Matsnawi Rumi, Sihir Kata dan Nilai Makna

…satu-satunya puisi yang diizinkan dalam kota kita adalah himne untuk para dewa dan encomia, lagu pujian untuk menghormati manusia yang baik.

Plato – Republik

Puisi adalah sesuatu yang lebih filosofis dan lebih layak mendapatkan perhatian serius dibandingkan sejarah.

Aristoteles – Puitika

1

MATSNAWI anggitan Rumi (1207-1273 M) bisa dikatakan merupakan puisi dia yang paling terkenal. Menyebut nama Rumi—sebagai sufi, sebagai penyair, atau sebagai penyair-sufi—adalah menyebut Matsnawi. Enam jilid Matsnawi konon dianggit Rumi atas saran dari Husam Syalabi, juru tulis Rumi sekaligus salah satu murid Syams Tabrizi. Karena itulah dikatakan bahwa terkadang Rumi menyebut Matsnawi dengan sebutan Kitab Husam.

Matsnawi, sebagaimana karya-karya Rumi yang lain—kecuali Diwan Syams—ditulis sepenuhnya menggunakan bahasa Persia. Perlu waktu lama untuk kemudian menemukan versi lengkapnya dalam terjemahan bahasa Arab dan perlu waktu lebih lama lagi untuk menemukan versi lengkapnya dalam terjemahan bahasa Inggris.

Terjemahan bahasa Inggris paling terkenal dikerjakan oleh Reynold A. Nicholson pada tahun 1925-1940. Terjemahannya diterbitkan pertama-tama dalam 8 jilid berikut dengan teks asli berbahasa Persia yang diklaim sebagai “edisi kritis”. Pada tahun 2013 terjemahan tersebut diterbitkan juga oleh Konya Metropolitan Municipality dalam edisi boxset eksklusif hardback berukuran mungil sebanyak enam jilid tanpa menyertakan versi bahasa Persia. Terjemahan Nicholson adalah terjemahan yang teliti, meski kata-kata dan frasa-frasa tertentu dalam Matsnawi yang menurutnya ditengarai sebagai “cabul” diterjemahkan ke dalam bahasa Latin alih-alih bahasa Inggris.

Pindaian kover edisi Konya Metropolitan Municipality (2013) jilid 1-3
Pindaian kover edisi Konya Metropolitan Municipality (2013) jilid 4-6

Sekurang-kurangnya ada 2 versi terjemahan Inggris baru Matsnawi secara keseluruhan yang sedang berlangsung sampai saat ini. Pertama, terjemahan yang dilakukan oleh Jawid Mojaddedi, seorang ahli Rumi kelahiran Afghanistan, sejak tahun 2004. Terjemahannya diterbitkan oleh penerbit Oxford dan sudah mencapai jilid ke-4 (14 November 2017, jilid ke-5 direncanakan terbit 8 September 2022). Terjemahan ini mau tak mau menandai satu langkah besar yang berani menyodorkan naskah lengkap Matsnawi dalam bahasa Inggris, lengkap, tanpa sensor ala zaman Viktoria sebagaimana kita temukan dalam terjemahan Nicholson.

Pindaian kover terjemahan Jawid Mojaddedi jilid 1 (2004, edisi kedua 2008) dan jilid 2 (2007, edisi kedua 2008).
Pindaian kover terjemahan Jawid Mojaddedi jilid 3 (2013), dan jilid 4 (2017).

Kedua, terjemahan yang dilakukan oleh Alan Williams, seorang ahli Iranologi dari Inggris. Terjemahan Matsnawi jilid pertama oleh Alan Williams pernah diterbitkan oleh Penguin Books pada tahun 2006 dengan judul Spiritual Verses. Pada 20 Februari 2020, diterbitkan ulang oleh I.B. Tauris (imprint Bloomsbury Publishing PLC) dalam kemasan eksklusif bersama terjemahan jilid kedua. Edisi baru ini juga menyertakan teks asli Persia.

Tampilan kover terjemahan Alan Williams jilid 1 dan 2 edisi I.B. Tauris (2020) dan Penguin Books (2006).

