…dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Chairil Anwar, “Aku Berkisar Antara Mereka”
1
Pertama-tama, mari kita merunut asal-usul persoalan yang akan tulisan ini angkat. Hari Jumat tanggal 23 Desember pukul 08.11 am penulis mengunggah stori Instagram tentang “Puisi Ibu” yang menurut beberapa media daring merupakan karya Chairil Anwar. Hari yang sama pukul 07.19 pm Muhammad Nanda Fauzan mengomentari stori tersebut. Kami saling berbalas beberapa pesan terkait media, “Puisi Ibu”, dan Chairil Anwar.
Hari Selasa tanggal 27 Desember pukul tujuh malam, penulis baru tahu kalau pada hari Jumat tanggal 23 Desember pukul 07.27 pm Muhammad Nanda Fauzan mengetwit mempertanyakan perihal pemuatan “Puisi Ibu” tersebut di Tirto dengan me-mention akun @TirtoID.
Selepas itu penulis mengecek unggahan Tirto.id tempat sebelumnya membaca “Puisi Ibu”.
Unggahan dipublikasikan pertama kali tanggal 22 Desember 2021 pukul 04.30 WIB dengan kontributor tulisan atau penulis Syamsul Dwi Maarif dan editor Addi M Idhom. Pada saat penulis mengecek ulang unggahan tersebut tanggal 27 Desember, ada tambahan “Catatan Redaksi” sebagai berikut:
Puisi “Ibu” yang disebut sebagai karya Chairil Anwar dan disertakan dalam artikel ini dikutip dari tulisan Dian Anggraini berjudul “Wanita Istimewa: Kajian Intertekstual terhadap Puisi-Puisi Tentang Ibu” dalam Jurnal Sirok Bastra (Volume 5, Nomor 2, Edisi Desember 2017, hlm. 174) terbitan Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI.
Puisi yang sama juga ditampilkan akun resmi Twitter Perpustakaan Ķemendikbudristek dalam unggahan terkait peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 2022.
Redaksi sangat terbuka untuk menerima koreksi atau revisi apabila referensi yang digunakan dalam tulisan ini terbukti dinyatakan keliru/tidak tepat. Redaksi mengucapkan terima kasih dan memohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
“Catatan Redaksi” awal
Selepas membaca “Catatan Redaksi”, penulis sempat beberapa kali membalas twit Muhammad Nanda Fauzan. Saat itu penulis menduga bahwa dengan menanggapi berupa “Catatan Redaksi” yang menjelaskan sumber rujukan sekaligus menunjukkan pihak lain yang juga memajang puisi tersebut alih-alih menghapus “Puisi Ibu”, bisa jadi Redaksi Tirto menganggap rujukan tersebut kredibel dan sekadar stori akun Instagram dengan umat hanya 1.484 tidak mengubah kredibilitasnya.
Hari Rabu tanggal 28 Desember, 1:51 am, akun @muntahanpikiran membalas twit penulis dan Muhammad Nanda Fauzan sebagai berikut:
Dalam “Catatan Redaksi”, disebutkan bahwa “redaksi sangat terbuka untuk menerima koreksi atau revisi apabila referensi yang digunakan dalam tulisan ini terbukti dinyatakan keliru/tidak tepat”. Sore hari tanggal 28 Desember 2022 menjelang pukul 4 pm, akhirnya unggahan tersebut berubah menjadi “3 Contoh Puisi untuk Peringatan Hari Ibu Karya Penyair Indonesia”. “Puisi Ibu” karya Chairil Anwar dihapus dan “Catatan Redaksi” menjadi sebagai berikut:
Judul dan sebagian isi artikel ini mengalami revisi pada 28 Desember 2022.
Sebelumnya artikel ini mencantumkan puisi berjudul “Ibu” yang disebut karya Chairil Anwar, berdasarkan tulisan Dian Anggraini berjudul “Wanita Istimewa: Kajian Intertekstual terhadap Puisi-Puisi Tentang Ibu” dalam Jurnal Sirok Bastra (Volume 5, Nomor 2, Edisi Desember 2017, hlm. 174) terbitan Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung. Namun, ada keraguan yang menyimpulkan bahwa puisi ini bukan karya Chairil Anwar.
Redaksi berterima kasih atas pihak-pihak yang telah memberikan masukan dan meminta maaf untuk hal ini.
“Catatan Redaksi” pascarevisi
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperpanjang soal meski penulis memang sempat merasa heran atas perlakuan Tirto yang berbeda terhadap dua unggahannya yang sama-sama memuat “Puisi Ibu” Chairil Anwar. Tirto memuat juga “Puisi Ibu karya Chairil Anwar” dalam unggahan lebih baru untuk menyambut Hari Ibu tahun ini berjudul “Contoh Puisi Hari Ibu yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna” yang diunggah pada 14 Desember 2022, 11:40 WIB. Saat penulis mengetahui twit Muhammad Nanda Fauzan, unggahan tersebut telah direvisi dan “Puisi Ibu” telah dihapus tetapi masih terdeteksi oleh pencarian Google. Terdapat juga tambahan catatan:
“Redaksi telah melakukan sedikit perubahan judul dan sebagian isi pada tulisan ini karena ditemukan dugaan kekeliruan dari referensi yang digunakan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”
Sementara pada unggahan yang menjadi objek stori Instagram penulis, “Puisi Ibu” dipertahankan dan redaksi memilih menulis penjelasan panjang. Butuh beberapa komentar tambahan dari penulis di Twitter dan beberapa kawan meretwitnya sebelum “redaksi di level manajerial” memutuskan merevisi unggahan terkait dan menghapus “Puisi Ibu” Chairil Anwar.
