Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain

1

Pada 9 Oktober 2021, Komunitas Kutub mengadakan sesi diskusi buku antologi cerpen Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon karya Edy Firmansyah. Rekaman diskusi tersebut kemudian diunggah di kanal Youtube Komunitas Kutub menjadi dua bagian dengan judul Madura dalam Semesta Fiksi Sejarah Edy Firmansyah.

Dalam sesi diskusi, Saut Situmorang sebagai salah satu pembicara sempat membandingkan secara ringkas kemiripan cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dengan cerpen “Selamat Tinggal Hindia” karya Iksaka Banu. Saut Situmorang memberikan komentar bahwa kedua cerpen itu memang “mirip sekali” di alurnya tetapi cerpen Edy lebih pendek dan lebih sederhana, juga berbeda di akhirnya. Cerpen ini menjadi persoalan karena Edy Firmansyah “bisa-bisa dituduh plagiarisme”.

Video Madura dalam Semesta Fiksi Sejarah Edy Firmansyah part 1. Bagian komentar Saut Situmorang ada pada menit 45.22-49.22

Cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” adalah salah satu cerpen termaktub dalam antologi cerpen Edy Firmansyah Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon (Yogyakarta: Cantrik, 2021), ditempatkan di posisi kedua dari 14 cerpen, yakni pada halaman 17-24. Tidak ada informasi mengenai publikasi awal cerpen-cerpen dalam antologi, tetapi penelusuran di internet menunjukkan cerpen tersebut semula dipublikasikan daring di detikHot pada tanggal 28 Maret 2020.

Cerpen “Selamat Tinggal Hindia” adalah salah satu cerpen termaktub dalam antologi cerpen Iksaka Banu Semua untuk Hindia (cetakan pertama 2014, cetakan kedua 2018), ditempatkan di posisi pertama dari 13 cerpen, yakni pada halaman 1-12. Titimangsa penulisan di akhir cerpen adalah 12 Oktober 2012. Dalam pengantar Nirwan Dewanto mengatakan bahwa sebagian besar cerpen dalam antologi pernah dimuat dalam Koran Tempo pada rentang tahun 2007-2012. Berdasarkan penelusuran di internet, cerpen “Selamat Tinggal Hindia” pertama kali dipublikasikan dalam Koran Tempo edisi 28 Oktober 2012.

Pertanyaannya kemudian, seberapa miripkah sebenarnya kemiripan itu?

Kita tentu memiliki ekspektasi kemiripan keduanya pasti lebih jauh daripada apa yang disebut-sebut sebagai kemiripan antara Laskar Pelangi dan Dua Belas Pasang Mata oleh Edy Firmansyah dan Saut Situmorang, karena sejauh ini tidak terdengar mereka berdua mengatakan bahwa “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” memplagiat “Selamat Tinggal Hindia”. Di sisi lain, kita justru mendengar kedua orang tersebut selama ini justru riuh mengumumkan Laskar Pelangi sebagai karya plagiat dari Dua Belas Pasang Mata atas dasar kemiripan dalam poin-poin yang jauh dari spesifik, pun tanpa pembuktian.  

Berikut disajikan kedua cerpen tersebut seutuhnya. Penomoran dilakukan untuk mempermudah proses pembandingan.

Cerpen Iksaka Banu1Iksaka Banu, Semua untuk Hindia, (Jakarta: KPG, 2018), hal. 1-12. Versi publikasi pertama bisa dibaca daring di Koran Tempo. Ada juga versi daring lain yang bisa diakses di Indonesien lesen, versi ini mencantumkan sumber Semua untuk Hindia cetakan pertama tahun 2014 dan memuat beberapa perbedaan diksi dan salah ketik.

Selamat Tinggal Hindia (2012)No.
Chevrolet tua yang kutumpangi semakin melambat, sebelum akhirnya berhenti di muka barikade bambu yang dipasang melintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar kemudian, seperti sebuah mimpi buruk, dari sebelah kiri bangunan muncul beberapa orang pria berambut panjang dengan ikat kepala merah putih dan aneka seragam lusuh, menodongkan senapan.
1
“Laskar,” gumam Dullah, sopirku.
“Pastikan mereka melihat tanda pengenal wartawan itu,” bisikku.
Dullah menunjuk kertas di kaca depan mobil. Salah seorang penghadang melongok melalui jendela.
“Ke mana?” tanya orang itu. Ia berpeci hitam. Kumisnya lebat, membelah wajah. Sepasang matanya menebar ancaman.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini wartawan. Orang baik,” Dullah, dengan raut muka yang dibuat setenang mungkin, mengarahkan ibu jarinya kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloyo!” bentak si kumis sambil memukul bagian depan mobil. “Suruh Londo itu turun juga!” sambungnya.
Tergesa, Dullah dan aku menuruti perintahnya. Dibantu beberapa rekannya, si kumis menggeledah seluruh tubuh kami. Sebungkus rokok Davros yang baru kunikmati sebatang segera berpindah ke saku bajunya. Demikian pula beberapa lembar uang militer Jepang di dalam dompet. Seorang laskar lain masuk ke dalam mobil, memeriksa laci, lalu duduk di kursi sopir. Memutar-mutar roda kemudi seperti seorang anak kecil.
“Martinus Witterk. De Telegraaf,” si kumis membaca surat tugas, lalu menoleh kepadaku. “Belanda?”
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah. Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kamu. Sompret!” si komandan menampar pipi Dullah. “Teman-temanmu mati kena peluru, kamu ikut penjajah. Sana, minggat!” ia mengembalikan dompetku sambil menikmati rokok rampasannya.
2
“Terima kasih, Dullah,” kataku beberapa saat setelah kendaraan kembali melaju. “Kamu baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari mereka. Mengaku pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan atau uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah. “Untung saya yang mengemudi. Bila Tuan Schurck yang pegang, saya rasa tuan berdua tidak akan selamat. Mereka suka menghabisi orang Eropa yang mudah marah seperti Tuan Schurck. Tidak peduli wartawan.”
3
“Jan Schurck memang pandai membahayakan diri,” aku tersenyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya gaji tinggi.”
“Tuan yakin alamat si nona ini?”
“Ya, seberang Topografisch Bureau. Tidak mau pergi dari situ. Si kepala batu.”
4
Kepala batu. Maria Geertruida Welwillend.
Geertje! Ya, itu nama sebutannya.
Aku bertemu wanita itu di kamp internir Struiswijk, tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada Sekutu.
5
Waktu itu, di hotel Des Indes, yang sudah kembali ditangani oleh manajemen Belanda, aku dan beberapa rekan wartawan tengah membahas dampak sosial di Hindia seiring kekalahan Jepang.
“Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda bumiputra kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap orang kulit putih serta mereka yang dianggap kolaborator tiba-tiba seperti menemukan pelampiasannya di jalan-jalan lengang, di permukiman orang Eropa yang berbatasan langsung dengan kampung bumiputra,” Jan Schurck melemparkan seonggok foto ke atas meja.
6
God Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus Schrijven dari Utrechts Nieuwsblad membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu. “Kabarnya, para jagal ini adalah jawara atau perampok yang direkrut menjadi tentara. Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk. Tapi kerap pula diambil sendiri.”
7
“Bandit patriot,” Jan mengangkat bahu. “Terjadi pula semasa Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, dan di antara para partisan Yugoslavia hari ini.”
“Anak-anak haram revolusi,” aku menimpali.
“Aku benci perang,” Hermanus membuang puntung rokoknya.
“Warga Eropa tidak menyadari bahaya itu,” kataku. “Setelah lama menderita di kamp, ​​tak ada lagi yang mereka inginkan kecuali selekasnya pulang. Mereka tak tahu, Si Jongos dan Si Kacung telah berubah menjadi pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat dari Lord Mounbatten agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu datang,” Eddy Taylor, dari The Manchester Guardian, angkat bicara.
“Ya. Dan para komandan Jepang, yang sudah tidak memiliki semangat hidup sejak kekalahan mereka, cenderung membiarkan tawanannya minggat. Ini mengkhawatirkan,” Jan menyulut rokok, entah yang keberapa.
“Bisa lebih buruk. Tanggal 15 September kemarin, pasukan Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku menunjuk peta di meja. “Sebuah cruiser Belanda yang menyertai pendaratan itu konon telah memicu keresahan kalangan militan di sini. Bagi mereka, hal itu seperti menguatkan dugaan bahwa Belanda akan kembali masuk Hindia.”
Well, ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Belanda berniat kembali?” Eddy Taylor menatap Jan dan aku, ganti-berganti.
8
Mendadak pembicaraan terpotong teriakan Andrew Waller, wartawan Sydney Morning Herald, yang setia memantau perkembangan situasi melalui radio: “Menarik! Ini menarik! Para mantan tentara KNIL dan tentara Inggris pagi ini memindahkan para penghuni kamp Cideng dan Struiswijk.”
Tanpa membuang waktu, kami semua berangkat pergi. Aku dan Jan memilih mengunjungi Kamp Tawanan Struiswijk.
Mayor Adachi, komandan Jepang yang kami temui, menyambut gembira upaya pemindahan massal ini.
“Patroli kami kerap menjumpai mayat orang Eropa yang melarikan diri dari kamp. Tercincang dalam karung di tepi jalan,” katanya.
9
Aku mengangguk sembari mencatat. Tetapi sesungguhnya mataku terpaku pada Geertje yang berjalan santai menenteng koper. Bukan menuju rombongan truk, melainkan ke jalan Drukkerijweg, bersiap memilih becak.
“Hey, Martin!” teriak Jan Schruck. “Gadis itu melirikmu sejak tadi. Jangan tolak keberuntunganmu. Kejar!”
Aku memang mengejarnya, tetapi segera menerima kejutan besar.
10
“Aku tidak ikut,” Geertje menatapku tajam. “Truk-truk ini menuju Bandung. Ke tempat penampungan di Kapel Ursulin. Sebagian lagi ke Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung Sahari. Banyak yang harus kukerjakan,” katanya.
“Maksudmu, sebelum Jepang datang, engkau tinggal di Gunung Sahari, dan sekarang hendak kembali ke sana?” tanyaku.
“Ada yang salah?” Geertje balik bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tempat. Pembunuhan terhadap orang kulit putih, Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap kolaborator Belanda semakin menjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rumahku. Permisi,” Geertje membalikkan badan, menenteng kembali kopernya.
11
Aku tertegun. Dari jauh kulihat si keparat Jan menjungkirkan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku mengejar Geertje. “Biar kuantar.”
Kali ini Geertje tak menolak. Dan aku bersyukur, Jan bersedia meminjamkan motornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,” Jan mengedipkan mata. “Di Nederland banyak wanita merana menunggu kedatangannya.”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut namaku saja,” sahut Geertje.
“Oh, kalau begitu panggil aku Jan.”
“Dan ini Martin,” aku menebah dada. “Apakah kau tak ingin membuang bakiak kamp itu?” tanyaku sambil melirik kaki Geertje. “Bukankah para tentara di sana menyediakan sepatu untuk wanita dan anak-anak? Mereka juga membagikan gincu dan bedak. Kalian akan kembali rupawan.”
“Belum terbiasa bersepatu lagi, jadi kusimpan di koper. Di kamp, ​​aku mahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa, meletakkan tubuhnya di jok belakang.
12
Mijn God. Tawa renyah dan lesung pipitnya. Betapa ganjil berpadu dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat teka-teki. Apakah wanita ini masih memiliki keluarga? Suami? Tapi tadi ia minta dipanggil ‘nona’.
“Gunung Sahari sering dilewati Batalion 10. Mereka menjaga permukiman Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang tahu, kapan serangan datang. Coba pikirkan usulku tadi,” dari kaca spion, kutengok Geertje. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara motor Jan teramat bising. Akhirnya kami membisu saja sepanjang perjalanan.
13
Di perempatan Kwitang aku meliuk ke kanan, meninggalkan iringan truk berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah, anak-anak itu. Riuh bertepuk tangan, menyanyikan lagu-lagu gembira. Tidak menyadari bahwa kemungkinan besar tanah Hindia, tempat mereka lahir, sebentar lagi tinggal kenangan.
“Depan empang itu,” Geertje melambai.
Aku membelokkan sepeda motor. Rumah besar itu terlihat menyedihkan. Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini. Anehnya, rumput pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat ia ingin berlari ke teras. Dari tas di belakang sepeda motor, kukeluarkan belati yang tadi dipinjamkan oleh Jan. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin masuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan belatimu. Biar aku yang mengetuk. Semoga rumah ini belum diambil alih keluarga Eropa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje mengetuk beberapa kali. Tak ada jawaban. Kami berputar ke belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak masuk, terdengar langkah kaki dari kebun. Seorang wanita bumiputra. Mungkin berusia lima puluh tahun.
“Nona!” wanita itu meraung, memeluk kaki Geertje.
Geertje menarik bahu si wanita agar berdiri.
“Jepang sudah kalah. Aku pulang, Iyah. Mana suamimu? Apakah selama ini engkau tinggal di sini?” tanya Geertje. “Ini Tuan Witkerk, teman saya. Martin, ini Iyah. Pengurus rumah tangga kami.”
Iyah membungkuk kepadaku, lalu kembali menoleh kepada Geertje.
“Setelah terakhir menengok Nona, rumah ini diambil Jepang. Tempat tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka. Tidak boleh pergi. Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,” Iyah kembali terisak. “Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”
“Mama meninggal bulan lalu. Kolera,” Geertje mendorong pintu lebih lebar, lalu masuk rumah. Aku dan Iyah menyusul. “Papa dan Robert dikirim ke Burma. Sudah kuminta komandan kamp mencari berita tentang mereka,” lanjut Geertje.
“Barang berharga disita. Foto-foto di dinding musnah. Diganti bendera Jepang. Tapi belum lama ini mereka buru-buru pergi. Entah ke mana. Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah. “Saya ambil alat-alat masak dulu di gubuk. Sekalian ajak suami ke sini. Sejak jadi koki Jepang, saya pindah ke gubuk belakang. Setelah mereka pergi, saya tetap tidak berani tinggal di sini. Tapi setiap ada kesempatan, pasti menengok, membersihkan yang perlu.”
“Ajak suamimu. Kita bangun rumah ini. Kalau bank sudah berjalan normal, mungkin aku bisa mengambil sedikit simpanan,” Geertje membiarkan Iyah berlari ke luar, lalu meneruskan memeriksa rumah. Meja-kursi tersisa beberapa, juga lemari. Tetapi tak ada isinya. Sebuah kejutan kami temukan di ruang keluarga: piano hitam yang anggun. Cukup mengherankan, Jepang tidak menyita atau merusaknya. Mungkin dulu dipakai sebagai hiburan.
14
Geertje meniup debu tipis, membuka penutup tuts. Sepotong irama riang menjelajahi ruangan.
“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje mengangguk, lalu bersenandung menimpali ketukan tuts.
“Engkau menyatu dengan alam dan penduduk di sini. Mereka juga menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,” kataku. “Tapi zaman ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir. Amerika semakin memperlihatkan ketidaksukaan mereka akan kolonialisme. Dunia luar juga mulai mengawasi setiap denyut perubahan yang terjadi di sini. Dan kehadiran kita selama beberapa ratus tahun sebagai penguasa negeri ini, bahkan makan jantung negeri ini, semakin memperburuk posisi tawar kita. Kurasa Hindia Belanda tak mungkin kembali, sekeras apapun upaya kita merebut dari tangan para nasionalis bumiputra ini.”
“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa menahan,” Geertje menghentikan laju jemarinya di atas tuts. “Mereka hanya ingin mandiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Sneevliet. Ia siap kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru sekolah bumiputra. Lahir, besar di tengah para bumiputra. Saat Jepang berkuasa, kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai. Aku harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apapun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti istilahmu. Entah sebagai apa. Jepang telah memberi pelajaran, pahitnya menjadi jongos atau babu. Setelah kemarin hidup makmur, bukankah memalukan lari di saat orang-orang ini butuh bimbingan kita?”
“Orang-orang itu…” aku tidak meneruskan kalimat. Sunyi sesaat.
“Konon, seorang pemburu menemukan bayi harimau,” akhirnya aku menghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh kasih. Ia menjadi jinak. Makan-tidur bersama si pemburu hingga dewasa. Tak pernah diberi daging. Suatu hari, tangan si pemburu tergores piring kaleng milik si harimau. Darah mengucur.”
“Si harimau menjilati darah itu, menjadi buas, lalu menerkam si pemburu,” potong Geertje. “Engkau mencoba mengatakan bahwa suatu saat para bumiputra akan menikamku dari belakang. Betul?”
“Kita ada di tengah pergolakan besar dunia. Nilai-nilai bergeser. Setelah berabad, kita menyadari tanah ini bukan Ibu Pertiwi kita,” jawabku. “Untuk ketigakalinya kuminta, pergilah selagi bisa.”
“Ke Belanda?” Geertje menurunkan tutup piano. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak negara nenek moyangku itu.”
“Di kampung halamanku, di Zundert, ada beberapa rumah kontrakan dengan harga terjangkau. Sambil menunggu kabar tentang ayahmu, kau bisa tinggal di sana.”
“Terima kasih,” Geertje tersenyum. “Kau sudah tahu di mana aku ingin tinggal.”
15
Itu jawaban Geertje beberapa bulan lalu. Sempat dua kali aku menemuinya kembali. Memasang kaca jendela dan mengantarnya ke pasar. Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerjaan. Geertje juga tak memikirkan hal lain kecuali membangun rumah. Sulit mengharapkan percik asmara hadir di antara kami.
Lalu datanglah berita tentang pertempuran keras tadi malam, yang merambat dari Meester Cornelis sampai ke Kramat. Beberapa kesatuan pemuda melancarkan serangan besar-besaran ke pelbagai wilayah secara rapi dan terencana. Di sekitar Senen–Gunung Sahari, sebuah tank NICA bahkan berhasil dilumpuhkan.
Aku mengkhawatirkan Geertje. Sebaiknya wanita itu kujemput saja. Biarlah ia tinggal bersama kami sementara waktu. Semoga ia tidak menolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bisa meminjam motornya. Untunglah, meski agak mahal, pihak hotel bersedia menyewakan mobil berikut sopirnya.
16
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah membawa diriku kembali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
“Betul. Tunggu sini,” aku melompat ke luar dengan cemas. Di muka rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam posisi siaga. Sebagian hilir-mudik di halaman belakang. Beranda rumah rusak. Pintu depan roboh, penuh lubang peluru. Lantai dan tembok pecah, menghitam, bekas ledakan granat.
“Permisi, wartawan!” sambil menerobos kerumunan, kuacungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kumasuki setiap kamar dengan perasaan teraduk, seolah berharap melihat tubuh Geertje tergolek mandi darah di lantai. Tetapi tak kunjung kutemui pemandangan mengerikan semacam itu. Seorang tentara mendekat. Agaknya komandan mereka. Kusodorkan kartu pengenal.
17
“Apa yang terjadi, Sersan…Zwart?” tanyaku sambil melirik nama dada tentara itu. “Korban serangan tadi malam? Di mana penghuni rumah?”
“Kami yang menyerang. Penghuninya lari. Tuan seorang wartawan? Kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar semua waspada,” Sersan Zwart mengajak berjalan ke arah dapur. “Ini tempat para pemberontak berkumpul. Banyak bahan propaganda anti-NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku menyela. “Setahuku rumah ini milik Nona Geertje, seorang warga Belanda.”
18
“Tuan kenal? Kami akan banyak bertanya nanti. Ada dugaan bahwa Nona Geertje alias ‘Zamrud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu Pertiwi’, yaitu nama-nama yang sering kami tangkap dalam siaran radio gelap belakangan ini, telah berpindah haluan.”
19
Geertje? Aku ternganga, siap protes. Namun Sersan Zwart terlalu sibuk menarik pintu besar yang terletak di tanah, dekat gudang. Sebuah bunker. Luput dari perhatianku saat mengunjungi Geertje tempo hari. Kuikuti Sersan menuruni tangga.
Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang sejahtera biasanya memiliki ruangan semacam ini. Tempat berlindung saat terjadi serangan udara di awal perang kemarin. Sebuah ruangan lembab, kira-kira empat meter persegi. Ada meja panjang, kursi, serta lemari usang berisi peralatan makan dan tumpukan kertas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti-NICA.
Sersan Zwart membuka kain selubung sebuah obyek di balik lemari. Pemancar radio!
“Warisan Jepang,” kata Sersan.
Aku membisu. Sulit mempercayai ini semua. Tetapi yang membuat tubuhku membeku sesungguhnya adalah pemandangan di dinding sebelah kiri. Pada dinding lapuk itu, tergantung satu set wastafel lengkap dengan cermin. Di atas permukaan cermin, tampak sederetan tulisan. Digores bergegas, menggunakan pemerah bibir: ‘Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia’.
Aku membayangkan Geertje dan lesung pipitnya, duduk di tengah hamparan sawah, bernyanyi bersama orang-orang yang ia cintai: “Ini tanahku. Ini rumahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.”
20
Sejak awal Geertje tahu di mana harus berpijak. Perlahan-lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sempat hinggap di benak.
21
Tabel data cerpen “Selamat Tinggal Hindia”

