Salman Rushdie: The Satanic Verses dan Kebebasan Penulis

Orhan Pamuk

ADEGAN-ADEGAN yang dilebih-lebihkan yang pernah menandai Salman Rushdie sebagai penulis realis magis klasik, dan mimpi-mimpi yang pernah diciptakan oleh pengarang ini untuk buku-bukunya, kini jadi menyerupai kehidupan nyata: novelnya sendiri dilarang di India, Pakistan, dan kebanyakan negara Islam. Kemarahan terhadap para penerbit Inggris dan Amerika serta terhadap sang pengarang dan novelnya timbul sama besarnya. Protes dan demonstrasi-demonstrasi berlangsung di Barat maupun di Timur. Para penjual buku yang menyimpan stok buku tersebut diancam. Ketika buku itu dibakar di alun-alun, demikian jugalah gambar pengarangnya, lalu kini Ayatullah Khomeini menetapkan harga untuk kepala Rushdie.

Sebagian orang mengatakan bahwa Salman Rushdie akan harus bersembunyi sepanjang sisa hidupnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa dengan operasi plastik dan identitas baru maka dia mungkin kembali aman untuk berjalan di tengah-tengah kita. Sementara media dunia terus berpanjang-panjang menyajikan kepada kita liputan langsung perburuan manusia, kita telah mendengar diskusi-diskusi tentang kebebasan pikiran di sini—atau, sebaliknya, cara-cara yang memungkinkan untuk benar-benar membatasi dunia imajiner seorang novelis. Berhubung kita di Turki hidup dalam sebuah republik sekuler yang menetapkan kekangan-kekangan ketat baik untuk Islam maupun untuk kebebasan ekspresi, kita selalu puas dengan duduk di pinggiran saat permainan berlangsung sendiri persis di seberang tapal batas kita, bertanya-tanya sendiri tentang rincian-rincian yang bisa kita kumpulkan dari surat kabar asing.

Tidak, saya tidak mengatakan bahwa di Turki sama sekali tidak ada minat terhadap persoalan itu, tetapi sebagaimana di Iran, orang-orang yang paling bersemangat untuk terjun ke dalam persoalan tersebut cenderung mereka yang tidak pernah membaca satu kata pun dari novel tersebut dan pada faktanya tidak membaca novel apa pun sama sekali: Kementerian Agama diperintahkan untuk mengadakan satu rapat darurat, seolah-olah persoalan tersebut menimbulkan satu tantangan teologis terhadap sejarah Islam, kemudian para imam yang tak pernah membaca novel berkhotbah di depan jemaah yang tak pernah membaca novel, dan para jurnalis yang tidak membaca novel ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan teologis kepada para profesor—yang juga tidak membaca novel tersebut—dan kemudian melanjutkan merancang pokok berita yang rasa malu mendalamnya tak memiliki hubungan apa pun dengan teologi: HARUSKAH DIA DIBUNUH ATAU TIDAK BOLEHKAH DIA DIBUNUH?

Sebagaimana novel kedua Salman Rushdie, Midnight’s Children, Satanic Verses menyandang cap “realisme magis,” yang kini telah muncul dalam sastra dunia selama dua puluh tahun, meskipun garis keturunannya bisa dilacak mundur sampai Rabelais. Sebagaimana bisa kita lihat dalam The Tin Drum-nya Günter Grass dan One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez—dua buku terbaik yang menggunakan mode ini, keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki—karakter-karakter ciptaan pengarang dan dunia mereka tidak mematuhi hukum-hukum dunia fisik. Dalam novel-novel ini kita menyaksikan hewan-hewan berbicara, orang-orang terbang, mayat berdiri, para hantu dan spirit yang sangat menarik berjalan-jalan, benda-benda menjadi hidup, dan—sebagaimana dalam The Satanic Verses—peristiwa-peristiwa alam menjadi bersifat supernatural. Meskipun The Satanic Verses memiliki karakter-karakter yang cekcok dengan para jin, setan, dan iblis, berubah dari orang-orang menjadi iblis atau kambing, ia juga menghubungkan dua kisah yang terjalin yang akan sangat cocok menjadi sebuah novel realis: kisah-kisah ini bertolak dari keberuntungan dua orang India dari Bombay yang pindah ke London dan menjadi orang Inggris.

