Rubaiyat Rumi Setelah Puisi Tak Agung Lagi

Kehidupan itu singkat, seni itu panjang umurnya.

Hippokrates – Aforisme-aforisme.

1

KITA cenderung mengenal Rubaiyat dengan rujukannya pada Umar Khayyam (1048-1131 M). Karya penyair sekaligus ilmuwan tersebut sudah lama kita kenal terjemahannya dalam bahasa Indonesia melalui tangan Hartojo Andangdjaja, penyair yang juga menerjemahkan versi prosa masterpis Fariduddin Attar, Mantiquttair, Musyawarah Burung.

Terjemahan Rubaiyat yang Hartojo lakukan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris. Penerjemah Inggris, Fitzgerald, adalah penyair yang justru terkenal karena terjemahan rubaiyat itu, hal mana kemudian juga menjadikannya memiliki semacam obsesi sehingga kita bisa menemukan tiga versinya yang satu sama lain memiliki perbedaan: versi edisi pertama (1859), edisi kedua (1868), dan edisi kelima (1889).

Meski demikian, sebenarnya bentuk rubai sudahlah lama dikenal oleh para pujangga lokal. Rubaiyat, berdasar pada kamus sastra anggitan Abdul Rozak Zaidan, disebut sebagai kumpulan rubai, sedang rubai itu sendiri adalah “kuatrin Melayu Lama yang bentuknya berasal dari Arab”. Sebenarnya dalam sastra Arab sendiri dikenal istilah yang muradif dengan rubai, yakni dubayt. Du berasal dari bahasa Persia yang bermakna dua, dan bayt bermakna larik.

Dengan istilah rubai-lah kita bisa menemukan contohnya dalam antologi Puisi Lama susunan Sutan Takdir:

Subhanahu Allah apa hal segala manusia,

Yang tubuhnya dalam tanah jadi duli yang sia,

Tanah itu kujadikan tubuhnya kemudian,

Yang ada dahulu padanya terlalu mulia.

Jika melihat pada komposisi rubai di atas, kita bisa tahu bahwa ia menggunakan komposisi aaba, atau lebih tepatnya larik ketiga memiliki kebebasan untuk memiliki matra berbeda dari tiga larik yang lain. Maka bait-bait rubaiyat bisa saja berkomposisi aaba aaba aaba ataupun komposisi lain, misalnya aaba aaca aada.

Meskipun demikian, skema rima rubai dalam bahasa Arab sendiri dimungkinkan berupa aaaa. Adapun dalam versi terjemahan Rubaiyat Umar Khayyam yang Hartojo Andangdjaja lakukan, skema rima yang dipakai adalah aaba, skema rima yang sama dengan yang kita temukan dalam terjemahan bahasa Inggris Fitzgerald.

Dalam bahasa Indonesia, penciptaan puisi dalam bentuk rubai bukan monopoli sastra lama, meski bentuk ini bukan bentuk yang populer lagi kini. Kita masih bisa menemukannya ditulis oleh satu dua penyair modern kita, misalnya pada karya penyair Hamdy Salad, Rubaiyyat Sebiji Sawi (2004). Di dalamnya kita bisa menemukan puisi-puisi Indonesia yang disusun dengan komposisi empat baris dengan skema rima yang beragam: abab, aaaa, aabb,ataupun aaba.

Sementara dalam salah satu puisi Goenawan Mohamad, kita juga menemukan baris seperti ini:

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat

Di luar detik dan kereta berangkat

Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata

Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba.

“Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (1966)

Goenawan Mohamad menggunakan diksi Rubayyat (dengan huruf miring dan R besar), kita tak mendapatkan petunjuk apapun ke manakah diksi rubayyat itu menuju—misalnya apakah ia merujuk pada rubaiyat Umar Khayyam ataukah Rumi, ataukah yang lain, ataukah bahkan puisi itu sendiri: “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” tersusun dari tiga bait, per baitnya berbentuk kuatren dengan skema rima yang mengingatkan pada skema rima rubaiyat, aabb, ccbb, dan bbbb.

