Narasi-narasi Laut pada Peta Rasio Masa Kini

1

NARASI tentang laut adalah narasi yang tak pernah berhenti memukau manusia, di mana pun dan kapan pun. Kita menjumpainya sebagai pokok di berbagai tempat pada beragam masa, dalam risalah kuno Aristoteles, epik kuna Beowulf, kitab klasik Jalaluddin al-Suyuthi, sampai dalam puisi salah satu sastrawan Indonesia Angkatan ’66:

busa dan buih putih

menuntun gulungan ombak

mengendap pasir putih pantai

busa dan buih putih

menuntun lelaki pelaut

pulang dari kemenangan di laut

Bisa ada banyak analisis tentang mengapa laut selalu memukau manusia, tetapi bagi Psikoanalis penyebabnya sederhana: laut adalah bagian dari ingatan manusia yang tak pernah tuntas, seperti mimpi yang tak bisa kita ingat sepenuhnya saat terjaga tapi kita tahu ia benar-benar ada menemani saat kita terlelap. Berbeda dengan gunung, hutan, dan pastura, laut tak pernah benar-benar terjelajahi sepenuhnya, ia selalu menyimpan sisi misterius, dan apa yang misterius selalu memiliki sisi memukau tersendiri.

Dalam kisah pra-tulisan, Adam diturunkan—secara literal—dari langit di puncak gunung sebagai bagian dari bumi yang paling dekat ke langit. Terpisah dari Hawa yang diturunkan di Jeddah, dia kemudian mengembara melintasi hutan, rawa-rawa, padang pasir luas, dan bertemu dengannya di Jabal Rahmah. Setelah itu kisah umat manusia adalah kisah agrikultur dan gembala, baru kemudian pada zaman Nuh kita akan menemukan “laut” sebagai latar utama narasi tentang manusia, itu pun dalam wujudnya yang tak bisa dikontrol manusia kecuali melalui bantuan wahyu Tuhan.

Laut sebagai sesuatu yang tak terkontrol, misterius, tak terstruktur. Pikiran manusia selalu membunyikan tanda bahaya ketika menemukan apa yang tak terstruktur. Manusia yang sudah dewasa—dengan kata lain: sudah distrukturkan kultur—akan berusaha menstrukturkannya dan melupakan sisanya yang tak teringkus manajemen struktural. Akan tetapi apa yang manusia lupakan pada dasarnya tak pernah benar-benar lenyap, ia hanya mengendap, menunggu kesempatan untuk kembali tampil di panggung. Demikianlah laut bertempat dalam pikiran sebagai bagian yang karakteristiknya ditempatkan di dalam ketaksadaran untuk kembali muncul suatu saat nanti: the return of the repressed dalam terminologi Psikoanalisis, memancarnya air dari tanur dalam kisah Nuh.

Maka bagi Psikoanalis, laut adalah simbol kelahiran generasi manusia pasca-Nuh, bahwa mereka yang bermimpi tentang laut—dan artinya ingatan tentang laut klasik dalam ketaksadarannya menerobos gerbang sensor struktur—adalah mereka yang merindukan persetubuhan. Laut adalah ibu manusia, dan ibu, sosok perempuan, adalah sosok wakil gender yang tak pernah bisa sepenuhnya disingkap oleh rasio. Manusia kerap merasa paling dekat dengan sang ibu, tapi kerap kali pula mereka merasa tak benar-benar memahaminya.

Karena alasan yang sama, dalam tradisi Barat, laut sering kali menjadi simbol surga. Surga yang bisa dimaknai ganda sebagai ujung tempat manusia berbahagia sekaligus sebagai pangkal tempat dulu Adam berbahagia. Pada titik inilah imaji-imaji laut dalam sastra seringkali hadir sebagai figur ibu, gerak mengarunginya adalah gerak mengarungi salah satu bagian paling misterius dalam semesta, gerak kembali ke sana adalah tindakan yang digerakkan oleh hasrat untuk kembali ke ketenangan yang tanpa struktur, suatu ketenangan purba ketika yang misterius masih seakrab bayi dengan plasenta sementara kultur adalah belaian dan bisikan ibu dari luar perut, lembut dan tanpa hasrat meringkusnya ke dalam struktur.  