Tulisan ini tidak lahir untuk mempertanyakan sikap awal berbeda terhadap dua kasus yang sama tersebut, toh pada akhirnya Tirto mengambil sikap yang sama untuk kedua kasus dan damai di bumi. Tulisan ini juga bukan tulisan khusus untuk Tirto, melainkan untuk semua pihak terkait.
Namun, argumen Tirto dalam “Catatan Redaksi” awal cukup menarik dan mungkin dianut pula oleh pihak-pihak lain. Oleh sebab itu, mau tidak mau argumen tersebut penulis bahas dengan cara yang semoga menjadikan tulisan ini cukup ilmiah dan cukup kredibel untuk menjadi dasar supaya kita semua tidak lagi berlambat-lambat mengambil sikap terkait “Puisi Ibu karya Chairil Anwar”.
2
Berikut selengkapnya “Puisi Ibu” yang menjadi pusat persoalan. Versi ini adalah versi yang sempat ditayangkan di Tirto.id:
Puisi Ibu Pernah aku di tegur Katanya untuk kebaikan Pernah aku dimarah Katanya membaiki kelemahan Pernah aku diminta membantu Katanya supaya aku pandai Ibu…. Pernah aku merajuk Katanya aku manja Pernah aku melawan Katanya akudegil Pernah aku menangis Katanya aku lemah Ibu…. Setiap kali aku tersilap Dia hukum aku dengan nasihat Setiap kali aku kecewa Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat Setiap kali aku dalam kesakitan Dia ubati dengan penawar dan semangat Dan bila aku mencapai kejayan Dia kata bersyukurlah pada Tuhan Namun….. Tidak pernah aku lihat air mata dukamu Mengalir di pipimu Begitu kuatnya dirimu…. Ibu….. Aku sayang padamu… Tuhanku…. Aku bermohon padaMu Sejahterahkanlah dia Selamanya…..
Sebagaimana sudah penulis singgung dalam stori Instagram, informasi bahwa “Puisi Ibu” merupakan karya Chairil Anwar bukan hanya disodorkan oleh Tirto.id. Ada sangat banyak media daring yang secara berjemaah menyodorkan informasi sama. Pada teks “Puisi Ibu” di satu dan lain media terkadang ada perbedaan tipografi yang tidak relevan terkait subjek tulisan ini, misalnya Tirto menulis “di tegur” sementara Kompas lebih taat aturan penulisan menggunakan diksi “ditegur”.
Sebagai gambaran, sepuluh di antara sekian banyak media daring yang menampilkan “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar adalah sebagai berikut:
- TribunJogja.com, “Momen Hari Ibu: Mendalami Makna Puisi Ibu karya Chairil Anwar”, 22 Desember 2022, 19:35 WIB
- Duniaanakindonesia.com, “Puisi Ibu karya Chairil Anwar yang menyentuh hati, Cocok untuk Merayakan Hari Ibu 2022”, 22 Desember 2022, 15:01 WIB
- Lampung.nu.or.id, “Menghormati Ibu Sebagai Sumber Kehidupan”, 22 Desember 2022, 10:46 WIB.
- Detik.com, “15 Puisi untuk Ibunda di Hari Ibu 2022, Lengkap dan Penuh Makna”, 21 Des 2022 11:30 WIB
- Jatengnews.id, “Kumpulan Puisi Hari Ibu yang Menyentuh Hati Karya Chairil Anwar Hingga Gus Mus untuk Hari Ibu”, 20/12/2022
- Kompas.com, “Puisi Ibu karya Chairil Anwar dan Maknanya”, 29/04/2022, 20:00 WIB
- Gramedia.com, “Review Berbagai Puisi Tentang Ibu Beserta Contohnya”, 8 Februari 2022, 08:45 am
- Tirto.id, “Contoh Puisi untuk Hari Ibu: Karya Gus Mus hingga Chairil Anwar”, 22 Desember 2021, 04:30 WIB. Sebagaimana sudah dijelaskan di bagian 1, saat tulisan ini tayang, unggahan tersebut sudah direvisi menjadi “3 Contoh Puisi untuk Peringatan Hari Ibu Karya Penyair Indonesia” dan “Puisi Ibu karya Chairil Anwar” sudah dihapus.