Cerpen Edy Firmansyah2Edy Firmansyah, Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon, (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021), hal. 17-24. Versi daring bisa dibaca di detikHot yang memuat beberapa perbedaan terkait penyuntingan, misalnya buldozer dalam versi daring menjadi buldoser dalam versi cetak, ataupun tambahan keterangan yang ditempatkan di dalam kurung untuk menjelaskan kata patek dan spoorstation. Meskipun demikian, beberapa salah ketik yang ada dalam versi daring masih bisa ditemukan di versi buku, misalnya komoditas ditulis komunitas, bersikeras yang ditulis bersikas, ataupun penulisan di- sebagai prefiks yang dikelirukan dengan di sebagai kata depan.  

Vanisse Meertruida dari Zoutlanden (2020)No.
Mata Joop Roeting membelalak saat menatap beberapa lembar foto yang dilemparkan Martin van Pagee, sahabatnya yang mantan fotografer De Patriot, di meja di ruang tamunya. Air mukanya berubah jadi sedih bercampur ngeri. Semakin banyak foto ia amati, mendung kesedihan makin dalam menyelimuti wajahnya.
1
“Gila! Mayat-mayat ini dibakar seperti babi guling,” Joop Roeting membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu. Beberapa foto memperlihatkan mayat-mayat ditumpuk sehingga membentuk gundukan dengan kobaran api yang besar.
2
“Ya. Kemudian para marinir dengan satu buldoser menggali sebuah lubang besar di depan Masjid itu dan mempekerjapaksakan para pejuang yang ditangkapi dan ditahan untuk mengubur mayat-mayat yang notabene saudara mereka sendiri,” tambah Martin van Pagee.
3
“Sadis! Tuan sendiri yang ambil?” tanya Roeting makin penasaran.
“Anne Lot Moek mengirim lewat pos dari Pamekasan. Salah satu wilayah di Zoutlanden. Kejadiannya minggu lalu. 16 Agustus 1947. Dia sendiri mendapatkan foto-foto itu dari salah satu marinir Belanda yang berhasil memotretnya,” ujar Martin.
“Siapa dia? Teman wartawanmu?”
“Aku juga tak tahu. Tapi ia terkenal sebagai informan. Sumber-sumbernya selalu valid,” ujar Martin.
“Bukankah republik sudah merdeka? Lagipula PBB memerintahkan gencatan senjata,” kata Joop Roeting menyanggah.
“Ini soal garam, Joop,” tukas Martin van Pagee. Ia kemudian menyerahkan selembar dokumen rahasia. Dengan kepala surat dari NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service). Isinya: Jenderal Spoor memerintahkan puluhan peleton untuk mendarat kembali ke Madura dan melakukan pengamanan dan penyelamatan terhadap industri garam secepat mungkin sebelum dikuasai para pejuang.
4
Joop Roeting tak meragukan pendapat Martin. Berdasarkan catatan Van der Kemp yang pernah ia baca menyebutkan Madura adalah zoutlanden. Tanah garam. Garam merupakan komunitas yang menguntungkan pemerintah Belanda. Berdasarkan catatan tersebut masing-masing wilayah di Madura (Pamekasan, Sampang, dan Sumenep) memiliki kompleks lahan garam yang luas. Sampang memiliki sekitar 1. 377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan Sumenep memiliki 1.648 empang. Jumlah tersebut sanggup menyalurkan garam sebanyak 12.480 pikul (1 pikul = 60 kg) dengan rincian 96.085 pikul di Malaka dan 30.340 pikul di Kalimantan dalam setahun.
Apalagi monopoli garam yang dilakukan VOC dan diteruskan Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Batavia sebagai pengekspor (memperdagangkan kembali) utama garam terutama ke Sumatera. Keuntungan yang di dapat semakin berlipat ketika kebijakan ini tidak memperbolehkan para pedagang garam swasta memasuki Sumatera. Jadi wajar jika jenderal Spoor bersikas menduduki Madura kembali. Selain laba dari perdagangan itu bisa untuk membantu biaya perang, juga dimungkinkan untuk memperkaya diri sendiri. Bukankah sudah jadi umum kebanyakan pejabat kolonial korup?
5
“Sepertinya aku harus ke sana!”
“Jangan sekarang. Pertempuran sedang berlangsung di beberapa daerah pasca serangan di Masjid Syuhada. Terlalu berbahaya. Selama satu bulan tentara Belanda mengadakan gerakan pembersihan di sekitar Bangkalan. Memburu para pemberontak. Perang. Belanda juga membakar gudang beras di Arosbaya untuk melemahkan perlawanan. Kau bisa celaka jika memaksakan diri.”
“Aku mengkhawatirkan Meetje.”
6
“Siapa? Vanisse Meertruida?” tanya Martin setengah heran.
Joop Roeting mengangguk menjawab pertanyaan Martin.
“Kau masih mencintainya, Joop? Hahaha… pantas kau tak juga menikah. Rupanya kau menunggu pelacur itu,” Ledek Martin.
“Jaga mulutmu, Martin!” teriak Joop Roeting.
7
Pelacur? Meetje bukan pelacur. Ia hanya korban perang. Joop mengenang pertemuan pertamanya dengan Vanisse Meertruida. Ia bertemu perempuan itu di kamp internir di Surabaya, tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada Sekutu. Ia perempuan yang keras. Waktu itu tubuhnya begitu kurus. Kepalanya botak. Tapi itu semua tak mampu menutupi kecantikannya. Juga ketangguhannya. Perempuan Eropa kelahiran Semarang, Jawa Tengah. Anak semata wayang dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai musisi.
8
“Aku akan terus hidup selamanya,” ujarnya berkelekar ketika aku menghampirinya pertama kali sambil membantu mengangkat salah satu kopernya. Ia memutuskan tak ikut menaiki truk menuju penampungan berikutnya. Sebelum kemudian diangkut ke Belanda. Ia memutuskan pergi ke Madura. “Aku akan menjadi petugas palang merah,” lanjutnya sambil tersenyum. Senyumnya. Lesung pipitnya membuat Joop Roeting terbius. Indah dan memesona.
9
Dalam perjalanan menemaninya ke pelabuhan Tanjung Perak itulah Meetje bercerita soal deritanya. Dia dipilih bersama sembilan perempuan Eropa lainnya. Bukan untuk dibebaskan. Tetapi menjadi Comfort Women. Perempuan-perempuan Eropa yang dipaksa menjadi budak seks perwira-perwira Jepang. Dia menceritakan semuanya dengan tenang. Mula-mula Joop ragu atas semua kisahnya.
10
“Tulis ini kalau kau berani,” ujar Meetje sambil menyerahkan selebaran-selebaran pencarian lowongan kerja untuk Jepang yang ditandatangani banyak penguasa lokal di Jawa Timur. Termasuk daftar nama perempuan Eropa dan pribumi yang menjadi budak seks Jepang. “Semua tahu kalau mereka tidak pernah dipekerjakan sebagaimana tercantum dalam lowongan itu. Melainkan dipaksa jadi pelacur.”
“Dari mana Nona dapat ini semua?” teriak Joop saat Meetje melompat ke kapal menuju Madura.
“Selidiki sendiri. O, ya, panggil aku Meetje. Aku akan berkirim surat,” balas Meetje sambil melambai. Kapal menjauh dari pelabuhan.
11
Joop Roeting membuat laporan berdasarkan catatan harian milik Meetje dan beberapa dokumen yang ada. Sulit mencari dokumen mengenai kejahatan perang di tengah peralihan kekuasaan. Tapi Wijkman, redakturnya di De Republiken menggeleng.
“Aku tahu kau wartawan yang punya reputasi gemilang, Joop. Tapi berita ini, berdasarkan satu narasumber sungguh tak bisa dibenarkan. Mungkin menarik. Tapi bisa bikin rumit di tengah peralihan kekuasaan ini. Aku tak akan memuatnya,” kata Wijkman. Setelah berkata demikian ia meninggalkan Joop sendirian di ruang rapat redaksi.
12
Sementara surat Meetje yang pertama dan mungkin yang terakhir datang dengan kalimat yang pendek tertanggal 22 April 1947: aku tinggal di samping rumah sakit Pamekasan. Sedangdang. Dan aku akan hidup selamanya. Di belakang surat terlampir sebuah foto Meetje. Rambutnya kini tumbuh. Aura kecantikannya makin terang. Rindu menyergap dada Joop seperti asma.
13
Joop terjaga saat Ford tua yang ditumpanginya melindas lubang cukup besar. Sarkoni, supirnya, terlihat tegang mengendalikan kemudi. Joop menguap. Angin menyapu wajahnya yang memerah.
“Sampai di mana kita, Koni?” Joop membuka pembicaraan.
“Branta, Tuan. Beberapa menit lagi kita tiba di Pamekasan,” ujar Sarkoni sambil terus menatap jalanan.
Joop menarik napas panjang. Menghirup lagi angin gending (angin pegunungan menuju laut). Ini kali pertama Joop datang ke Madura. Tubuhnya mulai terasa gatal karena cuaca begitu panas dan membuat kulitnya yang pucat gampang sekali berkeringat.
14
Memasuki kampung Patemon, menjelang spoorstation (stasiun pemberhentian kereta) Pamekasan, mobil yang dikendarai Sarkoni melambat. Sebelum akhirnya berhenti di depan barikade bambu. Tampak dua orang penjaga bersenjata celurit, berselempang sarung, dan berikat kepala kain berwarna merah putih mendekat. Satu di antaranya menggebrak kap mobil. Beberapa saat kemudian puluhan orang telah mengepung mobil. Keluar dari balik persawahan.
15
“Turun!” salah seorang berkulit gelap, berambut gondrong dengan kumis melintang dan codet di pipi kanannya berteriak sambil menodongkan pistol ke kening Sarkoni.
Joop Roeting dan Sarkoni turun. Beberapa orang menggeledah keduanya. Dari saku Joop, penggeledah mengambil sebungkus rokok Mascot yang tinggal lima batang.
“Tujuan?” Tanya yang berambut gondrong dengan codet di pipi kanannya. Nada suaranya mengancam. Sepertinya ia pemimpinnya.
“Sedangdang. Samping rumah sakit,” ujar Sarkoni cepat.
“Aku tak tanya kau, patek (anjing),” sergah si gondrong sambil memukul kepala Sarkoni dengan gagang pistol. “Bukannya berjuang, kau malah membantu penjajah.”
“Dia tak bisa Indonesia. Asli Belanda. Seorang wartawan,” kata Sarkoni berbohong.
“Mau wartawan, mau tentara. Semua Belanda sama saja,” si Gondrong memukul Sarkoni lagi. “Kasih jalan mereka,” teriak si Gondrong memberi perintah. Barikade dibuka. Joop dan Sarkoni bergegas masuk mobil. Melanjutkan perjalanan.
16
“Kamu tak apa-apa, Koni?” Joop membuka pembicaraan setelah mobil melaju sepelemparan batu.
“Tak apa-apa, Tuan. Hanya para berandalan yang memancing di air keruh revolusi,” ujar Sarkoni.
17
Joop terdiam. Mobil menikung tajam. Memasuki jalan sempit. Kemudian berhenti.
“Samping rumah sakit. Rumah bercat kuning dengan dua pot bunga tulip di dua sisi pintu pagar, betul itu, Tuan?” Sarkoni menunjuk rumah di seberang jalan. Rumah itu dipenuhi marinir Belanda. Joop mengangguk. Kemudian bergegas turun.
“Tunggu di sini, Koni,” teriak Joop sambil menyeberang.
Joop menembus kerumuman marinir. Masuk ke ruang tamu. Sepertinya penggeledahan, batin Joop. Kursi dan meja berantakan. Buku-buku dan kertas-kertas berserakan di ruang tamu. Sebuah foto menggantung miring di dinding. Foto Meetje. Ada bekas tembakan senapan mesin di dinding. Seorang tentara mendekati Joop.
18
“Apa yang terjadi, Letnan… Varaney?” tanya Joop sambil melirik nama dada tentara itu.
“Ada informasi rumah ini tempat berkumpul para pejuang. Rumah perempuan Eropa. Kami menggeledahnya. Ternyata sudah kosong. Penghuninya lari,” ujar Varaney.
“Rumah Meetje, betul?”
19
“Anda kenal? Kebetulan sekali. Ada banyak hal yang ingin kami mintai keterangan mengenai dia. Namanya memang Meetje. Vanisse Meertruida. Nama lainnya Anne Lot Moek. Seorang Johobu. Intelijen Jepang. Ia menyuplai informasi-informasi penting pada para ekstremis. Seorang pengkhianat,” ujar Varaney.
20
Pengkhianat? Joop membatin. Sebab Joop menganggap Meetje seorang pejuang. Tapi pertanyaan-pertanyaan lain tentang Meetje menggunung di kepala Joop. Juga rindu. Meetje, di manakah kau?
21
Tabel data cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”

Membaca dua cerpen tersebut, kita mendapati cerita (naratif peristiwa-peristiwa disusun sesuai urutan waktu) keduanya memang sangat mirip dan karakter-karakter dalam “Selamat Tinggal Hindia” hadir dalam “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dengan nama-nama berbeda. Cerita cerpen Iksaka Banu sebagai berikut:

  1. Dalam pertemuan para wartawan, ditunjukkan foto-foto kekejaman pribumi terhadap orang asing pascakekalahan Jepang. 
  2. Salah satu wartawan itu, seorang pria Belanda (Martinus Witkerk, wartawan De Telegraaf3Nama surat kabar ini muncul dalam cerpen Edy yang lain dalam antologi, “Hikayat Sebuah Foto di Het Vaderland”. Lihat Edy Firmansyah, Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon, (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021), hal. 64.), bertemu seorang perempuan Eropa (Geertje, Maria Geertruida Welwillend) yang baru dibebaskan dari Kamp Tawanan Struiswijk, Jakarta.
  3. Perempuan Belanda itu menolak pulang ke Belanda dan memilih tinggal di Indonesia (Gunung Sahari, Jakarta). Dia diantar oleh si pria Belanda sampai ke rumahnya.
  4. Terjadi bentrokan senjata di Jakarta termasuk di daerah tempat si perempuan Belanda tinggal. Pria Belanda merasa khawatir dan memutuskan menjemputnya.
  5. Dalam perjalanan mendekati tempat si perempuan Belanda tinggal, mobil pria Belanda itu dihentikan oleh laskar.
  6. Tiba di rumah si perempuan Belanda, ada banyak tentara NICA berjaga dan memeriksa rumah tersebut.
  7. Pria Belanda itu mendapatkan informasi dari tentara (Sersan Zwart) bahwa mereka menyerang rumah itu semalam karena si perempuan Belanda adalah pembelot (“Zamrud Khatulistiwa”, “Ibu Pertiwi”) yang berpihak pada pribumi. Pria Belanda itu menganggap si perempuan Belanda bukan pengkhianat.

