Bangsa kita jauh dari ekstremitas manusia-manusia Faust maupun Mishima
Y.B. Mangunwijaya – Sastra dan Religiositas
1
Meski nama pena dia lebih kita kenal daripada nama aslinya, Yukio Mishima sebenarnya bukan penulis yang membutuhkan pengantar. Tak peduli seekstrem apa pun kita mencaci cara dia mengakhiri hidupnya misalnya, novel dan cerpen-cerpennya mampu mengantarkan diri mereka sendiri dan mengukuhkan sang penulis sebagai bagian dari deret panjang sastrawan kelas atas dunia. Karya-karyanya unik, tapi tak kenes, ia tak artifisial, dan karenanya juga tak banal.
Pelaut yang Ternoda (EA Books, 2016, diterjemahkan oleh Nurul Hanafi) dibuka dengan suruhan tidur dari seorang ibu, Fusako Kuroda, “tidurlah nyenyak, sayang,” tapi sang anak, Noboru Kuroda, tidak menurutinya: mungkin ia menganggap suruhan semacam itu klise dan apa yang klise cenderung membuat manusia jenuh. Akan tetapi, berbeda dengan sebagian kita yang mungkin tak bisa melepaskan diri dari kejenuhan dan kemudian menyerah lantas berpura-pura menganggap dunia kita sebagai “tempat yang bersih dan cahayanya terang”, Noboru beruntung menemukan cahaya dari sebuah lubang. Karena itu di bagian akhir cerita yang kita temukan siap-siap tertidur bukanlah Noboru, melainkan Ryuji Tsukazaki, si pelaut yang kita kenal paling awal melalui judul.
Pelaut yang Ternoda adalah sebuah novel dalam salah satu pengertiannya yang asali: sesuatu yang tidak biasa. Dengan kata lain, ia bukan sesuatu yang ikut-ikutan pasar. Bahkan saat pertama kali terbit dalam Bahasa Jepang pada tahun 1963, novel ini tidak mengubah citra Mishima sebagai seorang romantisis: karya-karyanya adalah suatu kritik terhadap modernisme. Romantisis adalah mereka yang tak bisa pergi sepenuhnya dari masa lalu dan memandang masa kini sesekali dengan tak acuh, sesekali dengan pandangan sinis.
Namun, novel juga mengandung pengertian yang lain: sesuatu yang baru. Maka dalam analisis Marxis Ian Watt misalnya, kebangkitan novel dianggap sebagai pertanda perubahan dalam struktur masyarakat: meningkatnya kepercayaan diri kelas borjuis sampai melewati batas konvensi-konvesi sastra aristokratis terdahulu. Oleh karena itu, bahkan sebagai seorang romantisis, novel Mishima bukan merupakan novel yang semata sibuk dengan kejayaan masa lalu, dia menyuntikkan masa lalu pada basis kiwari. Yang baru tak sepenuhnya ditolak, yang lama tak sepenuhnya dirindukan, ada sesekali muncul nada berang tentang modernisme meski tak membuat alur dan karakterisasi menjadi rusak: novel ini bukan novel sentimental, tapi novel ini juga bukan novel ide yang banal.
Mungkin hal itu disebabkan Mishima merupakan penulis yang hidup pada tapal batas zaman, masa peralihan. Dalam novel ini kita akan melihat gambaran Mishima sebagai tipe penulis yang tekun meramu karakterisasi, dan pada saat yang sama juga mewarisi kesingkatpadatan ungkapan Haiku, sebuah warisan dari zaman yang jauh. Tak heran jika novel ini tidak menjadi kisah yang panjang dan membingungkan: ia singkat, ia memenuhi standar novela. Ia hanya menceritakan dua musim yang paling terkenal dalam teks sastra dunia, yakni musim panas dan musim dingin. Kesingkatan yang sama juga dikandung oleh judul asli novel ini, Gogo no Eiko, artinya Kapal Penarik di sore hari. Judul yang lebih tersirat daripada judul yang disodorkan versi Inggrisnya dan kemudian menjadi sumber judul terjemahan ini.