- JatimNetwork.com, “5 Puisi Tentang Ibu Salah Satunya Karya Chairil Anwar, Persembahan di Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021”, 18 Desember 2021, 10:47 WIB
- Websitependidikan.com, “Puisi Ibu Karya Chairil Anwar”, 01 April 2020
Selain media daring, ada banyak juga buku pelajaran sastra menyodorkan informasi yang sama. Berikut daftar buku yang melakukan hal tersebut secara kronologis penerbitan sejauh terlacak dalam pencarian di Internet:
- Denny Indria Ferawati, Lathifah Nur Mahmudah, Yulianawati, Nopi Anggita. Penciptaan Puisi: Langkah Tepat, Karya Indah. Guepedia, 2022.
- Elah Nurelah & Supriyadi. Tematik 6B Persatuan dalam Perbedaan Kurikulum 2013 Revisi 2018. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2021.
- Hari Wibowo. Apresiasi Sastra: Puisi, Prosa, dan Drama (Buku Pengayaan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia [SD]). Puri Cipta Media, 2020. Buku yang sama pada tahun 2019 diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan judul Mata Pelajaran Bahasa Indonesia: Apresiasi Puisi.
- Supriyanto. Pembelajaran Puisi, Apresiasi dari Dalam Kelas. Yogyakarta: Deepublish, 2020.
- Barbara Eni Priyanti. Ringkasan Materi dan Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 7 Kurikulum 2013. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2019.
- Emmy Herlina, dkk. Keindahan yang Paling Berharga. Jakarta: Rumah Media, 2018.
- Ajen Dianawati. Super Lengkap Peribahasa Indonesia Plus Puisi & Pantun untuk SD, SMP, SMA, & Umum. Jakarta: Wahyumedia, 2014.
- Muhammad Rohmadi, M.Hum. Mengenang dan Mengkaji Karya-Karya Chairil Anwar. Surakarta: Cakrawala Media, 2013.
Buku terakhir adalah buku yang sempat disebutkan dalam status Facebook sastrawan Binhad Nurrohmat pada 30 April 2022 pukul 03.58.
Buku yang sama juga disebutkan dalam status Facebook Budi P. Hutasuhut pada tanggal 30 April 2022 pukul 21.15.
Status tersebut kemudian dibagikan oleh Eka Kurniawan di Twitter pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 1:16 am.
Dengan mengatakan “sejauh terlacak dalam pencarian di Internet” maka penulis memaksudkan tidak menutup kemungkinan ada buku-buku cetak lain yang melakukan hal sama tetapi tidak penulis ketahui.
Selain media daring dan buku, terlacak juga artikel-artikel jurnal yang “menelaah Puisi Ibu karya Chairil Anwar” sebagai berikut:
- Angga Dwi Saputra dan Meilan Arsanti. “Nilai Religius dalam Puisi Ibu Karya Chairil Anwar”. Prosiding Senada (Seminar Nasional Daring) 04 Juli 2022, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bojonegoro.
- Monika Ayu Sari Br. Situmorang, Elsa Windasari Br. Purba, Meisy Sitanggang, dan Christin Agustina Purba. “Hubungan Penguasaan Unsur-Unsur Intrinsik Puisi terhadap Kemampuan Membaca Puisi Ibu Karya Chairil Anwar Siswa Kelas XI SMA Nila Harapan”. Vol. 5, No. 1, Juni 2022: 34-41, Jurnal Basataka (JBT) Universitas Balikpapan.
- Dian Anggraini. “Wanita Istimewa: Kajian Intertekstual Terhadap Puisi-Puisi tentang Ibu”. Vol. 5, No. 2, Desember 2017: 171-179. Jurnal Sirok Bastra. Artikel jurnal inilah yang menurut “Catatan Redaksi” dirujuk oleh Tirto ketika menurunkan tulisan yang memuat “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar.
Terakhir, popularitas “Puisi Ibu” yang tidak terbendung pun mendorong banyak pihak melakukan musikalisasi “Puisi Ibu karya Chairil Anwar” dan mengunggahnya di kanal Youtube. Siapa pun yang ingin membuktikan lakon tragikomedi akbar kontemporer dalam Sastra Indonesia ini bisa mencoba sendiri dengan mengetik kata kunci “puisi ibu chairil anwar” di kolom pencarian Youtube.
3
Sebelum menakar seberapa berharga “Catatan Redaksi” Tirto dan seberapa kredibel referensi yang dirujuk oleh artikel terkait di Tirto, mari kita jernihkan dulu bagaimana cara paling sederhana menentukan sebuah puisi merupakan karya Chairil Anwar atau bukan. Selain itu, untuk menghindari kemungkinan silat lidah ataupun selip lidah di belakang hari dari pihak-pihak yang berbahagia melanggengkan kekeliruan, mari kita perjelas bahwa baik penulis maupun pihak-pihak penyebar informasi “Puisi Ibu adalah karya Chairil Anwar” sama-sama merujukkan nama Chairil Anwar pada penyair yang lahir di Medan tanggal 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949.
