1
ESAI “Di 2023 Ini Metafora Tak Kedengaran Lagi?” (selanjutnya disebut “Metafora 2023”) merupakan tanggapan interogatif terhadap poin-poin janggal yang Saut Situmorang ajukan lewat “Fobia Metafora dalam Puisi Indonesia” (selanjutnya disebut “Fobia Metafora”) di situs tengara.id. Ketika penulis “Fobia Metafora” menyematkan “Mendengar Metafora?!” pada kolom komentar “Metafora 2023”, ekspektasi pembaca yang waras adalah sahutan darinya memuat jawaban-jawaban merespons poin-poin tersebut.
Namun, mengharapkan kewarasan dari seorang pelompat kala yang terkena jet lag akut ternyata sama sia-sianya dengan mengharapkan esai bagus dari penulis yang mengidap krisis percaya diri. Krisis itu, celakanya, berupa penyertaan biodata panjang dan hebat, kendati sama sekali tidak melegitimasi gagasan penulisnya. Jika “Mendengar Metafora?!” perlu dibaca, maka alasannya bukan karena sahutan tersebut mengklarifikasi poin-poin janggal “Fobia Metafora” yang dipertanyakan “Metafora 2023”, melainkan karena ia contoh terbaik teks nonsens karangan seorang bocah tantrum yang menulis dalam kondisi jet lag sembilan windu.
Alih-alih memberi jawaban penjelas poin-poin gaib dalam “Fobia Metafora”, “Mendengar Metafora?!” menggunakan strategi sofis pokrol bambu yang biasa diadopsi penulis malas ketika sadar dirinya keliru tetapi malu mengakui di muka publik: mengabaikan poin-poin yang dipertanyakan sebuah tulisan, lalu berdarah-darah mencari poin-poin lain untuk serangan balik. Dengan strategi semacam itu, mudahlah ditebak penulisnya memiliki harapan konyol bahwa legitimasi tulisan “Metafora 2023” runtuh atau tidak relevan.
Penulis “Mendengar Metafora?!” tampaknya diam-diam cemas sambil berharap semoga pembaca tidak sepintar (biodata) dirinya. Pembaca diharapkan termakan strategi sofisnya agar mereka lupa konsekuensi ritual keramat khas dukun pada “Fobia Metafora”, yaitu menanggung kewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam “Metafora 2023”. Sahutannya, kira-kira, sama memalukan dengan kegusaran seorang yang dikepung warganet media sosial karena satu kasus kemudian dia membuat isu tandingan agar kasusnya redup dan menguap tanpa harus dia selesaikan. Alih-alih menanam padi demi ketahanan pangan atau mengusir rasa terasing dengan mengelus-elus dan memandikan burung, aktivitas pertama yang pelompat kala pelajari setiba di tahun 2023 tampaknya mekanisme receh ala kakerlak pendengung isu politik.
Meski demikian, harus diakui kita sangat jarang menemukan penulis yang secara personal tampak pernah menyaksikan era William Wordsworth, Ezra Pound, dan Chairil Anwar di tahun 2023 sehingga secara historis dan etis kita mesti menghormati keteguhannya lompat-lompat kala. Terlepas dari efek jet lag yang menyebabkannya mengingat secuil saja dari masing-masing era lalu mengaduk ingatannya secara anakronis selepas membaca cepat lima puisi M. Aan Mansyur dan Joko Pinurbo dari sumber gaib, kita bisa menganalogikannya sebagai visualisasi lompatan-lompatan kelinci dalam Alice in Wonderland: dia mungkin usang dan bagian dari lanskap pastoral, tetapi setidaknya dia imut. Setiap makhluk, manusia ataupun kelinci, berhak imut dan dihargai keimutannya. Semata bertolak dari penghormatan praktik lompatan-lompatan imut itulah kita mungkin memilih husnuzan bahwa bisa saja memang efek jet lag menyebabkan penulis biodata hebat gagal paham “Metafora 2023”.
