Mengapa Sastra Ditulis, Mengapa Sastra Dibaca

BAYANGKAN anda pria terpelajar, menemukan seorang gadis sedang menunggu bis sambil baca buku, atau di stasiun menunggu kereta sambil membuka-buka buku dan abai dunia sekitarnya. Dia sendirian. Sebagian dari anda mungkin menikmati pemandangan itu: sosok si gadis tampak keren. Ketika anda menemukan penggambaran demikian dalam sebuah cerita dengan si pria sebagai tokoh utama, anda langsung membayangkan sebagai dia.

Sayangnya, kita sukar yakin bahwa fenomena semacam itu merupakan bagian dari tradisi kita. Kita sukar yakin bahwa kita punya tradisi membaca-di-mana-pun-dan-kapan-pun. Lebih mungkin otak kita melahirkan kreasi adegan semacam itu sebagai pengaruh penulis-penulis romantis kita. Penulis-penulis romantis kita melahirkan adegan mimetik itu dari karya-karya para penulis luar negeri, para penulis yang benar-benar memiliki tradisi semacam itu di negeri mereka, negeri tempat buku sastra–bukan sekadar majalah atau petunjuk pemakaian pemanas air–disediakan di kamar hotel dan barang pertama yang dimasukkan ke dalam tas sebelum pergi berlibur adalah novel edisi mass market paperback.

Dari kreasi cerita yang kini kian usang dan banal itu kita bisa melihat bahwa pada interaksi antara penulis, karya sastra, dan pembaca, terjadi proses mengaburnya batas-batas tradisi. Kita yang tak memiliki tradisi semacam itu, kita yang disodori tradisi asing, langsung tergerak untuk melanjutkan imajinasi: sebagian mungkin membayangkan ada keberlanjutan adegan romantis dengan gadis itu, sebagian lain mungkin mendadak ingin membuang sepeda motor mereka dan lebih sering naik trans Jogja…

Apakah itu masalah? Saya pikir tidak, tapi jika anda menganggap itu sebagai masalah maka juga tidak apa-apa. Sebuah negeri yang mengalami akselerasi kultur dari lisan ke tulisan, lalu tunggang-langgang pindah pula ke kultur audio visual, adalah sebuah negeri yang kultur kesusastraannya belum merata. Saya tak mengatakan belum tinggi karena kita, dalam setiap fase, memiliki produk yang mencirikan kultur kesastraan tinggi. Dalam tradisi lisan kita misalnya melahirkan La Galigo, puisi terpanjang level dunia; dalam tradisi tulisan kita misalnya memiliki Iwan Simatupang, Ayu Utami, Ramayda Akmal, Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor, Aan Mansyur; dalam tradisi sastra audio visual kita memiliki generasi sastrawan para penulis yang tahu bagaimana menggunakan Medium, Wattpad, Youtube, media sosial, dan kanal webnovel untuk menunjang laku sastrawi mereka.

Saya mengatakan tidak merata sambil merasa sedih tanpa hiperbol dan semoga keliru: sebagian dari kita mungkin memiliki kesadaran sastrawi tinggi, sebagian yang lain tidak memilikinya. Kelas yang saya sebut belakangan ini adalah mereka yang terperangkap dalam kebenaran tunggal realitas. Sebagaimana mereka yang terperangkap cenderung menjadi beringas karena menguatnya dorongan kematian, Thanatos dalam istilah Freud, maka tak heran jika dalam setiap kasus yang melibatkan kekerasan terhadap sastra, kita melihat keberadaan mereka dengan jelas.

Mari kita menyebut beberapa kasus yang mungkin diam-diam sudah kita lupakan: Kasus pengadilan HB Jassin akibat cerpen Kipanjikusmin yang dipandang menghina Tuhan, kasus puisi Sukmawati yang dianggap melecehkan Islam, kasus cerpen Ahda Imran yang dianggap melecehkan nama marga…

Malam ini, kawan-kawan, kita tidak dalam posisi memperebutkan kebenaran tunggal dengan memihak salah satu kelas. Contoh-contoh itu hanya untuk menunjukkan satu hal yang mungkin diam-diam kita sadari tetapi enggan kita akui: bahwa kesadaran sastrawi di antara kita masih belum merata.