Sementara cerita cerpen Edy Firmansyah sebagai berikut:

  1. Seorang pria Belanda (Joop Roeting, wartawan De Republiken) bertemu seorang perempuan Eropa (Meetje, Vanisse Meertruida) yang baru dibebaskan dari kamp internir di Surabaya, perempuan tersebut pada zaman Jepang merupakan comfort woman.
  2. Perempuan Eropa itu menolak pulang ke Belanda dan memilih tinggal di Indonesia (Pamekasan, Madura). Dia diantar oleh pria Belanda itu sampai di pelabuhan Tanjung Perak. Perempuan itu kemudian mengirim surat memberitahukan lokasi tinggalnya.
  3. Terjadi perang Aksi Polisionil Belanda Pertama di Madura.
  4. Seorang teman wartawan pria Belanda tersebut menunjukkan foto-foto kekejaman Belanda di Madura. Foto itu didapatkan dari seorang informan misterius. Pria Belanda itu merasa khawatir dan memutuskan pergi ke tempat tinggal si perempuan Eropa.
  5. Dalam perjalanan mendekati tempat tinggal si perempuan Eropa, mobil pria itu dihentikan oleh pejuang lokal.
  6. Tiba di rumah si perempuan Eropa, rumah itu penuh marinir yang sedang menggeledah.
  7. Pria Belanda itu mendapatkan informasi dari marinir (Letnan Varaney) bahwa si perempuan Eropa adalah pengkhianat (“Anne Lot Moek”) yang berpihak pada para ekstremis. Perempuan Eropa itu pula informan yang mengirimkan foto-foto ke teman wartawan si pria Belanda. Pria Belanda itu menganggap perempuan Eropa tersebut pejuang. Dia bertanya-tanya di mana perempuan itu berada setelah pergi dari rumahnya.

Kedua cerita hanya memiliki sedikit perbedaan minor. Perbedaan pertama terletak pada adegan menyaksikan foto kekejaman serta pelaku dan korban kekejaman tersebut. Dalam cerpen Iksaka Banu, foto disaksikan saat para wartawan berkumpul di hotel Des Indes, pelaku kekejaman adalah pribumi dan korbannya orang asing, sementara dalam cerpen Edy Firmansyah, foto disaksikan berdua antara si pria Belanda dengan temannya, pelaku kekejaman adalah marinir Belanda dan korbannya pribumi. Posisi adegan tersebut juga berbeda. Dalam cerpen Iksaka Banu, posisi adegan berada di awal alur sorot balik sebelum si pria Belanda bertemu dengan si perempuan Eropa. Dalam cerpen Edy Firmansyah, posisi adegan tersebut ada di awal alur sebelum si pria Belanda memutuskan pergi ke tempat tinggal si perempuan Eropa.

Perbedaan kedua terletak pada adegan si pria Belanda mengantarkan si perempuan Eropa. Jika dalam cerpen Iksaka Banu si pria mengantarkan sampai ke rumah dan karenanya tahu tempat tinggal perempuan tersebut. Setelahnya dia sempat bertamu ke sana dua kali. Sementara pada cerpen Edy Firmansyah si pria hanya mengantarkan sampai pelabuhan. Dia mendapatkan informasi tempat tinggal si perempuan melalui surat.

Perbedaan ketiga terletak pada bagian penutup cerita sebagaimana dikatakan oleh Saut Situmorang. Cerpen Iksaka Banu ditutup dengan adegan si pria Belanda menganggap si perempuan bukan pengkhianat, sementara cerpen Edy Firmansyah ditutup dengan adegan si pria Belanda mempertanyakan tempat keberadaan perempuan itu setelah dia menganggap si perempuan sebagai pejuang.    

Pada aspek alur (naratif peristiwa-peristiwa dengan penekanan pada aspek sebab akibat)4Mengenai perbedaan cerita dengan alur, lihat E.M. Forster. Aspects of the Novel, (London: Penguin Books, 2005), hal. 87. Lihat juga Paul Cobley, Narrative, (New York: Routledge, 2014), hal. 5: “Naratif adalah pendemonstrasian atau pengisahan peristiwa-peristiwa penyusun alur dan cerita dan cara yang dipilih untuk mendemonstrasikan atau mengisahkan itu.” kedua cerpen, kita juga menemukan perbedaan.

Alur “Selamat Tinggal Hindia” dimulai dengan adegan Martinus Witkerk dalam perjalanan ke rumah Meetje dan dicegat oleh laskar. Karena wartawan, akhirnya dia diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Alur lalu mengalami jeda sorot balik ke adegan pertemuan wartawan membahas xenofobia pribumi terhadap orang Eropa setelah kekalahan Jepang. Karena kekalahan Jepang itu maka tawanan-tawanan Jepang dibebaskan, Martinus Witkerk pergi sebagai wartawan ke Kamp Tawanan Struiswijk dan bertemu dengan Geertje. Geertje menolak pulang ke Belanda dan memilih pergi ke Gunung Sahari. Karena menyukai Geertje, Martinus Witkerk mengantarnya sampai ke rumah. Beberapa bulan kemudian, terjadi bentrokan antara pemuda dengan tentara NICA di Jakarta, termasuk di daerah Gunung Sahari. Karena khawatir keselamatan Geertje, Martinus Memutuskan menjemputnya. Alur kembali ke masa kini, Martinus Witkerk tiba di rumah Geertje dan melihat ada banyak tentara NICA. Ternyata rumah tersebut semalam diserang tentara NICA karena Geertje ketahuan membantu pihak pribumi, Geertje lolos. Mengetahui dan memahami alasan Geertje melakukan itu, Martinus Witkerk tidak menganggap Geertje pengkhianat.          

Sementara alur cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dimulai dengan adegan Joop Roeting melihat foto-foto kekejaman marinir Belanda di Madura dalam peristiwa seminggu sebelumnya, 16 Agustus 1947. Karena khawatir, dia memutuskan ke sana, tetapi dilarang oleh sahabatnya, Martin van Pagee. Setelah itu alur mengalami jeda sorot balik ke adegan pertemuan pertama Joop Roeting dengan Meetje di kamp internir, Surabaya. Meetje menolak pulang ke Belanda dan memutuskan pergi ke Madura menjadi anggota Palang Merah. Karena menyukai Meetje, Joop Roeting mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak dan di perjalanan mendengar kisah tragis para perempuan yang diperdaya untuk menjadi comfort woman. Joop Roeting menulis laporan tersebut atas permintaan Meetje tetapi ditolak oleh redakturnya. Tanggal 22 April 1947, Meetje mengirimkan surat mengabarkan tempat dia tinggal. Alur kembali ke masa kini, Joop Roeting sedang dalam perjalanan ke tempat Meetje dan dihentikan oleh pejuang lokal di dekat spoorstation Pamekasan. Karena wartawan, akhirnya Joop Roeting diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Joop Roeting tiba di rumah Meetje dan melihat ada banyak marinir. Ternyata rumah itu digeledah marinir Belanda karena Meetje dianggap pengkhianat, Meetje berhasil lolos. Joop menganggap Meetje pejuang dan bertanya-tanya ke mana Meetje pergi.

Perbedaan alur “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dari cerpen yang mengilhaminya, “Selamat Tinggal Hindia” tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menyatakan orisinalitas cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, karena meski alurnya berbeda, cerita yang disajikan tetap sangat mirip. Alur lebih terkait dengan potensi efek bagi pembaca pada teks5Lihat misalnya penelitian Maini Trisna Jayawati dkk. atas cerpen-cerpen pilihan Kompas pada bagian analisis kumpulan cerpen Kado Istimewa (1992) yang menunjukkan bahwa teknik alur sorot balik misalnya merupakan strategi khusus para cerpenis untuk “mencari daya tarik” cerpen mereka, bagaimana cerpen mereka bisa “memaparkan masalah kecil menjadi masalah yang hangat dan menarik pembaca”. Strategi tersebut diperlukan juga karena keterbatasan ruang bagi cerpen. lihat dalam Maini Trisna Jayawati, dkk., Cerpen-Cerpen Pilihan Kompas 1992-2002: Analisis Struktur, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hal. 13-14. sehingga sepanjang ceritanya sama maka pembedaan alur keduanya tidak signifikan untuk menentukan beda tidaknya kedua teks terkait. Tindakan mengacak alur cerita semacam ini analog dengan tindakan “menyusun ulang urutan gagasan-gagasan dalam sebuah daftar dan membuat pembaca menganggap kamu menyusun daftar itu” yang lazim dipandang sebagai salah satu contoh “plagiarisme samar”, setara dengan tindakan “menggunakan kata-kata yang dikutip dalam satu sumber dan bertindak dan mengutip sumber orisinal seolah-olah kamu sendiri membaca sumber orisinal tersebut”.6Thomas Jowell. Prentice Hall’s Guide to Understanding Plagiarism, (New Jersey: Upper Saddle River, 2004), hal. 1.

Dus, argumen bahwa cerita cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” sangat mirip dengan cerpen “Selamat Tinggal Hindia” tidak berubah hanya karena berbedanya urutan penyajian adegan-adegan menyusun alur.7Untuk memudahkan, bisa juga digunakan konsep Naratologi Gérard Genette tentang waktu cerita dan (pseudo-)waktu naratif. Naratif dalam konsep Genette merujuk pada penanda, pernyataan, diskursus atau teks naratif itu sendiri, sementara cerita merujuk pada petanda, konten naratif. Waktu cerita merujuk pada urutan temporer terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita, sementara (pseudo-)waktu naratif merujuk pada urutan pseudo-temporer penyusunan peristiwa-peristiwa itu dalam naratif. Terkait dua cerpen di atas, waktu cerita mereka sama 1-2-3-4-5-6-7, tetapi pseudo-waktu naratif mereka berbeda: pada “Selamat Tinggal Hindia” adalah 5-1-2-3-4-6-7, sementara pada “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” adalah 4-1-2-3-5-6-7. Untuk lebih jelasnya tentang konsep Gérard Genette bisa dicek dalam Gérard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, (New York: Cornell University Press, 1983), hal. 27 dan 30. Selain itu, persamaan kedua cerpen ternyata bukan hanya terletak pada cerita dan adegan-adegan penyusun alur. Ada banyak juga persamaan pada tataran kalimat, baik dalam dialog maupun dalam narasi. Berikut perbandingannya dengan mengikuti teknik Idea Script yang Abdullah Sp gunakan untuk membuktikan karya Hamka plagiat pada tahun 19628Teknik yang Abdullah Sp gunakan bisa ditemukan dokumentasinya dalam Muhidin M Dahlan, Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, (Yogyakarta: ScriPta Manent, 2011), hal. 59-69. Teknik ini digunakan dalam tulisan ini hanya pada data yang memang memiliki kesamaan pada tataran kalimat atau klausa, sementara Abdullah Sp, sesuai nama tekniknya, juga memasukkan bagian-bagian yang memiliki kesamaan gagasan. Pada kasus cerpen Edy Firmansyah dan Iksaka Banu, sudah cukup ditunjukkan di awal bahwa dari segi cerita keduanya hanya memiliki sedikit perbedaan. Jika data yang memiliki kesamaan gagasan juga diperbandingkan dengan teknik ini maka hanya data 4,5, dan 10-13 pada cerpen Edy Firmansyah yang tidak termasuk. Artinya, dari 21 data, hanya 6 data yang tidak memiliki perbandingan data dari cerpen Iksaka Banu. Selanjutnya nanti terbukti bahwa 6 data yang tampak orisinal ini pun bermasalah.:

Iksaka Banu (data 1)
Edy Firmansyah (data 15)
Chevrolet tua yang kutumpangi semakin melambat, sebelum akhirnya berhenti di muka barikade bambu yang dipasang melintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar kemudian, seperti sebuah mimpi buruk, dari sebelah kiri bangunan muncul beberapa orang pria berambut panjang dengan ikat kepala merah putih dan aneka seragam lusuh, menodongkan senapan.Memasuki kampung Patemon, menjelang spoorstation (stasiun pemberhentian kereta) Pamekasan, mobil yang dikendarai Sarkoni melambat. Sebelum akhirnya berhenti di depan barikade bambu. Tampak dua orang penjaga bersenjata celurit, berselempang sarung, dan berikat kepala kain berwarna merah putih mendekat. Satu di antaranya menggebrak kap mobil. Beberapa saat kemudian puluhan orang telah mengepung mobil. Keluar dari balik persawahan.
Perbandingan 1

Cerita disajikan keduanya sama, yaitu momen si pria Belanda (Martinus Witkerk, Joop Roeting) akan pergi ke rumah si perempuan Eropa/Belanda (Geertje di Gunung Sahari, Meetje di Pamekasan) dengan mengendarai mobil dan dicegat oleh pejuang lokal. Dalam cerpen Iksaka Banu, mobil yang digunakan Chevrolet, sementara dalam cerpen Edy Firmansyah Ford. Dalam cerpen Iksaka Banu, dikisahkan bagaimana dalam situasi kacau itu dia bisa mendapatkan mobil berikut sopirnya, Dullah:

Schurck sedang ke luar kota. Tak bisa meminjam motornya. Untunglah, meski agak mahal, pihak hotel bersedia menyewakan mobil berikut sopirnya.

“Selamat Tinggal Hindia”, Data 16

Sementara dalam cerpen Edy Firmansyah kita tidak mendapatkan informasi dari mana Joop Roeting yang baru pertama kali pergi ke Madura bisa mendapatkan mobil Ford berikut sopirnya, Sarkoni, dalam situasi Madura kacau balau.    

Pada data ini selain adegan cerita yang sangat mirip juga ada kalimat yang persis sama, yaitu “melambat, sebelum akhirnya berhenti di muka barikade bambu” (dalam cerpen Iksaka Banu) dan “melambat. Sebelum akhirnya berhenti di depan barikade bambu.” (dalam cerpen Edy Firmansyah). Perbedaannya ada hanya pada tanda baca dan muka diganti dengan sinonimnya depan.

Jumlah orang yang mencegat mobil memang berbeda, tetapi pemindahan situasi dari Jakarta dalam Iksaka Banu menjadi Madura dalam Edy Firmansyah itu sendiri tampak dipaksakan. Dalam cerpen Iksaka Banu, para pencegat itu disebutkan sebagai Laskar, para jago yang dalam cerita dihadirkan sebagai ironi. Kisah mengenai para jago zaman revolusi itu kita dapatkan laporannya dalam buku Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 (Jakarta: Equinox Publishing, 2009).9Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (Jakarta: Masup Jakarta, 2010).

Menggunakan titik tolak pembebasan Meetje dari Kamp Struiswijk, kita tahu peristiwa itu terjadi pada bulan September 1945. Kepergian Martinus Witkerk terjadi beberapa bulan kemudian, artinya latar waktu cerpen Iksaka Banu adalah September 1945 s/d awal tahun 1946, periode yang sesuai dengan masa-masa para jago merebak di Jakarta dan terjadi bentrokan-bentrokan temporer antara mereka dengan tentara NICA. Dengan demikian, situasi pencegatan yang dilakukan oleh laskar itu logis terjadi.

Bandingkan dengan situasi pencegatan serupa dalam cerpen Edy Firmansyah. Latar waktu dalam cerpen bermula dari “tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada Sekutu” (15 Agustus 1945) saat Meetje dibebaskan. Meetje pernah mengirim surat tanggal 22 April 1947. Foto kekejaman marinir di Madura berlangsung 16 Agustus 1947. Pertemuan Joop Roeting dengan kawannya dan melihat foto-foto yang membuat dia khawatir serta memutuskan pergi ke Madura berlangsung seminggu setelah 16 Agustus 1947. Kita tidak tahu persisnya kapan Joop Roeting pergi karena kawannya menyarankan jangan pergi saat itu, lalu kita mendapatkan loncatan adegan Joop Roeting dalam perjalanan di Madura.

Dengan kata lain, cerpen Edy Firmansyah lebih pendek dari cerpen Iksaka Banu tetapi dengan durasi cerita yang lebih panjang. Terlepas dari itu, poin penting dalam perbandingan ini adalah perbedaan situasi. Situasi Madura saat Joop Roeting pergi ke sana sangat genting karena berlangsung di seputar pertempuran besar yang merupakan bagian dari Aksi Polisionil Belanda Pertama. Apakah masuk akal terjadi situasi pencegatan di tempat terbuka oleh para pemuda pribumi dalam jarak yang tidak jauh dari tempat militer Belanda?

Iksaka Banu (data 2)
Edy Firmansyah (data 16)
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah. Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kamu. Sompret!” si komandan menampar pipi Dullah. “Teman-temanmu mati kena peluru, kamu ikut penjajah. Sana, minggat!” ia mengembalikan dompetku sambil menikmati rokok rampasannya.
“Aku tak tanya kau, patek (anjing),” sergah si gondrong sambil memukul kepala Sarkoni dengan gagang pistol. “Bukannya berjuang, kau malah membantu penjajah.”
“Dia tak bisa Indonesia. Asli Belanda. Seorang wartawan,” kata Sarkoni berbohong.  
Perbandingan 2

Adegan ini juga memuat kalimat-kalimat yang sama dengan penggantian beberapa kata menggunakan sinonimnya sehingga maknanya pun tetap sama. Lihat misalnya berdusta diganti berbohong, Melayu diganti Indonesia, dari sana diganti Belanda, ikut diganti membantu. Lalu adegan menampar pipi diganti memukul kepala dengan gagang pistol dan makian sompret diganti cita rasa lokal patek. Sebagaimana laskar dalam cerpen Iksaka Banu, pejuang lokal dalam cerpen Edy juga merampas rokok, bedanya jika dalam cerpen Iksaka Banu rokok yang dirampas disebutkan rokok Davros yang baru diisap sebatang, dalam cerpen Edy Firmansyah adalah “rokok Mascot yang tinggal lima batang”.

Iksaka Banu (data 3)
Edy Firmansyah (data 17)
“Terima kasih, Dullah,” kataku beberapa saat setelah kendaraan kembali melaju. “Kamu baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari mereka. Mengaku pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan atau uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah. 
“Kamu tak apa-apa, Koni?” Joop membuka pembicaraan setelah mobil melaju sepelemparan batu.
“Tak apa-apa, Tuan. Hanya para berandalan yang memancing di air keruh revolusi,” ujar Sarkoni.
Perbandingan 3

Adegan berlangsung setelah pencegatan ini juga sangat mirip: si pria Belanda berterima kasih dan menanyakan kondisi si sopir, lalu si sopir menjawab bahwa dia baik-baik saja dan mengomentari para pencegat itu. Kembali kita harus mengingat bahwa komentar si sopir dalam cerpen Iksaka Banu selaras dengan situasi Jakarta saat merebaknya para jago, sementara komentar si sopir dalam cerpen Edy Firmansyah yang maknanya sama tampak dipaksakan. Dalam cerpen digambarkan pencegatan itu dilakukan oleh puluhan orang, tidakkah lebih masuk akal kalau kita membayangkan bahwa mereka adalah para pejuang yang sedang menghadapi pertempuran besar dengan Belanda? Para jago bisa berulah semacam melakukan pencegatan di Jakarta seperti dalam cerpen Iksaka Banu karena situasi mereka tidak sedang dalam situasi perang besar, sementara kita tahu situasi Madura dalam cerpen Edy Firmansyah adalah momen Aksi Polisionil Belanda Pertama, bagaimana bisa dalam perang besar seperti itu para berandalan berulah main cegat lalu meloloskan?