Bertolak dari sana, kita akan menemukan sosok-sosok pria yang “bisa” mengarungi “lautan maha dalam”—dalam sajak Chairil—atau “lautan yang tak terselami”—dalam sajak Shelley—sebagai sosok-sosok yang gagah, imaji maskulin yang bisa memahami imaji feminin: Nuh dalam kisah kuno, Odysseus dalam puisi Homer, Beowulf dalam epik klasik Inggris, Sindbad, Marco Polo, Ibn Battuta. Ketika yang mengemuka adalah hasrat untuk menaklukkan, maka kita biasanya menemukan narasinya sebagai narasi Tragedi: Moby Dick, Heart of Darkness.

Sesekali, sampai sekarang, kita masih menemukan juru kisah yang mencoba menengok kembali apa yang masih bisa dikabarkan tentang laut, dan selalu pula ingatan purba kita menyodorkan keterpukauan akan apa yang tak pernah bisa sepenuhnya diringkus struktur peta hasil pencapaian rasio modern itu: laut. Pada momen kita berjumpa dengan salah satu juru kisah itu, saat itu pula kita mungkin berjumpa dengan Safar Banggai.

2

Safar adalah anak Banggai. Safar adalah anak laut. Baginya laut sama dengan gunung bagi Sangkuriang, sebagaimana gunung baginya adalah laut bagi Sangkuriang. Ia adalah bagian dari kultur yang membentuk kegarangan “mereka yang takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi pantai”, kultur yang membentuk ketakziman dan penghayatan penuh saat menyanyikan baris-baris lagu kanak-kanak anggitan Ibu Soed:

Nenek moyangku s’orang pelaut

Gemar mengarungi samudra

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Ombak, nenek moyang: bagian dari ingatan yang selalu bergerak menepi tanpa pernah benar-benar pergi. Nenek moyang selalu terbayang sebagai sosok-sosok yang hidup pada zaman jauh, mereka yang dalam “kultur daratan” hanya bisa dikenang tanpa bisa benar-benar sepenuhnya dekat. Waktu, apa boleh buat, adalah jarak paling jauh dalam peta ingatan, ia mungkin mewariskan sesuatu dalam darah kita yang melahirkan totem dalam kultur daratan dan, dalam kasus Safar, melahirkan nyanyian, dan cerita.

Karena bagi mereka yang dilahirkan ombak seperti salah satu penulis dari Banggai ini, laut tak pernah jauh, ia selalu dekat. Ombak dan nenek moyang tak pernah benar-benar pergi dari peta baik pada zaman ketika Mpu Prapanca sedang menuliskan tera pada kisah masa lalu daerah tersebut sebagai Buntun Benggawi ataupun pada zaman ketika Safar memutuskan menjadi juru kisah.

Tak benar-benar pasti memang apakah selusin cerita dalam buku ini adalah buah perasaan dekat itu atau justru sebuah upaya untuk memastikannya. Laut pada kisah-kisah dalam antologi ini bukan suara homogen, mereka mungkin memukau kita tetapi bukan dengan keseragaman nada ombak yang diringkus struktur hukum pasang surut, melainkan kerancakannya yang mengingatkan kita pada kondisi asali jauh sebelum struktur itu sendiri ada.

Dalam cerpen pertama, “Nelayan Itu Berhenti Melaut”, laut adalah simbol kehidupan komunal, di mana “kalau laut bermasalah maka keharmonisan rumah tangga warga kampung akan bermasalah” (hal. 3) pula. Laut, dengan demikian, diposisikan di atas manusia, sebagaimana tergambar dengan kuat dalam kalimat ini: “Pak Ahan khawatir terhadap laut, bukan kepada si Pendiam” (hal. 2).

Dalam cerpen kedua, “Makan Mayat Manusia”, laut menjadi ibu yang memarahi anak yang lalai menjaganya. Jika laut adalah natur, maka bom rakitan yang membunuh Pak Aji adalah kultur. Menariknya, dua pihak yang berseberangan itu, natur-kultur, laut-bom rakitan, bukan sesuatu yang mutlak. Dikatakan bahwa “Kami terus menjaga laut seperti kami menjaga ibu” (hal. 15), “menjaga” di sini bukan berarti sepenuhnya menolak kultur, sesuatu yang “buatan”, karena “menjaga” itu sendiri dilakukan sesuai dengan “tradisi warga kampung nelayan” (hal. 15). Tradisi, kultur, poinnya adalah kultur sebagai sesuatu yang tidak mematikan “biota laut” (hal. 14), dicontohkan dengan sederhana sebagai “menangkap ikan masih menggunakan pukat, pancing, dan beberapa alat tangkapan tradisional lainnya” (hal. 15).  