Selama ini ada empat antologi puisi Chairil Anwar yang biasa dijadikan rujukan untuk penyusunan edisi lengkap: (1) Deru Campur Debu (1949) (DCD), (2) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949) (KT), (3) Tiga Menguak Takdir (1950) (TMT), dan (4) Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956; edisi paripurna edisi ketiga, 1968) (CAP). Sebelum penerbitan buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, kurator biasanya juga menggunakan buku Gema Tanah Air dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang sebagai rujukan.
Kini kita sudah memiliki 3 antologi yang bisa disebut sebagai antologi lengkap puisi Chairil Anwar: (1) Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949 (1986; cetakan ke-32, 2022), disunting oleh Pamusuk Eneste, (2) Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar (1996), disusun oleh Zaenal Hakim, dan (3) Derai-Derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (1999; cetakan ke-3, 2006).
Dengan demikian, cara paling sederhana untuk menentukan sebuah puisi merupakan puisi Chairil Anwar atau bukan adalah mengecek apakah puisi tersebut dikategorikan sebagai puisi Chairil Anwar dalam antologi-antologi yang sudah disebutkan di atas atau tidak. Berhubung kecerobohan menginformasikan “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar dilakukan secara berjemaah, maka baik kiranya jika pengecekan pun dilakukan berjemaah. Oleh sebab itu, berikut ini penulis sajikan daftar seluruh puisi asli Chairil Anwar sejauh yang bisa ditemukan arsipnya dengan berdasarkan pada antologi-antologi di atas:
No. | Judul | DCD | KT | TMT | CAP |
1942 | |||||
1 | Nisan | √ | |||
2 | Penghidupan | √ | |||
1943 | |||||
3 | Dipo Negoro | √ | |||
4 | Tak Sepadan | √ | |||
5 | Sia-sia | √ | √ | ||
6 | Ajakan | √ | |||
7 | Sendiri | √ | |||
8 | Pelarian | √ | |||
9 | Suara Malam | √ | |||
10 | Aku/Semangat | √ | √ | ||
11 | Hukum | √ | |||
12 | Taman | √ | |||
13 | Lagu Biasa | √ | |||
14 | Kupu Malam dan Biniku | √ | |||
15 | Penerimaan | √ | √ | ||
16 | Kesabaran | √ | √ | ||
17 | Perhitungan | √ | |||
18 | Kenangan | √ | √ | ||
19 | Rumahku | √ | √ | ||
20 | Hampa | √ | √ | ||
21 | Kawanku dan Aku | √ | √ | ||
22 | Bercerai | √ | |||
23 | Aku | √ | |||
24 | Cerita | √ | |||
25 | Di Mesjid | √ | √ | ||
26 | Selamat Tinggal | √ | √ | ||
27 | Mulutmu Mencubit di Mulutku | √ | |||
28 | Dendam | √ | |||
29 | Merdeka | √ | |||
30 | Kita Guyah Lemah | √ | |||
31 | Jangan Kita di Sini Berhenti | √ | |||
32 | 1943 | √ | |||
33 | Isa | √ | |||
34 | Doa | √ | |||
1944 | |||||
35 | Sajak Putih | √ | √ | ||
36 | Dalam Kereta | √ | |||
37 | Siap-Sedia | √ | |||
1945 | |||||
38 | Kepada Penyair Bohang | √ | |||
39 | Lagu Siul1Terdiri dari 4 bait, bait 2-4 sama dengan puisi No. 4 | √ | |||
40 | Malam | √ | |||
1946 | |||||
41 | Sebuah Kamar | √ | √ | ||
42 | Kepada Pelukis Affandi | √ | |||
43 | Dengan Mirat/Orang Berdua | √ | √ | ||
44 | Catetan Th. 1946 | √ | √ | √ | |
45 | Buat Album D.S. | √ | |||
46 | Nocturno | √ | √ | ||
47 | Cerita Buat Dien Tamaela | √ | √ | ||
48 | Kabar dari Laut | √ | |||
49 | Senja di Pelabuhan Kecil | √ | √ | ||
50 | Cintaku Jauh di Pulau | √ | √ | ||
51 | “Betina”-nya Affandi | √ | |||
52 | Situasi | √ | |||
53 | Dari Dia | √ | |||
54 | Kepada Kawan | √ | |||
55 | Pemberian Tahu | √ | |||
56 | Berpisah Dengan Mirat2Puisi ini belum dicantumkan dalam antologi puisi Chairil Anwar mana pun. Kisah penemuannya bisa dibaca dalam Burton Raffel, “A Lost Poem of Chairil Anwar”, Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 23:66, 154-159. Baca juga Hasan Aspahani, “Memastikan Sajak Chairil Anwar yang Hilang Itu” dalam Intisari (Juli 2022), hal. 94-105. Zaenal Hakim menyinggungnya juga dalam pengantar Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar (1996) tetapi tidak memuatnya dalam antologi puisi Chairil Anwar lengkap disertai tinjauan filologis itu dengan alasan belum diperoleh “data publikasi yang otentik”. Puisi ini dicantumkan di sini berdasarkan pertimbangan stile puisi terkait memiliki kemiripan dengan stile puisi Chairil Anwar yang lain dan mengandaikan ketulusan