Atau mungkin ke manakah diksi Rubayyat itu merujuk tidaklah penting. Yang hadir menemui kita adalah informasi tentang rubaiyat yang dinyanyikan dalam iringan piano, ia berbait-bait, tapi bahkan sebelum bait pertama usai, kereta—sebagai simbol perpisahan—sudah mengisyaratkan kepergian.

Rubayyat di sana mungkin merujuk pada sesuatu yang klasik dan menahan kepergian: bentuk rubaiyat konon lahir sekitar abad kesebelas di Khurasan, meski ada juga yang menisbatkan penemuannya pada penyair Rudaki yang hidup pada tahun 858-941 M. Hal itu bisa jadi juga sekaligus merupakan isyarat tentang sesuatu yang sementara, seperti baris-baris rubaiyat yang pasti memiliki ujung, dan justru karena kesementaraan itulah kita harus pergi.

Apa yang kemudian mungkin penting untuk dicatat adalah ini: kesementaraan itu bukan merupakan lawan dari kekekalan, karena sebuah memori sering kali memiliki nilai untuk suatu saat dikunjungi kembali, seperti rubaiyat, seperti puisi.

2

Rumi menganggit Rubaiyatnya pada zaman ketika puisi masih merupakan sesuatu yang spesial dan hanya segelintir orang yang menuliskannya. Dengan kata lain, ia menulis puisi pada zaman yang berbeda jauh dengan sekarang ketika–sebagaimana Alexandra Petri ungkapkan dalam tulisan di The Washington Post di bawah tajuk “Is Poetry Dead”, 22 Januari 2013–“puisi dijadikan adat. Siapapun bisa menulisnya.”

Tampaknya yang dimaksud dengan institutionalized ‘dijadikan adat’ adalah perubahan status puisi dari sesuatu yang spesial dan hanya ditulis oleh segelintir orang spesial, menjadi sesuatu yang biasa dan bisa ditulis oleh siapa pun. Jelas bahwa kespesialan puisi sekarang sudah berbeda dengan zaman Rumi, tetapi kita boleh yakin puisi tak lantas mati hanya karena “siapa pun bisa menulisnya” sebagaimana juga tidak ada yang keliru dengan situasi itu. Dengan situasi sekarang, puisi tidak lantas menjadi tak penting, hanya saja kita memiliki sudut pandang yang berubah terhadap puisi, ada yang berubah dengan peranan puisi dalam kehidupan kita.

Menengok ke zaman yang lebih jauh lagi ke belakang, dari zaman Rumi, puisi biasa digunakan untuk tujuan-tujuan “ilmiah”. Pada zaman Yunani dan Romawi Kuno salah satu penggunaan puisi yang paling penting adalah untuk aspek didaktis, hal mana bisa kita temukan misalnya dalam Works and Days-nya Hesiod (antara 750 dan 650 SM) ataupun dalam On Facial Treatment for Ladies-nya Ovid (43 SM-17/18 M). Peran puisi semacam itu hanya dimungkinkan pada zaman ketika pandangan umum terhadap puisi memang mendukung pula, bahwa orang-orang memang mendekati puisi sebagai semacam sumber tuntunan, sebagai “kitab suci”.  

Itulah yang kemudian diterapkan juga pada zaman awal Islam, terutama didukung juga oleh posisi istimewa puisi di jazirah Arab pada zaman pra-Islam. Puisi digunakan untuk menyampaikan hal-hal baik, aspek retorika dalam puisi digunakan untuk menambah kemungkinan resepsi pembaca dalam satu garis lurus dengan keinginan si pengujar puisi. Rumi, yang hidup pada masa bangkitnya puisi Sufi dalam kesusasteraan Persia yang tradisinya sudah dirawat oleh Sanai (1080-1131/1141 M), Nizami (1130/1141-1209 M), dan Attar (sekitar 1145-1220 M), juga masih mengalami zaman yang senada dengan zaman puisi dalam kesusasteraan Arab Islam generasi awal.

