski jika memang demikian maka makna kalimat ‘Orang-orang menemukan bukti lain bahwa Laskar Pelangi merupakan “plagiat” dari sebuah novel Jepang’ menjadi aneh. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa Edy Firmansyah mengikuti aturan penggunaan tanda petik dari PUEBI versi lain atau versi lebih baru yang tidak bisa diakses oleh siapa pun selain dirinya.
Setelah berlindung dengan naif di balik tanda petik, Edy Firmansyah membangun lapis perlindungan lain: saat yang diminta adalah “bukti plagiat” (atau bukti “plagiat”), Edy Firmansyah malah berkelit memberikan bukti “orang-orang yang menemukan bukti”. Dua bukti dimaksud adalah (1) komentar Farah di Goodreads yang juga dirujuk dalam komentar pos facebook Boemipoetra 2013.
![](https://cepsubhankm.com/wp-content/uploads/2022/02/Screenshot_20220209-055345_Facebook.jpg)
Dan (2) komentar Saut Situmorang yang juga Sunlie kutip—dengan sedikit kesalahan penulisan judul novel menjadi Duapuluh Empat Pasang Mata—untuk catatan akhir saat membagikan tulisan Edy Firmansyah “KLAIM SESAT PARA PENUMPANG GELAP”.
![](https://cepsubhankm.com/wp-content/uploads/2022/02/Screenshot_20220209-063940_Facebook.jpg)
Kita lihat bahwa status pernyataan Saut Situmorang adalah pernyataan dan bukan bukti bahwa Laskar Pelangi plagiat. Bukankah akan lebih praktis kalau bukannya menunjukkan pernyataan Saut Situmorang, Edy Firmansyah justru menunjukkan bukti pernyataan Saut Situmorang? Kecuali kalau Edy Firmansyah sendiri tak pernah membaca bukti pernyataan Saut Situmorang dan pernyataan Edy Firmansyah, sebagaimana pernyataan Sunlie Thomas Alexander, hanya meneruskan pernyataan Saut Situmorang. Jika memang itu yang terjadi maka tidak berarti Edy Firmansyah lantas lenggang kangkung dari tanggung jawab melakukan pembuktian. Sebagai pihak yang juga ikut menyebarkan pernyataan, dia sendiri pun bertanggung jawab melakukan pembuktian kecuali kalau pernyataan dia memang hanya—meminjam ungkapan Yapi Tambayong—“omongan onani di kedai kopi”.
Komentar Farah di Goodreads juga sama anehnya ketika diposisikan sebagai bukti Laskar Pelangi plagiat. Komentar tersebut ditujukan untuk buku terjemahan Dua Belas Pasang Mata edisi Pantja Simpati.3Novel Nijushi no Hitomi karya Sakae Tsuboi (1899-1967) dipublikasikan tahun 1952 dan pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Haryono sebagai Dua Belas Pasang Mata, diterbitkan oleh Pantja Simpati tahun 1989. Pada tahun 2013, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan terjemahan baru dari terjemahan Inggris Twenty-Four Eyes (1983), diterjemahkan oleh Tanti Lesmana sebagai Dua Belas Pasang Mata. Edisi Gramedia ini sudah mencapai cetakan keempat pada bulan April 2021. Selengkapnya begini:
Mengisahkan tentang 12 orang murid ibu guru koishi di sebuah sekolah dasar di desa nelayan yang terletak di teluk seto Jepang.
Buku ini tergambar dikepala saya saat membaca Laskar Pelangi. Mungkin karena sama-sama menceritakan tentang segerombolan anak-anak.. tapi selain itu masih ada kesamaan lain yang saya ingat..
Kesamaan kedua adalah tentang proses anak-anak itu menjadi “seseorang” di masa depan..
Kesamaan ketiga adalah settingnya yang indah persis gambaran tetraloginya andrea hirata… (dalam pengantar buku ini bahkan YB mangunwijaya mengatakan penggambaran sakai tampak terlalu indah untuk menjadi nyata..)