pemberi informasi keberadaan puisi tersebut. Versi lengkapnya sebagaimana disodorkan dalam tulisan Raffel adalah sebagai berikut: “Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan | lebih lekas dari pada biasa. Djam jang menatap | kami menggigil seperti kena malaria rupanja | Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3 djam untuk berhadapan || kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja | djadi alasan untuk bitjara ketika kereta api bahwa | aku madju bergerak, kulihat mukamu terpaling | Dan kau hilang……maka mulailah mesin dalam otakku || Menggeri meluar garis, derasa rasa hendak petjak | Penumpang2 lain djaga ikut dimakan njala dan | kering oleh hawa sebaran diriku……kudengar setan datang | Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat ganti dosa. | ||||
1947 | |||||
57 | Sorga | √ | |||
58 | Sajak Buat Basuki Resobowo | √ | |||
Dua Sajak Buat Basuki Resobowo3Gabungan dari puisi No. 57 dan 58 | √ | ||||
59 | Malam di Pegunungan | √ | |||
60 | Tuti Artic | √ | |||
1948 | |||||
61 | Persetujuan dengan Bung Karno | √ | √ | ||
62 | Sudah Dulu Lagi | √ | |||
63 | Ina Mia | √ | |||
64 | Perjurit Jaga Malam | √ | √ | ||
65 | Puncak | √ | |||
66 | Buat Gadis Rasid | √ | |||
67 | Selama Bulan Menyindari Dadanya | √ | |||
1949 | |||||
68 | Mirat Muda, Chairil Muda | √ | |||
69 | Buat Nyonya N | √ | |||
70 | Aku Berkisar di Antara Mereka | √ | |||
71 | Yang Terampas dan Yang Putus/Yang Terampas dan Yang Luput | √ | √ | √ | √ |
72 | Derai-Derai Cemara | √ | √ | √ | |
73 | Aku Berada Kembali | √ |
Pemeriksaan terhadap seluruh puisi tersebut menunjukkan bahwa “Puisi Ibu” sama sekali tidak tercantum dalam antologi-antologi puisi Chairil Anwar, bahkan sekadar baris yang mirip pun tidak ada. Dengan kata lain, kita sama sekali tidak memiliki dasar untuk meyakini bahwa “Puisi Ibu” merupakan karya Chairil Anwar.
Namun, demi kehati-hatian dan supaya tidak ada ruang sedikit pun untuk keragu-raguan, mari kita tinjau “Catatan Redaksi” awal Tirto yang bisa kita perlakukan sebagai argumen pembelaan atas penyampaian informasi bahwa “Puisi Ibu” merupakan karya Chairil Anwar. “Catatan Redaksi” tersebut memuat dua argumen.
Pertama, puisi dikutip dari tulisan Dian Anggraini berjudul “Wanita Istimewa: Kajian Intertekstual terhadap Puisi-Puisi Tentang Ibu” dalam Jurnal Sirok Bastra (Volume 5, Nomor 2, Edisi Desember 2017, hlm. 174) terbitan Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI.
Kedua, puisi ditampilkan akun resmi Twitter Perpustakaan Kemendikbudristek dalam unggahan terkait peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 2022.
Mari bersikap kritis dengan menghindari keyakinan malas bahwa “Puisi Ibu” pasti merupakan karya Chairil hanya karena tulisan kritik sastra dimuat dalam jurnal yang bernaung di bawah Kemdikbud RI dan akun resmi Twitter Perpustakaan Kemendikbudristek mengatakan demikian.
Dengan demikian, kita akan sadar bahwa argumen kedua pada dasarnya tidak memiliki guna apa pun. Mengapa demikian? Karena kita bisa memaklumi bahwa argumen pertama diajukan untuk menunjukkan bahwa tulisan Tirto memiliki rujukan kredibel, satu hal yang logis dari segi publikasi karena tulisan jurnal tersebut dipublikasikan tahun 2017, sementara tulisan terkait di Tirto dipublikasikan tahun 2021.
Namun, hal yang sama tidak bisa berlaku untuk argumen kedua, karena twit Perpustakaan Kemendikbudristek itu dipublikasikan tahun 2022, lebih belakangan daripada tulisan di Tirto. Maka satu-satunya alasan yang mungkin mengapa argumen kedua disertakan dalam “Catatan Redaksi” adalah untuk menekankan bahwa “karena dipublikasikan oleh akun resmi Twitter Perpustakaan Kemendikbudristek maka kredibilitas ‘Puisi Ibu’ sebagai puisi Chairil Anwar semakin kuat”.
Tentu sedikit mengejutkan jika memang media besar seperti Tirto bisa mengajukan argumentasi rapuh yang bersandar pada apa yang dalam Psikologi disebut sebagai authority bias seperti itu. Bisa jadi kesadaran yang terlambat akan hal itu pula yang membuat argumen kedua tersebut tidak dicantumkan dalam “Catatan Redaksi” pascarevisi dan penghapusan “Puisi Ibu karya Chairil Anwar”.