Akan tetapi zaman kemudian berubah dan semua posisi itu sedikit demi sedikit diambil alih oleh bentuk teks lain yang dianggap bisa lebih efektif memberi kejelasan “apa yang ingin disampaikan”. Aspek retorika mungkin membantu “menyihir”, akan tetapi hal itu memberi efek buruk tersendiri: pembaca mungkin saja terpikat oleh puisi itu semata karena retorikanya, bukan karena setuju dengan makna yang disodorkan.

Dengan kata lain, keefektifan puisi sebagai sarana untuk tujuan didaktis lambat laun berkurang. Tentu ketidakefektifan itu bisa dibangkitkan kembali dengan mengurangi aspek retorikanya, terapi jika demikian lalu apa bedanya puisi dengan tulisan “ilmiah” dalam bentuk prosais?

Maka posisi puisi kemudian semakin berubah seiring semakin jelasnya perbedaan antara apa yang sastra dengan apa yang bukan-sastra. Puisi memisahkan diri dari sisi “ilmiah” dan memiliki imperiumnya sendiri. Puisi tetap sebagai puisi, ia tetap dinikmati, ia tak mati, tapi ia tak lagi memiliki posisi sebagai pemandu manusia.

Oleh karena adanya perbedaan posisi puisi pada zaman Rumi melahirkan Rubaiyat-nya dengan posisi puisi pada zaman sekarang, diniatkan atau tidak, kita tak mungkin memaksakan resepsi puisi Rumi sepenuhnya sama dengan pada saat ketika ia dilahirkan. Memandang puisi Rumi sebagai sumber tuntunan keagamaan memang merupakan satu pandangan yang bisa dikatakan sejalan dengan pandangan ketika puisi itu dilahirkan, tetapi pada zaman kiwari hal itu mestinya hanya dianggap sebagai salah satu opsi resepsi kita akan puisi tersebut. Mungkin saja ada banyak opsi yang lainnya yang tak bisa dipersalahkan dan tak perlu dipersoalkan.

Karena itulah kita kini menemukan gelombang besar kekaguman akan puisi Rumi di Barat, bukan hanya di kalangan Muslim melainkan juga di kalangan mereka yang tak menganut agama Islam. Orang-orang di luar Islam bisa mengakui pula bahwa mereka bisa menemukan “nilai baik” dari puisi Rumi, tanpa harus memeluk Islam. Hal semacam itu hampir tak mungkin terjadi jika pembatasan sudut pandang pemaknaan puisi Rumi dipaksakan.

Kekaguman itu, di satu sisi, juga dibantu oleh hadirnya saduran dan terjemahan-terjemahan Rubaiyat Rumi dalam bahasa Inggris. The Rubaiyat of Jalaluddin Rumi (1949) misalnya yang dilakukan oleh A.J. Arberry, Unseen Rain: Quatrains of Rumi (1986) yang dilakukan oleh John Moyne dan Coleman Barks, The Rubais of Rumi (2007) yang dilakukan oleh Nevit Oguz Ergin dan Will Johnson, dan terjemahan lengkap The Quatrains of Rumi (2008) yang dilakukan oleh Ibrahim W. Gamard dan A.G. Rawan Farhadi. Jumlah terjemahan Rubaiyat Rumi ke dalam bahasa Inggris itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan terjemahan ke dalam bahasa Arab yang misalnya dilakukan oleh Muhammad ‘Id Ibrahim dengan judul Ruba’iyyat Mawlana Jalaluddin Rumi (1998).

3

Arkian, Rubaiyat Rumi kini hadir sebagai sesuatu yang juga kiwari. Ia hadir dengan retorika yang membuat kita mau tak mau percaya bahwa puisi membawa nilai yang tak terbatas dan berbeda-beda bagi setiap individu. Dari pemahaman seperti itulah kemudian kita masuk ke dalam enigma tafsir, bahwa pemaknaan sebuah teks sastra bukan sesuatu yang bisa diseragamkan, ia sangat tergantung pada pembaca dengan segala kompleksitasnya.