Kesamaan keempat pada masanya terbit (1952) buku ini menjadi best seller di Jepang
Kesamaan kelima? Baca saja sendiri *_*
Tidak harus punya pengalaman terseok-seok membandingkan paragraf pembuka Things Fall Apart dengan Laskar Pelangi atau berbusa-busa membandingkan The Brothers Karamazov dengan KKN di Desa Penari untuk paham bahwa Farah sama sekali tidak mengatakan Laskar Pelangi memplagiat Dua Belas Pasang Mata dalam komentar di Goodreads. Farah hanya mengatakan bahwa novel Dua Belas Pasang Mata “tergambar” di kepalanya saat dia membaca Laskar Pelangi. Setelah itu dia menunjukkan empat poin kesamaan kedua novel tersebut. Menafsirkan “tergambar” sebagai bermakna “plagiat” jelas merupakan tafsir yang terlalu canggih.
Juga tentu tak perlu menjadi pelanggan pornhub untuk paham bahwa kemiripan sebuah karya dengan karya lain tidak mesti berarti karya yang satu memplagiat karya yang lain. Telaah sastra bandingan pasti menelaah poin persamaan dan perbedaan karya-karya yang dibandingkan, tetapi tidak berarti konklusinya mesti terkait plagiat atau bukan.
Demikian juga halnya beberapa telaah sastra bandingan ataupun sekadar ulasan Laskar Pelangi dan Dua Belas Pasang Mata yang kini bisa diakses gratis di internet: mereka tidak menyodorkan konklusi terkait plagiat,4Beberapa yang bisa saya akses dan baca utuh: artikel jurnal ditulis oleh Pt. Agus Artayasa, Gd. Artawan, dan IB. Sutresna, “Perbandingan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dengan Novel Dua Belas Pasang Mata Karya Sakae Tsuboi, Serta Kontribusinya bagi Pembelajaran Sastra di SMA” (2017); artikel jurnal ditulis oleh Dyah Puji Rahayu, “Self Actualization in a Novel by Sakae Tsuboi’s Nijuushi no HItomi and a Novel by Andrea Hirata’s Laskar Pelangi: Comparative Literature Study” (2017); catatan facebook Muhammad Deden Purnama, “Laskar Pelangi Andrea Hirata & Twenty-four Eyes (Nijushi no Hitomi) Sakae Tsuboi: Sebuah Kemiripan?”; ulasan buku daring yang menyinggung kemiripan kedua novel: Dua Belas Pasang Mata by Sakae Tsuboi (12 Desember 2013), Dua Belas Pasang Mata (18 Januari 2014), Review Novel: Dua Belas Pasang Mata (Nijushi no Hitomi) oleh Sakae Tsuboi (9 Januari 2016), Dua Belas Pasang Mata: Kisah Guru dan Murid di Jepang Zaman Perang (9 Juli 2018), dan Mrs. Oishi (Review Novel Dua Belas Pasang Mata Nijushi no Hitomi) Karya Sakae Tsuboi (17 Juli 2020). paling banter kemiripan yang tertangkap ditarik ke perihal pengaruh atau terinspirasi. Terpengaruh atau terinspirasi jelas berbeda dengan memplagiat, tidak bisa juga dikatakan bahwa “plagiat” (dalam tanda petik) berarti ‘terpengaruh’ atau ‘terinspirasi’. Hasil-hasil telaah itu memang bisa menjadi data pembanding untuk telaah perihal plagiat, tetapi telaah perihal plagiat jelas harus dilakukan secara tersendiri dengan fokus perbandingan berbeda dari telaah-telaah sastra bandingan yang bertujuan meneliti “resepsi pembaca terhadap” atau “karakterisasi dua karakter dalam” kedua novel itu misalnya. Ada beberapa metode telaah mengenai plagiat yang sudah dikenal dalam Ilmu Sastra, sebagai seorang penulis yang fasih dan paling depan membahas isu semacam “FIKSI SASTRA DAN FIKSI POPULER” maka Edy Firmansyah pasti sudah tahu dan akan mampu mempraktikkannya.