Frasa Pelaut yang Ternoda pada dasarnya sudah merupakan suatu penafsiran: seorang penerjemah sastra yang baik selalu merupakan seorang penafsir. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang mengambil terjemahan dari versi Inggris sebagai naskah sumber merupakan terjemahan fase kedua. Dengan kata lain, ia adalah bentuk kedua penafsiran, sebuah tafsir atas penafsiran, sebab bahkan terjemahan itu pun tak sepenuhnya sama dengan sumber Inggrisnya: The Sailor Who Fell from Grace with the Sea. Secara literal bisa dimaknai pelaut yang bermasalah dengan laut atau pelaut yang berdosa terhadap laut, atau pelaut yang turun harkat. Banyaknya opsi yang dimungkinkan untuk menerjemahkan judul ini sudah menunjukkan bahwa penerjemah selalu memiliki masalah tersendiri dalam hal memberikan kesingkatan yang sepadan antara teks sumber dengan teks sasaran.
Tentu saja judul Pelaut yang Ternoda merupakan judul bagus justru karena ia memberikan ambiguitas yang direduksi dalam judul versi Inggrisnya. Ambiguitas dalam karya sastra selalu menarik terutama karena, mengutip kritikus William Empson, ia memberikan lebih banyak kemungkinan munculnya “pandangan-pandangan alternatif yang menihilkan kekeliruan pembacaan belaka”. Itu pulalah yang kemudian menjadi perbedaan paling mudah ditemukan antara sebuah teks sastra dengan teks sains. Sebuah ironi: karya kritikus modernisme ini justru kian menarik oleh sentuhan penerjemah yang—sadar ataupun tidak—menawarkan modernisme kritik sastra bahwa teks-lah yang bicara, bukan pengarang, dan pembaca-lah yang “menciptakan” makna.
2
Pelaut yang Ternoda dibuka dengan suruhan tidur dari seorang ibu, “tidurlah nyenyak, sayang,” tapi sang anak tidak menurutinya dan kemudian malah asyik dengan lubang di balik laci lemari besar yang menyatu dengan dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar ibunya. Lubang itu sendiri dia temukan pada suatu pagi yang lain: ia lihat ada segaris cahaya menerobos ke dalam salah satu ceruk kosong lemari itu. Narasi yang sayup mengingatkan kita pada kisah bagaimana seseorang mendapatkan pencerahan transendental.
Citraan lubang, dalam berbagai kebudayaan, merupakan simbol gerbang. Dalam ranah spiritual, sebagaimana dipaparkan oleh Cirlot, ia menjadi simbol pembuka dari satu dunia ke dunia lain. Ingat misalnya kisah Agharta, kota legendaris yang dipercaya berada di dalam bumi dan seringkali dilekatkan pada negeri bahagia Shambhala dalam terminologi Buddha, gerbang menuju ke sana dikatakan merupakan sebuah lubang di Kutub Selatan. Dalam ranah inilah lubang yang ada dalam kisah Pelaut yang Ternoda mendapatkan signifikansinya.
Lubang. Cahaya. Noboru yang terisolasi dalam kamar tidurnya dan kemudian menemukan dunia lain melalui lubang, jelas bukan hanya tempelan sebagai pemanis cerita sebelum tokoh Ryuji bisa muncul: tokoh yang juga kemudian terisolasi dalam bentuk lain. Pelaut yang Ternoda adalah kisah tentang dua tokoh yang terisolasi dan mengambil keputusan yang tak sama dengan akhir yang semestinya berbeda tapi kemudian dicoba—dalam istilah si Bos, pemimpin geng Noboru—“dikembalikan ke dalam keteraturan”.
Dalam epigraf yang dicantumkan di awal tulisan ini, Y.B. Mangunwijaya menyamakan antara konsepsi manusia menurut Mishima dengan Faust: sosok-sosok uebermensch dalam terminologi Nietzsche yang pada titik tertentu mengingatkan kita pada karakter-karakter Hamletian dalam novel-novel Iwan Simatupang. Dalam konsepsi semacam itu, manusia adalah manusia ketika dia murni mengendalikan hidupnya. Tentu saja karena batas hidup adalah maut, hal itu pun bermakna pula mengendalikan maut.
Frasa “mengendalikan maut” mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi menarik untuk mengetahui bahwa dalam salah satu tulisannya, Hagakure Nyumon (terbit tahun 1967 dan diterjemahkan pertama kali ke dalam Bahasa Inggris sepuluh tahun kemudian sebagai Way of the Samurai), Mishima menulis bahwa jalan samurai adalah jalan kematian. Maka kehidupan seorang samurai adalah kehidupan yang diisi dengan mempersiapkan diri untuk kematian yang didambakan, hidup adalah berisi “kerinduan pada maut”, kata Ryuji sebelum dia memutuskan menjadi “manusia daratan”. Persiapan itu sendiri dibutuhkan supaya manusia tetap indah baik ketika ia hidup ataupun ketika ia mati.