Akun resmi Twitter Perpustakaan Kemendikbudristek tidak dengan sendirinya menjamin adminnya memiliki pengetahuan mendalam terkait puisi Chairil Anwar. Kita tidak tahu sekadar nama admin tersebut sehingga tidak kita ketahui pula apakah admin tersebut merupakan ahli perihal Chairil Anwar, seorang kritikus genius, atau bahkan seorang filolog kampiun. Selain itu, jika mempertimbangkan publikasi twit admin yang lebih belakangan daripada publikasi tulisan di Tirto, tidak tertutup kemungkinan sang admin justru mendapatkan informasi tentang “Puisi Ibu” dan Chairil Anwar itu dari Tirto.id.
Berhubung argumen kedua “Catatan Redaksi” itu tidak membuktikan apa pun terkait relasi “Puisi Ibu” dengan Chairil Anwar, mari beralih ke argumen pertama yang sepintas tampak lebih meyakinkan.
Tulisan kritik sastra Dian Anggraini yang dipublikasikan di jurnal merupakan kajian intertekstual 5 puisi Indonesia yang disebutkan ditulis oleh 5 penyair terkenal: Amir Hamzah, Chairil Anwar, Wiji Thukul, Emha Ainun Najib, dan K.H. Mustofa Bisri. Puisi yang disebut merupakan karya Chairil Anwar adalah “Puisi Ibu”, dibahas pada halaman 174-175. Yang menjadi pertanyaan penting terkait pembahasan kita adalah dari mana Dian Anggraini mengutip puisi tersebut?
Tulisan Dian Anggraini tidak mencantumkan satu pun antologi puisi Chairil Anwar di Daftar Pustaka. Tulisan mencantumkan 8 referensi terdiri dari 6 buku teori sastra, Alquran dan terjemahannya, dan 1 tautan berjudul “Puisi Penyair Indonesia”. Dari segi penggunaan referensi, tulisan jurnal yang dimaksudkan sebagai kritik sastra akademis tersebut memiliki cacat yang menunjukkan sikap kurang cermat:
- Di halaman 172, ada rujukan ke Moleong, Teeuw dan Noth, 3 nama yang tidak kita temukan di Daftar Pustaka. Moleong yang dimaksud mungkin Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A. dan buku yang dirujuk tampaknya Metode Penelitian Kualitatif. Teeuw sudah jelas A. Teeuw dan bukunya yang dirujuk Sastra dan Ilmu Sastra. Nöth tampaknya Winfried Nöth dengan buku yang dirujuk besar kemungkinan Handbook of Semiotics.
- Sebaliknya, satu referensi yang dicantumkan, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra karangan Nyoman Kuta Ratna malah tidak kita temukan dirujuk dalam tulisan.
Dian Anggraini tidak mencantumkan penjelasan sumber puisi-puisi yang menjadi bahan telaah tulisannya. Sementara itu, berdasarkan penelusuran penulis, “Puisi Ibu” tidak ada dalam 5 buku teori sastra yang dicantumkan dan sudah pasti tidak akan ada dalam 1 buku teori sastra lain dalam daftar pustaka: Semiotics of Poetry karya Michael Riffaterre. “Puisi Ibu” juga jelas tidak mungkin ada dalam Alquran dan Terjemahannya.
Dengan kata lain, satu-satunya sumber yang dimungkinkan sebagai asal-usul “Puisi Ibu” adalah tautan karya penulis anonim di jendelasastra.com berjudul “Puisi Penyair Indonesia”. Tautan tersebut disebutkan diakses pada tanggal 16 Desember 2016. Kini, tautan tersebut memang masih bisa diakses tetapi kontennya hanya memberitahu kita bahwa “halaman yang diminta tidak dapat ditemukan”.
Kita boleh berhusnuzan mengandaikan bahwa mungkin sebelumnya di tautan tersebut bisa kita temukan penjelasan filologis penemuan “Puisi Ibu” sebagai puisi Chairil Anwar yang belum dimuat dalam antologi cetak mana pun, seperti penemuan puisi “Berpisah dengan Mirat” yang dikisahkan oleh Burton Raffel. Akan tetapi pengandaian seperti itu hanya logis jika kita mengabaikan fakta bahwa tidak ada satu pun kritikus sastra sungguhan yang pernah menimbang puisi tersebut maupun menyinggung penemuannya. Dengan demikian, lebih logis dan cermat jika kita memandang status tautan yang dijadikan rujukan oleh Dian Anggraini untuk menyatakan dengan tergesa bahwa “Puisi Ibu” adalah karya Chairil Anwar sama dengan status situs-situs lain sebagai produk dari tradisi saling salin tempel konten.