Iksaka Banu (data 7)
Edy Firmansyah (data 2)
God Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus Schrijven dari Utrechts Nieuwsblad membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu. “Gila! Mayat-mayat ini dibakar seperti babi guling,” Joop Roeting membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu.
Perbandingan 4

Adegan ini memuat kalimat yang persis sama sebagai komentar terhadap foto, meski pengucapnya berbeda. Dalam cerpen Iksaka Banu pengucapnya bukan karakter utama Martinus Witkerk melainkan salah satu karakter minor yang tak ada pembandingnya dalam cerpen Edy Firmansyah. Lihat bahwa God Almachtig diganti dengan Gila! Dan dalam ditambah informasi mengenai mayat sebagai dibakar. Lalu kita menemukan frasa analogi kondisi mayat diubah menjadi babi guling.

Komentar Joop Roeting ini bukannya memperkuat, justru melemahkan karakterisasi dia. Jika diperhatikan, dalam komentarnya Joop Roeting membuat analogi yang membuat dirinya tampak bodoh, sementara di sisi lain dia digambarkan sebagai jurnalis gemilang. Jurnalis gemilang seperti dia pasti tahu bahwa babi guling itu dipanggang, bukan dibakar, makna yang bahkan sudah bisa ditemukan dalam KBBI V sebagai ‘masakan babi yang dipanggang secara utuh (tidak dipotong-potong lebih dahulu) setelah dikeluarkan isi perutnya dan diganti (diisi) dengan bumbu. Sementara dalam cerpen Edy Firmansyah, apa yang menjadi analogi babi guling itu adalah mayat-mayat ditumpuk sehingga membentuk gundukan dengan kobaran api yang besar. Jelas bahwa mayat-mayat itu dibakar, bukan dipanggang seperti babi guling.

Ketidaktahuan Joop Roeting ini pada saat yang sama mengindikasikan ketidaktahuan penulis cerpen, sekaligus juga ketidaktahuan dia tentang “babi guling” itu seperti apa. Dari cerpen kita mendapatkan informasi bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 16 Agustus 1947 dalam serangan ke Masjid Syuhada.

Kita bisa mengecek data sejarah peristiwa 16 Agustus 1947 ini dalam satu artikel jurnal ditulis oleh Sulfan Afandi berjudul “Perjuangan Rakyat Pamekasan Mempertahankan Kemerdekaan dalam Agresi Militer Belanda I di Madura Tahun 1947” (2016). Berikut deskripsi lengkapnya:

Korban dari pihak pejuang diperlakukan dengan kejam oleh Belanda, yaitu diletakkan dalam satu lubang di muka masjid jamik Pamekasan, kemudian disiram dengan bensin dan dibakar.

“Perjuangan Rakyat Pamekasan Mempertahankan Kemerdekaan dalam Agresi Militer Belanda I di Madura tahun 1947”, hal. 249

Kutipan itu disajikan bukan untuk mempertentangkan fakta dengan fiksi, melainkan untuk menunjukkan bahwa analogi babi guling memang ciptaan Edy untuk mengubah daging giling yang ada dalam cerpen Iksaka Banu. Dengan kata lain, dengan menjiplak susunan kalimat Iksaka Banu, Edy telah melakukan sedikit kreativitas, yakni mengubah “daging giling” menjadi “babi guling”, tetapi kreativitas menciptakan analogi yang tidak pas itu tidak memperbagus cerita sekaligus malah merusak karakterisasi.

Iksaka Banu (data 17)
Edy Firmansyah (data 18)
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah membawa diriku kembali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
“Betul. Tunggu sini,” aku melompat ke luar dengan cemas. Di muka rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam posisi siaga. Sebagian hilir-mudik di halaman belakang. Beranda rumah rusak. Pintu depan roboh, penuh lubang peluru. Lantai dan tembok pecah, menghitam, bekas ledakan granat.
“Permisi, wartawan!” sambil menerobos kerumunan, kuacungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kumasuki setiap kamar dengan perasaan teraduk, seolah berharap melihat tubuh Geertje tergolek mandi darah di lantai. Tetapi tak kunjung kutemui pemandangan mengerikan semacam itu. Seorang tentara mendekat. Agaknya komandan mereka. Kusodorkan kartu pengenal.
Joop terdiam. Mobil menikung tajam. Memasuki jalan sempit. Kemudian berhenti.
“Samping rumah sakit. Rumah bercat kuning dengan dua pot bunga tulip di dua sisi pintu pagar, betul itu, Tuan?” Sarkoni menunjuk rumah di seberang jalan. Rumah itu dipenuhi marinir Belanda. Joop mengangguk. Kemudian bergegas turun.
“Tunggu di sini, Koni,” teriak Joop sambil menyeberang.
Joop menembus kerumuman [sic] marinir. Masuk ke ruang tamu. Sepertinya penggeledahan, batin Joop. Kursi dan meja berantakan. Buku-buku dan kertas-kertas berserakan di ruang tamu. Sebuah foto menggantung miring di dinding. Foto Meetje. Ada bekas tembakan senapan mesin di dinding. Seorang tentara mendekati Joop.
Perbandingan 5

Adegan ini menunjukkan momen si pria Belanda tiba di rumah si perempuan Eropa. Rangkaian adegannya sama: si pria melihat di rumah yang dituju banyak tentara, dia turun dan menyuruh sopirnya menunggu di mobil, tidak menemukan si perempuan Eropa, lalu pimpinan tentara mendekat. Beberapa kalimat sangat mirip mengalami sedikit penyuntingan dan perubahan adegan. Misalnya, dalam cerpen Iksaka Banu, Martin menyuruh sopirnya “tunggu sini” baru keluar dari mobil. Dalam cerpen Edy Firmansyah, Joop menyuruh sopirnya “tunggu di sini” sambil menyeberang, artinya dia menyuruh sopirnya bukan menunggu di mobil, melainkan menunggu di jalan.

Dalam cerpen Iksaka Banu, digambarkan Martin melihat di muka rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam posisi siaga. Posisi Martin memang baru keluar dari mobil. Sementara dalam cerpen Edy penggambaran itu diubah: deskripsi rumah itu dipenuhi marinir Belanda mendahului momen Joop keluar dari mobil. Pengubahan ini dimungkinkan karena beda sudut pandang penceritaan. Iksaka Banu menggunakan sudut pandang orang pertama sementara Edy menggunakan sudut pandang orang ketiga. Karena perbedaan sudut pandang itu juga kita menemukan sedikit perbedaan pada deskripsi seorang tentara mendekati Joop dari deskripsi Iksaka Banu seorang tentara mendekat.

Hal lain yang juga berbeda, tentara NICA dalam cerpen Iksaka Banu diubah menjadi marinir dalam cerpen Edy. Logikanya sangat mudah ditebak: tentara Belanda datang ke Madura menggunakan kapal laut, maka tentara itu sama dengan marinir. Akan tetapi benarkah logikanya demikian?

Dari artikel Sulfan kita mendapatkan informasi bahwa serangan ke Madura disokong oleh angkatan laut yang “menembakkan meriam dari laut dan kapal udara”. Artinya, lebih logis jika kita melihat bahwa marinir memang berperan dalam pertempuran laut, tetapi tentara yang diturunkan ke darat untuk bertempur di Madura tetap saja angkatan darat meskipun mereka datang dengan menaiki kapal.   

   

Iksaka Banu (data 18)
Edy Firmansyah (data 19)
“Apa yang terjadi, Sersan… Zwart?” tanyaku sambil melirik nama dada tentara itu. “Korban serangan tadi malam? Di mana penghuni rumah?”
“Kami yang menyerang. Penghuninya lari. Tuan seorang wartawan? Kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar semua waspada,” Sersan Zwart mengajak berjalan ke arah dapur. “Ini tempat para pemberontak berkumpul. Banyak bahan propaganda anti-NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku menyela. “Setahuku rumah ini milik Nona Geertje, seorang warga Belanda.”
“Apa yang terjadi, Letnan… Varaney?” tanya Joop sambil melirik nama dada tentara itu.
“Ada informasi rumah ini tempat berkumpul para pejuang. Rumah perempuan Eropa. Kami menggeledahnya. Ternyata sudah kosong. Penghuninya lari,” ujar Varaney.
“Rumah Meetje, betul?”
Perbandingan 6

Adegan ini agak kocak, karena bahkan dalam dialog tokoh utama mempertanyakan apa yang terjadi di rumah perempuan pujaannya bisa-bisanya kalimat dalam dua cerpen sama persis, lengkap dengan titik-titik yang menyimbolkan jeda. Penggantian nama dan pangkat dari Sersan Zwart menjadi Letnan Varaney tidak membuat dialog itu menjadi orisinal, khas buatan Edy. Setelah itu kita menemukan kesamaan dalam informasi penghuninya lari, meski informasi yang disampaikan dalam cerpen Edy lebih ringkas. Demikian juga konfirmasi tokoh utama mengenai rumah siapakah itu dalam cerpen Edy lebih ringkas.

Iksaka Banu (data 19)
Edy Firmansyah (data 20)
 “Tuan kenal? Kami akan banyak bertanya nanti. Ada dugaan bahwa Nona Geertje alias ‘Zamrud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu Pertiwi’, yaitu nama-nama yang sering kami tangkap dalam siaran radio gelap belakangan ini, telah berpindah haluan.”“Anda kenal? Kebetulan sekali. Ada banyak hal yang ingin kami mintai keterangan mengenai dia. Namanya memang Meetje. Vanisse Meertruida. Nama lainnya Anne Lot Moek. Seorang Johobu. Intelijen Jepang. Ia menyuplai informasi-informasi penting pada para ekstremis. Seorang pengkhianat,” ujar Varaney.
Perbandingan 7

Adegan ini memuat dialog yang sangat mirip, hanya diubah sedikit. Informasi dalam cerpen Iksaka Banu sangat jelas bahwa Geertje memiliki beberapa nama alias dan diduga membantu pribumi. Indikasi ke arah sana sudah diperlihatkan secara tersirat dalam bagian lain pada cerpen terutama saat Geertje berdialog dengan Martin di rumahnya. Karena itulah logis bila di akhir cerita Martin tidak menganggap Geertje sebagai pengkhianat.

Sementara informasi dalam cerpen Edy kurang jelas. Meetje disebut sebagai intelijen Jepang, tetapi dia disebut membantu para ekstremis yang dalam konteks cerita berarti pejuang pribumi. Apakah berarti Meetje menjadi intelijen Jepang saat Jepang berkuasa kemudian saat Jepang sudah pergi dia beralih membantu pribumi melawan Belanda? Kalau demikian maka hal itu tidak sesuai dengan deskripsi dalam cerpen bahwa saat Meetje dibebaskan tubuhnya sangat kurus, botak dan merupakan comfort woman.

Pada cerpen Iksaka Banu, keruwetan semacam ini tidak ada, hanya ditunjukkan bahwa ada pemancar radio warisan Jepang di balik lemari dalam bungker di rumah Geertje (data 20). Kita sama tahu warisan Jepang di sana bukan berarti Geertje pernah menjadi kolaborator Jepang, melainkan barang tersebut termasuk salah satu peninggalan Jepang. Saat Geertje di kamp, berdasarkan cerita Iyah, rumah dia menjadi tempat tinggal para perwira Jepang yang pada satu saat tergesa pergi sehingga meninggalkan banyak barang.  

 

Iksaka Banu (data 21)
Edy Firmansyah (data 21)
Sejak awal Geertje tahu di mana harus berpijak. Perlahan-lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sempat hinggap di benak.Pengkhianat? Joop membatin. Sebab Joop menganggap Meetje seorang pejuang. Tapi pertanyaan-pertanyaan lain tentang Meetje menggunung di kepala Joop. Juga rindu. Meetje, di manakah kau?
Perbandingan 8

Adegan ini merupakan penutup cerita sekaligus juga penutup alur. Kesamaan ada pada penilaian akhir Martin dan Joop yang sama-sama tidak menyetujui Geertje dan Meetje disebut sebagai pengkhianat. Pada cerpen Iksaka Banu, Sersan Zwart tidak secara tersurat mengatakan Geertje sebagai pengkhianat, melainkan secara tersirat menyebutnya sebagai berpindah haluan. Istilah pengkhianat sendiri justru muncul sekilas dalam benak Martin. Penilaian tersebut lantas hilang setelah Martin melihat tulisan pada cermin menggunakan pemerah bibir yang mengindikasikan bahwa Geertje memang sudah menganggap Repoeblik Indonesia—dan bukan Belanda—sebagai tanah airnya, satu anggapan yang sudah disiratkan juga dalam obrolan Martin dengan Geertje di rumah itu dulu.

Pada cerpen Edy Firmansyah, Letnan Varaney memang menyebut langsung Meetje sebagai pengkhianat, dengan deskripsi yang membingungkan sebagaimana sudah diungkapkan di bagian sebelumnya di atas. Tidak ada petunjuk mengapa Joop menolak pelabelan itu dan justru langsung menganggap Meetje sebagai pejuang. Penutup yang ditambahkan dan tidak memiliki pembanding dalam cerpen Iksaka Banu justru membuat kita bisa menarik kesimpulan bahwa poin Meetje merupakan pengkhianat ataupun pejuang bukan hal paling penting bagi Joop Roeting. Apa yang paling penting baginya adalah Meetje sebagai perempuan yang dia sukai dan karenanya dia rindukan.

2

Bahasa kita punya 3 istilah untuk menyebut tindakan pencurian yang seorang penulis lakukan untuk menciptakan karangan: penjiplakan, plagiat, dan plagiarisme. Kita mendapatkan istilah jiplak dari bahasa Jawa jiplak dengan bentuk verba njiplak yang dalam bahasa Indonesia berubah menjadi menjiplak.10Sri Sukesi Adiwimarta, dkk. Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), hal. 74. Sementara kita menyerap istilah plagiat dari bahasa Belanda, plagiaat yang artinya sama dengan bahasa Inggris plagiarism.11Russel Jones (ed.). Loan-Words in Indonesian and Malay, (Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI, 2008), hal. 244. Plagiarisme kita serap paling belakangan dari bahasa Inggris plagiarism.12KBBI Edisi Keempat (2008) hanya memuat kata plagiat dan plagiator, baru pada KBBI Edisi Kelima (2016) dimuat kata plagiat, plagiator, dan plagiarisme. Bandingkan juga dengan Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, Second Edition (Athens: Ohio University Press, 2010), hal. 760. Stevens sama dengan Jones mencantumkan plagiat sebagai bentuk serapan dari bahasa Belanda yang artinya sama dengan bahasa Inggris plagiarism, tetapi Stevens mencantumkan bentuk serapan plagiarism adalah plagiatisme, tampaknya supaya sesuai dengan kata plagiat yang sudah lazim digunakan. Dari 3 kata tersebut kita memiliki 2 bentuk pelaku, yaitu penjiplak dan plagiator. Plagiator kita serap dari bahasa Belanda juga, sementara bentuk pelaku dari bahasa Inggris plagiarism, yaitu plagiarist, tidak kita serap.  

KBBI V mengartikan nomina plagiat sebagai ‘pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.’ Pemaknaan tersebut selaras dengan makna plagiarism yang disodorkan oleh Prentice Hall’s Guide to Understanding Plagiarism:

Sederhananya, plagiarisme adalah menggunakan kata-kata dan gagasan-gagasan orang lain dalam sebuah karangan dan bertindak seolah-olah kata-kata dan gagasan-gagasan itu merupakan milikmu sendiri.

Prentice Hall’s Guide to Understanding Plagiarism, hal. 1

Dalam salah satu komentar di Twitter pada 12 Februari 2022, pukul 19.25 ketika mengomentari cuitan saya yang membagikan tulisan “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat”, Saut Situmorang mengatakan bahwa “bukankah yang dimaksud dengan plagiarisme itu adalah adanya PERSAMAAN antara dua karya?!”

Tangkapan layar komentar Saut Situmorang

Definisi seperti itu gegabah karena memakai tolok ukur sangat umum sebagaimana sudah saya jelaskan dalam tulisan “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” terkait komentar Farah di Goodreads. Jika menggunakan kriteria tersebut maka kita serta-merta harus mengakui cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”—yang memiliki sangat banyak persamaan dalam berbagai aspeknya dengan cerpen “Selamat Tinggal Hindia”—merupakan karya plagiat.

Namun seperti saya selalu katakan, tudingan plagiat bukan tudingan remeh sehingga sangat tidak sahih mendasarkan tudingan tersebut pada satu definisi gegabah semacam itu, sama gegabahnya dengan kecenderungan snobisme mencari definisi plagiat dari sumber instan ensiklopedi gratis Wikipedia tanpa mau bertekun-tekun membaca berbagai literatur kredibel: satu pertanda kemalasan yang merupakan musuh bebuyutan inteligensia.13Pengalaman penulis sendiri saat kuliah Sastra Inggris di UIN Sunan Kalijaga, penggunaan sumber instan seperti Wikipedia untuk referensi tulisan kritik sastra dilarang, apalagi pada bagian yang membahas konsep. Referensi bukan sesuatu yang stratanya setara, persoalan siapa yang menulis—yang cenderung tidak diperhatikan oleh Wikipedia dengan memberikan izin bagi siapa pun untuk memasukkan informasi—dan seleksi kredibilitas teks serta kedalaman persoalan yang ditulis—yang sukar Wikipedia capai karena sifatnya sebagai Ensiklopedia mengedepankan keringkasan—merupakan persoalan penting untuk dipertimbangkan sebelum memilih referensi. Wikipedia memungkinkan siapa pun menjadi pseudo-intelektual karena orang misalnya hanya membutuhkan waktu sangat singkat untuk mencitrakan diri sebagai ahli konsep plagiarisme dengan mengutip Wikipedia perihal plagiarisme tanpa mendalami buku-buku tentang plagiarisme, atau seenaknya membahas perihal fiksi populer dengan mengutip Wikipedia tanpa harus membaca, misalnya, buku Popular Fictions suntingan trio Peter Humm, Paul Stigant, dan Peter Widdowson dan buku Bestsellers karangan John Sutherland. Ada satu tulisan penting karya Louis Menand, “What Do You Know? Wikipedia, “Jeopardy!,” and the Fate of the Fact”, membahas efek Wikipedia bagi dunia intelektual yang menguatkan premis penghindaran Wikipedia untuk referensi tulisan yang sungguh-sungguh, dimuat dalam The New Yorker edisi 23 November 2020, hal. 67-70. Maka dalam bagian 1 di atas saya mencoba menelusuri seberapa samakah persamaan pada kedua cerpen tersebut.