*

Mari kita pertimbangkan perbedaan antara mereka yang belajar sastra secara akademis dan mereka yang belajar sastra tanpa tautan struktural apa pun dengan jurusan sastra di sebuah akademi. Jika kita percaya kata-kata kritikus sastra dari zaman yang jauh yang pasti dikenal oleh beberapa generasi pembelajar sastra akademis kita, Rene Wellek dan Austin Warren, ada tiga bidang yang dipelajari akademisi sastra: sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra.

Dalam iklim semacam itu kita lihat bahwa akademisi dituntut untuk menjadi pembaca dan pembedah, bukan pencipta. Mungkin karena itulah jika ada sastrawan yang lahir dari bangku akademis maka mereka biasanya sudah mendapatkan benih kesastraannya sejak awal sebelum terjun ke dunia akademis, atau mereka mendapatkannya pada saat berada di akademi tetapi tidak memiliki kaitan langsung dengan, katakanlah, kurikulum. Makul Creative Writing, satu-satunya makul yang sejauh ini memiliki tautan dengan proses kreasi karya sastra, cenderung memberi ruang sangat temporer untuk benih yang sudah ada, bukan untuk pembenihan. Kita juga takbisa mengatakan makul itu semacam ajang pencari bakat, karena kita tahu tak ada jalur lanjutan yang pasti setelah lulus makul tersebut.

Tentu saja tiga bidang di atas mengandaikan satu hal yang sayangnya kadang kita lupakan: membaca karya sastra. Ini poin yang jelas seperti remeh tapi dalam praktiknya kerap kali sukar. Ambil contoh untuk jurusan Sastra Inggris: kita diwajibkan membaca karya sastra luar, sementara kita kerap kali ingin mengikuti pula perkembangan sastra lokal. Beban bacaan kita, taruhlah jika membaca kita analogikan dengan mengangkat beban, menjadi berlipat ganda.

Menganalogikan membaca dengan mengangkat beban memunculkan satu hal yang lebih sukar: menumbuhkan minat baca. Oke, ini mungkin terdengar klise tapi harus diakui bahwa standar baca kita kadang memprihatinkan. Tidak semua dari kita suka membaca karya sastra, dengan alasan dan rasionalisasi yang beragam. Selain itu, kita yang suka membaca pun sering kali terkurung dalam satu lanskap bacaan sehingga bukannya membaca karya sebanyak mungkin kita justru mengulang-ulang membaca karya yang sama, atau karya dari pengarang yang sama.

Salahkah? Dalam dunia sastra kita sebisa mungkin menghindari paradigma hukum dan eksakta, tapi pertimbangkan logika begini: jumlah karya yang layak kita baca setiap hari lahir lebih cepat daripada naiknya grafik isi rekening kita. Tanpa mengikuti itu kita akan jauh ketinggalan. Jangan heran jika kita masih asyik bergelut dengan realisme magis sementara di luar sana orang sudah lama beranjak membahas histerical realism dan new sincerity. Setelah kita memiliki minat baca, tanpa mengikutinya dengan strategi membaca yang tepat, kita akan tetap tertinggal.

Oke, itu tentang akademisi sastra. Lalu bagaimana dengan mereka yang menggumuli sastra tanpa latar belakang akademis?

Pada dasarnya dari sisi inilah kebanyakan sastrawan kita lahir. Penyebabnya sederhana: kalau mereka serius maka mereka cenderung para pembaca kuat. Dari bacaan yang kuat cenderung muncul potensi menciptakan bacaan lain, potensi menulis. Potensi: kita tak bisa memaksa setiap pembaca untuk menjadi penulis, tak semua orang yang memiliki cukup stok bahan makanan lantas dia pun bisa dan suka memasak.

