Nostalgia Fiksi Anak: Seri Sandi Dwianto Setyawan

ADA banyak nama penulis lokal yang karya-karyanya menemani saya menghabiskan masa kecil sekaligus secara tak terasa ikut menyebabkan saya tumbuh menjadi gemar membaca, salah satunya Dwianto Setyawan.

Dwianto Setyawan penulis produktif kelahiran Kota Batu, Jawa Timur, tahun 1949. Konon dia mulai menulis pada tahun 1972.1Sedikit informasi biografis Dwianto Setyawan dan karya-karyanya bisa dibaca di KompasianaGoodreads mencantumkan 62 judul karyanya, tetapi tampaknya total karya dia lebih banyak dari jumlah tersebut karena ada beberapa judul karya dia yang saya ketahui tetapi belum tercantum di sana.

Memang Dwianto Setyawan bukan hanya menulis fiksi anak, dia juga menulis novel-novel yang sasaran konsumsinya pembaca dewasa, misalnya tiga jilid seri Kartika Kadarman yang jilid kesatunya menjuarai Sayembara Novelet Femina 1983, tetapi jumlah fiksi anak yang dia tulis lebih banyak. Terkait fiksi anak, Dwianto Setyawan paling banyak menulis novel petualangan dengan tokoh sekelompok anak seperti Lima Sekawan Enyd Blyton. Salah satu ciri khas dia juga, dan tampaknya menjadi ciri khas kebanyakan penulis fiksi anak pada masa itu, adalah menulis novel-novel tersebut kebanyakan sebagai serial. Salah satu yang saya baca dulu dan paling saya ingat adalah seri Sandi.

Seri Sandi yang dulu saya baca lewat perpustakaan sekolah hanya terdiri dari dua judul: Terlibat di Bromo dan Terlibat di Trowulan. Belum lama ini tanpa sengaja saya menemukan seri ketiga berjudul Terlibat di Mahakam. Edisi yang dulu saya baca diterbitkan Edumedia sebagai bagian dari proyek pengadaan buku Sekolah Dasar berdasarkan Inpres yang berlangsung selama dua dekade sejak tahun 1974.

Buku edisi Edumedia berukuran sama seperti kebanyakan buku proyek Inpres lainnya, berukuran 14,5 x 20,5 senti. Ukuran semacam itu mungkin cocok untuk buku pelajaran, tetapi jelas kurang merenah untuk sebuah novel. Berdasarkan hasil meramban, penerbit Edumedia memang menerbitkan tiga judul seri Sandi lengkap pada tahun 1994, meski di internet saya hanya bisa menemukan kover dua judul yang dulu saya baca. Berdasarkan hasil meramban pula, ternyata ketiga buku tersebut dicetak ulang pada tahun 2008 oleh penerbit Iravi Jaya, meski lagi-lagi saya tidak bisa menemukan gambar kovernya.

Seri Sandi edisi Gramedia diterbitkan satu windu lebih awal, yaitu Terlibat di Bromo tahun 1985, Terlibat di Trowulan dan Terlibat di Mahakam tahun 1986, tahun-tahun ketika Gramedia memberikan perhatian khusus pada fiksi anak dengan edisi legendarisnya: seri Kancil. Semuanya dicetak dengan ukuran menyenangkan untuk sebuah novel: 11×18 senti. Gambar kover yang digunakan sedikit berbeda, tetapi ilustrasi di dalamnya sama. Baik gambar kover maupun ilustrasi sama-sama digambar oleh komikus Gerdi WK.  

Pindaian kover jilid pertama, Terlibat di Bromo
Pindaian kover jilid kedua, Terlibat di Trowulan
Pindaian kover jilid ketiga, Terlibat di Mahakam

Saya tidak ingat pastinya kapan saya membaca dua novel seri Sandi, tetapi saya perkirakan saat itu saya masih kelas 4 atau 5 Madrasah Ibtidaiyah (MI), setara SD, artinya saat saya berusia sekitar 11 tahun. Jika membandingkan dengan kategorisasi yang dimuat oleh Burhan Nurgiyantoro dalam buku Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak, tanpa sengaja seri Sandi sebagai seri petualangan sekaligus detektif cilik ini memang sesuai dengan tahap perkembangan intelektual anak usia 11 atau 12 tahun ke atas yang disebut sebagai tahap operasi formal. Bukan tanpa alasan pula bahwa karakter utama di dalam cerita digambarkan berusia 12 tahun.