Gibreel Farishta adalah seorang bintang film yang besar di sebuah Bombay yang menyerupai Istambul kita, dikenal khalayak dalam sebuah industri film yang menyerupai Yesilcam1Sinema Turki, merujuk pada industri dan seni film Turki.kita dan setelahnya menjadi terkenal memainkan dewa-dewa Hindu. Saladin Chamcha adalah seorang Muslim Bombay yang, seperti Rushdie sendiri, dikirim ke Inggris oleh bapaknya yang merupakan pebisnis kaya untuk sekolah di satu sekolah umum. (Pada titik ini sang narator mendefinisikannya sebagai “seorang India yang diterjemahkan ke dalam Inggris.”) Dua hero itu datang bersamaan dalam penerbangan Air India ke London. Pesawat Air India (yang oleh Rushdie, seperti biasa sangat menyukai permainan kata, diberi nama Garden) dibajak oleh para teroris Sikh, dipaksa untuk mendarat dan kemudian lepas landas kembali, dan saat mencapai London, pesawat itu lenyap ke luar angkasa.

Meskipun semua orang lainnya dalam penerbangan itu mati, dua hero itu jatuh seolah-olah dari langit ke atas Inggris yang tertutup salju, selamat dan sehat tetapi berubah sebagaimana Gregor Samsa-nya Kafka. Saladin Chamcha, kini seorang musisi, berubah menjadi seekor kambing yang bertanduk dan memiliki kaki berambut. Berlari di depannya, Gibreel Farishta tidak berubah secara fisik tetapi mengalami satu perubahan kepribadian. Dengan satu kemarahan megalomaniak yang akan dijinakkan oleh campur tangan medis, Gibreel percaya dirinya adalah malaikat agung bernama sama yang menyampaikan Alquran kepada Nabi Muhammad. Perjalanan yang dilakukan oleh dua hero tersebut di tanah Inggris menuju London (dalam novel disebut sebagai Eloven Diyoven) pada dasarnya merupakan cerita emigrasi orang India dan Pakistan ke kota tersebut.

Bermula bersama seperti anak kembar, para hero tersebut saling bertemu kembali setelah setiap perpisahan, untuk menjadi lebih baik ataupun lebih buruk. Progres mereka tidak pasti: Satu saat mereka berpihak pada malaikat dan saat lain pada para iblis. Akan tetapi—dan ini bagi saya selalu berlaku bagi realisme magis—apa yang membuat saya terus membaca bukanlah petualangan-petualangan supernatural. Teksturnya muncul dari satu tenunan kilas balik, kenangan, lanturan, dan sub-alur, sehingga naratorlah yang pertama-tama kita perhatikan: Dia menawarkan kepada pembaca orasi-orasi panjang di sana sini (misalnya satu kritik panjang terhadap politik Thatcherisme). Apa yang membuat saya terutama terkesan adalah bahasa sarat-mitos yang digunakan oleh narator dan para heronya untuk menjelaskan tahun-tahun awal mereka di Bombay. (Seperti Nabokov, Rushdie menyukai permainan-permainan kata, rima-rima internal, kata-kata yang jarang dipakai, dan neologisme-neologisme.2Kata bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa yang memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata) Saat narator menjauhkan dirinya dan para heronya dari “kaum muda Muslim” untuk pergi melakukan pencarian transformasi, untuk mengekspos satu bahasa, satu kultur, maka satu kemarahan tertentu pun merembes masuk. Bertahun-tahun kemudian, ketika narator kembali ke negerinya sendiri, bapaknya akan mengungkapkan pandangan-pandangan sendiri tentang kemarahan dan konsekuensi-konsekuensinya kepada anaknya yang dianglokan itu: “Jika kamu ingin pergi ke luar negeri untuk membenci jenismu sendiri, maka kamu tak akan mendapatkan apa pun selain kebencian dari jenismu sendiri!”

Dengan fatwa Khomeini, bukan hanya terjemahan The Satanic Verses yang dihentikan, melainkan terjemahan karya-karya Rushdie yang terdahulu.

Pada titik ini, kita mesti meminta khalayak, yang telah menyaksikan pembunuhan Turan Dursun3Penulis Turki, mantan ulama dan cendekiawan Syiah yang kemudian menjadi ateis. Dibunuh oleh dua orang pria bersenjata pada 4 September 1990 di Istanbul dalam perjalanannya menuju tempat kerja.karena karyanya tentang Alquran, untuk melakukan telisik jiwa tentang ancaman terhadap Rushdie.

Baca juga Penerjemahan Novel The Satanic Verses Salman Rushdie yang Berujung Pembunuhan

Sumber: Orhan Pamuk, “Salman Rushdie: The Satanic Verses and the Freedom of the Writer,” dalam Other Colors: Essays and a Story.New York: Alfred A. Knopf.     

1 comments On Salman Rushdie: The Satanic Verses dan Kebebasan Penulis

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.