Dalam cerpen ketiga, “Ia tak Sadar Air Matanya Jatuh”, cerpen paling pendek dalam antologi, laut adalah angin kencang yang menerbangkan atap rumah lalu berkolaborasi dengan hujan lebat membuat isi rumah basah. Akan tetapi kita kembali menemukan laut sebagai ibu yang bahkan ketika ia marah pun maka ia tetap tak salah: apa yang si Kakek dan istrinya penghuni rumah panggung kecil di Kampung Nelayan itu permasalahkan bukanlah angin laut melainkan “mengapa kedua anaknya tidak pernah menjenguk” (hal. 18).

Dalam cerpen keempat, “Kabar dari Kampung Lede”, laut menjadi simbol perantara. Kisah menyajikan kontras dua sahabat: yang satu menjadi aktivis, yang satu menjadi politisi, yang satu bergerak di bawah, yang satu bergerak di atas, yang satu menempuh jalan aksi, yang satu menempuh jalan diskusi. Laut lantas menjadi perantara yang “mempertemukan” mereka, bukan secara fisik melainkan secara psikis: apa yang si Aku temui hanya “kabar temannya”. Sebagai simbol perantara daerahnya dengan Kampung Lede tempat dia kemudian menemukan “kabar temannya” itu, laut juga mengindikasikan seberapa jauh kontras antara keduanya dalam ungkapan literal “kurang-lebih lima jam bila air laut sedang teduh. Bila agak kencang, kapal membutuhkan tujuh/sembilan jam.” (hal. 23) yang bisa kita tarik pula ke tataran metaforis.

Dalam cerpen kelima, “Mengubur Kenangan”, laut menjadi simbol ibu yang sudah tidak mampu lagi meninabobokan salah satu anaknya, Atam. Ungkapan “angin laut di kampung nelayan itu bikin warga tertidur pulas, kecuali Atam.” (hal. 27) adalah satu gambaran yang mengingatkan pada gambaran ibu yang membelai, membacakan dongeng, meninabobokan anaknya. Yang menjadi soal kemudian adalah kenapa laut sebagai ibu bisa meninabobokan anak-anaknya yang lain (warga), tetapi tidak Atam?

Dalam teori Freud, ibu adalah objek cinta erotis pertama anak laki-laki, situasi yang kemudian dipandang oleh peradaban—diwakili manifestasinya oleh masyarakat, negara, beserta hukum, tradisi—sebagai menyalahi moral. Karena itulah cinta terhadap ibu kemudian berubah menjadi “cinta yang tujuannya diinhibisi”, jenis cinta yang juga mendasari hubungan dengan anggota keluarga yang lain dan hubungan persahabatan. Cinta erotis yang pada pria dewasa melibatkan penis kemudian menjadi dasar pembentukan keluarga.

Pada titik ini tampak bahwa alasan mengapa “angin laut” sebagai simbol “belaian ibu” sudah tidak mampu membuai Atam adalah karena tuntutan moral membuat dia mengarahkan cinta erotisnya pada wanita lain dari luar: anak Pak Haji. Kemudian dikatakan bahwa “Atam pernah mimpi bahwa dua gigi depannya goyang”, mimpi yang dalam Psikoanalisis biasanya dirujukkan sebagai simbol ansietas kastrasi, suatu ketakutan yang ilahar timbul pada diri anak laki-laki bahwa penisnya akan dipotong oleh ayahnya sebagai rival cinta dia. Dalam cerpen ini simbol sang ayah yang memancing munculnya ansietas itu pada Atam adalah Pak Haji yang menghalangi cinta erotis Atam sebagaimana digambarkan dalam kalimat “Aku sudah katakan padamu, tak usah mengejar anakku” (hal. 29).

Dalam cerpen keenam, “Dua Perempuan untuk Satu Lelaki”, sisi misterius laut muncul, di mana ia menjadi menjaga jarak dan tak mau menjamin kesejahteraan sehingga “mencari ikan tidak semudah dulu” (hal. 32). Kesejahteraan yang makin jauh itu menggambarkan masa depan peradaban yang terancam. Karena itulah dalam cerpen ini kita menemukan pembahasan mengenai konsep anak.

