Seri Kibot Beng Irawan: Fiksi Anak Berlatar Kalimantan

SAAT membaca judul ketiga seri Mata karya Okky Madasari, Mata dan Manusia Laut (Gramedia Pustaka Utama, 2019), ada dua fiksi anak yang lain terlintas dalam benak saya. Yang pertama novel anak karya Latonda berjudul Lolos (Pustaka Jaya, 1978) dan yang kedua dua judul seri Kibot (Gramedia, 1986) karya Beng Irawan.

Mata dan Manusia Laut menyajikan cerita petualangan Mata dan Bambulo si bocah Bajo di kampung Sama, Sulawesi Tenggara. Petualangan berlanjut ke Masalembo, Segi Tiga Bermuda di Indonesia.

Lolos berlatar zaman Aksi Polisionil Belanda di sebuah desa nelayan Bajo yang hanya berisi empat puluh rumah dengan jumlah penghuni 250 orang. Tokoh utamanya dua anak bernama Tanjo dan Mone yang kemudian membantu pelarian dua pejuang yang sedang dicari-cari oleh serdadu-serdadu Nica. Latar tempat disajikan dengan rinci sepanjang cerita, sementara durasi ceritanya sendiri sangat pendek, disajikan sepanjang hanya 56 halaman.

Seri Kibot mengisahkan petualangan empat orang anak, salah satunya bernama Boboi yang biasa disebut sebagai “Manusia Ikan dari Rampa”. Rampa adalah perkampungan nelayan yang didiami oleh suku Bajau di Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Seri Kibot karya Beng Irawan adalah seri fiksi anak yang unik terutama karena latar tempat yang disajikan, yakni Kotabaru, Kalimantan Selatan. Petualangan yang disajikan berlatar laut, membedakannya dari seri-seri fiksi anak sezaman karya Bung Smas, Dwianto Setyawan, dan Djokolelono yang kebanyakan berlatar daratan di Pulau Jawa, mengecualikan beberapa judul seperti Seri Sandi Terlibat di Mahakam dan Terdampar di Pulau Candu.

Seri Kibot terdiri dari dua judul. Judul pertama Sumpit Beracun (Maret 1986), judul kedua Misteri Kapal Tua (Juni, 1986). Sumpit Beracun setebal 199 hal. dan Misteri Kapal Tua setebal 205 hal. Gambar kover dan ilustrasi-ilustrasi di dalam digarap oleh komikus D.N. Koestala.

Pindaian kover jilid pertama, Sumpit Beracun
Pindaian kover jilid kedua, Misteri Kapal Tua

Satu hal yang patut disayangkan, informasi mengenai penulisnya sangat minim. Penelusuran yang saya lakukan di internet hampir nihil. Saya hanya menemukan bahwa Beng Irawan tampaknya juga aktif sebagai penulis skenario. Namanya disinggung dalam ucapan terima kasih buku karangan Fred Suban Yuk… Nulis Skenario Sinetron (2009) dan tercantum sebagai salah satu penulis skenario film Love and Edelweiss (2010).

Berdasarkan penelusuran di internet, Beng Irawan tampaknya bukan penulis fiksi anak yang produktif seperti Dwianto Setyawan, Bung Smas, dan Djokolelono. Sekurang-kurangnya ada dua judul fiksi anak lain karyanya, yaitu Bu Dokter Sahabat Kami (1984) dan Teguh si Penyair (1984). Sayangnya dalam buku Teguh si Penyair yang bisa saya akses juga tidak ada informasi biografis Beng Irawan.    

Kibot adalah nama kelompok para tokoh utama seri ini, disusun dari nama masing-masing tokoh. Pembentukan nama kelompok semacam ini memang menjadi semacam tradisi pada cerita-cerita petualangan anak dan detektif cilik pada masa itu. Dari Dwianto Setyawan kita misalnya punya kelompok Sandi dan Kelompok 2&1, dari Bung Smas kita punya Trio Tifa dan Siasat. Dari Djokolelono kita punya kelompok Pachar.

Unik bahwa dalam novel yang disebut terakhir, Djokolelono memasukkan perihal tersebut dalam dialog yang diucapkan oleh salah satu tokoh, Oskar:

“Maksudku, kita bisa membuat suatu klub. Klub anak-anak remaja. Seperti di bukunya Enid Blyton. Atau Dwianto Setyawan. Atau Bung Smas…”

Pachar: Bom, hal. 14

Kisah mengenai penciptaan nama kelompok disajikan dalam dua halaman terakhir buku pertama, saat anak-anak berfoto bersama di tangga dan ternyata huruf-huruf awal nama jika diurutkan berdasarkan posisi duduk dari atas ke bawah menyusun nama KIBOT. K untuk Kaisar, I untuk Ike, B untuk Boboi, O untuk Ombing, dan T untuk Tonde. Kaisar adalah beruang milik Ombing yang juga selalu ikut dan berperan dengan caranya sendiri dalam petualangan Kibot.