Terjemahan Matsnawi ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Muhammad Abdussalam Kafafi, meski hanya sempat menerjemahkan dua jilid pertama Matsnawi. Jilid pertama terbit tahun 1966, jilid kedua terbit tahun 1967. Terjemahan edisi lengkap baru lahir lama kemudian dilakukan oleh Ibrahim Dasuki Syatta selama sepuluh tahun dari tahun 1981-1991. Terjemahan inilah yang masih mudah didapatkan sekarang dalam versi cetak, dan kepada teks inilah—berikut teks bahasa Inggris Nicholson dengan penyederhanaan diksi bahasa Inggris arkais yang digunakan—Semesta Matsnawi (Yogyakarta: Forum, 2018) didasarkan. 

Dalam bahasa Indonesia, terjemahan Matsnawi lengkap sedang dikerjakan oleh Muhammad Nur Jabir sejak tahun 2020. Terjemahan dilakukan langsung dari bahasa Persia. Satu jilid Matsnawi diterbitkan menjadi dua jilid edisi Indonesia sehingga diperkirakan akan terbit menjadi 12 jilid. Edisi ini diterbitkan oleh Diva Press1Jilid pertama pernah diterbitkan oleh Rumi Press pada tahun 2020 dengan kemasan hardback.dengan judul Matsnawi Maknawi Maulana Rumi dan sudah terbit 4 jilid (jilid ke-4 terbit bulan Maret 2022).

Tampilan kover terjemahan Muhammad Nur Jabir edisi Diva Press buku 1 (2021), buku 2 (2021) dan buku 3 (2021).
Tampilan kover terjemahan Muhammad Nur Jabir edisi Diva Press buku 4 (2022) dan edisi Rumi Press (2020).

Jika sudah diterbitkan seluruhnya, edisi terjemahan Muhammad Nur Jabir akan menjadi edisi pertama Matsnawi lengkap dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya kita memang bisa menemukan banyak—untuk tak mengatakan “banyak sekali”—buku yang dimaksudkan sebagai berisi terjemahan Matsnawi, tetapi terjemahan yang dimaksud biasanya adalah terjemahan “sepilihan isi Matsnawi” dan cenderung merujuk pada naskah sumber berbahasa Inggris termasuk edisi saduran Coleman Barks.

Tentu buku-buku semacam itu tetap memiliki guna, salah satunya untuk pengenalan awal terhadap Matsnawi. Terjemahan Semesta Matsnawi, pada dasarnya, juga lahir dari niatan semacam itu meski juga karena ia lahir belakangan maka sudah semestinya ia menawarkan poin tambahan yang membedakannya dari yang sudah-sudah.

Semesta Matsnawi mengikuti model terjemahan Inggris versi Edward Henry Whinfield, seorang ahli penerjemahan sastra Persia ke dalam bahasa Inggris yang selain menerjemahkan Matsnawi edisi ringkas juga menerjemahkan puisi Hafiz dan Rubaiyat Umar Khayyam. Whinfield, dalam terjemahannya yang diterbitkan pada tahun 1887, mencoba menawarkan bagian-bagian Matsnawi dari seluruh jilidnya, dengan pertimbangan seleksi kebergunaannya bagi pembaca-pembaca moderen.

Dalam Semesta Matsnawi termuat 50 petikan puisi dari setiap jilid Matsnawi, jumlah yang tentu jauh dari cukup untuk menggambarkan isi 6 jilid Matsnawi. Sebagai perbandingan, Whinfield mengambil 16 cerita dari jilid I, 18 dari jilid II, 18 dari jilid III, 9 dari jilid IV, 8 dari jilid V, dan 9 cerita dari jilid terakhir. Meski demikian, sebagaimana halnya buku Whinfield dibatasi hanya sampai pada ketebalan 330 halaman, buku ini pun mau tak mau harus menerapkan pembatasan yang senada demi menjaga supaya tak jatuh pada ketebalan yang canggung.

2

Sudah menjadi gejala umum bahwa pada setiap zaman selalu ada orang-orang yang melontarkan wacana tentang nilai pragmatis sebuah teks sastra. Pada titik ketika kita sampai pada pembahasan seperti itu maka kita mesti berhati-hati karena hal itu sudah bukan permasalahn sepele. Gejala tersebut biasanya lebih kentara ketika kita membicarakan tentang apa yang biasa disebut sebagai “sastra Islam”.

