Mereka yang memulai membakar buku, akan berakhir dengan membakar manusia.
Heinrich Heine
1
PROFESOR HITOSHI IGARASHI memang tidak dibakar, tetapi akhir yang dia alami sama brutalnya dengan pembakaran manusia: leher, wajah, dan tangannya disayat. Dia meninggal, di kampus tempatnya mengajar, 12 Juli 1991.
Dia bukan penjahat, kecuali jika menulis buku tentang Islam dipandang sebuah kejahatan. Satu-satunya kejahatan dia, mungkin dari sudut pandang pembunuhnya yang tak pernah terungkap, adalah menerjemahkan novel yang dikutuk sebagian besar umat Islam karena dianggap menghina Islam, Nabi Muhammad, dan Alquran: The Satanic Verses karya Salman Rushdie.
Seminggu sebelumnya, kasus yang mirip juga menimpa penerjemah novel tersebut ke bahasa Italia, Ettore Capriolo. Dia ditikam di apartemennya di Milan. Beruntung dia selamat meski harus menderita luka parah.
Meninggal dalam usia 44 tahun, Profesor Hitoshi Igarashi adalah profesor tamu dalam bidang Perbandingan Budaya Islam di Universitas Tsukuba. Sebelum menerjemahkan The Satanic Verses, dia tercatat sebagai penerjemah risalah legendaris Ibnu Sina, Al-Qanun fi al-Thibb, Kanon Perobatan. Dia juga mengarang dua buku tentang Islam.
Profesor Hitoshi Igarashi pernah tinggal melakukan penelitian di Iran dari tahun 70-an sampai ketika Revolusi Islam meledak di sana pada tahun 1979. Kita tak tahu apakah dia mempertimbangkan pengalamannya di sana ketika memutuskan menerjemahkan buku yang penulisnya dihukum mati oleh pemerintah negeri itu. Mungkin dia tahu: penerbit terjemahan The Satanic Verses mengatakan menerima ancaman dan lantas sang profesor pun sempat dikawal.
Lagipula pada tahun 1989, Islamic Center di Jepang sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan upaya penerjemahan atau reproduksi novel Rushdie tersebut. Fatwa Imam Khomeini sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke sana.
Baru pada tahun 2010, ada desas-desus mengatakan bahwa pembunuh Profesor Hitoshi Igarashi adalah orang berkebangsaan Bangladesh. Konon ada ketakutan untuk mengusut pembunuhan itu karena dikhawatirkan malah meningkatkan ketegangan yang ditimbulkan novel tersebut. Maka polisi pun bahkan saat itu mengatakan bahwa tak ada bukti bahwa pembunuhan sang profesor bersangkut paut dengan upaya penerjemahan yang dia lakukan.
Selain itu, banyak kalangan muslim Jepang yang sepakat bahwa Salman Rushdie memang pantas dihukum mati. Kita tak pernah tahu apakah mereka juga menganggap pembunuhan Profesor Igarashi layak, tapi kalaupun memang demikian, maka itulah yang juga disesalkan Rushdie dalam surat terbukanya.
Apa boleh buat, meski doktrin agama kadang beku, tetapi bukan berarti ia kehilangan potensi untuk menggerakkan manusia melakukan apa pun, termasuk membakar buku dan membunuh manusia. Bagi tragedi pada pertengahan tahun 1991 itu, ucapan Heinrich Heine menemukan kebenarannya, seperti nubuat. Sebuah nubuat yang, kita tahu, sangat sedih, sebagaimana asal-usul kutipan itu: sebuah drama tragedi.
2
[sepucuk surat terbuka yang Salman Rushdie tulis dipublikasikan di Jepang pada bulan Juli 1992, dalam peringatan pembunuhan Hitoshi Igarashi, penerjemah The Satanic Verses ke dalam bahasa Jepang]
Satu tahun telah berlalu sejak terjadinya pembunuhan keji Profesor Igarashi, tetapi saya masih tak bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Pembunuhan itu masih terasa sama mengejutkan, membangkitkan amarah, dan sama kejinya dengan ketika pertama kali saya mendengar kabar tentangnya. Reaksi perayaan dari kaum Muslim berkebangsaan Jepang juga menetap dalam ingatan sebagai cita rasa masam dan tak menyenangkan.
Saya kini telah paham bahwa apa yang penting tentunya bukanlah menyesuaikan diri dengan apa yang tak tertahankan. Dalam dunia modern kita, seiring dengan perubahan-perubahan fokus yang cepat dan jangka waktu perhatian yang pendek, kita terlalu mudah kehilangan ketertarikan pada kasus khusus, tak peduli betapa hidupnya cerita itu dulu. Akan tetapi, bersikap demikian dalam kasus ini akan menjadi satu penghinaan terhadap kenangan tentang Profesor Igarashi. Mudahnya, pembunuhan seorang manusia atas nama Tuhan atau ideologi apa pun, tak pernah bisa diterima. Dalam kasus semacam itu, moralitas tak pernah ada di pihak para pembunuh.
Saya tak mengenal profesor Igarashi, tetapi dia mengenal saya, karena dia menerjemahkan karya saya. Penerjemahan adalah semacam keintiman, sejenis perkawanan, dan karena itu saya berkabung atas kematiannya sebagaimana saya akan berkabung atas kematian seorang kawan. Saya tak percaya bahwa rakyat Jepang akan menganggap pembunuhannya bisa diterima.
Saya sudah membaca bahwa kini ada bukti yang menghubungkan pembunuhan itu dengan teroris-teroris Timur Tengah. Saya akan mengatakan ini: siapa pun para pembunuh itu (dan kita tahu bahwa banyak teroris Timur Tengah memiliki juru bayar di Teheran), fatwa Khomeini-lah yang merupakan pembunuh sebenarnya.
Disebabkan alasan ini, dan untuk menghormati nama sosok yang gugur, sarjana masyhur sekaligus penerjemah saya, Hitoshi Igarashi, saya mengajak rakyat dan pemerintah Jepang untuk menuntut sebuah pungkasan atas ancaman teroris ini. Seorang warga negara Jepang telah menjadi orang pertama yang kehilangan kehidupannya tersebab fatwa itu. Jepang bisa membantu menjamin bahwa dia juga adalah orang terakhir yang mengalaminya.
Sumber: Rushdie, Salman, Step Across This Line: Collected Nonfiction 1992-2002, New York: Modern Library, hlm. 216.
1 comments On Penerjemahan Novel The Satanic Verses Berujung Pembunuhan
Pingback: Salman Rushdie: The Satanic Verses dan Kebebasan Penulis - Cep Subhan KM ()