1
Antologi puisi Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020) anggitan Ilda Karwayu dibuka dengan ruang riil yang sempit dan ditutup dengan ruang imajinasi yang tak terukur luasnya. Diapit oleh puisi pembuka dan penutup itu kita temukan 65 judul puisi menawarkan banyak ruang dan lanskap lain. Judul antologi diambil dari puisi sepanjang 10 baris dalam 4 bait yang berada di urutan ke-4 dalam antologi.
Sejak melihat deret judul pada halaman daftar isi, hal teknis pertama yang pasti menyita perhatian pembaca adalah ketiadaan huruf kapital, selain pada singkatan. Ketika beranjak ke bagian konten, perhatian itu dikukuhkan: puisi-puisi Ilda Karwayu dalam antologi ini tidak memuat huruf kapital. Keunikan hal teknis semacam itu tentu bukan hal yang sepenuhnya baru, tetapi bukan berarti tak menyodorkan sesuatu yang, secara situasional, unik.
Puisi-puisi dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu bertarikh 2018 dan 2019 meski kita menemukan mereka tidak dalam susunan kronologis. Puisi paling awal dalam antologi, “ketika harus bangun pagi,” bertarikh 2019, sementara puisi paling akhir, “pulang ke ruang puisi,” bertarikh 2018.
Goenawan Mohamad dalam pengantar antologi puisi Gandari (Jakarta: Tempo, 2013), mengungkapkan bahwa alasan sajak-sajak dalam buku tersebut tidak disusun secara kronologis adalah karena aspek kronologis “hanya penting, kadang-kadang, untuk telaah, tapi tidak ada hubungannya dengan ‘menikmati’ puisi.” Ia menyusun berdasarkan apa yang ia “rasakan pas.”
Pada ihwal yang tampak remeh itu kita menemukan penyair sebagai subjek yang mencoba memberi petunjuk samar tentang salah satu cara paling mungkin bagi pembaca untuk menikmati puisinya dalam wasiat terakhir sebelum dia mengalami “kematian pengarang.” Secara tersirat, dia menyarankan bahwa puisi-puisi dalam antologi adalah sebuah ruang utuh dengan perabotan yang akan membuat ruang tampak berbeda jika tatanannya diubah, termasuk dalam sisi teknis yang tak memuat huruf kapital: puan secara semiotik memiliki perbedaan status dengan Puan. Perbedaan gaya tulis fonem sama yang tampak sepele tersebut bisa memiliki indikasi sangat luas termasuk menyinggung identitas.
Sebab puisi kontemporer hadir kepada kita pertama-tama sebagai wujud visual. Di sisi lain, penyair bukanlah montir yang menyusun kepingan-kepingan puisi secara kronologis waktu. Puisi, kerap kali lahir tanpa rencana, dipantik oleh banyak hal tanpa didahului deret hipotesis dan menjelma teks tanpa dipandu semacam manual ketat instalasi perangkat lunak. Karena itu, kita boleh menebak bahwa apa pun yang menjadi dasar penyusunan urutan puisi-puisi dalam antologi ini, hal tersebut terpikirkan oleh sang penyair saat gagasan tentang terbitnya buku ini terbentuk.
2
Ilda Karwayu menulis puisi dengan beragam corak. Puisinya kadang menawarkan baris-baris singkat seperti pada puisi “ketika harus bangun pagi” dan “berlayar”, kadang pula baris-baris lebih dari sepuluh ketukan seperti “yang kulakukan saat sendirian” (nomor 2), meski lebih banyak yang merupakan campuran keduanya dalam proporsi yang tak kenes. Lihat misalnya bait awal puisi “para tetangga”:
puan
jangan lari terus dari luar rumah
kamarmu penuh hunusan prasangka
di seberang gerbang, para betina
memilah anak panah
Binatang Kesepian dalam Tubuhmu, hal. 17
Baris pertama hanya tersusun dari satu kata, puan, menimbulkan efek seruan yang lebih kuat karena mengandaikan jeda jauh lebih lama daripada jika ditulis sebaris bersama baris berikutnya dengan penanda jeda, misalnya, hanya tanda baca koma. Empat baris berikutnya ditulis dengan mengandaikan efek senada, seperti “nasihat” yang untuk menunjukkan betapa pentingnya nasihat tersebut maka susunan kalimatnya disusun pendek-pendek dengan jeda-jeda yang lama. Akan tetapi kita bisa memperdebatkan konotasi positif atau negatif yang disandang nasihat itu, sebab tidakkah tindak lari dari luar rumah yang dianggap menyalahi tradisi puan harus guyub berbaur dengan masyarakat, para penghuni dunia luar, justru mengindikasikan sokongan terhadap gagasan Virginia Woolf tentang a room of her own, suatu kubus kamar yang jendelanya dibuka tetapi pintunya ditutup, suatu ruang pribadi bagi “perempuan penyair”?