Berhubung tudingan plagiat bukan merupakan tudingan remeh, maka meski berdasarkan perbandingan kesamaan kedua cerpen pada bagian 1 ternyata kesamaannya sangat banyak, demi kehati-hatian, bagian 2 ini akan menelaah klarifikasi Edy Firmansyah yang diungkapkan dalam acara diskusi bukunya yang sudah disinggung di awal. Saya tidak tahu apakah Saut Situmorang menerima penjelasan itu sebagai penjelasan yang menjadikan status cerpen Edy bukan plagiat, yang jelas dia tidak menanggapi lebih jauh.

Dalam klarifikasi tersebut, Edy Firmansyah menjelaskan bahwa dia memang terinspirasi kumpulan cerpen Semua Untuk Hindia. Terkait cerpennya, Edy mengatakan bahwa

Alurnya agak mirip tapi yang jelas seting ceritanya berbeda. Misalnya, kalau di “Vanisse”itu kan dia orang Belanda terus dia pernah menjadi jugun ianfu sementara di Iksaka Banu kan tidak. Memang terinspirasi dari cerpen itu.

Video Madura dalam Semesta Fiksi Sejarah Edy Firmansyah part 2. Klarifikasi Edy Firmansyah ada pada menit 4.19-4.43.

Terlepas dari penggunaan istilah alur dan cerita yang sekenanya (sesuai hasil telaah di bagian 1, lebih tepat jika dikatakan bahwa “ceritanya sangat mirip dan alurnya mirip”), mungkin apa yang Edy maksudkan adalah dia memang terinspirasi atau meniru “Selamat Tinggal Hindia” karya Iksaka Banu, tetapi cerpen dia juga memuat kreativitas dia sebagaimana dia contohkan sehingga cerpen dia tetap orisinal. Klarifikasi semacam ini mestinya tidak bernilai apa-apa di hadapan definisi Saut Situmorang yang mengatakan asal ada persamaan antara dua karya maka sama dengan plagiat. Akan tetapi bagi saya klarifikasi ini tetap mesti diperhitungkan, lagipula sejak awal saya tidak sepakat dengan definisi gegabah itu.

Sebenarnya dengan mengetahui fakta bahwa cerpen “Selamat Tinggal Hindia” tersusun dari 2367 kata sementara “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” hanya tersusun dari 1350 kata saja kita sukar membayangkan bentuk kreativitas seperti apa yang dimungkinkan bagi cerpen yang memuat terlalu banyak persamaan ini. Cerpen Iksaka Banu sangat padat, penghilangan bagian-bagian tertentu dari sana memungkinkan kualitas cerpen tersebut berkurang. Akan tetapi kita mesti husnuzan bahwa bentuk pengurangan pun bisa dikatakan sebagai satu kreativitas, terutama ketika dibarengi pengacakan alur. Oleh sebab itu, mari kita lihat seberapa jauh klarifikasi Edy itu membuat cerita yang dia karang menjadi lebih bagus sehingga kita bisa melihat pula seberapa banyak kreativitas dia curahkan untuk membuat karyanya layak disebut orisinal.

Poin klarifikasi pertama, cerita Edy berlatar Madura, sementara cerita Iksaka Banu berlatar Jakarta.

Di dalam cerita, latar tempat Madura dihadirkan pada beberapa bagian. Pertama, pada awal cerita melalui foto-foto menggambarkan kekejaman Belanda dalam penyerbuan ke Masjid Syuhada.

“Ya. Kemudian para marinir dengan satu buldoser menggali sebuah lubang besar di depan Masjid itu dan mempekerjapaksakan para pejuang yang ditangkapi dan ditahan untuk mengubur mayat-mayat yang notabene saudara mereka sendiri,” tambah Martin van Pagee.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 3

KBBI V menerjemahkan buldoser (dalam versi publikasi di detik masih menggunakan kata buldozer) sebagai ‘traktor beroda rantai yang dilengkapi alat untuk meratakan tanah, menumbangkan pohon besar, dan sebagainya.’ Sebagai perbandingan dari beberapa kamus alternatif:

Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain Edisi Ketiga (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994):

buldoser, ‘traktor raksasa beroda rantai berfungsi meratakan tanah atau mengangkat batang-batang besar.’

hal. 220

Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Edisi Kedua karangan Peter Salim dan Yenny Salim (Jakarta: Modern English Press, 1995):

buldoser n ‘kendaraan bermotor yang kuat, dipakai untuk menumbangkan pohon yang keras, meratakan tanah, dan sebagainya; traktor.’

hal. 233

Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga karangan W. J. S Poerwadarminta (Jakarta: Balai Pustaka, 2007):

buldoser bp ‘sb kendaraan bermotor yg sangat kuat (untuk menumbangkan pohon-pohon, meratakan tanah, dsb)’ 

hal. 187

Kamus Bahasa Melayu Nusantara Edisi Kedua (Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, 2011):

buldozer BM buldoser ‘traktor beroda rantai yang dilengkapi dengan alat penyodok untuk meratakan dan memindahkan tanah, menumbangkan pohon besar, dll’.

hal. 393

Dengan kata lain, membaca bagian cerpen ini kita membayangkan para marinir Belanda menggali lubang besar menggunakan alat perata tanah, adegan yang sama menakjubkannya dengan orang menggali kubur menggunakan sendok makan. Lantas, pertanyaannya, dari mana munculnya adegan kocak itu?

Di dalam artikel jurnal Sulfan, kita menemukan juga bulldozer dalam adegan 16 Agustus 1947 itu, tetapi fungsinya berbeda:

Korban dari pihak pejuang diperlakukan dengan kejam oleh Belanda, yaitu diletakkan dalam satu lubang di muka masjid jamik Pamekasan, kemudian disiram dengan bensin dan dibakar… Namun cara mereka mengumpulkan mayat itu tidak seperti layaknya orang mengangkut mayat digotong oleh yang hidup, tetapi mereka diangkut memakai bulldozer.

“Perjuangan Rakyat Pamekasan Mempertahankan Kemerdekaan dalam Agresi Militer Belanda I di Madura tahun 1947”, hal. 249

Informasi penggunaan buldoser untuk mengangkut mayat jelas lebih masuk akal daripada ketika buldoser digunakan untuk menggali tanah, pun kalau tujuannya untuk menimbulkan efek dramatis pada cerpen. Kalangan umum banyak yang tahu, apalagi penulis yang mestinya lebih cermat berurusan dengan kata, bahwa mesin yang biasa digunakan untuk menggali tanah bukan “buldoser”, melainkan “ekskavator”. KBBI V bahkan sudah memuatnya dengan pengertian ‘alat yang digunakan untuk melakukan ekskavasi’, sementara ekskavasi adalah nomina yang berarti ‘penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala’ atau ‘tempat penggalian benda purbakala’. Dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara kita temukan pengertian yang lebih terang:

ekskavator ‘alat daripada besi untuk mengeruk tanah; mesin pengorek.’

hal. 663

Selain itu, penggunaan traktor untuk menggali tanah juga melemahkan karakterisasi. Karakter yang menyodorkan informasi tersebut dalam cerpen adalah Martin van Pagee, dijelaskan sebagai “mantan fotografer De Patriot”. Martin cerdas, minimal dalam cerpen digambarkan dia bisa mengakses dokumen rahasia NEFIS (data 4). Penggunaan diksi yang tidak tepat itu merusak karakterisasi dia sebagaimana analogi babi guling yang sudah dibahas sebelumnya. Selain itu, dari sisi keseluruhan cerita, kita tidak tahu dari mana Martin tahu penggalian menggunakan traktor karena kita hanya diberi tahu sumber fotonya saja.

Kedua, Madura dihadirkan melalui renungan Joop Roeting setelah dia mengetahui dari Martin van Pagee mengenai alasan Jenderal Spoor menyerang Madura, yaitu untuk “melakukan pengamanan dan penyelamatan terhadap industri garam secepat mungkin sebelum dikuasai para pejuang.” Data yang disajikan tampak meyakinkan:

Joop Roeting tak meragukan pendapat Martin. Berdasarkan catatan Van der Kemp yang pernah ia baca menyebutkan Madura adalah zoutlanden. Tanah garam. Garam merupakan komunitas [sic] yang menguntungkan pemerintah Belanda. Berdasarkan catatan tersebut masing-masing wilayah di Madura (Pamekasan, Sampang, dan Sumenep) memiliki kompleks lahan garam yang luas. Sampang memiliki sekitar 1. 377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan Sumenep memiliki 1.648 empang. Jumlah tersebut sanggup menyalurkan garam sebanyak 12.480 pikul (1 pikul = 60 kg) dengan rincian 96.085 pikul di Malaka dan 30.340 pikul di Kalimantan dalam setahun.

Apalagi monopoli garam yang dilakukan VOC dan diteruskan Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Batavia sebagai pengekspor (memperdagangkan kembali) utama garam terutama ke Sumatera. Keuntungan yang di dapat semakin berlipat ketika kebijakan ini tidak memperbolehkan para pedagang garam swasta memasuki Sumatera.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 5

Dengan menelusuri data sejarah, kita akan langsung tahu pada bagian ini terjadi anakronisme, yaitu ‘penempatan satu peristiwa atau orang atau benda di luar masa historisnya’.14M.H. Abrams dan Geoffrey Galt Harpham, A Glossary of Literary Terms, Eleventh Edition, (Stamford: Cengage Learning, 2015), hal. 300. Catatan Van der Kemp merupakan laporan penelitian krisis garam tahun 1859, penelitian itu sendiri dilakukan tahun 1892 dan dipublikasikan tahun 1894.15Lihat dalam Wisnu dkk. “Salt Briquette: The Form of Salt Monopoly in Madura, 1883-1911”, J.Phys.: Conf. Ser. 953 012181, 2018. Artinya, gambaran Madura dalam laporan Van der Kemp adalah gambaran tahun 1892 yang dalam cerpen disodorkan kepada kita sebagai gambaran tahun 1947.

Anakronisme tentu saja tidak haram dalam kesastraan, ia bagian dari poetic licence, ‘kebebasan pengarang’. Artinya, ketidaksesuaian fakta dengan fiksi ini tidak masalah dan hanya akan mengejutkan orang yang memang mengetahui data sejarah seperti di atas. Saat kita terlanjur mengetahui maka anakronisme ini menyebabkan cacat pada karakterisasi: masuk akalkah Joop Roeting, wartawan gemilang itu, menggunakan data antediluvian?

Padahal jika penulis ingin menggunakan data sekunder sebagaimana artikel jurnal yang tampaknya merupakan sumber data sejarah cerpen ini, buku Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017) lebih dari cukup. Di dalam buku itu ada pembahasan komprehensif terkait garam dari mulai subbab “Produsen Garam” (hal. 411) sampai “Kebijakan Garam” (hal. 434). Lalu pada halaman 441 kita juga akan menemukan tabel yang memperlihatkan luas ladang garam di Sumenep dan Pamekasan pada 1 Januari 1930, data yang jelas lebih baru daripada data jadul Van der Kemp.

Sementara jika ingin menggunakan data primer yang lebih baru dari Van der Kemp, bukan hal sukar untuk mendapatkan Military Report on the Netherlands’ Possessions in the East Indies yang dikeluarkan tahun 1919. Dokumen tersebut memuat lengkap data etnografis Madura dan juga data terkait produksi garam. Jelas dokumen itu lebih baru daripada catatan Van der Kemp dan bukan hal mustahil untuk diperoleh oleh jurnalis, baik Edy Firmansyah sendiri ataupun Joop Roeting.

Dalam cerpen, data kuna itu ditautkan dengan alasan Jenderal Spoor menyerang untuk menduduki Madura dalam Aksi Polisionil Belanda Pertama. Penautan ini berbeda dengan buku-buku sejarah yang biasa menyebut motif Aksi tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dalam waktu singkat. Maka disebutkan bahwa Belanda mengincar khususnya komoditas gula di Jawa dan minyak dan karet di Sumatra. Disebutkan juga bahwa Belanda kemudian “menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa”, sementara di Sumatra “perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang”, dan “mengamankan daerah Padang”.16M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Jakarta: Serambi, 2007), hal. 453.

Namun sejarah adalah sejarah dan fiksi sejarah adalah fiksi sejarah, keduanya tidak bermukabalah dan tidak bisa dipertukarkan. “Fiksi tetaplah fiksi sekalipun bersandar pada fakta sejarah”, kata Nirwan Dewanto dalam pengantar Semua untuk Hindia, dan fiksi sejarah bukan berarti ia jenis fiksi yang bisa dinilai kualitasnya berdasarkan tepat atau tidaknya ketika fiksi itu dipertentangkan dengan fakta.

Dalam satu telaahnya tentang novel sejarah, Hamish Dalley menunjukkan bahwa salah satu pandangan lazim tentang perbedaan antara fiksi sejarah dengan sejarah bahwa jika sejarah membuat kita menyadari bentang jarak antara masa silam dengan masa kini maka fiksi sejarah justru membuat kita masuk ke dalam masa silam dan merasakannya merupakan pandangan yang terlalu menyederhanakan persoalan. Bagi Hamish, teks-teks novel sejarah

tersegmentasi secara internal dan hibrida, dengan anasir historis dan fiktif bersanding, tumpang tindih, saling memperkaya. Pengaturan anasir ini membangun satu sistem temporer yang berimplikasi dengan cara memberi makna terhadap masa lalu, dan menelaah sistem-sistem temporer ini membuka cara-cara memahami representasi sejarah.

“Temporal Systems in Representations of the Past: Distance, Freedom and Irony in Historical Fiction”, hal. 49

Dengan kata lain, nilai fiksi sejarah tetap tergantung pada kokoh tidaknya konstruksi fiksi sejarah sebagai sebuah kisah hibrida tempat “anasir historis dan fiktif bersanding, tumpang tindih, saling memperkaya”. Aristoteles mengatakan bahwa puisi—yang pada zaman dia mencakup pula cikal bakal sesuatu yang kini kita sebut prosa—berbeda dari sejarah dalam hal sejarah “mengisahkan apa yang sudah terjadi” sementara puisi “mengisahkan apa yang mungkin terjadi”, sejarah “berbicara tentang yang partikular” sementara puisi “berbicara lebih tentang yang universal”.17Aristotle, “Poetics”, dalam Penelope Murray & T.S. Dorch (penj), Classical Literary Criticism, (London: Penguin Books, 2004), hal. 68-69. Apa yang dia maksudkan dengan “yang universal” adalah alur sebagai salah satu anasir fiksi: ingat kata-kata Philip Slack dalam novel Chatterton (1987) yang saya kutip dalam tulisan terdahulu tentang terbatas dan berulangnya alur. Sejarah berbicara tentang fakta-fakta tanpa mempertimbangkan konstruksi alur, sementara fiksi, dan dengan demikian juga fiksi sejarah, memperlakukan alur (relasi sebab akibat adegan-adegan yang dilukiskan dan lakuan-lakuan para karakter) sebagai salah satu unsur penting.

Maka jika Pramoedya Ananta Toer melakukan anakronisme dalam novel Arok Dedes dengan memasukkan karakter Mpu Tanakung pengarang Lubdaka hidup sezaman Arok, hal itu tidak serta-merta menyebabkan Arok Dedes menjadi novel sejarah buruk. Demikian juga kalau Remy Sylado melakukan anakronisme perihal istri dan putra Pangeran Diponegoro dalam dwilogi Novel Pangeran Diponegoro, atau Azhari Aiyub melakukan anakronisme titimangsa kerajaan Lamuri dalam Kura-Kura Berjanggut, maka hal tersebut tidak serta-merta membuat keduanya menjadi novel buruk. Poin yang harus diperhatikan adalah seberapa mungkin anakronisme itu dibangun dalam novel tersebut. Fiksi tetaplah fiksi meskipun ia ditambahi embel-embel sejarah. Kualitas fiksi tetap dinilai berdasarkan konstruksi teksnya, bukan berdasarkan kesesuaian atau ketidaksesuaian cerita yang disajikan dengan fakta.18Dalam novel biografis putra William Shakespeare, Hamnet (London: Headline Publishing Group, 2020), Maggie O’Farrell menulis dalam “Author’s Note” bahwa dia mengubah nama bibi Hamnet dari Joan menjadi Eliza karena nama Joan sama dengan nama bibi Hamnet yang lain yang lebih dulu meninggal dan Maggie O’Farrell khawatir kalau tidak diubah maka hal itu “bisa membingungkan para pembaca novel”. Hal itu bukan sesuatu yang genit dan bukan pula sesuatu yang salah. Penulis sendiri mengalami kebingungan jenis itu ketika menghadapi Novel Pangeran Diponegoro (Solo: Tiga Serangkai, 2007 [jilid 1], 2008 [jilid 2]) karya Remy Sylado, tempat adanya Pangeran Mangkubumi yang dikisahkan sebagai paman Pangeran Diponegoro serta sering bertemu pada masa-masa Pangeran Diponegoro muda, sementara penulis lebih mengetahui Pangeran Mangkubumi lain, yaitu Hamengkubuwana I, yang meninggal saat Pangeran Diponegoro baru berusia 7 tahun. Masih dalam catatan yang sama, Maggie O’Farrell juga mengatakan bahwa sebisa mungkin ia menulis sesuai dengan fakta-fakta historis mengenai Hamnet dan keluarganya, tetapi “beberapa rincian—khususnya nama-nama—diubah atau dihapus”. Dia juga mengisahkan momen-momen ketika dia menghadapi dua fakta sejarah yang bertentangan dan sama-sama mungkin. Pada momen seperti itu, keputusan versi mana yang akan dipakai sepenuhnya di tangan penulis.