Demi kehati-hatian pula mari kita cek tulisan jurnal lain yang juga memuat “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar. Tulisan Monika Ayu Sari Br. Situmorang dkk. mengutip “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar dari tulisan Noeroel berjudul “Unsur Intrinsik Puisi Ibu Karya Chairil Anwar” yang dipublikasikan di Forum Guru pada 12 Mei 2021. Status tulisan Noeroel itu pun sama dengan situs-situs lain yang ikut-ikutan menayangkan “Puisi Ibu” sebagai karya Chairil Anwar hanya karena situs-situs lain menayangkannya demikian.
Hal senada terjadi pada tulisan Angga Dwi Saputra dan Meilan Arsanti. Tulisan tersebut mengutip beberapa nama yang tidak dicantumkan dalam Referensi yaitu Dani, Ahmad Tantowi, Palupi, Rochim, Solahuddin, sementara 5 rujukan yang dicantumkan dalam Referensi juga tidak ada yang memuat “Puisi Ibu karya Chairil Anwar”.
Kesimpulan dari rangkaian tinjauan sekilas yang semoga cukup ilmiah dan cukup kredibel ini adalah “Puisi Ibu” tidak memiliki dasar kuat untuk dianggap karya Chairil Anwar sehingga anggapan sebaliknya lebih sahih kita yakini. Dua argumen yang “Catatan Redaksi” awal Tirto kemukakan juga tidak memiliki nilai apa pun untuk mendukung penautan “Puisi Ibu” dengan kekaryaan Chairil Anwar.
Lalu bagaimana kita menyikapi dua lembaga yang disebutkan dengan rinci dalam “Catatan Redaksi” awal Tirto?
Mari kita kerucutkan tanggung jawab pada pihak-pihak yang langsung bersentuhan dengan persoalan “Puisi Ibu karya Chairil Anwar” ini, yaitu admin akun Twitter Perpustakaan Kemendikbudristek dan nama-nama pengampu Jurnal yang bisa ditemukan dengan mudah pada tulisan yang Tirto rujuk. Bahwa pihak-pihak tersebut layak mendapatkan imbalan atas kerja mereka yang ceroboh maka hal tersebut jelas merupakan kewenangan dua lembaga terkait. Apa yang menurut penulis lebih penting diingat kedepannya adalah mari membuang kebiasaan berargumentasi taksehat berupa melulu mencatut nama besar sebuah lembaga.
Lalu bagaimana dengan media-media lain yang secara berjemaah sudah melakukan salin tempel informasi keliru selama bertahun-tahun?
Hal itu pun urusan etika masing-masing media. Tulisan ringkas dan sederhana ini hanya mencoba menunjukkan bahwa penulis konten media daring yang kurang ditatar sangat mudah terpeleset menjadi umat Joseph Goebbels yang beriman pada groβe Lüge, mahakibul. Kibul media itu pula yang kemudian dipercaya oleh para penulis buku pelajaran yang nihil sikap cermat terkait teks dan awam soal seleksi referensi.
Jika tulisan ini mencapai mereka semua kemudian memantik guilty feeling yang mendorong mereka mencabut tulisan daring keliru atau menarik buku-buku yang ditulis seenaknya maka penulis bersyukur karena menyuapi generasi terkemudian dengan segumpal kibul sama saja dengan menyuapi anak dengan nasi busuk. Akan tetapi jika pihak-pihak terkait memilih betah bersikap kura-kura dalam perahu karena produk kibul tersebut telah dan masih banyak menyuplai laba bagi mereka maka penulis berharap suatu saat nanti generasi terkemudian itu bisa mandiri mencari makan dan memutuskan sendiri akan seperti apa memperlakukan para penyuap kibul yang terhormat.
Oleh sebab itu pula teks ringkas ini tetap ditulis meski telah ada beberapa orang yang awas menyinggung kekeliruan perujukan nama Chairil Anwar pada “Puisi Ibu” di Facebook maupun Twitter beberapa waktu lampau.
4
Sampai di sini, selesaikah persoalan “Puisi Ibu” ini? Sayangnya belum.
Kita memang sudah tiba pada kesimpulan puisi tersebut bukan karya Chairil Anwar dan media-media yang berjemaah memuatnya dengan pola salin tempel telah melakukan kecerobohan besar. Akan tetapi karena sebuah puisi tidak mungkin muncul tanpa penyair, maka tersisa pertanyaan akhir: kalau bukan Chairil Anwar penulisnya, lalu siapa penulis “Puisi Ibu”?
Sudah memahami pola kerja salin tempel kebanyakan penulis konten media daring, kita bisa mencoba menjawab pertanyaan itu dengan melacak identitas pengunggah awal. Mari kita merunut beberapa fakta yang penulis temukan:
- Saling salin tempel media daring terkait “Puisi Ibu” dan penyematannya pada Chairil berlangsung sekurang-kurangnya sejak tahun 2013. Tulisan daring terawal yang melakukan hal tersebut sejauh yang bisa penulis lacak adalah tulisan mba nana di Kompasiana dengan judul “Puisi Ibu Karya Chairil Anwar”. Tulisan dipublikasikan pada 11 Maret 2013, 18:42. Masih pada bulan Maret 2013 bisa ditemukan “Puisi Ibu Karya Chairil Anwar” di banana-ku.blogspot.com. Mungkin saja mba nana dan banana ini dua nama merujuk orang yang sama. Setelah itu disusul oleh tulisan di hpmhtmakassar’s blog berjudul “Kumpulan Puisi ‘Ibu’-Pilihan-Memperingati Hari Ibu Indonesia 2013” yang dipublikasikan pada 20 Desember 2013. Fakta terkait tahun ini selaras dengan temuan penulis bahwa buku tertua yang memuat informasi bahwa “Puisi Ibu” adalah karya Chairil Anwar diterbitkan tahun 2013.