Dalam Psikoanalisis, konsep bahwa “normalnya menikah itu lantas memiliki anak” adalah cara peradaban melestarikan keberlangsungannya, sama dengan konsep-konsep lain yang ia lahirkan seperti “menikah itu normal, tidak menikah itu kehidupan belum sempurna”, “suburkan pertemanan dan bukan persengketaan karena persengketaan itu buruk”, “taatlah beragama dan hindari ateisme”. Dalam cerpen keenam ini, pada pernikahan pertamanya, di mana tergambar lanskap jaminan kesejahteraan yang kian tidak tentu itu, digambarkan si Aku tidak memiliki anak, kemudian dalam pernikahan keduanya ia memiliki anak. Setelahnya tidak ada lagi digambarkan masalah, bahkan ketika aroma seksualitas yang “berdosa dalam agama kita” muncul menjelang akhir cerpen, peradaban tetap diam. Begitulah, peradaban adalah makhluk egois yang hanya peduli dirinya sendiri: sepanjang masa depannya aman, peradaban cenderung diam, tentang apa pun.   

Dalam cerpen ketujuh, “Leppa”, dikisahkan bahwa laut adalah “bumi kami”, “asal-muasal kami”, (hal. 35), karena itu “permintaan pemerintah yang baru merdeka: orang laut harus tinggal di daratan” (hal. 38) menjadi masalah, karena “akar budaya kami” adalah “akar laut” (hal. 38). Simbol yang sama juga ditemukan dalam cerpen keduabelas, “Manusia Ikan”, di mana dijelaskan bahwa “mereka menyebut laut adalah tanah mereka. Laut adalah bumi mereka.” (hal. 65). Asal-usul simbolisasi itu sendiri dalam bentuk narasi pra-tulisan bisa ditemukan dalam cerpen kesebelas, “Kami Orang Bajo, Tanah Asal jadi Dongeng”.

Dalam cerpen kedelapan, “Perempuan yang Membuang Jala”, laut adalah simbol ibu yang mengayomi. Laut menjadi tempat Dewi mengungsi dari “cibiran tetangga” (hal. 43) ataupun “kebisingan warga” (hal. 45). Laut juga memberinya ikan-ikan yang “begitu banyak dibandingkan dengan nelayan lainnya” (hal. 42).

Ikan seringkali dimaknai sebagai simbol kebebasan. Hal itu menjelaskan kenapa di laut Dewi bisa mendapatkan ikan banyak: hanya di sana dia bisa bebas dari “interaksi sosial” (hal. 43) yang dalam konteks cerpen mengerucut menjadi eufemisme untuk “pergunjingan”. Maka ketika ikan ketambak di dalam rahimnya sudah siap keluar, yang bisa dimaknai sebagai sudah menyatunya kebebasan itu dengan dirinya setelah sebelumnya diasup dari sisi luar, eksternal, laut, dia tidak lagi mendapatkan ikan dari laut, melainkan “melahirkan” ikan—yakni: kebebasan—itu sendiri dari dalam dirinya.

Dalam cerpen kesembilan, “Mbo Ma Di Lao’”, laut adalah “Kakek” yang marah, mengirimkan ombak menyapu rumah-rumah nelayan, termasuk juga “Musala yang kokoh disangga oleh tiang utama dan sembilan puluh sembilan tiang kecil” (hal. 49). Di sini natur kembali dipertentangkan dengan kultur: laut-politik, spiritualitas-duniawi. Karena itu pula yang selamat dari kemarahan sang Kakek adalah Kakek Gila yang dikatakan “mana tahu dia tentang politik.” (hal. 48).

Tampak bahwa laut dalam narasi cerpen-cerpen yang Safar karang dalam antologi ini menjadi titik tolak yang membawa narasi ke berbagai belokan. Keresahan-keresahan atas perlakuan manusia terhadap laut, terhadap para nelayan, pertentangan antara kultur asali dan kultur yang dicangkokkan oleh modernitas, adat dan cara hidup yang berbeda dari kultur daratan, kesemuanya dibingkai dalam narasi laut, di sebelah manapun laut itu sendiri diposisikan di dalamnya.