Berhubung Edy Firmansyah tampak dengan gegap gempita meyakini komentar Farah merupakan bukti Laskar Pelangi memplagiat Dua Belas Pasang Mata, mari kita cek poin-poin komentar Farah tersebut untuk sekalian menunjukkan bahwa sekadar perbandingan kesamaan dua karya sangat tidak memadai untuk dianggap sebagai bukti plagiat.
Pertama, kedua novel sama-sama mengisahkan segerombolan anak.
Sepintas saja jelas bahwa poin kesamaan ini bersifat umum, sementara rincian seperti apa “segerombolan anak” dalam Laskar Pelangi dan Dua Belas Pasang Mata jauh berbeda. Sekadar merinci beberapa poin paling sederhana dan paling kasatmata: jumlah anak dalam Laskar Pelangi 10 orang, dalam Dua Belas Pasang Mata sudah jelas 12 orang. Gender mereka juga berbeda, dalam Laskar Pelangi dari 10 anak hanya 1 perempuan, sementara dalam Dua Belas Pasang Mata ada 7 anak perempuan dan 5 anak laki-laki.
Kedua, kedua novel sama-sama mengisahkan proses anak-anak itu menjadi “seseorang” di masa depan.
Benar demikian, tetapi hal itu bukan menandakan Laskar Pelangi merupakan plagiat, melainkan karena kisah proses anak-anak menjadi “seseorang” di masa depan adalah ciri khas genre cerita coming-of-age. Rincian proses menjadi “seseorang” itu sendiri jelas berbeda karena situasi sosial yang dihadapi oleh anak-anak dalam kedua novel juga berbeda. Belum lagi beda sudut pandang penceritaan dan tokoh utama: Laskar Pelangi menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh utama salah seorang murid, si Ikal; sementara Dua Belas Pasang Mata menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan tokoh utama ibu guru Oishi.
Ketiga, kedua novel sama-sama menyajikan latar indah.
Menganggap poin ini sebagai bukti hakulyakin Laskar Pelangi memplagiat Dua Belas Pasang Mata adalah jauh api dari pantat panci. Kita jelas tak bisa mengatakan bahwa hanya karena ada 1 novel menyajikan latar indah lantas semua novel yang terbit sesudahnya dan memiliki kesamaan umum seperti dalam dua poin terdahulu menjadi terdakwa plagiat jika novel-novel itu juga menyajikan latar indah. Kita mesti membandingkan dengan cermat misalnya apakah cara kedua penulis menggambarkan latar indah itu persis sama? Apakah latar indah novel yang dianggap mirip itu hadir natural dan selaras letak geografisnya atau dipaksakan karena memplagiat novel lain yang memiliki latar dengan letak geografis berbeda?
Keempat, kedua novel sama-sama menjadi best seller pada zamannya.
Poin ini jelas paling kocak jika dijadikan sebagai bukti plagiat. Tidak ada logika yang bisa dipakai untuk menjustifikasi pendapat bahwa ketika Dua Belas Pasang Mata menjadi best seller dan Laskar Pelangi menjadi best seller maka Laskar Pelangi pasti memplagiat Dua Belas Pasang Mata.
Tiga poin awal memang menunjukkan kesamaan aspek intrinsik, tetapi kesamaan tersebut bersifat umum. Kemiripan aspek intrinsik karya bisa mengindikasikan plagiat ataupun pengaruh tergantung seberapa miripkah kemiripan itu, satu hal yang hanya bisa didapatkan jika perbandingan dilakukan pada aspek-aspek intrinsik yang lebih khusus. Andai ingin menjadikan komentar Farah sebagai penuntun menuju konklusi mengenai plagiat atau bukan, maka poin dia yang paling penting sebenarnya poin kelima, yakni “baca saja sendiri”, buktikan, lalu baru umumkan apa pun hasilnya.