Tentu istilah “sastra Islam” sendiri merupakan istilah yang bukannya tanpa perdebatan. Penyematan adjektiva Islam pada sastra mengisyaratkan pembatasan, sebagaimana memang demikianlah halnya pada setiap nomina yang mendapatkan adjektiva. Pembatasan, pengkhususan. Sampai sejauh ini biasanya ayat Alquran yang dijadikan titik awal pembahasan adalah empat ayat terakhir surat Asy-Syuara yang dalam terjemahan bahasa Indonesia versi Quraish Shihab adalah sebagai berikut:

224. dan penyair-penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat.

225. tidakkah kamu memperhatikan bahwa mereka mengembara di setiap lembah,

226. dan bahwa mereka (para penyair itu) suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan-(nya)?

227. kecuali (sekelompok penyair yang merupakan) orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta mengingat Allah (dan menyebut nama Allah swt.) dengan banyak dan mereka bangkit membela (kebenaran), sesudah mereka dianiaya. Dan orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

Teks kitab suci adalah teks yang sebagaimana teks lainnya maka ia membutuhkan tafsir, dan tafsir apa pun akan melibatkan banyak hal yang memungkinkan lahirnya pelbagai perbedaan makna yang dihasilkan. Kesadaran akan hal ini tentu saja penting, karena dengan adanya kesadaran itu maka pemaksaan sebuah tafsir sebagai satu yang paling benar bisa dihindari.

Kita tentu saja bisa dengan mudah mengujarkan semacam “saya membaca puisi karya penyair A karena saya mendapatkan pesan moral darinya”. Pesan moral, nilai guna didaktis. Ujaran semacam itu adalah ujaran yang mau tidak mau sudah menyinggung masalah estetika yang sudah sangat tua dan selalu menjadi perdebatan dari zaman Yunani sampai sekarang di kalangan para pembahas karya sastra.

Mereka yang menekuni risalah-risalah klasik Islam percaya bahwa puisi pertama dilahirkan oleh Adam, bapak manusia, meski yang pertama menuliskannya bukanlah dia melainkan Ya’rab bin Qahthan bin Hud. Puisi itu, merujuk pada risalah Arais al-Majalis anggitan ahli tafsir klasik sekaligus penulis genre Qasas Ats-Tsa’labi, dilisankan Adam saat kematian putra kesayangannya, Habil (Abel dalam terminologi Bibel), dalam bentuk lament ‘elegi’.

Kisah tentang puisi pertama itu memang masih perlu diperdebatkan kebenarannya, terutama karena dalam Qasas, yang merupakan salah satu genre sastra Arab, fakta dan fiksi berkelindan menjadi satu seperti dalam Babad. Masih dalam risalah yang sama dijelaskan bahwa Adam menyuruh putranya Syits untuk melisankan pula puisi itu sebagai warisan secara turun-temurun. Baru kemudian ketika sampai pada Ya’rab yang merupakan leluhur kerajaan Himyar, Yaman, dan menguasai bahasa Suryani dan bahasa Arab, ia menuliskan puisi itu.

Penyair Yapi Tambayong dalam 123 Ayat tentang Seni mengatakan bahwa susastra paling tua dalam bentuk puisi adalah madah ratapan atas kematian Tammuz, dewa gembala, yang disusun oleh orang Sumeria dan kemudian dilanjutkan dengan epik Gilgamesh. Epik Gilgamesh sendiri diperkirakan dianggit pada tahun 2300 SM, tarikh yang jauh lebih muda dibandingkan puisi Adam, karena kematian Habil diperkirakan terjadi pada tahun 3875 SM.

Yang mana pun sumber yang kita percaya, satu hal yang memiliki kemiripan adalah bahwa puisi pertama-tama ditulis dengan persinggungan yang akrab dengan religiositas. Dalam puisinya Adam meratapi kematian Habil dengan menyinggung peranan Iblis sebagai pendorong manusia melakukan kejahatan: pembunuhan. Sementara Tammuz sendiri adalah dewa gembala Mesopotamia purba.