Baca juga Ironi Mishima
Dengan kata lain, sementara maut melalui bunuh diri, dalam pandangan orang biasa, Yoriko si aktris yang memiliki “payudara montok, mata yang bundar, hidung indah bagaikan dipahat, dan sepasang bibir merangsang”—sebagai gambaran manusia biasa yang sempurna—misalnya, adalah “hal bodoh”, dan Fusako juga melarangnya melakukannya, maka maut dalam konsepsi bushido Mishima bukan merupakan sesuatu yang mengerikan, ia adalah pilihan yang setara dengan kejayaan: keduanya berada di seberang yang sama. Secara tersirat hal itu misalnya tampak dari dialog ketika si Bos geng Noboru dan kawan-kawan memutuskan bahwa langkah terbaik bagi Ryuji supaya dia tak meninggalkan kejayaannya dan berhenti menjadi “jagoan” adalah mati.
Ryuji pada awalnya memang merupakan “jagoan” Noboru, ia adalah “pahlawan” justru karena statusnya sebagai penjelajah lautan yang tak terikat apa pun. Ryuji sendiri sebelum bertemu Fusako merupakan seorang yang percaya tentang “keagungan yang menanti” di seberang, ke mana pun kata “seberang” itu merujuk. Setelah dia bertemu Fusako—dan saling jatuh cinta, dan beberapa kali bersanggama—maka dia mulai bimbang tentang “keagungan” dan “kejayaan” itu. Pada akhirnya dia menyerah dan memutuskan menikahi Fusako setelah sempat bertanya pada dirinya sendiri: hendak kau lepaskah kebebasan yang gilang gemilang itu?
Pada titik inilah sebenarnya peran tragis Ryuji bermula: dia merintis perjalanan menurun dari seorang “jagoan” menjadi pecundang di mata Ryuji, suatu fell from grace yang analog dengan turunnya Adam baik dari Firdaus ke bumi ataupun dari status suci menjadi pendosa. Proses penghilangan harga diri yang dikuatkan oleh berbagai tindakannya di depan Noboru termasuk ketika dia jujur mengatakan habis mandi di air mancur taman. Tentu saja Fusako bukannya tak memegang peranan penting dalam proses itu. Dia, misalnya, berpendapat bahwa membiarkan Ryuji tetap berada tanpa ikatan adalah hal yang salah. Dia hanya ingin hubungan dirinya dengan Ryuji menjadi “penyelewengan yang happy ending”. Fusako, jika kita melihatnya dari sudut pandang Campbell dengan teori Perjalanan Pahlawan-nya adalah “wanita penggoda”, dan Ryuji—sebagaimana pahlawan-pahlawan yang tak bisa tahan godaan—kemudian harus menjalani akhir yang tragis pula.
Maka novel Mishima ini bisa kita baca sebagai novel yang menyodorkan metamorfosis tentang kondisi terisolasi —> bebas, pada Noboru, atau bebas —> terisolasi —> (mungkin) bebas, pada Ryuji. Dengan gaya sastrawi khas Mishima, konsepsinya tentang hidup dan manusia tersirat di sana-sini, baik dalam pergulatan di benak Ryuji yang dimungkinkan oleh fokalisasi zero dalam terminologi Genette, sampai ke celotehan si Bos yang sering tampak lebih rumit daripada sabda filsuf. Fase-fase yang dijalani oleh Noboru dan Ryuji adalah “jalan mulia berunsur 8” ala Mishima yang direkatkan oleh Piramida Freytag sederhana.
Tentu saja fase tersebut adalah ala Mishima karena meski pada titik tertentu ada keselarasan antara jalan bushido Mishima dengan jalan kebenaran Buddha, kita juga melihat bahwa semakin jauh fase yang dijalani, jarak antara keduanya pun kian melebar. Sementara ujung yang mungkin dari jalan Buddha adalah “Negeri Murni” sebagaimana kita temukan juga dalam salah satu cerita pendek Mishima, The Priest of Shiga Temple and His Love (diterjemahkan oleh penerjemah Pelaut yang Ternoda ini sebagai Sang Pendeta Kuil Shiga dan Kekasihnya), tetapi Negeri Murni itu tampak kabur bagi tokoh-tokoh dalam Pelaut yang Ternoda: lihat misalnya nada sinis ketika si Nomor Lima dalam geng Noboru bercerita tentang ayahnya yang rajin sembahyang sampai-sampai sang ayah “biasa taruh makanan di rusuk atap agar tikus-tikus tidak kena dosa karena mencuri”.