Mari kita perjelas, kawan-kawan, sisi akademis dan sisi non-akademis memiliki bagian sendiri-sendiri. Sisi non-akademis mencipta, sisi akademis membahas. Andai dua sisi ini bekerjasama dengan bagus, kultur sastrawi kita akan bagus pula dan merata.

Tentu saja dua bidang itu tidak terpisahkan oleh tapal batas yang saklek. Dengan kata lain, mungkin saja lahir kritikus sastra dari sisi non-akademis, sebagaimana mungkin pula lahir sastrawan dari tradisi akademis. Beberapa sastrawan kita bisa menjadi contoh kaburnya tapal batas ini. Dengan kata lain, ada jalur umum apa yang mesti kita tulis baik kita ada di sisi akademis ataupun sisi non-akademis, tetapi kalaupun kita mau menyimpang dari jalur umum ini, tentu saja bukan masalah.

Yang jadi masalah adalah ketika kita tidak membaca sekaligus pula tidak menulis. Masalah itu mungkin bukan untuk kita, kita merasa baik-baik saja, atau bisa menutupi bahwa sebenarnya itu masalah, tetapi masalah itu akan menjadi krusial bagi generasi anak cucu kita. Tanpa tulisan-tulisan yang kita lahirkan pada zaman ini, generasi mendatang akan mengalami pandangan suram tentang zaman kita. Tanpa gen membaca maka generasi yang akan datang akan menjadi generasi yang kian jauh dari literasi.

Lalu kenapa kita tidak menulis? Pekerjaan yang sangat remeh itu, saking remehnya sampai-sampai kita masih gagap memasukkannya sebagai profesi. Saya sepakat menulis bukan hal sukar, tetapi bukan berarti ia remeh. Setiap manusia dilahirkan dengan naluri menulis sama dengan setiap manusia dilahirkan dengan naluri seksual. Bahwa kemudian naluri itu kita kembangkan atau tidak maka itu sebuah pilihan, sama dengan pilihan apakah kita tumbuh menjadi manusia yang merindukan memiliki pasangan atau justru memilih selibat.

Salah satu alasan kenapa kita memandang menulis tampak sukar, kerap kali sambil tetap meremehkannya, adalah karena kita enggan membaca. Setiap penulis lahir dari tradisi membaca ataupun mendengarkan bacaan, tak ada penulis yang lahir dari luar itu. Setiap penulis lahir dari tradisi meniru apa yang dia baca, atau dia dengar, dan sedikit banyak apa yang dia tulis akan dipengaruhi apa yang dia baca dan/atau dengar. Tentu seorang yang bukan pembaca mungkin saja melahirkan tulisan, tetapi kemungkinan besar tulisan dia akan mirip persetubuhan gagal yang hanya akan kita komentari dengan omelan.

Begitulah, sastra harus tetap ditulis, sastra harus tetap dibaca. Karena itu para penulis baru terus bermunculan, karena itu buku-buku sastra tetap dibeli orang: hanya dengan kondisi instan semacam itu kita bisa berharap bahwa suatu saat nanti kesadaran sastrawi menjadi merata di negeri ini. Tentu saja merupakan pilihan bebas kita, secara individual atau komunal, untuk bergabung melakukan hal itu, atau justru sebaliknya: menghancurkannya.

Dan satu hal yang tak kalah pentingnya: karena itu pula kita memiliki kampus-kampus yang memiliki jurusan sastra, termasuk satu yang menjadi almamater saya, UIN Sunan Kalijaga, dan saya harus berterima kasih bahwa karenanyalah saya bisa mengatakan semua ini pada malam ini meski tanggung jawab atas segala kekeliruan yang mungkin ada di dalamnya semata merupakan tanggung jawab saya. Terima kasih.

* Versi lebih sederhana disampaikan dalam “Literature Night #1”, 29 November 2019, UIN Sunan Kalijaga.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.