Ada tiga karakter utama dalam seri Sandi, yaitu Rin Dama, Agung, dan Ilham. Ketiganya tinggal di Surabaya. Rin Dama digambarkan sebagai anak tomboi dan dialah sebenarnya yang berposisi sebagai pemimpin kelompok. Nama aslinya Karina Damayanti. Dia sering diomeli ibunya dengan ungkapan “kamu anak perempuan, Rin, masa selalu mau mengikuti tingkah anak laki-laki.”

Agung Nur Wisesa anak orang kaya dan berkali-kali “membiayai” petualangan mereka. Dia juga yang paling santai di antara mereka bertiga. Dia digambarkan bertubuh agak pendek, sehingga suka minder kalau berdampingan Rin Dama karena kalah jangkung. Sementara Ilham anak paling serius di antara mereka bertiga, gila arkeologi gara-gara tinggal bersama kakeknya, Profesor Doktor Triman Samiaji, seorang arkeolog.

Momen mereka membentuk perkumpulan dengan nama Sandi dikisahkan dalam bab ke-13 buku pertama, Terlibat di Bromo. Pada bab yang sama juga dikisahkan soal lambang yang mereka pakai, air, yang sekaligus singkatan dari nama mereka bertiga: A untuk Agung, I untuk Ilham, R untuk Rin. Dalam bab tersebut Ilham mengatakan bahwa mereka belum memiliki kata-kata sandi. Kelak kata-kata sandi khas mereka dimunculkan dalam bab pertama buku kedua, Terlibat di Trowulan.

Ketebalan seri Sandi terhitung standar, sebagaimana kebanyakan buku cerita anak-anak pada masa itu. Terlibat di Bromo setebal 184 halaman, Terlibat di Trowulan setebal 197 halaman, sementara Terlibat di Mahakam setebal 220 halaman. Jalan cerita ketiganya sama: mereka bertiga pergi ke satu tempat lalu menemukan misteri, mencoba memecahkannya, dan berhasil. Misteri yang mereka temukan biasanya terkait tindak kejahatan, sehingga cerita selalu ditutup dengan tertangkapnya penjahat atas upaya mereka.

Pada buku satu, mereka pergi berlibur ke Bromo ditemani paman Edwin Simangunsong yang makian khasnya, “pepaya busuk” menjadi makian khas anak-anak tersebut di semua buku. Paman Edwin anak buah bapak Agung. Di Bromo mereka terlibat kasus pencurian benda purbakala berupa bokor perunggu.

Dalam buku kedua, trio Sandi pergi ikut kak Adang Permana ke Trowulan. Di sana mereka terlibat kejahatan tengkulak penjual benda kuno yang akan mencuri keris berhulu emas peninggalan Majapahit. Sementara di buku ketiga, mereka pergi bersama Kak Halita Bachrin ke kampung halamannya di Samarinda. Di sana mereka menghadapi kasus pencurian Lembu Suana mini yang terbuat dari emas, tiruan lambang Kesultanan Kutai Kartanegara.   

Bagi saya, seri Sandi termasuk kategori novel yang menghibur sekaligus mendidik. Alurnya ditata dengan baik, sementara dalam cerita terselip banyak pengetahuan yang penting bagi anak-anak bahkan mungkin juga bagi orang dewasa. Bagusnya lagi, pengetahuan tersebut hadir tanpa tampak menggurui, melainkan menyatu dengan cerita.