“Metafora 2023” memang tidak sepanjang “Fobia Metafora” ataupun apalagi biodata hebat penulisnya. Esai tersebut hanya sependek 5000 kata, standar sangat normal untuk sebuah esai tahun 2023. Akan tetapi “normal” bagi kita, para manusia tahun 2023, sangat mungkin berbeda dengan “normal” dalam fantasi makhluk yang sudah melakukan lompatan-lompatan kelinci tiga kala. Bisa jadi tiga kali diaspora ruang dan waktu, satu terobosan besar dalam relasi teknologi kuantum dengan kritik sastra Indonesia, membentuk adonan kultur campur aduk penulis “Fobia Metafora” sehingga pandangannya tentang makna “normal” mengalami semacam mutasi.
Mutasi itulah tampaknya penyebab sahutan penulis “Mendengar Metafora?!” terlalu anakronis dari jalur genetis yang sudah dipetakan oleh “Fobia Metafora” dan “Metafora 2023”, sesuatu yang kita maklumi lantaran kegagalannya mencerap esai 5000 kata. Oleh karena itu, tulisan ini akan merinci ulang seringkas mungkin poin-poin berdarah-darah “Fobia Metafora” yang dipertanyakan “Metafora 2023”. Jawaban untuk poin-poin tersebut kita ekspektasikan disodorkan “Mendengar Metafora?!”, tetapi sahutan itu pun ternyata hanya mengulang-ulang berbagai hal klenik yang sudah kita temukan dalam “Fobia Metafora”.
2
Poin-poin janggal “Fobia Metafora” yang dipertanyakan “Metafora 2023” bisa dikelompokkan ke dalam 3 tajuk. Pertama, kutipan dan referensi amburadul; kedua, metode argumentasi melibatkan pembuktian-pembuktian gaib dan generalisasi konklusi; dan ketiga, campur aduk seenaknya konsep dan teori dan pemaksaan teori jadul. Berikut disajikan poin-poin ringkas ketiga tajuk tersebut sesuai dengan versi naratif “Metafora 2023”.
(1) Kutipan dan Referensi Amburadul
Tidak perlu bolak-balik merujuk KBBI untuk paham bahwa dua puisi M. Aan Mansyur dan tiga puisi Joko Pinurbo merupakan elemen penting dalam “Fobia Metafora” karena berposisi sebagai bukti tuduhan bahwa kedua penyair fobia metafora.
Ironisnya, “Fobia Metafora” melakukan pengutipan puisi sekenanya sampai-sampai beberapa diksi hilang dari puisi-puisi tersebut dan pembarisan serta pembagian bait puisi juga tidak mengikuti versi puisi penyair-penyair tersebut dalam buku-buku antologi mereka. Selain itu, referensi kutipan-kutipan juga minim disebut.
- Penulis “Fobia Metafora” mencantumkan referensi kutipan puisi M. Aan Mansyur “engkau dan sajakku” dari buku Aku Hendak Pindah Rumah versi 2008. Sementara tampilan puisi berbeda dari versi tahun 2008 dan justru sama dengan tampilan dalam Aku Hendak Pindah Rumah versi 2021.
- Poin ini termasuk 1 poin yang disahut dalam “Mendengar Metafora?!”. Penulis menjawab bahwa “dalam esei asli” dia mencantumkan 2021, tetapi entah kenapa redaktur tengara.id mengubahnya menjadi 2008.
- Melempar kesalahan pada orang lain sama tidak bertanggung jawabnya dengan bersikap sok imut berupa ucapan penyepelean “gitu aja kok repot” terkait pentingnya pengutipan dan referensi bagi seorang kritikus. Selain itu, sebelum publikasi, redaktur tengara.id, lazimnya, mengirimkan hasil penyuntingan kepada penulis terkait untuk dicek mana bagian yang disepakati dan mana bagian yang ditolak. Jika proses tersebut selesai, barulah naskah dipublikasi. Tepat setelah dipublikasikan, redaktur akan memberitahu dapat dihubungi lagi apabila penulis ingin melakukan koreksi lanjutan.
- Dengan kata lain, taruhlah pengubahan tersebut dilakukan redaksi tengara.id, jika penulis “Fobia Metafora” cermat membaca ulang tulisan dia sendiri dalam dua kesempatan; pertama pascapenyuntingan dan kedua tepat pascapublikasi, maka dia akan menemukan perubahan 2021 menjadi 2008 tersebut lalu menolak dan meminta bagian tersebut tidak diubah. Saat faktanya kesalahan tersebut muncul kini, berkelit melemparkan kesalahan pada redaksi tengara.id tentu menjadi kurang ajar, kecuali jika penulis “Fobia Metafora” menganggap tulisannya sangat tidak menarik sampai-sampai dia sendiri malas membacanya.