Dengan nalar sederhana saja kita pasti paham bahwa ketika orang berkomentar “karya a mirip karya b dan karenanya karya a memplagiat karya b” maka dia bertanggung jawab memberikan penjelasan lebih rinci adjektiva mirip itu. Hal tersebut merupakan konsekuensi wajar dan pasti bisa dilakukan jika memang orang berkomentar tentang karya berdasarkan pembacaan kritis terhadap karya terkait dan bukan berdasarkan ikut-ikutan atau main intuisi belaka. Dari penjelasan itulah baru kita bisa menilai apakah konklusi dia tentang karya a memplagiat karya b memang sahih atau tidak. Kita memiliki contoh bagus tentang cara membuktikan plagiat di ranah sastra dari dokumentasi pro dan kontra Hamka plagiat dulu, contoh yang pasti diketahui oleh orang yang berkecimpung dalam sastra Indonesia tanpa mengidap rabun sejarah.
Selain itu, aneh juga bahwa orang yang menulis berapi-api tentang banyak isu dahsyat kesastraan kita seperti Edy Firmansyah ternyata gagal membedakan plagiat dengan pengaruh. Semakin banyak orang membaca karya maka semakin besar kemungkinan dia mendapatkan lintasan pemikiran soal kemiripan satu karya yang sedang dia baca dengan karya yang pernah dia baca dan tersimpan dalam memorinya. Hal semacam itu waras dan normal, tetapi tidak berarti menjustifikasi loncatan hebat menuju konklusi soal plagiat. Belum lagi kita juga mesti mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kemiripan karena kebetulan semata atau terjadinya kemiripan karena otak kita yang kacau memirip-miripkan dua hal yang sebenarnya tidak mirip dengan modus pareidolia.
Maka saya misalnya bisa mengatakan bahwa ketika membaca Lelaki Harimau Eka Kurniawan di kepala saya tergambar Chronicle of a Death Foretold Gabriel Garcia Marquez, tetapi tidak berarti saya mengatakan Lelaki Harimau memplagiat Chronicle of a Death Foretold. Ketika saya membaca cerpen-cerpen Intan Paramaditha dalam Sihir Perempuan, di kepala saya tergambar cerpen-cerpen Angela Carter dalam The Bloody Chamber, tetapi tidak berarti saya menganggap itu bukti Intan Paramaditha memplagiat Angela Carter. Ketika membaca adegan Pragola menonton dan menyimak juru pantun mengisahkan tokoh utama Ginggi dalam Senja Jatuh di Pajajaran jilid 3, saya teringat adegan Pendekar Tanpa Nama menonton tari topeng yang menyajikan dirinya sebagai tokoh utama dalam Bab 12 Nagabumi jilid 1, tetapi tidak berarti saya lantas menuduh Aan Merdeka Permana memplagiat adegan novel Seno Gumira Ajidarma.
Dengan kata lain, memori adalah sesuatu yang rapuh dan lintasan pemikiran mungkin terbukti keliru saat dipikirkan ulang sungguh-sungguh. Contoh paling dekat adalah Saut Situmorang yang dalam komentar facebook tahun 2022 keliru menyebut tahun penerbitan terjemahan Dua Belas Pasang Mata sebagai “tahun 1970an” (harusnya 1989, diinfokan demikian juga oleh akun facebook Boemipoetra tahun 2013), ataupun Sunlie Thomas Alexander yang keliru menyebut judul Dua Belas Pasang Mata menjadi Duapuluh Empat Pasang Mata. Itulah sebabnya telaah lebih dalam tentang rincian adjektiva mirip itu diperlukan alih-alih tergesa meloncat ke konklusi dahsyat.
Langkah-langkah proses pemunculan dugaan, pembuktian, penarikan konklusi semacam itu sederhana dan pasti setiap orang waras jalani saat mengolah informasi. Memang ketergesaan menyebarkan informasi tidak mesti menunjukkan kekurangcerdasan seseorang, tetapi hal itu jelas mengindikasikan kekurangan dalam hal lain: kemampuan menalar. Ada banyak kemungkinan motivasi di balik kekurangan semacam itu termasuk kemungkinan dirinya penganut mazhab asal: asal nulis, asal komentar, asal ambil bagian ribut, asal dapat like, asal banyak yang membagikan. Saya tidak tahu pasti apakah Edy Firmansyah membaca Laskar Pelangi dan Dua Belas Pasang Mata atau tidak, sebagaimana saya tidak tahu apakah dia sungguh membaca Things Fall Apart dan The Brothers Karamazov atau hanya membaca sinopsisnya di Wikipedia berbahasa Inggris didampingi Google Translate, tetapi kalau dia memang membaca semua buku itu dengan sungguh-sungguh maka bagi penulis penuh gelora seperti dia sekadar membuat telaah yang membuktikan pernyataan dia soal plagiat (atau “plagiat”) pasti bukan hal sukar.