Memang sebagian besar dari kita mungkin bisa menemukan aspek didaktis dengan mudah dalam rubaiyat Rumi, taruhlah misalnya dalam baris-baris ini:

Kau telah memahatkan gambarmu

Pada muka dunia,

Melupakan negeri yang jauh itu

Yang merupakan asal mula.  

Betapa mudah misalnya kita menangkap bahwa apa yang dimaksud dengan “negeri yang jauh” dalam larik di atas adalah negeri akhirat, dunia pasca-kematian. Penganut agama Islam misalnya akan mudah menyimpulkan bahwa larik-larik di atas berbanding lurus dengan ayat ke-77 dalam Alquran surat Al-Qashash yang dalam versi terjemahan M. Quraish Shihab berbunyi begini: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (yaitu) negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.

Namun tidak menutup kemungkinan larik-larik itu bisa memberikan “kenikmatan” pun ketika makna itu tak tertangkap karena satu dan lain hal: karena sang pembaca tak mengetahui konsep kehidupan pasca-kematian dalam Islam sebagaimana dirujuk oleh ayat Alquran di atas, misalnya, ataupun bahkan karena sang pembaca mengetahui konsep itu tetapi dia tak memercayainya.

Bagi pembaca semacam itu, tak ada gunanya memaksakan pemaknaan seperti di atas sebagaimana juga tak ada larangan baginya untuk membaca Rubaiyat Rumi. Pemaknaan sebuah teks sastra pada satu individu sering kali menakjubkan bagi individu yang lain karena bisa sampai pada titik-titik yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan mereka yang sama sekali tak sampai pada makna apa pun tetap saja dimungkinkan untuk menikmatinya, semisal menikmati skema rima abab-nya, ataupun menikmati diksi dan matra yang digunakan.  

Pada akhirnya, mudah kita lihat bahwa rubaiyat adalah puisi yang—sebagaimana soneta dalam bahasa Inggris dan pantun dalam bahasa Melayu—hampir tak mungkin dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan sepenuhnya setia pada bentuk asali. Skema rima mungkin masih bisa diusahakan, akan tetapi matra dan peraturan suku katanya hampir tak mungkin: peraturan matra dalam puisi Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan mendapat perhatian khusus. Peraturan semacam itu memang bisa kita temukan dalam puisi Jawa Kuno (kakawin) yang memang terpengaruh bahasa Sanskerta, akan tetapi dalam puisi Jawa Baru hal itu pun sudah tidak dipertahankan.

Seperti itu pulalah terjemahan Rubaiyat-Rubaiyat Rumi dalam Samudra Rubaiyat (Yogyakarta: Forum, 2018). Sebagai gantinya, apa yang kemudian lebih ditekankan adalah pendekatan ke arah maknanya, itu pun dalam batasan “makna sesuai pemahaman penerjemah”. Makna jenis itu mungkin tak sama dengan makna ketika Rubaiyat ini dianggit oleh Rumi, sebagaimana makna itu pun sangat mungkin berbeda dengan makna yang dihasilkan khayalak seusai pembacaan. Apa boleh buat, makna adalah Buchepalus yang garang dan liar dan kita sebagai pembaca puisi tak pernah mampu menjadi Iskandar Agung yang mampu membuatnya tak menatap bayangnya sendiri.

Pengorbanan bentuk seperti itu mungkin bisa dihargai sebagai semacam upaya untuk ikut mengekalkan Rubaiyat Rumi yang masa kelahirannya terentang sepanjang berbilang abad dari zaman kiwari. Dengannya semoga Rubaiyat-rubaiyat Rumi masih bisa menemukan pembacanya kapan pun ia dibaca, sekarang ataupun pada masa yang akan datang.

*Disunting ulang dari pengantar Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesona Magis dan Rindu (Yogyakarta: Forum, 2018).

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.