Kahlil Gibran
ANDAI kawan-kawanku sesama penyair membayangkan bahwa untaian sajak-sajak yang mereka susun, dan bait-bait yang matranya telah mereka perkuat dan sambungkan, suatu hari nanti akan menjadi kendali yang menahan bakat, mereka akan merobek-robek manuskrip mereka.
Andai Al-Mutanabbi, sang penujum, meramalkan, dan Al-Farid, sang peramal, menubuatkan bahwa apa yang mereka tulis akan menjadi sumber panduan banal dan dipaksakan bagi para penyair kita saat ini, mereka akan menumpahkan tinta-tinta mereka ke dalam sumur Pelupaan, dan mematahkan pena mereka dengan tangan Pelalaian.
Andai spirit Homer, Virgil, Al-Maarri, dan Milton mengetahui bahwa puisi akan menjadi anjing kecil piaraan orang kaya, mereka akan meninggalkan dunia yang di dalamnya hal tersebut dimungkinkan terjadi.
Aku berduka mendengar bahasa spirit-spirit diocehkan oleh lidah-lidah si dungu. Jiwaku terbunuh saat melihat anggur para muse mengaliri pena-pena si pengaku-ngaku.
Tidak juga kudapati diriku sendirian di lembah Kebencian. Katakan saja bahwa aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang melihat katak hendak menjadi lembu.
Puisi, kawan-kawanku sayang, adalah penjelmaan sakral satu senyuman. Puisi adalah satu keluhan yang mengeringkan air mata. Puisi adalah satu spirit yang tinggal dalam jiwa, makanannya adalah hati dan anggurnya adalah kasih sayang. Puisi yang muncul tidak dalam bentuk ini adalah juru selamat jadi-jadian.
O spirit para penyair, yang menonton kami dari surga Keabadian, kami datang ke altar yang telah kalian hiasi dengan mutiara-mutiara pemikiran kalian dan permata-permata jiwa kalian karena kami tertekan oleh dentang baja dan bising pabrik-pabrik. Karena itu sajak-sajak kami seberat kereta barang dan semenjengkelkan peluit uap.
Dan kalian, para penyair sungguhan, maafkanlah kami. Kami tinggal dalam Dunia Baru tempat umat manusia mengejar barang-barang duniawi; dan puisi, juga, kini adalah satu komoditas, tidak lagi merupakan nafas keabadian.
Sumber: Kahlil Gibran, “Poets and Poems,” The Treasured Writings of Kahlil Gibran (1985), hal. 596-597.