Dengan demikian, jika cerpen Edy Firmansyah mengisahkan peristiwa penyerbuan Belanda ke Madura tanggal 16 Agustus 1947 sepersis-persisnya dengan fakta yang disodorkan sejarah, hal tersebut tidak lantas menjadi kelebihannya. Sebaliknya, jika cerpen Edy Firmansyah tidak selaras data sejarah mengisahkan seluk-beluk bisnis garam di Madura pada tahun 1947, hal itu tidak lantas membuat ceritanya cacat. Satu hal yang mesti dipertimbangkan mengenai anakronisme ini justru adalah fakta bahwa ia dihasilkan melalui proses salin tempel.

Pada cerpen Edy Firmansyah tertulis:        

Berdasarkan catatan Van der Kemp yang pernah ia baca menyebutkan Madura adalah zoutlanden. Tanah garam. Garam merupakan komunitas [sic] yang menguntungkan pemerintah Belanda. Berdasarkan catatan tersebut masing-masing wilayah di Madura (Pamekasan, Sampang, dan Sumenep) memiliki kompleks lahan garam yang luas. Sampang memiliki sekitar 1. 377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan Sumenep memiliki 1.648 empang.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 5

Mari bandingkan dengan artikel jurnal karangan Imam Syafi’i berjudul “Persaingan Pengangkutan Garam di Selat Madura Tahun 1924-1957” (2013):

Berdasarkan beberapa catatan orang Belanda yaitu Van der Kemp menyebutkan tempat pembuatan garam seperti yang terdapat di Sampang, Pamekasan, dan Sumenep tersebut dinamakan zoutnegorizen atau zoutlanden yang berarti tempat pembuatan garam. Masing-masing tempat itu memiliki komplek empang (plot) garam yang beragam. Sampang memiliki sekitar 1.377 empang, Pamekasan memiliki 1.547 empang dan Sumenep memiliki 1.648 empang.

“Persaingan Pengangkutan Garam di Selat Madura Tahun 1924-1957”, hal. 93

Imam Syafi’i mencantumkan rujukan bahwa data tersebut bersumber dari Tesis Magister Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul “Monopoli Garam di Madura 1905-1920” yang ditulis oleh Parwoto pada tahun 1996.

Uniknya, data selanjutnya dalam cerpen Edy Firmansyah yang menyebutkan bahwa:  

Jumlah tersebut sanggup menyalurkan garam sebanyak 12.480 pikul (1 pikul = 60 kg) dengan rincian 96.085 pikul di Malaka dan 30.340 pikul di Kalimantan dalam setahun.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 5

ternyata juga merupakan hasil salin tempel dari bagian lain dalam artikel yang sama:

Total perdagangan garam pada waktu itu adalah 12.480 pikul (1 pikul = 60 kg) dengan rincian 96.085 pikul di Malaka dan 30.340 pikul di Kalimantan.

“Persaingan Pengangkutan Garam di Selat Madura Tahun 1924-1957”, hal. 97

Lalu data selanjutnya dalam cerpen yang menyebutkan bahwa:

Apalagi monopoli garam yang dilakukan VOC dan diteruskan Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Batavia sebagai pengekspor (memperdagangkan kembali) utama garam terutama ke Sumatera. Keuntungan yang di dapat [sic] semakin berlipat ketika kebijakan ini tidak memperbolehkan para pedagang garam swasta memasuki Sumatera.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 5

juga merupakan hasil salin tempel dari bagian selanjutnya dalam artikel yang sama dengan melakukan reduksi dan pengacakan:

Pada perkembangannya, VOC dan dieruskan [sic] Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan monopoli perdagangan garam. Monopoli ini menjadikan Batavia sebagai pengekspor (memperdagangkan kembali) utama garam terutama ke Sumatera. Catatan-catatan VOC pada waktu yang sama menyebutkan perdagangan garam ke wilayah tersebut sebesar 7000 pikul pertahun. Keuntungan yang di dapat [sic] semakin bertambah ketika kebijakan ini tidak memperbolehkan para pedagang garam swasta memasuki Sumatera kecuali di daerah-daerah Kalimantan.

“Persaingan Pengangkutan Garam di Selat Madura Tahun 1924-1957”, hal. 97

Kita lihat bahwa apa yang Edy lakukan dalam cerpennya adalah proses salin tempel teks jurnal dengan menghapus satu kalimat dan keterangan kecuali di daerah-daerah Kalimantan. Selebihnya sama persis, baik posisi keterangan tambahan di dalam kurung ataupun bahkan penulisan di- sebagai prefiks yang dikelirukan dengan di sebagai kata depan yang memang terjadi juga dalam teks artikel jurnal. Selain itu, sebagai tambahan keterangan, data dalam artikel tersebut menjelaskan situasi perdagangan garam abad ke-18 dan rujukan dua data terakhir adalah buku Gerrit J Knaap berjudul Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java Around 1775 (Leiden: KITLV Press, 1996).

Ketiga, Madura dihadirkan dalam adegan Joop Roeting menempuh perjalanan menuju ke tempat tinggal Meetje sampai tiba di sana. Adegan-adegan yang menyusun alur ini sudah ditelaah pada bagian 1 dengan hasil mereka memiliki banyak kesamaan dengan adegan-adegan cerpen Iksaka Banu.

Poin klarifikasi kedua, karakter Meetje dalam cerita Edy merupakan mantan jugun ianfu, sementara karakter yang menjadi sumber inspirasinya—karakter Geertje dalam cerpen Iksaka Banu—bukan.

Kita mendapatkan informasi terkait karakter Meetje tersebut hanya dari narasi narator. Dikisahkan bahwa

Dalam perjalanan menemaninya ke pelabuhan Tanjung Perak itulah Meetje bercerita soal deritanya. Dia dipilih bersama sembilan perempuan Eropa lainnya. Bukan untuk dibebaskan. Tetapi menjadi Comfort Women. Perempuan-perempuan Eropa yang dipaksa menjadi budak seks perwira-perwira Jepang. Dia menceritakan semuanya dengan tenang. Mula-mula Joop ragu atas semua kisahnya.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 10

Tambahan karakterisasi karakter Meetje kita dapatkan sebelumnya berupa informasi asal-usul dan deskripsi fisik dia.

Pelacur? Meetje bukan pelacur. Ia hanya korban perang. Joop mengenang pertemuan pertamanya dengan Vanisse Meertruida. Ia bertemu perempuan itu di kamp internir di Surabaya, tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada Sekutu. Ia perempuan yang keras. Waktu itu tubuhnya begitu kurus. Kepalanya botak. Tapi itu semua tak mampu menutupi kecantikannya. Juga ketangguhannya. Perempuan Eropa kelahiran Semarang, Jawa Tengah. Anak semata wayang dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai musisi.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 8

Kita mendapatkan karakterisasi sangat lengkap tentang Meetje atau Vanisse Meertruida—nama ini juga tampaknya terinspirasi dari nama asli Geertje dalam cerpen “Selamat Tinggal Hindia”, yakni Maria Geertruida Welwillend (data 5)—hanya dalam dua paragraf narasi. Sebagai satu teknik karakterisasi, teknik telling ‘menceritakan’ lazim dianggap lebih lemah daripada teknik showing ‘mendemonstrasikan’, tetapi terlepas dari hal itu, narasi ini memuat kelemahannya sendiri. Vanisse disebutkan sebagai comfort woman. Ketika dideskripsikan tubuh dia sangat kurus maka hal itu masih bisa disebut logis, tetapi menyebutkan kepala dia botak jelas tidak logis, kecuali kalau kita mendapatkan informasi tambahan tentang tentara Jepang yang fetis perempuan botak. 

Bandingkan dengan cara karakterisasi yang Iksaka Banu lakukan. Dalam cerpen Iksaka Banu, si pria Belanda (Martinus Witkerk) mengantarkan Geertje sampai ke rumah. Dalam obrolan di rumah itulah kemudian banyak hal yang memperkuat karakterisasi si perempuan Eropa dihadirkan, misalnya motif dia pulang ke Gunung Sahari dan bukan ke Belanda; dan motif dia membantu para pejuang pribumi. Dalam cerpen Edy, adegan tersebut diubah: si pria Belanda (Joop Roeting) hanya mengantarkan sampai ke pelabuhan Tanjung Perak. Sebagai konsekuensi pengubahan yang Edy lakukan, adegan “mengobrol di rumah” tidak ada dalam cerpennya dan kita juga kemudian tidak menemukan penguat motif Meetje memilih pulang ke Madura ataupun motif dia membantu para ekstremis. Konsekuensi pengubahan ini jelas salah satunya disebabkan oleh pengurangan jumlah kata yang dilakukan karena alasan yang entah, mungkin karena tuntutan media yang kemudian memuat cerpen terkait, tanpa diimbangi kreativitas untuk menciptakan karakterisasi yang lebih baik.

Lihat misalnya Edy menautkan karakterisasi Meetje sebagai mantan jugun ianfu dengan adegan Joop Roeting menyusun berita berdasarkan data-data Meetje mengenai kekejaman Jepang terhadap jugun ianfu dan kemudian ditolak oleh redakturnya (data 10-12). Adegan ini memang tidak ada pembandingnya dalam cerpen “Selamat Tinggal Hindia”, tetapi adegan ini justru mengingatkan kita pada cerpen Iksaka Banu yang lain, “Nieke de Flinder”, dimuat dalam Teh dan Pengkhianat (Jakarta: KPG, 2019), hal. 117-125.

“Nieke de Flinder” mengisahkan Bram (Abraham de Withart), wartawan Spiegel van Insulinde mendapatkan surat-surat dan foto-foto dari seorang informan misterius yang nama panggilannya terus berubah-ubah: Si Gagak, Si Kancil, Pejuang, dan De Patriot. Surat-surat dan foto-foto itu bukti skandal Alfons Rijkeman dengan seorang “pelacur kelas atas” bernama Nieke de Flinder alias Nicolina Jacoba Groeneman. Pemred Spiegel pada akhirnya menolak memuatnya dan di akhir Bram memutuskan mengundurkan diri dan kembali ke Bataviaasch Nieuwsblad19Nama surat kabar ini muncul di cerpen lain dalam antologi, “Air Mata Klekeh”. Lihat Edy Firmansyah, Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon, (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021), hal. 35. tempat kerja dia sebelumnya.

Sudah akrab dengan kreativitas lazim Edy untuk mengacak alur cerpen lain untuk dipraktikkan dalam cerpennya sendiri, kita bisa saja langsung menduga adegan di atas terinspirasi cerpen Iksaka Banu tersebut. Akan tetapi mari kita telaah dulu dengan saksama karena cerpen “Nieke de Flinder” memang memuat juga beberapa kesamaan yang terlalu kentara untuk diabaikan.

Pertama, judul kedua cerpen sama-sama nama karakter yang ada di dalamnya. Nama De Patriot yang ada dalam “Nieke de Flinder” juga muncul dalam cerpen Edy, tetapi sebagai nama surat kabar (data 1). Kedua, adegan wartawan mendapatkan foto dari informan misterius yang memiliki nama panggilan juga muncul terkait foto-foto kekejaman marinir Belanda di Madura (data 4). Perhatikan kemiripan deskripsi sang informan:

“Siapa dia? Teman wartawanmu?”

“Aku juga tak tahu. Tapi ia terkenal sebagai informan. Sumber-sumbernya selalu valid,” ujar Martin.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 4

“Tapi siapa De Patriot? Mengapa ia mengirim barang ini?”

“Aku tak tahu siapa sesungguhnya orang itu. namun ia terbukti bisa dipercaya. Di kantorku dulu, kami kerap mendapat pasokan data darinya. Sejauh ini semuanya sahih…”

“Nieke de Flinder”, Teh dan Pengkhianat, hal. 118

Perhatikan juga kemiripan adegan penolakan laporan Joop Roeting dalam “Vanisse Meertruida dari Zoetlanden” dengan penolakan laporan Bram dalam “Nieke de Flinder”:

Tapi Wijkman, redakturnya di De Republiken menggeleng.

“Aku tahu kau wartawan yang punya reputasi gemilang, Joop. Tapi berita ini, berdasarkan satu narasumber sungguh tak bisa dibenarkan. Mungkin menarik. Tapi bisa bikin rumit di tengah peralihan kekuasaan ini. Aku tak akan memuatnya,” kata Wijkman. Setelah berkata demikian ia meninggalkan Joop sendirian di ruang rapat redaksi.

“Vanisse Meertruida dari Zoutlanden”, Data 12

Tuan Grijzepen menggeleng.

“Bram, awal bulan kemarin engkau datang ke sini, mengisi kekosongan redaktur pelaksana. Aku tak akan menguliahimu tetek-bengek jurnalisme. Engkau lama di Bataviaasch Nieuwsblad, tentu paham mana berita dan mana sampah. Reputasimu gemilang. Tetapi karena aku pemimpin redaksi di sini, mari kita bahas dengan teliti, sebelum nanti kuminta kau tidak memuat beritanya.” Tuan Grijzepen menyulut rokoknya yang kedua.

“Nieke de Flinder”, Teh dan Pengkhianat, hal. 118

Dari telaah di atas, bisa dilihat bahwa pemindahan latar tempat dari Jakarta dalam “Selamat Tinggal Hindia” ke Madura dalam “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” tampak dipaksakan sehingga tidak membuktikan kreativitas: sebuah percobaan meniru cerita tetapi gagal meleburkan latar tempat dan waktu berbeda dengan konstruksi cerita itu, ditambah pula terjadi proses salin tempel dari teks artikel jurnal. Demikian juga pengubahan karakter dengan memberinya peran sebagai “mantan jugun ianfu (comfort woman)” tidak membuat karakterisasi Vanisse menjadi kuat dan justru sebaliknya.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa meskipun kita mendengarkan klarifikasi Edy dan menelaahnya sebagaimana yang sudah dilakukan di atas, kreativitas khas Edy dalam cerpen ini bisa dikatakan hampir nihil. Dengan terlalu banyak kesamaan dan minimnya kreativitas Edy sendiri maka pada titik ini kita sukar mengatakan bahwa kemiripan antara kedua cerpen tersebut muncul hanya karena cerpen yang muncul lebih belakangan terinspirasi oleh cerpen yang lebih dahulu dan bahwa kemiripan tersebut hanya menunjukkan contoh intertekstualitas.

Intertekstualitas termasuk salah satu konsep paling dinamis, terus dikembangkan oleh para teoretikus yang mendefinisikannya dengan bervariasi, sampai-sampai dalam satu buku pengantar paling komprehensif dan paling terbarukan mengenai konsep tersebut, Graham Allen mengatakan bahwa istilah intertekstualitas adalah “salah satu istilah yang paling umum digunakan dan disalahgunakan dalam kosakata kritik sastra kontemporer”.20Graham Allen, Intertextuality, (New York: Routledge), hal. 22. Sementara dalam buku yang memuat kumpulan kolom mingguan The Guardian perihal novel, John Mullan mengatakan:

Dulu intertekstualitas adalah kata yang digunakan oleh para teoretikus untuk menyatakan bahwa tulisan apa pun merujuk pada tulisan yang lain, alih-alih pada dunia di luar teks. Kini kata itu adalah singkatan untuk hampir segala jenis kiasan atau tiruan.

How Novels Work (2006), hal. 287

Kiasan (allusiveness) atau tiruan (imitation). Intertekstualitas memang paling konvensional hadir dalam bentuk kutipan, alusi21Alusi adalah ‘rujukan kepada tokoh, peristiwa, kalimat atau bagian dari teks lain yang (dianggap) sudah diketahui oleh pembaca atau lawan bicara’. Penjelasan ringkas bisa dilihat dalam Ajip Rosidi, Kamus Istilah Sastera Indonesia, (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 2018), hal. 11., dan gema: seperti kita temukan kutipan dari Milan Kundera sebagai epigraf dalam sajak “Pertanyaan-Pertanyaan” (2020) karya M. Aan Mansyur, alusi nama penyair Allen Ginsberg dalam sajak Goenawan Mohamad “Potret Taman untuk Allen Ginsberg” (1973), dan gema sajak Goenawan Mohamad “Di Muka Jendela” (1961) dalam sajak Acep Zamzam Noor “Pangrango” (1980).

Intertekstualitas sebagai relasi antara satu teks dengan teks lain bisa berlangsung secara sadar dan bisa juga tidak. Kita sedikit banyak bisa yakin bahwa dari contoh di atas epigraf puisi Aan Mansyur dan alusi puisi Goenawan Mohamad dihadirkan oleh kedua penyair itu secara sadar, tetapi keyakinan kita bisa berkurang pada contoh “gema” puisi Goenawan Mohamad dalam puisi Acep Zamzam Noor. Contoh terakhir ini menunjukkan bahwa pada tataran tertentu, relasi antar teks juga mengindikasikan relasi antara seorang pekarya teks dengan pekarya teks lain dalam satu jaringan yang T. S. Eliot sebut sebagai unconscious community ‘komunitas taksadar’. Karya para “seniman sejati” anggota “komunitas taksadar” inilah yang membentuk satu organic whole ‘keutuhan harmonis’ yang dalam ranah sastra biasa disebut sebagai tradisi.

Lantas, kita bisa mengatakan bahwa ketika intertekstualitas berlangsung secara taksadar–atau dengan istilah lain: natural–sebagaimana kita duga terjadi pada contoh ketiga dan tidak pada contoh kesatu dan kedua di atas, kita bisa menyebutnya sebagai influence ‘pengaruh’. Hal ini kurang lebih selaras dengan apa yang Harold Bloom, salah satu kritikus sastra yang berada di posisi paling atas dalam pembahasan jejaring tautan di ranah sastra, katakan bahwa ketika kita mengatakan “pengaruh” dalam ranah sastra maka “bukan berarti diteruskannya pelukisan dan gagasan-gagasan dari para penyair terdahulu kepada para penyair lebih belakangan”, karena dalam “pengaruh” sudah “tidak ada teks-teks, melainkan [yang ada] hanya relasi antara teks-teks”.22Lihat dalam Harold Bloom, A Map of Misreading (New York: Oxford University Press, 1975), hal. 3. Jika “pengaruh” hanya melibatkan (pe)karya dari satu generasi dan (pe)karya dari generasi lain, maka “tradisi” adalah “estafet pengaruh”, yakni “pengaruh yang memanjang melampaui satu generasi”.23Harold Bloom, “The Dialectics of Poetic Tradition”, dalam Poetics of Influence (Connecticut: Henry R. Schwab, Inc., 1988), hal. 110.