Maka narasi laut dalam cerpen-cerpen yang dimuat dalam antologi ini bukan semata narasi laut sebagai benda mati, melainkan juga narasi laut dan manusia sebagai makhluk hidup. Selain itu ada juga satu cerpen dalam kisah ini yang tak “mengandung” laut sama sekali, yakni cerpen kesepuluh, “Pamit dari Rumah”, meski jika dihubungkan dengan cerpen-cerpen lain dalam antologi maka cerpen itu juga bisa dilihat sebagai gambaran peristiwa yang dimungkinkan terjadi di “kampung laut”.

3

Safar adalah anak Banggai. Safar adalah anak laut. Akan tetapi anak yang ari-arinya tertanam di arus bawah laut itu di kemudian hari memutuskan merantau ke tanah tempat satu-satunya hubungan dia dengan laut adalah berlayar di “kapal buku”. Laut, bagi Safar si perantau, tak semata dia maknai secara literal melainkan metaforis, sesuatu yang Goenawan Mohamad sebut dalam baris-baris sajak sebagai “sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang”: bagian dari identitas yang melekat tak pernah lekang.

Maka tak mengherankan jika di sela-sela aktivitasnya—apapun makna kata ini bagi dia—dia menyempatkan diri menulis dan dari sekian jenis tulisan yang ada dia memilih menulis cerita pendek. Cerita pendek, prosa, jenis tulisan yang, berbeda dengan gaya puitik yang menurut Sartre “menolak menggunakan bahasa atas nama kepraktisan dan efektivitas”, bertolak dari hasrat melakukan “pengungkapan apa yang rahasia”. Merunut ke belakang, laku menulis itu sendiri, dalam pandangan Freud, analog dengan aktivitas persetubuhan, diksi yang mengingatkan kita pada tindakan seorang pengembara melintasi laut, sang ibu.

Dengan demikian, Safar si perantau yang menulis, si nelayan yang “berhenti melaut”, pada dasarnya adalah seorang pelaut pula. Dia adalah penjelajah peta lautan dengan caranya sendiri: menulis 12 narasi tentang laut. Angka 12, kalau kita percaya pada numerologi kuna dan Dante, adalah angka yang menyimbolkan perjalanan 12 jam dari fajar di neraka sampai pukul 6 malam di purgatori, tempat penyucian.

Dia mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai ke firdaus, istana kampung halaman Odyssey sebagai “lelaki pelaut pulang dari kemenangan di laut”. Akan tetapi apa yang sudah jelas Safar buktikan dengan 12 cerpennya ini adalah bahwa dia anak laut yang melaut dengan kapal yang dia bangun sendiri, kapal yang berbeda dengan kapal nenek moyangnya tetapi pada dasarnya menyimbolkan hal sama, yakni keakraban dengan ombak yang mengalir dalam darah somatis, kenangan psikis akan kejayaan maritim yang bukan hanya “dilap-lap” melainkan diracik pada zaman berbeda, dengan cara yang tak sama.

Kita mungkin bisa mengkritik selusin cerpennya di sana-sini dalam kaitannya dengan teknik, mengecam penulisnya sebagai pelaut yang tergesa mengunjungi rumah bersalin di dermaga, tetapi bersama itu kita mungkin luput mensyukuri bahwa anak pertama—dan semoga bukan satu-satunya—yang dia lahirkan ini adalah selusin cerpen dan bukan selusin ikan ketambak. Prematur ataupun tidak, ketika bayi manusia sudah lahir maka kritik terhadap kondom bocor adalah kritik besar yang nihil guna, terutama ketika pada saat yang sama kita tahu bahwa bahkan lazim-lazim saja bolak-balik kita dirikan panggung megah terang benderang sebagai wadah melontarkan puji-pujian untuk bayi ikan ketambak hanya karena ada raksasa kapital yang berkepentingan mempromosikan kelebihan ikan terkait meski pada dasarnya ia bukan ikan segar dan merupakan ikan yang biasa-biasa saja.

Mensyukuri, menyambut. Maka alih-alih melulu mengkritik—dalam pengertian melulu meributkan nilai sastrawinya dengan tolok ukur teknik melulu subjektif pula sekadar “berdasarkan pengalaman”—dan mengecam, menggurui penulisnya dengan deret kata “seharusnya” dan semacamnya sambil melupakan pembagian tugas yang sangat jelas bahwa kita adalah pembaca-karya-ini dan dia adalah penulis-karya-ini, akan lebih baik jika kita menyelipkan tugas tambahan sederhana yang lahir dari tindak “membaca sungguhan”: mendedahkan apa yang—dalam karya sastra—memang tak mungkin dijelaskan lugas oleh penulis tetapi rancak tersirat di dalamnya.