Baca juga Telisik Kumpulan Cerpen Mishima Bocah Lelaki yang Menulis Puisi
Apa yang kemudian tampak jelas dan juga menjadi tema pusat novel ini adalah kejayaan. Akan tetapi kejayaan seperti apa? Kejayaan itu muncul dalam wujud laut. Laut adalah pusat: “lautan telah menyederhanakan dan mengabstraksikan” jalan, rel kereta, bangunan, “sampai pada satu titik dimana pelabuhan kehilangan kesan realitas”. Yang riil kemudian adalah laut belaka, wujud yang menenggelamkan segala yang lain sebagaimana kejayaan pada awalnya menjadi satu-satunya hal berharga yang dipikirkan oleh Ryuji.
Latar waktu novel ini secara global mencakup dua periode musim, musim panas dan musim dingin. Keduanya bukan tempelan asal yang muncul tanpa alasan, melainkan justru merujuk pada fase yang dilewati Ryuji dan Noboru secara umum. Musim panas adalah simbol momen menyenangkan dan sesekali menjadi simbol kematangan, sementara musim dingin seringkali dijadikan simbol usia tua, ketika kenangan berdatangan dan kematian memenuhi pikiran. Dalam hubungannya dengan laut, musim dingin selalu identik dengan laut yang berbahaya, penuh dengan gunung es, ombak yang bergulung-gulung, dan pada akhirnya juga tidak menyenangkan: sebuah gambaran dunia yang kemudian ditinggalkan oleh Ryuji.
Maka kita temukan sesi musim panas dalam novel ini sebagai sesi ketika semua bermula: Noboru menemukan lubang di dinding, Fusako bertemu—dan kemudian bercinta—dengan Ryuji, dan gawatan meninggi dengan kepergian Ryuji. Kemudian kita masuk ke sesi musim dingin: Ryuji kembali—dan kemudian bercinta—dengan Fusako, memutuskan untuk menikahi Fusako dan meninggalkan laut untuk selamanya, lalu Noboru dan kawan-kawan memutuskan bahwa dia lebih baik mati: itulah denouement, leraian. Renungan depan perapian yang hangat sementara salju berjatuhan di luar hanya terjadi di awal sesi musim dingin ketika Ryuji kembali. Ia bukanlah bagian dari siklus. Ia bukan inti.
3
Satu hal yang mudah ditemukan setiap kali kita membaca Mishima adalah seberat apapun ide yang coba dia tawarkan lewat tulisannya, dia tak pernah mengabaikan keindahan teks, atau lebih tepatnya: keindahan itu merupakan pendukung ide yang diungkapkan. Itulah tampaknya yang membuat tulisannya selalu menarik untuk dibaca ulang. Orang mungkin tak selalu mendapatkan katarsis dari teksnya, tetapi minimal mereka akan menikmati aspek magis yang disodorkan narasi.
Lihat misalnya deskripsi tubuh Fusako yang menampakkan erotisisme khas Jepang:
“Pundak si ibu, seperti garis pantai, melereng dengan lembut ke bawah. Leher dan lengannya semburat kecoklatan, tapi dari atas dadanya—di mana nampak seolah sebuah lampu menyala di bawah kulit—dimulailah sebuah zona kehangatan, putih dan montok. Payudaranya yang megah menyembul dengan tajam dari tubuhnya; dan ketika ia pijat payudara itu dengan kedua tangan puting susu kemerahan itu menari-nari saling menjauhi.”
Deskripsi semacam itu merupakan deskripsi yang mau tak mau erotis, tapi ia tak bombastis, ia tak porno. Beberapa kritikus biasa membedakan apa yang porno dan apa yang tidak dalam sebuah teks berdasarkan pada perbedaan fokus. Jika deskripsi di atas hanya deskripsi yang peranannya dalam cerita nihil selain untuk membangkitkan kerinduan pada tubuh wanita di hati pembaca, maka ia adalah pornografi yang mudah didapat dalam cerita stensilan: fokusnya pada bombastisitas penggambaran bagian fisik, tujuannya membangkitkan hasrat.