- Penulis “Fobia Metafora” mengabaikan pembagian bait puisi M. Aan Mansyur “Tuhan di Kedai Kopi”.
- Penulis “Fobia Metafora” mengubah klausa “tetapi aku memiliki istri / & dua anak perempuan” menjadi “tetapi aku memiliki istri / & dua perempuan” dan frasa “dekat dengan hidupku” menjadi “dekat dari hidupku”.
- Penulis “Fobia Metafora” mengubah pembarisan dan pembagian bait puisi “Langkah-langkah Menulis Puisi” Joko Pinurbo.
- Penulis “Fobia Metafora” mengubah diksi “jadi” menjadi “menjadi”, diksi “Pramoedya” menjadi “Pramoedya Ananta Toer”.
- Penulis “Fobia Metafora” menghilangkan diksi “sangat” dari kutipan yang bersumber dari novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer dan menghilangkan rujukan ke novel tersebut yang ditandai asteris. Sementara pembaca antologi-antologi puisi Joko Pinurbo tahu novel yang dimaksud karena pencantuman tersebut, penulis “Fobia Metafora” menjadi satu-satunya orang di muka bumi yang mempertanyakan karya Pram yang mana yang dimaksud, ironisnya, disebabkan dia mengandalkan referensi gaib.
- Penulis “Fobia Metafora” mencantumkan puisi Joko Pinurbo berjudul “Jogja Selamat Malam” tanpa menyebutkan referensi. Puisi tersebut tidak terlacak dalam 18 antologi puisi Joko Pinurbo dan baris-barisnya terbukti merupakan kompilasi 5 puisi Joko Pinurbo.
(2) Pembuktian Gaib dan Generalisasi Konklusi
Mungkin karena penulis “Fobia Metafora” menganut teori keramat, maka kita temukan metode argumentasi yang melibatkan pembuktian-pembuktian premis secara gaib. Konklusi yang dihasilkan dari premis-premis beraroma gaib semacam itu sudah pasti semakin tinggi lagi level kegaibannya, dalam hal ini berupa generalisasi besar-besaran.
Untuk lebih memahami hal tersebut, narasi penulis “Fobia Metafora” bisa ditelisik dengan mengubahnya menjadi tiga silogisme. Silogisme pertama seperti ini:
Premis 1 : Satu puisi M. Aan Mansyur anti-bahasa ungkapan.
Premis 2 : Ungkapan sederhananya kiasan dan salah satu contoh kiasan adalah metafora.
Konklusi : M. Aan Mansyur penyair fobia metafora.
- Konklusi dihasilkan dari loncatan generalisasi dari premis hanya satu puisi M. Aan Mansyur ke seluruh karya M. Aan Mansyur.
- Silogisme melibatkan pembuktian gaib proses penyederhanaan “ungkapan” menjadi “kiasan”.
Poin ini termasuk setengah dari dua setengah poin yang disahut dalam “Mendengar Metafora?!”. Dalam sahutan disebutkan bahwa dia tahu pasti penulis “Metafora 2023” “tidak membaca esei saya itu (cuma mendengarnya?!) karena di awal esei saya tersebut saya memberi penjelasan tentang apa itu ‘ungkapan’ dan ‘kiasan’ serta ‘metafora’ dengan merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).”
Bahwa penulis “Fobia Metafora” bisa tahu pasti sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan orang lain dari jarak jauh, maka mungkin hal tersebut bagian dari keramat. Namun, terlepas dari mistisisme semacam itu yang tidak penting dibahas di kritik sastra Indonesia kapan pun, “Metafora 2023” sudah terang membahas “pengertian ‘ungkapan’ dan ‘kiasan’ yang dipilih merujuk KBBI juga tidak menjelaskan proses tersebut.” Penulis “Fobia Metafora” sekadar menyodorkan pengertian “ungkapan” dan “kiasan” yang secara literal menurut definisi KBBI pun berbeda. Akan tetapi, semisal ada cara “berdarah-darah” untuk membaca definisi kedua ungkapan tersebut menjadi sederhananya sama, maka sialnya penulis “Fobia Metafora” tidak menjelaskannya.