Dengan kata lain, bukan tugas kita mengharuskan Atam dalam “Mengubur Kenangan” bermimpi giginya goyang tiga dan bukan dua, bukan tugas kita mengharuskan Dewi dalam “Perempuan yang Membuang Jala” melahirkan ikan mujair dan bukan ikan ketambak, dan keharusan-keharusan lain semacamnya yang lebih sering menimbulkan tawa tanpa berpotensi memancing lahirnya inteligensia. Tugas kita sebagai pembaca, mengandaikan kita memiliki tugas, adalah mendedahkan mengapa yang Atam mimpikan adalah gigi goyang dan bukan pinggul goyang, misalnya, atau kenapa Dewi melahirkan ikan dan bukan, taruhlah, kera putih

Karena kritik teknik, kritik bentuk, ataupun kritik konten permukaan akan lebih pada tempatnya—dan jelas lebih berguna—ketika disodorkan untuk karya “sebelum lahir”, bukan “setelah lahir”. Jika kita melulu berkilah bahwa kita tidak memiliki kesempatan menyampaikan kritik semacam itu “sebelum karya lahir” dan mendapatkan kesempatan itu “setelah karya lahir”, tidakkah fakta tersebut dengan sendirinya membuktikan bahwa kredibilitas kita sebagai “kritikus” belum penulis pandang tinggi untuk memberi sumbang saran pra-kelahiran? Mungkin dan semoga bukan itu alasannya, tetapi berpraduga demikian tidak ada salahnya terutama karena praduga itu jelas tak akan membawa kita pada level jemawa yang lebih tinggi.

Lagi pula toh pada beberapa cerpen dalam antologi ini kita akan menemukan kekhasan yang semoga bukan lahir dari ketidaksengajaan. Narasinya yang selalu lugas dan sesekali unik seperti misalnya “Atam, suaminya, pemalas. Lebih malas dari kemalasan umum.” (hal. 41), dialog yang lepas seperti penutup cerpen “Pamit dari Rumah” (hal. 54), ataupun ungkapan yang menggelitik seperti “’Tak mungkin suamiku melakukan itu. Kurang apa adegan ranjang kami. Semua ia hajar.” (hal. 44), dan banyak ungkapan yang kuat seperti paragraf pembuka “Nelayan itu Berhenti Melaut” (hal. 1) dan paragraf penutup “Kami Orang Bajo, Tanah Asal Jadi Dongeng” (hal. 59) merupakan modal awal penulis yang mungkin tak luar biasa tapi juga terlalu tak adil untuk disepelekan.

4

Narasi tentang laut adalah narasi yang tak pernah berhenti memukau kita, dan negeri ini memiliki rekaman masa lalu yang panjang tentangnya. Satu bagian dari narasi itu terekam dengan sangat baik dalam puisi “Epos Laut” yang bait pembukanya dikutip di awal tulisan ini:

canga merayap terus

bertebar terus

ke timur menuju papua

ke barat ke pulau banggai

ke utara, ke teluk tomini dan sangihe

dan atas layar yang dibiriti mentera

mindanao dan sabah rebah tunduk

atas titah sultan hairun

ke barat ke pulau banggai. Puisi itu ditulis pada tahun 1961 oleh Idroes Ahmad Djoge Lagora O’Galelano yang memiliki nama pena Indonesia O’Galelano. Setengah abad lebih setelah sastrawan kelahiran Halmahera itu menulisnya, kita kembali mendapatkan kabar pulau tersebut melalui cerpen-cerpen karya seorang penulis yang lahir pada peta yang puisi itu guratkan. Teks-teks yang lahir dari tangan dia mungkin tidak semuanya berhasil memukau kita, tetapi diam-diam kita mungkin mesti bersyukur bahwa memukau ataupun tidak, narasi-narasi tentang laut tak pernah benar-benar lenyap dari kehidupan kita. Salam.

* Versi lebih ringkas tulisan ini pernah dipublikasikan di Berdikaribook.red pada 25 Juli 2019. Versi tersebut masih bisa dibaca—bersama beberapa ulasan penulis lain atas buku yang sama—di arsip Safar Nurhan.  

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.