Namun, dalam kisah Mishima ini, deskripsi semacam itu penting untuk menunjukkan kesamaan Fusako dengan Yoriko: mereka adalah manusia biasa yang secara fisik sempurna. Dengan menunjukkan kesempurnaan mereka pada titik yang mencolok, akan makin mudah untuk menunjukkan pertentangan mereka dengan konsepsi manusia ala Mishima yang justru muncul dari sosok-sosok yang minor secara fisik dan sering kali dianggap minor pula secara psikis dalam kehidupan: anak-anak. Dengan kata lain, fisik dalam deskripsi bukan semata merupakan fisik.
Dilihat dari sudut pandang Psikoanalisis Freud, kisah Noboru dan lubangnya mau tak mau mengingatkan pada konsep voyeurisme: suatu kesenangan melihat objek yang tidak berpakaian, sedang melakukan hubungan seksual, ataupun kondisi privat yang lain. Dalam narasi Mishima, Noboru diceritakan melihat dengan saksama “perkembangan tubuh-tubuh yang saling lebur itu sampai ke titik klimaks” melalui lubang di dinding.
Voyeurisme adalah suatu cara yang berbeda untuk melihat dunia. Mungkin ada sesuatu yang eksotis—atau erotis—dalam apa yang tampak dari balik lubang, tapi ia menolak cinta. Dalam tataran inilah bisa dimengerti pikiran Noboru yang mencemooh bahwa ibunya dan Ryuji tak menaruh curiga untuk mengecek dinding karena mereka terbuai oleh ayunan yang bernama cinta.
Dengan kata lain, dalam pandangan Noboru dan kawan-kawan, cinta adalah sesuatu yang merusak kejayaan karena ia membuat manusia berhenti berpikir logis, berhenti menjaga jarak. Selalu mencoba bersikap dingin dan keras, menjaga harga diri, adalah langkah yang tepat untuk mencapai kejayaan, sama seperti Tom si Pengintip tidak melibatkan diri dalam adegan ranjang: ia hanya mengintip, sampai pada titik tertentu, lalu berhenti.
Namun, siapa pun tahu bahwa seorang voyeuris juga merindukan hukuman karena konsepsi rasa bersalah yang rumit: ia sadar ada yang salah tapi dia tak sadar kesalahan itu tepatnya di sebelah mana. Karena itu, saat mengintip diam-diam, Noboru sudah membayangkan ibunya memergokinya dan menghukumnya. Memang kemudian hal itu menjadi kenyataan, ibunya menemukannya dan marah, tapi hukuman yang dinantikannya tidak datang karena Ryuji tak mau melakukannya: Ryuji menganggap bahwa meringankan hukuman bagi Noboru, sang anak, adalah cara yang benar sebagai seorang ayah. Fusako marah pada dasarnya bukan karena realitas, akan tetapi karena tafsir terhadap realitas itu sendiri. Ketika tafsir itu direduksi oleh Ryuji, kemarahannya pun tak lagi meninggi.
Persoalannya, dalam sudut pandang Psikoanalisis, seorang ayah tak pernah menempati posisi mulia di mata seorang anak. Pandangan sang anak terhadap sang ayah selalu berkelindan antara kekaguman dan kemarahan, hal yang digambarkan satu pasase dalam novel ini: Lalu dengan penuh kekaguman Noboru memandang ke arah rambut lebat di bawah perut, tempat menara kuil megah menyembul di tengahnya -teracung tegak penuh kemenangan.
Ayah adalah rival si anak dalam memperebutkan sang ibu yang harus dibunuh, seperti Oedipus membunuh Raja Laius atau Sangkuriang membunuh Si Tumang. Gejala kecemburuan itu bukannya tak muncul dalam kisah ini. Noboru misalnya selalu menunjukkan kemarahan setiap tahu bahwa dirinya terisolasi dalam kamar sementara ibunya dan Ryuji bebas bercinta di kamar sebelahnya. Gejala mempertentangkan “dunia anak” dengan “dunia orang dewasa” memang bisa ditengarai pula dalam beberapa cerpen Mishima, misalnya dalam Cigarette dan The Boy Who Wrote Poetry (diterjemahkan oleh penerjemah yang sama sebagai Rokok dan Bocah Laki-laki yang Menulis Puisi).