Dalam Terlibat di Bromo misalnya pembaca mendapatkan banyak gambaran tentang adat masyarakat Tengger, terutama upacara Kasada di Bromo. Dalam Terlibat di Trowulan ada banyak informasi mengenai Majapahit termasuk kutipan Negarakrtagama. Sementara dalam Terlibat di Mahakam ada banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai dan Kesultanan Kutai Kartanegara. Memang khas seri Sandi adalah ketiga novel seri ini menggunakan latar tempat bersejarah sehingga fakta-fakta sejarah pun terjalin dalam cerita.2Cerita melibatkan benda bersejarah juga bisa ditemukan dalam beberapa fiksi anak Dwianto Setyawan yang lain, misalnya judul keempat Seri Kelompok 2&1, Misteri Patung Airlangga (Gramedia, 1985)Pada bagian awal Terlibat di Trowulan bahkan diselipkan denah Situs Trowulan, sementara pada beberapa akhir bab pada Terlibat di Mahakam dicantumkan gambar Lembu Suani seperti ini:

Tentu saja bukan hanya itu yang menjadikan seri Sandi istimewa. Ada banyak poin lain yang juga menunjukkan bahwa aspek-aspek intrinsik ketiga novel seri ini digarap dengan cermat. Karakter Bu Haryoko yang berulang kali mengomel tentang sikap Rin yang bagi dia tidak mencirikan perempuan tetapi pada akhirnya selalu mengalah pada Rin yang keras kepala misalnya mengisyaratkan konsep gender sebagai bukan sesuatu yang kaku. Simak juga adegan ketika Rin menunjukkan pandangan dia tentang konsep perempuan:

“Kalian semua salah mengira. Aku anak perempuan seratus persen!” Rin cemberut. “Ibu-lah yang suka mengatakan aku seperti anak laki-laki.”

Kak Adang dan Kakek tergelak.

“Soalnya, Kakek tahu kenapa? Karena ibu saya lebih senang kalau anak perempuannya kelihatan alim, lemah-lembut, kalau bicara harus pelan, dan kalau tertawa harus ditahan…”

Nek Triman muncul. Memperhatikan Rin sambil tersenyum simpul.

“…kalau berjalan harus melenggak-lenggok,” Rin menirukan cara jalan yang dimaksudkannya, “seperti kambing kelaparan!”

“Kambing kelaparan bukan melenggak-lenggok, terhuyung-huyung!” seru Agung.

“Hahahaha!”

“Tapi sekarang kan bukan zamannya,” lanjut Rin. “Wanita sekarang lain dengan dulu. Lihat, ada pendaftaran calon astronot, mereka tidak mau ketinggalan. Bukankah demikian, Nek?” tanyanya sambil menoleh ke arah Nenek.

Di luar perkiraan Rin, Nek Triman menggeleng. “Aku lebih cocok dengan wanita seperti yang diinginkan ibumu,” sahutnya.

“Huuuu! Nenek sama saja dengan ibu, kolot!”

Gelak tawa yang ramai terdengar lagi.

Terlibat di Trowulan, hal. 26-27

Dari dialog itu tampak bahwa pandangan soal perempuan harus lemah lembut diposisikan sebagai pandangan generasi berbeda, yaitu generasi Bu Haryoko dan nenek Ilham. Sementara pandangan Rin adalah pandangan generasinya yang sudah lebih terbuka mengenai peran perempuan. Rin menyinggung mengenai perempuan menjadi astronot tampaknya terkait pencapaian Pratiwi Sudarmono yang pada tahun 1985 terpilih untuk ikut misi Wahana Antariksa NASA. Pencapaian tersebut termasuk salah satu kisah yang populer menjadi teladan dalam buku fiksi anak-anak pada masa itu.

Lihat juga kritik tersirat atas pandangan bahwa orang dewasa selalu lebih jago menyelesaikan masalah daripada anak kecil dalam adegan Adang Permana yang mengambil alih tugas trio Sandi membuntuti Pak Kamso menjelang klimaks alur Terlibat di Trowulan. Pada akhirnya Adang Permana justru kena batunya tertangkap dan disekap oleh komplotan Pak Kamso. Kasus di Trowulan diselesaikan oleh peran trio Sandi dan di bagian akhir Adang Permana menjadi bahan ejekan mereka.   