Baru kemudian pada zaman Yunani kuno kita bisa menemukan telaah filosofis terhadap karya sastra. Filsuf Sofis Gorgia dari Leontini adalah yang pertama menyinggung kemungkinan efek retorika puisi terhadap pendengarnya, dari sanalah kemudian Plato menanggapi dan memunculkan konsep Mimesis. Setelahnya Aristoteles menyambung menanggapi pandangan Plato dalam risalah Puitika yang hanya sebagian saja sampai pada kita.

Puitika kesusasteraan Islam pada dasarnya bisa dirunut kembali ke pandangan puitika Plato dan Aristoteles ini. Al-Farabi (sekitar 872-950 M), Ibn Sina (980-1037 M), dan Ibn Rusyd (1126-1198 M) yang merupakan tiga figur penting dalam sejarah Islam tercatat pernah menuliskan komentar untuk risalah Puitika Aristoteles. Dengan konsep mimetik yang ditawarkan Aristoteles—dan dalam bahasa Arab disebut sebagai takhyil—kesejajaran yang diharuskan antara “kebenaran puisi” dengan “kebenaran realitas” sebagaimana biasa diajukan oleh tafsir literal ayat terakhir surat Asy-Suaraa mendapatkan tafsir lain: kedua kebenaran itu tidak berada pada posisi dipertentangkan.

Dengan kata lain, ketika terjadi sesuatu hal itu benar secara puisi tetapi tidak-benar secara realitas, apa yang benar secara puisi itu tidak lantas menjadi tidak benar. Nilai guna kemudian tidak lagi bergantung pada kesesuaian dengan realitas semata melainkan juga bisa didapatkan dari kebenaran puisi.

Puisi, dalam pandangan ini, tidaklah menjadi sesempit keyakinan bahwa puisi harus melulu ditujukan pada aspek didaktis yang mengajarkan “kesesuaian dengan realitas” dengan salah satu contoh konsekuensi praktisnya seorang penyair yang mengangkat tema agama pada saat yang sama harus seorang ahli agama, minimal orang saleh.  Puisi bisa memberikan aspek didaktis melalui proses kreativitas, suatu “kebenaran yang dibayangkan”. Konsekuensinya, sisi retorik puisi tak perlu diabaikan hanya karena keinginan menyampaikan pesan.

Itulah yang kemudian menjadi ekspektasi kita ketika berhadapan dengan puisi-puisi Rumi. Matsnawi, dalam bentuk lengkapnya, adalah puisi-puisi yang ditulis dengan komposisi satu sama lain mirip: puisi naratif lengkap dengan karakter-karakter dan alur, kemudian ditutup dengan bagian pesan dalam bentuk eksplanasi berkesesuaian dengan apa yang dikisahkan sebelumnya. Terkadang pesan eksplanatif itu sendiri bisa ditemukan di sela-sela pengisahan.

Dalam Semesta Matsnawi, yang dicantumkan adalah bagian pesan, itu pun biasanya hanya saripatinya. Keputusan semacam ini di satu sisi berpotensi memberikan kemudahan penangkapan makna petikan yang ada. Meskipun demikian, terjemahan teks sastra, terlebih lagi teks puisi, membuat kemungkinan penangkapan pesan tetap tak bisa dipastikan. Ada memang pembatasan yang hadir berdasarkan aspek-aspek sintaksis dan semantik teks terjemahan, akan tetapi pelbagai faktor baik yang bersangkutan dengan diri pembaca ataupun momen pembacaan itu sendiri tetap memungkinkan lahirnya beragam penafsiran akan makna teks.

3

Puisi Rumi, berdasarkan kontennya, sudah jelas bisa dipandang sebagai puisi Islam. Meski demikian, penulisannya dalam bahasa Persia membuatnya juga menyandang status lain: puisi Persia. Status ganda semacam itu pulalah yang dijelaskan oleh Browne, seorang orientalis berkebangsaan Inggris, dalam jilid pertama dari total empat jilid A Literary History of Persia. Rumi dalam buku itu dikelompokkan bersama dengan Sanai dan Attar sebagai tiga penyair sufi Persia terbesar generasi-generasi awal yang beraliran Sunni.