Jelasnya, berdasarkan contoh-contoh di atas, kita bisa mengatakan intertekstualitas “Pangrango” dengan “Di Muka Jendela” menunjukkan adanya pengaruh “Di Muka Jendela” terhadap “Pangrango”, tetapi kita tak bisa mengatakan hal sama pada dua contoh terdahulu. Pada gilirannya, “Di Muka Jendela” mungkin di-“pengaruh”-i oleh puisi lain dan relasi antara “Pangrango” Acep Zamzam Noor dengan puisi lain karya entah siapa yang mem-“pengaruh”-i “Di Muka Jendela” Goenawan Mohamad itulah yang disebut “tradisi”.

Kalau semua teks memang selalu berutang pada teks lain, lantas bagaimana bisa terjadi penyalahgunaan kata intertekstualitas sebagaimana Graham Allen katakan?

Karena cakupan luas dan beragamnya teoretikus pengulik konsep intertekstualitas memungkinkan kata tersebut menjadi pasal karet untuk melegitimasi plagiat melalui proses pemelintiran statusnya menjadi intertekstualitas. Maka apa yang kita butuhkan untuk menghindari penyalahgunaan itu adalah batas yang sekurang-kurangnya mampu membedakan mana plagiat mana intertekstualitas. Kita mendapatkan salah satu batas itu dari John Sutherland:

Ketika intertekstualitas menjadi terlalu intertekstual, alusi menjadi terlalu alusif, atau pengaruh menjadi terlalu dominan, maka “kata p” [plagiat] pun hadir.

How Literature Works: 50 Key Concepts (2011), hal. 164.

Dengan kata lain, batas itu adalah porsi. Kutipan, alusi, ataupun gema bukan lagi intertekstualitas ketika hadir dalam porsi yang berlebihan. Kehadiran porsi yang berlebihan jelas mengindikasikan tindakan tersebut dilakukan dengan sadar dan dengan demikian juga tidak bisa dikategorikan sebagai pengaruh. Kesamaan yang terlalu sama, kemiripan yang terlalu mirip, kesamaan dan kemiripan yang hadir terlalu banyak, jelas telah melampaui batas intertekstualitas. 

Jika menggunakan cerpen-cerpen Edy Firmansyah dalam Yasima Ingin Menjadi Juru Masak Nippon sebagai contoh, intertekstualitas paling kentara hadir antara cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dengan cerpen lain dalam antologi, “Perburuan Agustus 1947” yang mengisahkan episode Meetje saat di Madura, ataupun antara cerpen “Air Mata Klekeh” dengan arketipe kisah banyak ditemukan dalam cerita lisan di berbagai daerah, salah satunya cerita asal-usul Desa Panyalahan, Tasikmalaya:

orang tua meninggalkan anak kecil di rumah bersama hewan penjaga, saat pulang mendapati mulut hewan itu di depan rumah dengan mulut berlumur darah, membunuh hewan itu karena mengira ia membunuh si anak, kemudian mendapati kalau si hewan justru melindungi si anak dengan membunuh hewan yang akan memangsa. 

3

Bagian 1 tulisan ini membandingkan persamaan dan perbedaan cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dengan “Selamat Tinggal Hindia”, sementara bagian 2 menelisik seberapa banyak kreativitas Edy Firmansyah dalam membangun “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” menjadi satu cerpen yang berbeda dari cerpen “Selamat Tinggal Hindia” melalui penelusuran klarifikasi dia pada saat diskusi buku. Pada dasarnya upaya-upaya pembandingan secara spesifik semacam ini yang saya–dan tentu juga publik–harapkan dari para penuding Laskar Pelangi plagiat ketika saya menulis “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat”. 

Saya tentu tidak tahu pasti mengapa Saut Situmorang yang menjadi pembicara membedah—sehingga saya yakin dia sudah membaca—karya tersebut tidak banyak berbicara perihal karya tersebut terkait kemiripannya dengan cerpen Iksaka Banu. Saya juga tidak mengerti mengapa Edy Firmansyah membisu soal persamaan-persamaan karyanya sendiri dengan cerpen Iksaka Banu. Akan tetapi saya heran karena pada saat yang sama mereka justru ribut menuding Laskar Pelangi sebagai karya plagiat dari Dua Belas Pasang Mata sementara bukti tentang persamaan-persamaan keduanya hanya berdasar pada asumsi-asumsi tanpa pembuktian melalui telaah seperti apa pun.  

Apakah sebabnya karena Edy dianggap penulis lokal pemula sementara Andrea Hirata penulis lokal kaliber internasional? Saya menolak anggapan yang bertolak dari keyakinan kanonisasi zaman kuna itu dan selalu percaya karya penulis anyar ataupun berpengalaman sama berhaknya untuk dibahas dan diobrolkan. Lagipula sikap dan rekam jejak Edy pun tidak menyiratkan dirinya merupakan penulis pemula.

Mengutip informasi di kepadapuisi.blogspot.com, Edy pernah menjadi wartawan Jawa Pos di Surabaya tahun 2005-2006 dan menjadi wakil pemimpin redaksi majalah Fokus di Pamekasan. Edy sudah menerbitkan antologi cerpen Selaput Dara Lastri (2010), antologi puisi Derap Sepatu Hujan (2011), dan antologi cerpen Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon (2021). Dalam biografi singkat pada antologi Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon, disebutkan dia “mengelola Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan” dan dia

Menulis esai, cerpen, resensi buku, dan puisi yang tersebar di banyak media cetak maupun daring, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Solo Pos, Suara Karya, Suara Merdeka, Pelita, Harian Seputar Indonesia, Surya, Radar Surabaya, Surabaya Post, Bali Post, Banjarmasin Post, Lampung Post, Radar Madura, Majalah Suramadu, Majalah Story, Majalah Annida.

hal.2

Penggunaan kata di antaranya mengindikasikan bahwa ada juga karya-karya Edy Firmansyah yang dipublikasikan di media lain, sementara yang tercantum saja sudah 20 media. Dengan rekam jejak selama dan seproduktif itu maka tidak ada alasan apa pun untuk mengatakan bahwa Edy Firmansyah adalah penulis pemula. 

Ataukah kebisuan mereka berdua contoh paling kontemporer bagi peribahasa kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak?

Saya tidak ingin berprasangka terlalu jauh. Biarlah urusan prasangka dan teori konspirasi menjadi hobi orang-orang yang berada di luar kesastraan kita. Fokus utama tulisan ini adalah dua teks cerpen dan saya sudah menuntaskan telaah sangat sederhana membandingkan keduanya. Sangat sederhana sampai-sampai saya yakin siapa pun yang mau berpikir bisa melakukan telaah seperti di atas dengan modal semangat dasar untuk tidak berkomentar tentang karya apa pun sebelum membaca karya terkait secara kritis, modus penalaran yang waras, dan satu resep pernah Edy katakan: “gigih mencari di mesin pencari.” Lagipula kita sama tahu bahwa prasangka mudah berkawan dengan kejumudan sementara teori konspirasi menjalin hubungan mesra dengan kemalasan.

Selain itu, tindakan menuding Laskar Pelangi sebagai plagiat Dua Belas Pasang Mata tanpa bukti juga sedikit banyak sudah terjelaskan dari sudut pandang psikologis. Tindakan semacam itu bisa dikategorikan sebagai JTC, jumping to conclusions, yakni tindakan meloncat langsung menuju konklusi tanpa mendasarkan pada telaah terhadap fakta-fakta yang ada. JTC dalam Psikologi Abnormal biasa dikategorikan sebagai salah satu distorsi kognitif, pola pikir tak masuk akal yang merupakan ciri khas ansietas, depresi, dan gangguan kepribadian. Orang yang mengalaminya memiliki kecenderungan untuk melakukan proses asimilasi, yaitu kekeh memegang asumsi-asumsi yang sudah ada dan menolak atau mendistorsi informasi baru yang menentang asumsi-asumsi tersebut.24Jill M. Hooley, dkk. Abnormal Psychology, Seventeenth Global Edition, (Essex: Pearson Education Ltd., 2017), hal. 111.

Sementara meskipun jika menggunakan definisi plagiarisme yang Saut Situmorang sampaikan dalam komentar di Twitter saya maka cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” layak disebut karya plagiat, saya tak tertarik ikut-ikutan. Ada satu kutipan bagus dari Sir Walter Raleigh dikutip oleh Robert Macfarlane dalam bukunya yang membahas plagiarisme dan orisinalitas dalam karya sastra abad 19: “plagiarisme adalah sebuah kejahatan hanya di mana tulisan diperdagangkan.”25Robert Macfarlane, Original Copy: Plagiarism and Originality in Nineteenth-Century Literature, (Oxford: Oxford University Press, 2007), hal. 211. Dengan demikian, pihak-pihak yang paling berkepentingan terkait tulisan plagiat adalah pihak-pihak yang terlibat langsung “perdagangan tulisan” tersebut: penerbit, penulis, media.

Lagi pula saya lebih tertarik membayangkan kemungkinan lain, bahwa alih-alih menyimpulkan cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” memplagiat cerpen “Selamat Tinggal Hindia”, kita justru menyambutnya sebagai gambaran peluang memudahkan kerja cerpenis kita di masa depan. Betapa mudah seandainya jadwal para cerpenis kita mengikuti pola ini: tiap pekan menunggu cerpen baru karya cerpenis lain terbit, memilih satu untuk diotak-atik ceritanya sedikit dan diacak alurnya, dilakukan proses salin tempel teks dari sumber-sumber lain hasil meramban, lalu cerpen dipublikasikan di salah satu dari 20 surat kabar. Supaya aman terlindung di balik pasal karet intertekstualitas, kita tidak boleh lupa mencantumkan “cerpen ini terinspirasi dari cerpen anu karya fulan”.

Berhubung dalam sepekan biasanya bukan hanya 1 media yang memublikasikan cerpen, maka taruhlah dengan segala kemudahan teknik salin tempel ini kita bisa menghasilkan minimal 4 cerpen sehingga dalam sebulan, mengandaikan kita konsisten menulis, kita akan memiliki 16 cerpen. Jumlah tersebut sudah layak dipublikasikan sebagai buku antologi.

Tentu supaya rancangan ini bisa berjalan mulus maka akan dibutuhkan kerja sama antara para cerpenis, kritikus sastra, redaktur media, dan pengelola penerbitan kita. Pada titik ini kita boleh optimis kerja sama semacam itu tidak mungkin terjalin. Salam.    

Yogyakarta, Februari 2022

Referensi

Buku dan Artikel

Abrams, M. H., & Harpham, G. G. (2015). A Glossary of Literay Terms (Eleventh ed.). Stamford: Cengage Learning.

Adiwimarta, S. S., Sunaryo, A., Nasution, S., Supadi, H., Patoni, A., & Basiroh, U. (1987). Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Afandi, S. (2016, Juli). Perjuangan Rakyat Pamekasan Mempertahankan Kemerdekaan dalam Agresi Militer Belanda I di Madura Tahun 1947. AVATARA, 4(2), 245-153.

Allen, G. (2022). Intertextuality (3rd ed.). New York: Routledge.

Aristotle. (2004). Poetics. In P. Murray (Ed.), Classical Literary Criticism (P. M. Dorch, Trans., hal. 57-97). London: Penguin Books.

Badudu, J. S., & Zain, S. M. (1996). Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Banu, I. (2018). Semua Untuk Hindia. Jakarta: KPG.

Banu, I. (2019). Teh dan Pengkhianat. Jakarta: KPG.

Bloom, H. (1975). A Map of Misreading. New York: Oxford University Press.

Bloom, H. (1988). “The Dialectics of Poetic Tradition”, dalam Poetics of Influence (Connecticut: Henry R. Schwab, Inc.), hal. 105-118.

Cobley, P. (2014). Narrative (2nd ed.). New York: Routledge.

Cribb, R. (2009). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1946-1949. Jakarta: Equinox Publishing.

Dahlan, M. M. (2011). Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964. Yogyakarta: ScriPta Manent.

Dalley, H. (2013). Temporal Systems in Representations of the Past: Distance, Freedom and Irony in Historical Fiction. In K. Mitchell, & N. Parsons, Reading Historical Fiction: The Revenant and Remembered Past (pp. 33-49). New York: Palgrave Macmillan.

Firmansyah, E. (2021). Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Forster, E. M. (2005). Aspects of the Novel. (O. Stallybrass, Ed.) London: Penguin Books.

Genette, G. (1980). Narrative Discourse: An Essay in Method. (J. E. Lewin, Trans.) New York: Cornell University Press.

Hooley, J. M., Butcher, J. N., Nock, M. K., & Mineka, S. (2017). Abnormal Psychology (Seventeenth Edition ed.). Essex: Pearson Education Limited.

Jayawati, M. T., Atisah, & Sianipar, J. (2004). Cerpen-Cerpen Pilihan Kompas 1992-2002: Analisis Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.

Jones, R. (Ed.). (2008). Loan-Words in Indonesian and Malay. Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI.

Jowell, T. (2004). Prentice Hall’s Guide to Understanding Plagiarism. New Jersey: Upper Saddle River.

Kuntowijoyo. (2017). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Yogyakarta: IRCiSoD.

Macfarlane, R. (2007). Original Copy: Plagiarism and Originality in Nineteenth-Century Literature. Oxford: Oxford University Press.

Menand, L. (2020, November 23). What Do You Know? Wikipedia, “Jeopardy!,” and the Fate of the Fact. The New Yorker, pp. 67-70.

Mullan, J. (2006). How Novels Work. Oxford: Oxford University Press.

O’Farrel, M. (2020). Hamnet. London: Headline Publishing Group.

Poerwadarminta, W. J. (2007). Kamus Umum Bahasa Indonesia (III ed.). (T. P. Nasional, Ed.) Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (B. B. Satrio Wahono, Trans.) Jakarta: Serambi.

Rosidi, A. (2018). Kamus Istilah Sastera Indonesia. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.

Salim, P., & Salim, Y. (1995). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (II ed.). Jakarta: Modern English Press.

Schmidgall-Tellings, A. M. (2009). Kamus Lengkap Indonesia-Inggris. Bandung: Mizan.

Sutherland, J. (2011). How Literature Works: 50 Key Concepts. Oxford: Oxford University Press.

Syafi’i, I. (2013, Februari). Persaingan Pengangkutan Garam di Selat Madura Tahun 1924-1957. CITRA LEKHA, XVII(1), 85-104.

Sylado, R. (2007). Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil. Solo: Tiga Serangkai.

Sylado, R. (2008). Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah. Solo: Tiga Serangkai.

Tim Penyusun. (2011). Kamus Bahasa Melayu Nusantara (II ed.). Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei.

Wisnu, Alrianingrum, S., Artono, & Liana, C. (2018). Salt Briquette: The Form of Salt Monopoly in Madura, 1883-1911. IOP Conf. Series: Journal of Physics: Conf. Series 953 0123181 (pp. 1-6). IOP Publishing. doi:10.1088/1742-6596/953/1/012181

Lain-lain

Aplikasi KBBI V versi 0.4.1 (41)

Abdi, M. Nahdiansyah. “Edy Firmansyah: DERAP SEPATU HUJAN“.

Banu, Iksaka. “Selamat Tinggal Hindia“. (versi Koran Tempo)

__”Selamat Tinggal Hindia“. (versi Indonesien lesen)

Firmansyah, Edy. “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden“.

Komunitas Kutub. “Madura dalam Semesta Fiksi Sejarah Edy Firmansyah part 1“.

__. “Madura dalam Semesta Fiksi Sejarah Edy Firmansyah part 2“.

Subhan KM, Cep. “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat“.

10 comments On Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain

  • Tulisan penting. Terima kasih, Kang Cep!

  • Tanggapan atas “Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain” Cep Subhan KM

    Saya hanya akan menanggapi klaim-klaim yang dibuat Cep Subhan KM atas pernyataan-pernyataan saya di tulisannya “Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain”.

    1. Saut Situmorang memberikan komentar bahwa kedua cerpen itu memang “mirip sekali” di alurnya tetapi cerpen Edy lebih pendek dan lebih sederhana, juga berbeda di akhirnya. Cerpen ini menjadi persoalan karena Edy Firmansyah “bisa-bisa dituduh plagiarisme”.

    Saut Situmorang (SS): Tanpa saya pasti tak ada orang termasuk Cep Subhan KM akan tahu akan “kemiripan” kedua cerpen ini. Terimakasih, Saut Situmorang! :p

    2. Di sisi lain, kita justru mendengar kedua orang tersebut selama ini justru riuh mengumumkan Laskar Pelangi sebagai karya plagiat dari Dua Belas Pasang Mata atas dasar kemiripan dalam poin-poin yang jauh dari spesifik, pun tanpa pembuktian.

    SS: “Selama ini riuh mengumumkan”! Kok gak disebutkan di mana “selama ini” itu terjadi “keriuhan” itu?! Bukankah Cep Subhan KM nampaknya kayak begitu memberhalakan “pembuktian”! Setahu saya, klaim atas plagiarisme Andrea Hirata itu cumak secara selintas dinyatakan dalam salah satu posting di situs boemipoetra dan dalam komentar yang mengomentari satu Status Facebook Edy Firmasyah! Kayaknya Cep Subhan KM yang hobi ngutip KBBI itu harus mencek dulu apa arti “selama ini”, “mengumumkan” dan “riuh” di situ :p

    3. Dalam salah satu komentar di twitter pada 12 Februari 2022 ketika mengomentari cuitan saya yang membagikan tulisan “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat”, Saut Situmorang mengatakan bahwa “bukankah yang dimaksud dengan plagiarisme itu adalah adanya PERSAMAAN antara dua karya?!”

    Definisi seperti itu gegabah karena memakai tolok ukur sangat umum sebagaimana sudah saya jelaskan dalam tulisan “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” terkait komentar Farah di Goodreads.

    SS: Ada dusta di sini! Kenapa cumak mengutip ““bukankah yang dimaksud dengan plagiarisme itu adalah adanya PERSAMAAN antara dua karya?!”?! Apa cumak itu yang saya katakan di komentar Twitter yang gak berani dijawab langsung oleh Xep Subhan KM itu?! Bukankah di tulisannya yang sedang saya komentari ini dia ada jugak menyertakan screenshot dari komentar saya itu lantas kenapa TIDAK mengutip keseluruhan komentar tersebut?!