Sebagai tambahan, diksi “Fobia” dan “Metafora” dalam tulisan “Fobia Metafora” merupakan konsep. Taruhlah tulisan tersebut ingin diperlakukan sebagai kritik sastra yang melakukan tuduhan serius terhadap dua orang penyair kontemporer kita sekaligus situasi umum perpuisian kita kini, maka sejak zaman purba sampai kini pun tidak akan ada kritikus bagus yang sepakat bahwa konsep analisis karya sastra cukup didasarkan pada definisi dari KBBI ataupun kamus umum lainnya.
Di situlah pentingnya seorang yang ingin menjadi kritikus memulai, tanpa rasa malu, membaca buku-buku pengantar teori sastra supaya dia paham cakupan demi cakupan teori sastra yang selalu berkembang untuk memilih konsep dari teori yang sesuai. Konsep “Fobia”, misalnya, jelas tidak ada dalam teori sastra Pascakolonial, tetapi ada dalam teori sastra Psikoanalisis. Konsep “Metafora” salah satunya dijelaskan oleh teori sastra Hermeneutika Paul Ricoeur. Mengejek buku pengantar teori sastra tapi gagap menyodorkan rujukan konsep Fobia dan Metafora yang layak dalam kritik sastra kemudian bergampang-gampang diri merujuk hanya KBBI jelas merupakan bagian dari kemalasan snobisme.

Silogisme berikutnya seperti ini:
Premis 1 : Dua puisi M. Aan Mansyur tidak memuat metafora.
Premis 2 : Tiga puisi Joko Pinurbo tidak memuat metafora.
Konklusi : M. Aan Mansyur dan Joko Pinurbo fobia metafora.
- Silogisme melibatkan pembuktian gaib premis 1 dan 2. Meski menyodorkan 2 definisi metafora dari KBBI dan “teori sastra” entah, dua definisi itu pun tidak digunakan untuk menganalisis.
- Konklusi dihasilkan dari lompatan sok imut bahwa “tidak memuat” sama dengan “fobia”. Tidak ada penjelasan bahwa berdasarkan, misalnya, KBBI jika sebuah puisi tidak memuat metafora, maka berarti penyairnya fobia metafora.
- Penulis “Fobia Metafora” menyodorkan definisi metafora dari KBBI dan “teori sastra”. Tidak jelas teori sastra apa yang dirujuk.
- Penulis “Fobia Metafora” lagi-lagi melakukan generalisasi konklusi dari premis yang hanya melibatkan dua puisi M. Aan Mansyur dan tiga puisi Joko Pinurbo menjadi seluruh korpus puisi M. Aan Mansyur dan Joko Pinurbo.
- “Metafora 2023” menyodorkan bukti bahwa dua puisi M. Aan Mansyur dan dua puisi Joko Pinurbo terkait memuat metafora.
Poin ini termasuk satu dari dua setengah poin yang disahut oleh penulis “Fobia Metafora” dalam “Mendengar Metafora?!”. Penulis “Fobia Metafora” membantah dengan mengatakan bahwa “cuma begitu saja dia ‘membuktikan’ klaim asersifnya itu!”.
Kegandrungan menggunakan tanda pentung dalam sebuah esai kritik sastra jelas menggelikan, tetapi terlepas dari itu penulis “Fobia Metafora” tampaknya tidak siap bahwa “Metafora 2023” melakukan tilikan sederhana konten metafora dalam dua puisi M. Aan Mansyur dan tiga puisi Joko Pinurbo menggunakan definisi metafora dari “teori sastra” entah yang “Fobia Metafora” sodorkan.
Tidak jelas motivasi (a) apakah penulis “Fobia Metafora” indolen dan membantah hasil tilikan atasnya karena saking berdarah-darahnya kebelet mencari bantahan yang bisa menyerang “Metafora 2023” sampai-sampai ketika menemukan satu poin langsung kegirangan dan lupa bahwa justru poin itu berbasis definisi yang ia buat sendiri; ataukah (b) penulis “Fobia Metafora” terpapar demensia bahwa dia pernah menulis definisi tersebut kendati tidak mengoperasikannya dalam telisik lima puisi pilihannya. Yang mana pun motivasi tersebut yang terjadi, keduanya menunjukkan seberapa hebat efek jet lag dan mutasi mental pelompat kala yang sok imut.