Istilah Matsnawi yang kini melekat pada Rumi sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi negeri ini. Masnawi, dalam ranah sastra lokal, sebagaimana diterakan dalam kamus sastra anggitan Zaidan, disebut sebagai jenis puisi berasal dari Parsi yang terdiri dari sepuluh larik, berirama dua-dua.

Dalam Matsnawi Rumi kita bisa menemukan banyak sekali kutipan dari Alquran dan Hadis. Dalam terjemahan Arab judul-judul semacam “tafsir ayat (…)” merupakan judul yang ilahar ditemukan. Demikian juga di bagian belakang buku kita bisa menemukan indeks ayat Alquran dan Hadits yang termuat dalam jilid yang bersangkutan. Bukan tanpa alasan kemudian jika penyair Persia generasi terkemudian, Jami (1414-1492 M), menyebut Matsnawi Rumi sebagai “Alquran dalam bahasa Persia”.

Whinfield dalam pengantar terjemahannya juga mencatat beberapa komentar para ahli tentang Matsnawi, termasuk bahwa di India Matsnawi dianggap sebagai risalah Keimanan yang berada di posisi ketiga setelah Alquran dan Hadits. Whinfield sendiri kemudian menambahkan bahwa Matsnawi bisa dianggap sebagai Divine Comedy atau Paradise Lost-nya Islam. Matsnawi sebagai “ringkasan pemikiran keagamaan”, “standar perasaan religius”, dan “theodise”.

Theodise: cara bagaimana Tuhan berhubungan dengan manusia, habl min an-Allah. Maka dalam Matsnawi bisa kita temukan pelbagai kisah tentang pelbagai makhluk (hewan, manusia) tapi kesemuanya selalu ditarik pada titik tunggal: sang khalik. Tak terkecuali ketika ia berbicara tentang cinta:

Baik cinta itu berasal dari sisi duniawi

Atau dari sisi ukhrawi, pada akhirnya ia akan

Membawa kita ke sana.

Atau dalam larik yang lain:

Nyatakan seluruh cinta itu sama jenis dengan Cinta Ilahi;

anggaplah seluruh murka sebagai sama jenis dengan Murka Ilahi.

Dalam hal ini, bahkan ketika berbicara tentang cinta pada manusia, ia kemudian tetap ditarik pada cinta pada Tuhan, semacam cinta religius, satu ragam cinta yang dalam The Art of Loving Erich Fromm sebut sebagai “timbul dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan untuk meraih penyatuan”. Dalam larik-larik yang lain Rumi bersenandung:

Bersukacitalah dalam kesedihan, karena kesedihan adalah perangkap

penyatuan dengan Tuhan:

dalam Jalan ini pendakian itu tidaklah menanjak

melainkan menurun.

Semesta Matsnawi, yang hanya merupakan terjemahan sepilihan petikan Matsnawi dalam jumlah sangat sedikit dibandingkan keseluruhan puisi itu, akan terlalu muluk-muluk untuk ditujukan bagi pemahaman lengkap Mastnawi. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal ia hanya semacam sarana pengenalan dengan caranya sendiri. Akan lebih tepat sebenarnya jika dikatakan bahwa ia dimaksudkan untuk dibaca oleh pembaca, siapa pun mereka, baik yang—mengikuti Plato—sangat menyukai puisi tapi menolak tersihir olehnya, ataupun yang—mengikuti Aristoteles—percaya bahwa puisi adalah mimesis yang memiliki nilainya sendiri sampai kapan pun karena bertolak dari bangunan strukturnya puisi memberikan potensi lahirnya efek katarsis, pemurnian dari sifat-sifat yang tak layak pada manusia.

Puisi, apa boleh buat, tersusun dari kata, dan kata, pertama-tama menemui kita sebagai kata, bukan sebagai yang lain. Adapun makna—ke mana pun ia merujuk—mungkin saja datang belakangan, atau mungkin saja ia tak pernah datang. Salam.

*Disunting ulang dari pengantar Semesta Matsnawi: Melintas Batas Cakrawala Kerinduan (Yogyakarta: Forum, 2018).

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.