- Akan tetapi masih pada tahun 2013, ada juga situs web yang memublikasikan puisi terkait tanpa menautkannya pada Chairil Anwar. Pertama, Blog Bambang yang memublikasikan puisi tersebut dengan judul “Puisi untuk Ibu” pada 13 Maret 2013. Kedua, blog Aku Oku yang memublikasikan puisi tersebut dengan judul “Ibu Tercinta” pada 25 Juli 2013.
- Pada 28 November 2012, pukul 06.59, puisi terkait dipublikasikan di blog Kumpulan Puisi Terbaik dengan judul “Ibu”. Puisi tersebut dicantumkan di bawah sub 5 “Aliran-Aliran yang Terdapat Puisi Saya”. Sayangnya tidak ada informasi apa pun tentang identitas narablog.
- Pada 5 Maret 2012, puisi terkait dipublikasikan di tatatuuu.wordpress.com dengan judul “Puisi Untuk Ibu” pada bagian “about me”. Publikasi tersebut mencantumkan tautan sebagai sumber yang sayangnya sudah tidak bisa diakses sekarang. Hanya saja dari tautan itu kita tahu publikasi pada situs web sumber terjadi pada bulan Desember 2010.
- Pada 10 Mei 2010, puisi dipublikasikan di blog The Meaning of Life oleh narablog Huzaifa Zahri yang mencantumkan identitas sebagai mahasiswa di Johor, Malaysia. Puisi dipublikasikan dengan judul “Srikandi Cintaku..”.
- Pada 30 Maret 2010, 8:32 pm, puisi dipublikasikan di blog Arangkadir oleh arang kadir. Sayangnya tidak tercantum biografi apa pun dan hanya ada foto narablog. Berdasarkan tulisan-tulisan pada blog, Arang Kadir tampaknya berbahasa ibu bahasa Melayu, satu hal yang sudah bisa kita tebak dari stile “Puisi Ibu”. Puisi dipublikasikan dengan judul “Puisi Buat Mama”. Sejauh pelacakan penulis, publikasi ini merupakan publikasi paling awal puisi yang kini kita kenal berjudul “Puisi Ibu”.
Berdasarkan penelusuran kronologis sederhana di atas, bisa disusun dugaan perjalanan “Puisi Ibu” dari awal sampai kini secara berjemaah dikelirukan sebagai karangan Chairil Anwar.
Tahun 2010-2012, puisi tersebut hadir di blog, kemudian beberapa situs web lain menyalin dan memublikasikannya ulang tanpa memberikan informasi rinci mengenai identitas penulisnya.
Tahun 2013 bisa katakan sebagai tahun peralihan untuk puisi ini. Sebagian orang masih memublikasikannya tanpa mencantumkan identitas penulisnya, sementara sebagian oknum karena alasan yang terlalu gaib untuk diterawang mulai mencantumkan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya.
Tahun 2014-2022, hampir semua pihak yang memublikasikan puisi tersebut mencantumkan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya.
Jika sudah terbuka jelas seperti ini, masih adakah alasan logis untuk mempertahankan penayangan teks yang sudah jelas keliru di media daring, di buku-buku, di tulisan jurnal, di kanal Youtube?
Tidak ada, kecuali kalau kita mau mengakui sambil tersipu-sipu bahwa kode etik jurnalisme kita sudah mengalami evolusi menjadi isme Goebbels seiring metamorfosis besar-besaran media cetak menjadi media daring: bahwa tugas media daring adalah memberikan informasi valid, tetapi di atas validitas ada indeks Google.
Dengan kode etik semacam itu, jangan heran jika menjelang Hari Ibu tahun 2023, 2024, 2025 dan seterusnya kita masih akan menemukan lagi media-media daring terkenal maupun guram menayangkan “Puisi Ibu” karya Chairil Anwar, para pelajar polos yang menggunakan buku ajar kualitas minus mengerjakan tugas melakukan musikalisasi “Puisi Ibu” karya Chairil Anwar dan mengunggahnya di kanal Youtube dengan bangga, dan para mahasiswa menelaah “Puisi Ibu” karya Chairil Anwar untuk dimuat di jurnal demi syarat lulus meraih gelar kritikus.
Lalu suatu hari kelak dengan merujuk pada lingkaran kibul nasional tersebut, “Puisi Ibu” mungkin akan masuk dengan gempita ke dalam antologi puisi Chairil Anwar, edisi revisi.
Ciamis, 2022.