Setelah Penyunting dan Pemeriksa Ejaan Tak Ada Lagi

BUKU Pigura Tanpa Penjara (Shira Media & Penerbit Buku Baik, cet. pertama 2019) hadir dengan kemasan mewah dan nyeni. Ia bukan sekadar dicetak dengan jilid keras, melainkan juga didesain dengan lukisan sampul menawan. Masuk ke dalamnya kita disambut lanskap yang juga mewah dan nyeni: tata letak huruf yang ramping, warna yang tidak monokromatis, lukisan-lukisan yang tak melulu hitam putih.

Namun, kemewahan dan kenyenian bukanlah segalanya bagi sebuah buku. Keduanya tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas proofreading-nya. Jika melihat halaman hak cipta Pigura Tanpa Penjara maka tak kita temukan informasi tentang penyunting dan pemeriksa ejaan (proofreader).

Penyunting dan Pemeriksa Ejaan, kita tahu, merupakan pihak-pihak yang keterlibatannya dalam penerbitan sebuah buku terlalu riskan untuk diabaikan. Bukti paling kuat untuk keriskanan itu muncul ketika kita temukan ada 66 salah eja dalam buku setebal 176 halaman ini.

Jumlah yang lumayan menakjubkan ini menyebar acak dengan jenis beragam. Kita bisa menemukan penulisan kata yang kurang satu huruf (misal: “merspons”, “ruang uang”), penulisan imbuhan yang dikelirukan dengan kata depan atau sebaliknya (misal: “di ketahui”, “disana”), penulisan kata yang berlebih satu huruf (misal: “totaliternianisme”, “sisa-sisia”), penulisan yang keliru dan pada beberapa kasus tak konsisten (misal: “Dinoisius”, “berinterkasi”, ada “Courbet” dan juga “Coubert”, “Jaka Tarub” dan juga “Joko Tarub”), sampai pada penempatan tanda baca yang tak teliti, misalnya adanya spasi sebelum tanda koma atau titik dan penulisan tanda sengkang yang tak konsisten.

Bukan hanya itu. Judul karya dan istilah asing kadang dimiringkan dan kadang tidak. Larik terakhir puisi Chairil Anwar “Malam di Pegunungan” yang dikutip Goenawan Mohamad (hlm. 143) tata letaknya dieksekusi dengan sewenang-wenang. Tata letak larik tersebut dibuat berbeda dengan 3 larik lainnya sehingga mengesankannya sebagai bagian dari stanza yang berbeda. 

Uniknya, bagian “Tentang Penulis” (hlm. 173-175) juga tidak luput dari kesalahan sejenis. Pada bagian itu kita bisa temukan misalnya penempatan tanda koma berlebihan seperti pada “biasa disingkat GM, Pria kelahiran, Batang, Jawa Tengah”, penulisan “Consience” alih-alih “Conscience”, sampai hilangnya penulisan tanda hubung pada “bahu membahu”. 

Mempreteli 66 kasus salah eja dalam buku ini akan membuat tulisan ini menjadi terlalu panjang. Selain itu, hal tersebut akan terkesan hiperbolis sehingga berpotensi menimbulkan prasangka bahwa penulis melakukannya tidak dengan niat baik. Oleh karena itu, siapapun yang penasaran bisa melakukan pengecekan sendiri pada buku Pigura Tanpa Penjara, siapa tahu pula jumlah yang ditemukan kemudian lebih dari angka 66.

Kasus-kasus salah eja semacam itu sangat mendasar dan pasti akan ditertibkan oleh pemeriksa ejaan. Pemeriksa ejaan yang berkualitas hanya mungkin melewatkan semua itu ketika dia memang memiliki pandangan patologis soal salah eja. Mungkin sudah waktunya jika di masa depan penyunting dan pemeriksa ejaan terlebih dahulu harus melewati tes mental, itu pun kalau keberadaan mereka masih diakui.   

Naskah yang tidak mengalami proses penyuntingan dan pemeriksaan ejaan tentu tidak selalu berakhir dengan buku porak-parik, tetapi di sini kita berbicara tentang potensi. Dibandingkan naskah yang mengalami proses penyuntingan dan pemeriksaan ejaan, naskah yang proses terbitnya mengabaikan kedua proses tersebut memiliki potensi lebih besar untuk menjadi buku porak-parik. Meski demikian, potensi itu akan menjadi sama besarnya ketika naskah yang mengalami dua proses itu digeluti oleh penyunting dan pemeriksa ejaan yang justru kualitasnya porak-parik.

Pigura Tanpa Penjara, sesuai anak judul, berisi tulisan-tulisan Goenawan Mohamad tentang seni rupa. Salah satu esai dalam buku ini, “Tubuh, Melankoli, Proyek” (hlm. 89-114), sudah dimuat dalam buku Eksotopi (Grafiti, 2002: 145-171). Esai “Tubuh, Melankoli, Proyek” versi Eksotopi dan Pigura Tanpa Penjara ternyata berbeda pula dalam hal salah eja ini. Jika kita bandingkan, kita akan menemukan adanya 7 salah eja dalam versi Pigura Tanpa Penjara yang tak kita temukan pada versi Eksotopi.

Hal ini memperkuat bukti riskannya sebuah buku yang diterbitkan tanpa melibatkan peran penyunting dan pemeriksa ejaan. Memang sebagaimana Pigura Tanpa Penjara, Eksotopi juga tidak mencantumkan penyunting dan pemeriksa ejaan pada halaman hak cipta, tetapi Goenawan Mohamad menyinggung dua pihak itu dalam pengantar buku tersebut:

Asty Leonasti membaca dan mengoreksi teks yang sudah saya ketik kembali. Eko Endarmoko, telah merapikan ejaan saya dan telah menyusun indeks buku ini.

Eksotopi, hlm. ix

Begitulah, Pigura Tanpa Penjara hadir dengan segala kemewahan dan kenyenian fisiknya meski pada akhirnya semua itu justru meruntuhkan judulnya sendiri. Dengan segala salah eja yang ada, buku ini menjelma Pigura Penjara, sebuah arena di mana kata dan makna dikurung oleh salah eja, oleh “penjara” yang membuat kata dan makna tidak bisa meraih potensi mereka sebebas mungkin. Konsekuensinya, pembaca juga berpotensi tidak bisa meraih kenikmatan maksimal dari tulisan-tulisan di dalamnya.

Kecuali, tentunya, kalau kita sama-sama meyakini bahwa salah tulis adalah bagian dari seni rupa, bahwa salah eja adalah bagian dari seni entah apa. Kemewahan dan kenyenian Pigura Tanpa Penjara, bergabung dengan “salah eja sebagai seni”, lantas bisa menjadi semacam pengukuhan kualitas fisik buku ini. Bahwa buku ini baik-baik saja, dicetak dengan tampilan yang luar biasa, dengan “seni” yang tersebar acak sampai pada tiap aksara dan tanda bacanya.

Penulis tentu bukan bagian dari mereka, sebagaimana penulis yakin Goenawan Mohamad pun bukan. Semoga pula sebenarnya mereka ini tidak mengada selain sebagai karakter imajiner dalam tulisan ini. Persoalannya kini, ada ataupun tidak ada orang-orang seperti mereka, buku Pigura Tanpa Penjara ini sudah hadir ke hadapan kita, dengan segala kemewahan dan kenyeniannya, dengan segala salah ejanya yang terlalu kentara.

Jogja, Komunitas Imajiner, 2019.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.