Maka perasaan terhina Noboru ketika isolasi itu terlepas justru karena peran Ryuji pun kemudian bisa dimengerti. Ryuji-lah yang menyarankan Fusako untuk berhenti mengunci kamar Noboru di malam hari. Ryuji pulalah yang meredam kemarahan Fusako dan mengatakan bahwa dia akan menutup lubang di dinding itu esok hari. Peran ayah semacam itu menyaran pada simbol Tuhan: sosok yang mengendalikan. Jika benar konsepsi manusia menurut Mishima sejajar dengan konsepsi Faust dan Uebermensch Nietzsche, maka tak heran jika konsep ayah memang ditolak mentah-mentah melalui mulut si Bos sebagai “sosok terburuk di muka bumi”.
Menutup lubang di dinding kemudian menjadi pertanda bahwa seiring rencana pernikahannya dengan Fusako, Ryuji pun resmi mengisolasi dirinya sendiri. Dalam pandangan Noboru dan gengnya: dia resmi memulai menjadi orang daratan dan berhenti menjadi jagoan. Dengan kata lain, dia adalah “pelaut yang ternoda” karena dia meninggalkan impian tentang kejayaan dan keagungan yang menanti di “seberang” dan memilih bergelung hangat di daratan bersama si cantik seksi Fusako. Maka Noboru dan gengnya kemudian menggelar pertemuan darurat dan memberikan hukuman untuk Ryuji. Dalam konsepsi mereka, hukuman itu akan mengembalikan Ryuji ke jalurnya, jalur pahlawan.
Memang pertama-tama gengnya merasa ragu melaksanakan hukuman itu. Akan tetapi itu merupakan hal yang jamak, sebagaimana dalam cerpen Mishima yang berjudul Patriotisme pun kita akan menemukan Letnan Shinji Takeyama merasa ragu sebelum melakukan seppuku. Dalam novel ini pun, kita akan menemukan proses pembunuhan kucing yang dijelaskan lumayan detail dimulai oleh Noboru dengan keraguan. Kucing itu adalah masa depan Ryuji di tangan Noboru dan kawan-kawan, meski pekikan pendeknya diredam oleh obat tidur: “tujuh biji”, kata si bos. Kucing lemah. Ryuji “seorang pria kuat”.
Kejayaan itu pahit, demikian kata Ryuji di akhir cerita yang boleh kita duga sekaligus merupakan akhir hidupnya. Perlukah kita merasa kasihan pada dia? Sepertinya tidak. Dia pada akhirnya kembali ke laut. Sebagaimana bisa ditemukan jejaknya pada berbagai kisah rekaan Mishima, maka kita temukan jejak ucapannya dalam sosok Noboru: dia mungkin aneh bagi orang kebanyakan, dia mungkin terisolasi, tapi dia mampu melepaskan diri dari ego, dia bebas. Tak masalah bahwa harga dunia yang dia lihat adalah hubungannya yang menjadi buruk dengan sang ibu.
Ibu: simbol rahim bumi, kehidupan.
Dengan kata lain, hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Kita melihat bahwa pada akhirnya Noboru mencapai laut, simbol kejayaan. Pahit memang, tapi pahit yang dinikmati sebagai sebuah pilihan adalah pahit yang bukan “sisa”, melainkan “inti”, apapun makna inti itu, setuju ataupun tidak kita dengan inti itu. Maka lubang yang ditemukan Noboru bukan lagi sisa penghuni kamar sebelumnya, melainkan dunia yang sudah terbuka lebar, cahaya tak lagi lindap, meski saat menyambutnya tangan Noboru sedikit gemetar: saat ketika dia berhasrat menjumpai lubang itu setelah dia mendengar Ryuji dan ibunya akan menikah, saat ketika dia menyodorkan teh berisi tujuh butir obat tidur untuk Ryuji.
Tangan gemetar itu sayangnya kembali disalahpahami oleh Ryuji, sebagaimana memang hal itu terjadi bolak-balik terjadi dalam kisah ini. Betapa ada jarak terbentang antara pemikiran orang dewasa dan anak-anak “genius”, betapa ada jarak terbentang antara manusia biasa dengan manusia dalam konsepsi Mishima. Kita tak tahu seberapa jauh jarak itu terbentang, terutama karena novel ditutup oleh sang juru kisah dalam luncuran curam Piramida Freytag: ia menyuruh kita menutup mata dan berbisik untuk menajamkan telinga. Mungkin akan kita dengar kemudian bunyi pisau yang mencaruk kulit, mungkin akan kita dengar bunyi gergaji yang memotong tulang.
Disunting ulang dari pengantar buku Pelaut yang Ternoda (EA Books, 2016).