Pindaian ilustrasi Kibot berfoto bareng (Sumpit Beracun, hal. 195)

Ike anak kelas 6, Ombing, Boboi, dan Tonde anak kelas 5 SD, meski yang satu sekolah hanya Ombing dan Boboi. Ike adalah putri pengusaha kaya pendatang dari pulau Jawa. Dia dimanja, berwatak keras, sukar berdamai, berani, dan suka mengamuk kalau ditekan tetapi “mudah lunak bila dihadapi dengan sikap lemah lembut”. Ketiga anak yang lain memang digambarkan memiliki latar belakang ekonomi jauh di bawah Ike. Ike misalnya memiliki speed boat—dan walkman—sendiri sementara ketiga anak lainnya hanya mampu bermain menggunakan jukung.

Akan tetapi poin persahabatan mereka selain menggambarkan persahabatan antar anak yang berbeda status sosial, juga berbeda suku. Boboi adalah anak kepala suku Bajau ahli menyelam. Kemampuannya menyelam dibuktikan dengan menarik Darwis menyelam sampai teler di buku ke-1, sementara kemampuannya mendayung cepat tanpa suara ikut berperan dalam petualangan berlatar kapal tua di buku ke-2.

Ombing digambarkan sebagai “anak kota” dan sesekali digambarkan menggunakan bahasa Banjar. Dia adalah anak Kibot paling serius dan paling sering ribut dengan Ike.

Sementara Tonde adalah anak suku Dayak ahli menyumpit, dia juga digambarkan sangat suka memakai pakaian tradisional Dayak. Di awal cerita dia menakut-nakuti Ike akan membuat wajah Ike menjadi berbulu, gertakan yang di akhir cerita justru Ike gunakan untuk balik mengerjai Tonde. Demikian juga di awal cerita buku ke-2 dia mengerjai teman-temannya di kapal tua dengan berpura-pura kerasukan roh. Sementara kemampuannya menyumpit ikut berperan dalam penangkapan Darwis dalam klimaks cerita buku 1.

Dalam buku pertama, Kibot berurusan dengan penculikan Ike, sementara dalam buku kedua berurusan dengan penyelundupan yang membuat ayah Ike, Pak Astor, terkena fitnah dan berurusan dengan polisi.

Kisah bagaimana Ike bisa berteman dengan Boboi, Ombing, dan Tonde mendapat porsi lumayan banyak dan mengasyikkan pada buku 1. Semula ketiga anak itu langganan dikerjai oleh Ike, tapi ketika Ike diculik setelah mengerjai mereka, ketiga anak itu ujung-ujungnya ikut membantu memecahkan kasus penculikan itu dan itulah awal perkawanan mereka.

Sementara Ombing dan Tonde bisa berkawan justru gara-gara Kaisar. Kisah kenakalan Kaisar yang mengamuk di rumah dan membuat Ombing dihukum oleh ibunya dikisahkan dengan menarik pada Bab 2 Buku ke-1. Kelak Kaisar ikut berperan dalam penangkapan Darwis dalam klimaks buku ke-1 dan penangkapan Yandi dan Tagur dalam klimaks buku ke-2 di kapal tua. 

Dalam seri Kibot, ada seorang tokoh polisi yang selalu muncul, berperan sebagai sahabat anak-anak Kibot, yaitu Letnan Margan. Di satu sisi dia selalu berusaha menjauhkan anak-anak Kibot dari petualangan yang berbahaya, tetapi di sisi lain dia juga selalu kecolongan dan muncul mengambil alih saat situasi menegangkan sudah hampir sepenuhnya anak-anak Kibot atasi.

Membaca (ulang) Seri Kibot pada tahun 2022 masih terasa asyik diiringi semacam rasa nostalgia. Tentu saja ada banyak hal yang sudah berubah kini terkait latar Kalimantan yang disajikan, salah satunya latar Desa Rampa yang dalam seri Kibot digambarkan sebagai perkampungan dengan tingkat perekonomian penduduknya pas-pasan. Berita-berita terbaru menyebutkan kalau sejak 2021 Desa Rampa menjadi perhatian program pembangunan Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) dan akan dijadikan desa wisata. Kita boleh berharap semoga dengan demikian kehidupan para Boboi kontemporer di sana juga menjadi lebih baik. Salam.

Referensi

Djokolelono. 1987. Pachar: Bom. Jakarta: Gramedia.

Irawan, Beng. 1984. Bu Dokter Sahabat Kami. Bandung: Remadja Karya.

__. 1984. Teguh Si Penyair. Jakarta: Cipta Indah Aksara.

__.1986. Sumpit Beracun. Jakarta: Gramedia.

__. 1986b. Misteri Kapal Tua. Jakarta: Gramedia.

Latonda. 1978. Lolos. Jakarta: Pustaka Jaya.

Madasari, Okky. 2019. Mata dan Manusia Laut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.