Silogisme berikutnya seperti ini:
Premis 1 : M. Aan Mansyur Fobia Metafora.
Premis 2 : Joko Pinurbo Fobia Metafora.
Konklusi : Fobia Metafora merupakan gejala utama dalam arus utama perpuisian di negeri ini.
- Baik premis 1 maupun premis 2 melibatkan pembuktian gaib. Lantas konklusinya pun semakin tidak masuk akal karena selain tidak berbasis premis yang terbukti, ia juga merupakan generalisasi situasi perpuisian Indonesia terkini berdasarkan waham terhadap hanya dua penyair yang hanya lima puisi puisi sampelnya pun tidak dianalisis.
(3) Campur Aduk Konsep Seenaknya dan Memaksakan Teori Jadul
“Fobia Metafora” memuat campur aduk konsep dan teori-teori jadul yang secara epistemologis bertentangan. Penulis hanya mengutip bagian-bagian teori yang sepintas tampak mendukung waham dia. Pemahaman parsial tersebut lantas dipaksakan pada puisi dan puitika kontemporer.
- Penulis “Fobia Metafora” mengoplos puitika Romantisisme Wordsworth dengan puitika Modernisme Ezra Pound seolah keduanya akur. Padahal Romantisisme Wordsworth juga menekankan penyair sebagai sosok pujangga, satu hal yang justru bertentangan dengan status Ezra Pound sebagai pendukung Fasisme.
- Sebagaimana dinyatakan oleh T.S. Eliot, Modernisme menolak puitika Romantisisme. Dari sisi epistemologi, kedua puitika tersebut sangat bertentangan: mode ekspresif pada Romantisisme, mode objektif pada Modernisme.
- Penulis “Fobia Metafora” menggunakan campuran mustahil puitika jadul Romantisisme dan Modernisme untuk menakar puisi-puisi yang lahir pasca-tahun 2000 ketika era Pascamodernisme saja sudah lewat lebih dari dua dekade.
- Dikotomi sastra tinggi dan pop sudah mulai usang dalam kritik sastra sejak tahun 1980-an. Penulis “Fobia Metafora” masih meributkan dikotomi semacam itu di tahun 2023. Menjadi pengikut teori usang atau bahkan purba tentu hak siapa pun, tetapi tidak ada legitimasi untuk memaksakan keusangan yang dianut terhadap penyair-penyair kontemporer.
Rincian dan ringkasan merespons poin-poin janggal “Fobia Metafora” di atas sudah sangat jelas. Namun, berhubung informasi level mutasi mental pelompat kala relatif minim karena memang baru kali ini terjadi dalam historiografi (kritik) sastra Indonesia, berikut disajikan poin-poin tersebut dalam wujud tabel daftar pertanyaan ringkas sehingga diharapkan lebih mudah dipahami oleh siapa pun, baik penulis “Fobia Metafora” ataupun bahkan anak SMP.
No. | Daftar Pertanyaan untuk Poin-poin Janggal “Fobia Metafora” |
1 | Bagaimana pertanggungjawaban penulis “Fobia Metafora” untuk referensi menipu atas puisi “engkau dan sajakku”? |
2 | Antologi M. Aan Mansyur yang mana yang memuat pembagian bait puisi “Tuhan di Kedai Kopi” yang sama dengan versi “Fobia Metafora”? |
3 | Apa pertanggungjawaban penulis “Fobia Metafora” atas perubahan klausa “tetapi aku memiliki istri / & dua anak perempuan” menjadi “tetapi aku memiliki istri / & dua perempuan” dan frasa “dekat dengan hidupku” menjadi “dekat dari hidupku” dalam puisi “Tuhan di Kedai Kopi”? |
4 | Antologi Joko Pinurbo mana yang memuat pembarisan dan pembagian bait puisi “Langkah-langkah Menulis Puisi” yang sama dengan versi “Fobia Metafora”? |
5 | Apa pertanggungjawaban penulis “Fobia Metafora” mengubah diksi “jadi” menjadi “menjadi” dan diksi “Pramoedya” menjadi “Pramoedya Ananta Toer” dalam puisi “Langkah-langkah Menulis Puisi”? |