Kritik terhadap orang dewasa sekaligus mengadopsi pemikiran anak yang menjadi pembaca yang dituju. Kritik semacam itu juga tampak dalam Terlibat di Mahakam. Sejak awal cerita, Halita selalu mengatakan Baul Adam sebagai pria jahat yang harus trio Sandi jauhi karena dulu pria itu pernah terlibat perampokan nasabah. Cerita itu tampak meyakinkan, didukung oleh penampilan fisik dan sikap Baul Adam yang digambarkan seperti preman. Ternyata di tengah-tengah cerita ketahuan bahwa alasan Halita sebenarnya alasan personal terkait persoalan asmara masa lalu, sementara Baul Adam sendiri justru orang baik dan terbukti tidak bersalah dalam kasus perampokan nasabah. Cerita semacam itu secara taksadar akan membantu menanamkan pemahaman pada pembaca bahwa tidak baik menilai orang berdasarkan tampilan luar, sebagaimana tidak baik bersikap mendendam sampai-sampai melakukan pembunuhan karakter.3Lebih lanjut mengenai nilai-nilai yang Dwianto Setyawan sodorkan dan cara menyodorkannya dalam seri Sandi bisa dibaca dalam penelitian Endah Imawati berjudul “Petualangan dalam Cerita sebagai Pembentukan Karakter Anak”.

Terakhir, saya sedikit kepikiran bahwa kini di tengah meningkatnya serbuan gawai yang memungkinkan anak-anak usia sekolah mengalami kemunduran kemampuan membaca dan memahami teks karena mereka lebih terbiasa dengan gawai mereka daripada membaca buku, fiksi anak bukannya menjadi lebih banyak justru malah lebih sedikit. Zaman saya selain nama Dwianto Setyawan juga ada di antaranya Djokolelono dan Bung Smas. Tiga nama itu saja sebagai nama-nama penulis fiksi anak yang karyanya banyak diterbitkan Gramedia kalau karyanya digabungkan maka angka fiksi anak yang kita dapat bisa mencapai seratus. Belum lagi nama-nama lain yang karya-karyanya diterbitkan oleh banyak penerbit lain.   

Tentu saja ada banyak faktor yang kompleks perlu dipertimbangkan di balik perbandingan literasi anak pada dua zaman semacam itu. Terkait produktivitas, bagi seorang penulis dewasa misalnya, menulis fiksi anak bisa saja lebih sulit daripada menulis fiksi untuk orang dewasa karena jauhnya jarak antara usia penulis dengan usia pembaca yang dituju, belum lagi masalah penerbitan dan distribusi yang pada zaman dulu sangat terbantu oleh dana dari negara. Pendekatan terhadap anak juga jelas berbeda karena zaman sekarang bisa memanfaatkan platform digital tidak harus memaksakan buku cetak. Beberapa buku lama karangan Dwianto Setyawan, termasuk buku kedua seri Sandi Terlibat di Trowulan, bisa diakses di Gramedia digital. Strategi terbaik tampaknya seperti yang dilakukan oleh seri Mata (4 judul, terbit 2018-2021) karangan Okky Madasari: buku tersebut tersedia dalam edisi cetak sekaligus edisi buku elektronik. Demikian juga apresiasi perlu diberikan pada salah satu penerbit yang tetap konsisten menerbitkan seri-seri buku anak sampai kini, yaitu penerbit Kiddo, lini penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, yang terbitannya bisa diakses baik dalam versi cetak ataupun digital.

Saya pikir pembahasan tentang faktor-faktor tersebut pasti panjang, cukup panjang dan menarik untuk dijadikan tulisan tersendiri. Dalam tulisan ini cukup saya hanya bernostalgia pengalaman saya sendiri dan sedikit pengakuan: saya membaca seri ketiga Sandi, Terlibat di Mahakam, belum lama ini dan saya masih bisa menikmatinya. Salam.

Referensi

Imawati, E. 2016. Petualangan dalam Cerita Sebagai Pembentukan Karakter Anak. Sastra, Budaya, dan Perubahan Sosial (hal. 157-165). Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra.

Nurgiyantoro, Burhan. 2017. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Setyawan, Dwianto. 1985. Terlibat di Bromo. Jakarta: Gramedia.

_. 1986. Terlibat di Trowulan. Jakarta: Gramedia.

_. 1986. Terlibat di Mahakam. Jakarta: Gramedia.     

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.