Justru yang perlu khawatir mengalami sukar paham adalah kita sebagai pembaca, terutama kalau tulisan itu seperti tulisan dia yang membahas fiksi sastra dan fiksi populer: penuh konklusi serampangan yang dihasilkan dari kombinasi premis-premis ngawur diselingi gimik guyonan garing dan usang. Akan tetapi sukar atau tidak adalah urusan nanti saat telaah pembuktian itu ada, kalaupun memang Edy Firmansyah membuatnya. Jika tidak maka apa boleh buat menjadi snob kesastraan yang memproduksi komentar-komentar buruk tentang karya orang lain dengan modal getok tular dan tulisan-tulisan hasil meramban selintas memang lebih mudah daripada menulis berdasarkan data dan telaah yang bertanggung jawab sebagaimana lazimnya seorang kritikus sastra. Jika dalam tulisannya tentang fiksi sastra dan fiksi populer Edy Firmansyah mengambinghitamkan “minimnya kritikus sastra” maka dia sendiri telah memperlihatkan dengan jelas apa persisnya sebab keminiman itu dan siapa tepatnya yang hanya memiliki keahlian mengembik.
Dalam pandangan penganut mazhab asal tampaknya mengomentari dan membuat pernyataan-pernyataan tentang karya tanpa membacanya tidak dianggap sebagai hal keliru. Tidak heran jika Edy Firmansyah lantas bisa mengatakan “orang-orang menemukan bukti lain bahwa Laskar Pelangi merupakan ‘plagiat’ dari sebuah novel Jepang” tanpa tampak menganggap perlu dan mampu menunjukkan seperti apa “bukti” itu. Bahkan siapa “orang-orang” itu sendiri juga tetap misterius, sama misteriusnya dengan apa makna plagiat saat diapit tanda petik. Jika yang Edy Firmansyah maksudkan “orang-orang yang menemukan bukti” adalah Saut Situmorang dan Sunlie Thomas Alexander, seperti sudah disinggung di atas Saut Situmorang membuat pernyataan dan Sunlie Thomas Alexander mengutip pernyataan Saut Situmorang, lantas bisakah Edy Firmansyah menunjukkan seperti apa bukti yang ditemukan oleh “orang-orang” itu dan mestinya pernah dia baca sebelum dia ikut andil menyebarkan pernyataan terkait dengan genit?
Karena saya, dan mungkin pembaca-pembaca lain, sangat ingin ikut membacanya, sementara meski kami sudah “gigih mencari di mesin pencari” seperti yang dia anjurkan, kami tidak menemukan bukti dimaksud selaras makna lazim kata tersebut. Ataukah yang dimaksud “orang-orang yang menemukan bukti” itu Farah dan beberapa penulis lain yang melakukan telaah sastra bandingan ataupun sekadar mengulas Laskar Pelangi dan Dua Belas Pasang Mata? Seperti sudah disinggung di atas, komentar Farah dan para penulis terkait tidak membuktikan Laskar Pelangi plagiat, melainkan sekadar menunjukkan kesamaan keduanya sejauh yang bisa mereka tangkap sesuai tujuan penulisan, sementara jalan menuju konklusi mengenai plagiat dari hasil tangkapan itu jelas masih jauh dan terlalu ngawur jika dipangkas dengan loncatan-loncatan gimik penalaran snobisme khas Edy Firmansyah.
Kesastraan kita jelas membutuhkan banyak hal untuk terus berkembang, termasuk tulisan-tulisan sehat dan waras tentang karya, proses kreatif, dan politik sastra. Snobisme, kita boleh yakin, tidak termasuk di dalamnya. Salam.
Februari 2022.