    Biar saya bantu si Subhan KM ini untuk mengingatnya: “Buktinya setelah dikasih tahu tentang beberapa Persamaan antara novel Jepang tsb dan novel Andrea Hirata, kau masih tereak-tereak bingung! Bukankah yang dimaksud dengan plagiarisme itu adalah adanya PERSAMAAN antara dua karya?!”

    Memenggal-menggal kutipan begini kayaknya memang ciri khas tulisan Cep Subhan KM. Dan dia selalu dengan riuh mengulang-ulang frase “tanpa pembuktian” tanpa jugak membuktikannya!

    Dari komentar saya di atas ada tertulis “setelah dikasih tahu tentang beberapa Persamaan antara novel Jepang tsb dan novel Andrea Hirata”, berarti ada PEMBUKTIAN. Kalok pembuktian tersebut dianggap tidak layak, lha itu urusan Subhan sendiri! Tapi kenyataannya dalam tulisan dia yang berjudul horor “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” pun dia impoten untuk menunjukkan apa definisi “plagiat” itu! Dia cumak mampu merepet mengatakan bahwa “belum ada pembuktian”!

    Kalok dalam konteks Komentar Atas Status Edy Firmansyah itu saya dituntut untuk membuktikan plagiarisme Andrea Hirata itu kayak tulisannya yang panjang ini maka itu adalah tuntutan orang sinting! Mosok komentar Facebook harus berbentuk esei panjang, ckckck…

    Paling tidak, pernyataan saya bahwa Andrea Hirata telah melakukan plagiarisme berdasarkan atas “beberapa Persamaan antara novel Jepang tsb dan novel Andrea Hirata” tidak bisa dibuktikan sebaliknya oleh Cep Subhan KM!

    Paling tidak lagi saya tidak jadi seorang snob yang belagak menista Wikipedia padahal belum mampu menulis sebagus entri Wikipedia yang secara snobis dia kategorikan: “Namun seperti saya selalu katakan, tudingan plagiat bukan tudingan remeh sehingga sangat tidak sahih mendasarkan tudingan tersebut pada satu definisi gegabah semacam itu, sama gegabahnya dengan kecenderungan snobisme mencari definisi plagiat dari sumber instan ensiklopedi gratis Wikipedia tanpa mau bertekun-tekun membaca berbagai literatur kredibel: satu pertanda kemalasan yang merupakan musuh bebuyutan inteligensia.”

    Kalok Wikipedia itu tidak gratis maka akan baguslah dia di mata Subhan KM! Kembali dia impoten untuk MEMBUKTIKAN sendiri di mana jeleknya entri Wikipedia berbahasa Inggris itu! Apa isinya hoax? Apa mutu tulisannya di bawah tulisan Subhan KM?

    Membuat klaim asal-asalan yang jadi ciri khas tulisan Cep Subhan KM adalah “satu pertanda kemalasan yang merupakan musuh bebuyutan inteligensia”!

    4. Subhan KM menulis “Saya tentu tidak tahu pasti mengapa Saut Situmorang yang menjadi pembicara membedah—sehingga saya yakin dia sudah membaca—karya tersebut tidak banyak berbicara perihal karya tersebut terkait kemiripannya dengan cerpen Iksaka Banu.” Sebelumnya di awal tulisannya dia mengatakan “Dalam sesi diskusi buku antologi cerpen Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon karya Edy Firmansyah yang bertempat di Komunitas Kutub pada 9 Oktober 2021, Saut Situmorang sebagai salah satu pembicara sempat membandingkan secara ringkas kemiripan cerpen “Vanisse Meertruida dari Zoutlanden” dengan cerpen “Selamat Tinggal Hindia” karya Iksaka Banu. Saut Situmorang memberikan komentar bahwa kedua cerpen itu memang “mirip sekali” di alurnya tetapi cerpen Edy lebih pendek dan lebih sederhana, juga berbeda di akhirnya. Cerpen ini menjadi persoalan karena Edy Firmansyah “bisa-bisa dituduh plagiarisme””.

    SS: Bukankah aneh kedua kalimatnya ini! Katanya saya “tidak banyak berbicara” padahal saya “membandingkan secara ringkas kemiripan” kedua cerpen, saya “memberikan komentar” atas kemiripan kedua cerpen, dan bahkan saya berkata “Edy Firmansyah “bisa-bisa dituduh plagiarisme””! Apakah Subhan KM jugak berharap bahwa saya akan berbicara tentang kemiripan kedua cerpen itu kayak dia menuliskannya di tulisannya yang sedang saya komentari ini?! Apakah yang saya katakan tentang kedua cerpen itu tidak cukup dalam konteks diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Edy Firmansyah yang bukan saya saja pembicaranya itu?! Malkan Junaidi benar waktu mengatakan bahwa Cep Subhan KM punya masalah besar dalam fokus! Ketidakmampuannya fokus pada apa yang sedang jadi isu pembicaraan adalah ciri khas lainnya yang membuat meladeninya sebenarnya cumak sebuah peristiwa buang waktu secara sia-sia belaka.

    Komentar-komentar saya di Twitter atas tulisannya yang berjudul “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” itu, misalnya, tidak (berani) dijawabnya tapi dia terus merepet di Instagram yang dikuncinya “private”. Permintaan saya untuk jadi followernya pun agar saya bisa menjawab tidak diladeninya sampai hari ini. Belum lagi dia menjawab komentar-komentar saya atas tulisan pertamanya yang ngajak ribut saya, Edy Firmansyah dan Sunlie Thomas Alexander itu eh dia bikin tulisan baru lagi yang isinya mengulang-ulang apa yang dia sendiri tidak berani jawab langsung! Dia katain kami “snobis” karena mengklaim novel Andrea Hirata merupakan plagiarisme dengan bukti adanya “beberapa Persamaan antara novel Jepang (Duabelas Pasang Mata) dan novel Andrea Hirata (Laskar Pelangi)” padahal dia sendiri yang begitu snobis menyatakan “sama gegabahnya dengan kecenderungan snobisme mencari definisi plagiat dari sumber instan ensiklopedi gratis Wikipedia tanpa mau bertekun-tekun membaca berbagai literatur kredibel: satu pertanda kemalasan yang merupakan musuh bebuyutan inteligensia.” Apa dia memang mengerti apa arti sebenarnya dari “snobisme” yang dipakek dalam judul tulisan pertamanya yang buruk itu dan yang terus menerus dia pakek untuk mengatain orang lain?! Padahal kalok kita baca tulisan-tulisannya isinya pun cumak kutipan-kutipan singkat out of context dan tidak dielaborasi yang membuatnya sangat jauh di bawah standar entri Wikipedia berbahasa Inggris itu! Terakhir, mengharapkan orang menulis Komentar Status Facebook kayak menulis esei sementara dia sendiri terlalu pengecut untuk membalas komentar di akun Twitternya adalah sebuah pretensi intelektual yang dibungkus dengan snobisme mahasiswa tingkat satu untuk menutupi impotensi intelektual sendiri!

    -Saut Situmorang

  • Dari Denny JA Ke Cep Subhan KM

    Dalam psikoanalisis Sigmund Freud ada istilah “fixation” yaitu sebuah konsep yang memiliki arti bahwa ada sebuah relasi-objek yang bersifat keterikatan terhadap orang ato benda yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Fixasi yang merupakan neurosis ini bersifat incest dan menurut Freud salah satu penyebabnya adalah tidak terjadinya pemuasan yang tepat dalam perkembangan salah satu tahap psikosexual.

    Pathologi ini bisa terwujud dalam kebiasaan melihat diri sendiri sebagai superior atas orang lain, menganggap diri sendiri jauh melampau orang lain dan unik.
    Ini membuat aku jadi teringat akan dua personalitas yang sedang bertualang di Sastra Indonesia saat ini yaitu Denny JA dan Cep Subhan KM. Denny JA mungkin udah sangat terkenal dengan narcissistic personality disorder-nya itu tapi Cep Subhan KM yang mengaku sebagai “a proud Freudian” itu sebenarnya jugak sama neurosisnya. Kita bisa liat ini misalnya dalam fixasinya atas judul-judul tulisan yang sensasional dan atas kata-kata tertentu kayak “snobisme” dan “plagiat”. Judul-judul tulisannya yang rata-rata terkesan penuh horor itu jadi kayak click-bait aja waktu kita temukan di internet, menggoda kita untuk mengkliknya. Bagi yang bernasib sial yang melakukannya maka akan mengalami sebuah peristiwa kekecewaan s/textual begitu akut yang membuat ingin menghancurkan monitor di mana tulisan tersebut dibaca. Isi tulisan selalu gagal untuk memuaskan rangsangan s/textual yang awalnya ditimbulkan oleh judul-judul tersebut. Fetishisme Judul Sensasional ini bukankah sangat mirip dengan yang selalu dilakukan Denny JA dan para dayang-dayangnya itu.

    -Saut Situmorang

  • Ketika saya mengerjakan Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon ada setidaknya empat buku pijakan, yaitu: Semua Untuk Hindia, Teh dan Pengkhianat, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, dan What We Talk About When Talk About Love. Semuanya buku kumpulan cerpen. Dua buku pertama karya Iksaka Banu, berikutnya karya Idrus, sedangkan yang terakhir karya Raymond Carver yang diterjemahkan Dea Anugrah dan Nurul Hanafi.

    Saya terpesona terutama pada dua buku kumpulan cerpen Iksaka Banu karena menurut saya cerpen-cerpen itu bagus. Kemudian saya berinisiatif untuk menggunakannya dalam konteks latar Madura sebagai sebuah percobaan. Karena itu di banyak kesempatan, bahkan saat dibedah di Manifesco pun, saya mengatakan bahwa dua buku cerpen Iksaka Banu, tidak bisa tidak menjadi pengaruh dari Yasima. Saya berutang banyak pada buku-buku cerpen itu. Tentu saja dalam sebuah percobaan ada dua hal yang harus dihadapi; gagal dan berhasil. Karena saya tahu, pekerjaan seni, dalam hal ini menulis fiksi, bukan pekerjaan sekali jadi. Dikirim dan dimuat di media juga tidak otomatis sebuah karya fiksi jadi berhasil. Juga bertahun-tahun menulis tidak bisa serta merta menjadikan seseorang jadi hebat. Terlalu berlebihan saya kira jika standarnya hanya karena dimuat di media jadi hebat. Saya belum sampai ke taraf itu. Bahkan mungkin tidak akan mencapainya. Meski saya senang melakukan percobaan.

    Faktanya, ketika buku tersebut dibahas Saut Situmorang dalam acara diskusi yang digagas penerbit Cantrik Pustaka dan Komunitas Kutub dan pada 9 Oktober 2021, yang berlangsung selama lebih dari dua jam bertempat di Komunitas Kutub itu saya jadi paham bahwa apa yang saya kerjakan jauh dari berhasil. Upaya untuk tidak hanya melakukan “peminjaman” langsung atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya (dalam konteks ini Iksaka Banu) bahkan membuat distorsi atas Semua Untuk Hindia juga tidak berhasil. Banyak lobang, seperti yang diutarakan Saut Situmorang dalam bedah buku itu, mulai dari lemahnya karakter cerita, ringkasnya alur, dan hal-hal teknis lainnya. Dari kelebihan dan kelemahan yang ditunjukkan baik Saut Situmorang maupun Bernando J. Sujipto dalam acara tersebut yang bisa ditonton di youtube, kelemahan buku itu jauh lebih banyak dari kelebihannya. Apakah saya kecewa? Tidak. Sebaliknya saya berterima kasih atas pembedahan itu. Bahwa tidak mudah membuat fiksi realis dengan latar sejarah sebagaimana telah dibahas panjang lebar di pembahasan itu saya terima kok.

    Kalau kemudian Cep Subhan KM menuliskan ulang kelemahan-kelemahan dari buku itu, dengan penambahan detail di sana-sini dalam tulisannya yang berjudul “Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain” saya juga tidak jatuh kagum. Bukankah Saut Situmorang dan Bernando J. Sujipto yang sudah memaparkannya lebih dulu dan bisa ditonton secara publik? Bedanya Cep hanya menjelaskan dalam teks. Dan tidak ada hal baru yang ditawarkan tulisannya setelah acara bedah buku dan dia menonton dan menyimaknya. Malah kesannya tulisan Cep Subhan KM ini justru plagiat dari isi bedah buku tersebut.

    Berikutnya, apa yang dibahas Cep Subhan KM dalam tulisan itu justru muncul setelah tulisannya berjudul “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” dan saya telah memberikan jawabannya. Ada apa? Bukankah persoalan itu tidak sepenuhnya selesai dan mendapatkan tanggapan yang memadai? Seolah-olah ada upaya mengalihkan isu dari topik yang dibahas dalam “Snobisme, Laskar Pelangis, dan Tudingan Plagiat”. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan muncul seandainya, Cep Subhan KM menulis tulisan ini, dua hari setelah acara diskusi itu berlangsung, misalnya. Kenapa baru melakukannya sekarang, yang justru membuatnya terkesan penuh selubung kelicikan pasca tulisannya berjudul “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” direspon?

    Lagipula, kalau memang Cep Subhan KM setia pada apa yang ditulisnya di tulisannya yang berjudul Saya dan TS. Eliot Setelah Barthes (https://becik.id/saya-dan-t-s-eliot-setelah-barthes/), yang mengatakan setelah Barthes lenyaplah tradisi penulis menjelaskan karyanya, kalaupun tradisi semacam itu memang pernah ada. Penulis “mati” usai karyanya direngkuh “lirikan” pembaca. Penulis yang kekeh mengatakan bahwa “karyaku ini berbicara tentang…, karyaku ini adalah turunan dari…” tampak sebagai adiluhung yang menganggap pembaca sebagai bocah-bocah TK, bukankah saya sebenarnya tak lagi punya tanggung jawab tekstual-historis untuk menjawabnya, kecuali saya menganggap pembaca sebagai bocah-bocah TK. Tentu saja saya tidak ingin menjadikan pembaca bocah-bocah TK.

    Namun, meski Cep Subhan KM menulis soal Barthes, herannya ketika ada pembaca yang mengklaim Laskar Pelangi itu plagiarism mengapa buru-buru membelanya? Kini ia memainkan isu lain seolah-olah apa yang dipermasalahkan dalam “Snobisme, Laskar Pelangi, dan Tudingan Plagiat” telah selesai.

    Dan seperti biasanya Cep Subhan KM kembali membuat judul sensasional seperti sebelumnya, seperti judul click bait koran kuning di internet, berjudul “Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain” seolah-olah saya telah melakukan hal itu, bukan sebagai sebuah percobaan sebagaimana tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya yang disebut pengaruh. Meski percobaan itu, dalam diskusi peluncuran buku tersebut, Saut Situmorang dan Bernando J. Sujipto telah membeberkan banyak kelemahannya. Ya, apa boleh buat, melakukan percobaan memang mengandung resiko gagal. Dan saya menempuhnya.

    • Sebenarnya yang melakukan salin tempel itu kan dia sendiri, Edy! Cep Subhan KM salin tempel apa yang aku katakan dalam bedah buku kumpulan cerpenmu itu di Jogja, tanpa ada orisinalitas sedikitpun. Cumak judul tulisannya aja yang dia seram-seramkan kayak judul film horor murahan sebagai pancingan click-bait untuk menjerat pembaca! LOL 😀 Minimum cerpenmu itu ada usaha kreatif untuk memindahkan setting cerita ke Madura dan beberapa usaha intertekstual lainnya. Dan yang paling penting kau sendiri mengakui di acara tersebut bahwa kau memang dipengaruhi oleh cerpen-cerpen Iksaka Banu! Beda dari si Subhan KM yang udah salin tempel apa yang aku katakan eh malah purak-purak sok mempertanyakan apa yang dia salin tempel itu. Ciri khas penulis medioker yang obskur!

    • Bahasan antara snobisme dan plagiarisme yang mengaitkan “Laskar Pelangi” bukan muncul karena tulisan Mas Cep Subhan, melainkan karena Mas Edy Firmansyah dan mereka yang menguatkan pendapatnya, tidak menunjukkan bukti-bukti yang kuat secara tekstual maupun interteks. Saya rasa tidak ada yang buru-buru membela, justru yang ada ialah buru-buru menuduh. Kalaupun ada yang buru-buru membela, sesungguhnya sosok itu adalah orang-orang yang menguatkan pernyataan Mas Edy Firmansyah. ✌️

  • Kalau memang plagiat ya akui plagiat. Mana ada maling ngaku? Da

  • Hahaha. Snobis : org yg suka meremehkan orang lain. Maling teriak maling. Mana ada maling ngaku? Kalau ada penjara penuh. Nuduh orang lain plagiat tak terbukti. Dirinya sendiri plagiat. Dan orang disini yang seorang sastrawan besar tanpa disebutkan namanya. Membela si plagiator itu sendiri hny krn hubungan kekariban dan pertemanan d fb (lihat di komentar postingan fb nya). Hahahaha plagiat gak mengaku. Kalo 1x aja salin tempel itu sih bolehlah dikatakan inspirasi. Tp berkali2. Masih saja membela diri dengan bernada merendah. Baca blognya saja yg telah di hapus. Dimuat di kompas. Seakan2 telah dimuat kompas nasional. Ditelusuri tidak ada. Hanya ada telah dimuat di kompas jatim. Seolah2 dimanipulasi bahasanya pernah dimuat kompas nasional. Memang dr blognya yg telah dihapus. Orangnya si plagiator arogan. Level2an dan suka merendahkan orang lain hny krn dimuat kemudian minta diakui seorang hebat dan minta diapresiasi. Riya. Plagiator ke laut aja.

  • Arogan, songong dan elitis tuh si plagiat salin tempel. Saya mantan teman sefakultas di unej. Jika dimuat selalu minta diapresiasi dan sombong. Kata temen2 suka hutang. Jika ditagih pa melupa lantas nomor hapenya gonta ganti. Saya salut atas blog ini bisa membongkar praktik plagiat. Dulu sy dihutangi saya doakan agar kena plagiat memalukan. Alhamdulilah terkabul. Doa terzalimi. Pelajaran buat penulis jangan songong, elitis dan merendahkan apalagi mendzalimi jika hanya berhasil dimuat di media. Terus bongkar praktik plagiat bang subhan. Salut

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.