6 | Apa pertanggungjawaban penulis “Fobia Metafora” menghapus diksi “sangat” dari kutipan novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer dalam puisi “Langkah-langkah Menulis Puisi”? Kenapa pula penulis menghapus keterangan referensi yang ditandai asteris pada puisi tersebut? |
7 | Dari antologi puisi Joko Pinurbo yang mana penulis “Fobia Metafora” mendapatkan puisi berjudul “Jogja Selamat Malam”? |
8 | Bagaimana proses penyederhanaan “ungkapan” menjadi “kiasan”? Sejak kapan kritik sastra cukup menggunakan konsep analisis yang definisinya merujuk hanya KBBI dan bukan buku teori atau kritik sastra? |
9 | Jika poin 8 sudah dijelaskan dengan logis, apa penjelasannya hanya satu puisi M. Aan Mansyur ditafsirkan menolak ungkapan tetapi kemudian disimpulkan M. Aan Mansyur fobia metafora? |
10 | Mana bukti analisis puisi-puisi M. Aan Mansyur dan Joko Pinurbo tidak memuat metafora? |
11 | Apa penjelasan logis bahwa jika satu puisi seorang penyair tidak memuat metafora, lantas penyair tersebut layak disebut fobia metafora? |
12 | Teori sastra spesifik apa yang dimaksud ketika penulis “Fobia Metafora” menyebut definisi metafora berdasarkan teori sastra? |
13 | “Metafora 2023” menunjukkan dua puisi M. Aan Mansyur dan dua puisi Joko Pinurbo yang dijadikan contoh ternyata memuat metafora sesuai definisi metafora berdasarkan “teori sastra” “Fobia Metafora”. Bagaimana penulis “Fobia Metafora” mempraktikkan konsep metaforanya sehingga berkesimpulan sebaliknya? |
14 | Bagaimana bisa hanya berdasarkan dua puisi M. Aan Mansyur dan tiga puisi Joko Pinurbo yang tidak dianalisis lalu ujug-ujug disimpulkan keduanya fobia metafora? |
15 | Bagaimana bisa hanya berdasarkan premis yang tidak dibuktikan terkait M. Aan Mansyur dan Joko Pinurbo lalu dilakukan generalisasi terhadap situasi perpuisian Indonesia kontemporer? |
16 | Apa basis logis penulis “Fobia Metafora” mencampur puitika Wordsworth dan Ezra Pound yang jelas-jelas bertentangan? |
17 | Apa basis logis penulis “Fobia Metafora” mencampur puitika Modernisme dan Romantisisme yang jelas-jelas ditolak oleh kaum Modernis seperti T.S. Eliot? |
18 | Apa basis logis campuran mustahil Romantisisme dan Modernisme digunakan untuk menakar puisi dan puitika kontemporer 2023? |
19 | Apa legitimasi memaksakan dikotomi sastra tinggi dan pop di tahun 2023 jika dikotomi itu sendiri sudah usang dalam kritik sastra sejak tahun 1980-an? |
Adapun poin-poin janggal lainnya dari “Fobia Metafora” yang tidak sempat disinggung dalam “Metafora 2023” tidak diikutsertakan di sini semata karena pesimisme dan niat baik supaya penulis “Fobia Metafora” tidak semakin uring-uringan dan bisa fokus menjawab poin-poin yang sudah terlebih dahulu dipertanyakan saja.
Sebagai contoh, baris puisi penutup “Fobia Metafora” sepintas mirip puisi Amir Hamzah “Padamu Jua”1Lihat dalam Amir Hamzah, Padamu Jua: Koleksi Sajak 1930-1941 (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 25., tetapi dalam antologi puisi Amir Hamzah mana pun tidak ada baris “Mata hari — bukan kawanku”. Hal tersebut memang bisa menambah daftar panjang kecerobohan penulis “Fobia Metafora” terkait kutipan dan referensi, tetapi bisa jadi pula kritikus aliran “keramat berdarah-darah” memang memiliki akses istimewa terhadap berbagai referensi gaib yang tidak bisa diakses oleh kritikus kontemporer mana pun sehingga sangat disayangkan dia tidak bersedia membagikan kepada kita referensi-referensi ajaib yang bisa memperkaya pustaka literasi kita tersebut.
Dari 19 poin janggal yang dipertanyakan dalam “Metafora 2023”, hanya poin 1, separuh poin 8, dan poin 13 yang penulis “Fobia Metafora” sahut dalam “Mendengar Metafora?!”. Ketidakmemadaian sekadar 2 ½ sahutan itu pun sudah penulis tanggapi di atas. Akan tetapi, untuk tidak menambah beban, tanggapan itu tidak perlu ditanggapi balik terlebih dahulu dan mari anggap sisa 16 ½ poin saja yang mesti disahut oleh penulis “Fobia Metafora”.
Andaikata setelah disajikan dalam bentuk sangat sederhana seperti ini pun penulis “Fobia Metafora” ternyata masih susah fokus dan tidak mampu memberi respons yang tidak “lempar batu sembunyi tangan” lantas memilih mengulang-ulang sahutan berupa racauan sofis berbagai persoalan lain yang tidak tentu ujung pangkalnya, maka cukup sudah bahwa mutasi mental akibat jet lag pelompat kala ternyata lebih parah dari yang kita duga. Tidak ada gunanya memberikan tanggapan lebih lanjut.
3
Sahutan “Mendengar Metafora?!” tidak memadai diposisikan sebagai tulisan ke-3 dalam rangkaian (1) “Fobia Metafora” dan (2) “Metafora 2023”. Sahutan tersebut terlalu kalang kabut dan lebih mirip lanturan dengan fungsi retoris mengalihkan 19 poin yang diangkat dalam “Metafora 2023”.
Oleh sebab itu, tulisan “Pada Sebuah Sahutan: Interlude” yang ditulis setelah “Mendengar Metafora?!” ini pun tidak dimaksudkan menjawab sahutan tersebut, melainkan lebih sebagai semacam “interlude”. Interlude ini dengan segala kerendahan hati mengingatkan bahwa jika penulis “Fobia Metafora” adalah seorang kritikus dan memiliki pencerapan waras tentang kala, dia pasti tahu bahwa dia mesti menjawab dulu poin-poin janggal yang dipertanyakan dalam “Metafora 2023” sebelum tantrum menyahutkan hal-hal lain dalam tulisan tersebut.
Apabila poin-poin janggal “Fobia Metafora” tuntas diatasi, barulah penulis sahutan “Mendengar Metafora?!” layak mempertanyakan hal-hal lain dan berbalik menuntut jawaban dari penulis “Metafora 2023”.
Selain mempermalukan diri sendiri, mengabaikan tertib dalam tanggap-menanggapi yang sudah menjadi pengetahuan umum semacam itu pada akhirnya hanya mendorong kita pada posisi dilematis. Pertama kita terdorong untuk suuzan bahwa penulis “Fobia Metafora” tidak paham tulisannya sendiri. Kedua, kita terdorong untuk husnuzan bahwa dia paham dan sadar poin-poin dalam “Fobia Metafora” memang layak dipertanyakan tetapi egonya yang memiliki kekosongan pengaruh superego selama sembilan windu kala yang dipangkas membuatnya enggan mengakui hal tersebut di muka publik, bahkan meski dia tahu publik yang cerdas—meski tidak secerdas biodatanya—sudah tahu hal tersebut dan menertawakannya.
Jika “Fobia Metafora” “hanya terjadi dalam sebuah” fiksi ilmiah tempat penyair disetarakan dengan dukun, puisi dianggap jimat, dan kritikus diperbolehkan mengutip sumber-sumber gaib, maka “Mendengar Metafora?!” menambah karakterisasi fiksi ilmiah tersebut sebagai “sentimentil”, satu hal yang hanya akan “dicibir oleh akal”.
Meski demikian, tetap saja kita mesti menyesal menyadari pelompat kala 1949-2023 ternyata tidak sehebat biodatanya. Alih-alih melihat sosok kritikus yang mau dan mampu mempertanggungjawabkan tulisannya, kita menyaksikan sosok bocah tantrum yang jet lag. Dari sosok semacam itu tidak bisa kita harapkan lahir teks yang bisa dinalar secara wajar, baik tentang puisi dan puitika Pujangga Baru dan Angkatan ’45 ataupun apalagi tentang puisi dan puitika kontemporer kita. Terima kasih.
Ciamis, Agustus 2023.
1 comments On Pada Sebuah Sahutan: Interlude
Cukup A’a Cep.. jangan kau kucuri lukanya dengan air garam. Dia udah uzur. Heuheuheu