Pada beberapa baris terkadang pengejaran komposisi matra sampai membuat kalimat berulang mengalami pemenggalan (misalnya tiada yang sanggup membuka- | buka catatan takdir), sebagaimana kadang kita temukan juga kalimat berulang yang ditulis tanpa tanda hubung (misalnya puan, tidakkah kau lelah berpurapura). Dengan demikian, meski puisi kontemporer memang hadir pertama-tama sebagai wujud visual, tetapi wujud visual itu tidak berarti menghilangkan relasi puisi dengan kelisanan. Pembaca menghadapi puisi tidak sama dengan sikap dia membaca artikel jurnal, melainkan dengan melisankannya baik secara literal ataupun dalam imajinasi. Pembaca secara umum ketika menghadapi puisi tertulis memiliki “cakrawala ekspektasi” yang cenderung sukar dipisahkan dari kelisanan, karena itu pulalah perangkat purba matra dan rima tak pernah benar-benar hilang bahkan pada sebagian besar puisi kontemporer.
Maka tak heran jika selain pemilihan panjang pendek baris yang tampak memperhitungkan jeda pelisanan, puisi-puisi dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu juga menunjukkan jeda-jeda lebih lama pada satu baris dengan penanda kekosongan yang lebih panjang. Lihat misalnya puisi “anak perantau” (2019) yang lengkapnya sebagai berikut:
Baris kedua yang ditulis agak menjorok ke depan menandakan keterkaitan sintaksis ketat dengan baris pertama. Yang menarik adalah jeda tambahan setelah diksi mengolahnya sehingga kita membayangkan baris kelima tersebut diucapkan dengan jeda agak panjang lalu dilanjutkan dengan nada yang tak berubah seperti orang mengucapkan sesuatu lalu di tengah jalan ada pikiran baru masuk ke dalam benaknya sehingga terjadi distraksi. Pertimbangan jeda yang lebih panjang kita temukan sebagai pemisah dengan bait terakhir sehingga memperkuat atmosfer sepi yang dibangun oleh dua baris penutup tersebut.
Kita menemukan teknik sama digunakan dalam “puan daki pongsu sendirian”. Narasi tentang seorang puan yang mendaki busut menjulang sendirian, lalu ruang berpindah pada sikap berbeda antara dia dengan tuan perihal “pengabadian” tapak dari apa yang sudah. Setelah sang puan menyebut sang tuan, tanda baca titik dilanjutkan dengan jeda yang agak panjang sebelum memulai kata penghubung yang menandakan ketidakselarasan: tapi.
Maka kita bisa melihat, sebagaimana sebangun makna kalimat sesudah tapi, bahwa ketidakselarasan antara puan dan tuan–biner yang kita temukan juga dalam beberapa puisi lain–dalam puisi ini sedemikian jauhnya, sejauh jeda yang dihadirkan pada tengah-tengah baris memisahkan dua kata yang menyusunnya: kedua kata tersebut berada pada ujung bertentangan, kiri dan kanan, dengan ruang kosong di tengah-tengah baris sebagaimana jika ditatap sebagai satu bait utuh maka tiga baris itu membentuk kotak gerowong. Tidakkah itu adalah pertanda bahwa saking tidak selarasnya maka antara mereka berdua sekadar percakapan pun sudah tak dimungkinkan?
3
Puisi lahir pertama-tama untuk mengungkapkan sesuatu yang terlalu sublim untuk diungkapkan dengan komunikasi lisan lumrah. Jika kita percaya pada legenda, maka kita sepakat bahwa puisi adalah karya sastra tertua, lebih tua dari kelahiran tulisan: Adam melisankan puisi ketika kesedihan terlalu dalam untuk diungkapkan hanya sekadar dengan lisan biasa terkait kedua anaknya yang malang. Anak yang satu dibunuh anak yang lain, anak yang satu mati muda, anak yang satu akan menjadi nenek moyang para pendosa.
Jika puisi-puisi dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu adalah sebuah percakapan, maka percakapan itu hadir dengan banyak tema serta dalam banyak ruang dan lanskap. Puisi pertama mengajak kita bangun dalam ruang “kubus kamar”, menutup mata tetapi tidak tertidur, menikmati hangat dan sepoi angin dari jendela yang dibuka, menyendiri dengan menutup pintu tetapi “pikiran dibuka.”
Puisi ini merupakan petunjuk pergantian ruang dari ruang nyata ke ruang “pikiran”. Puisi-puisi dalam antologi ini selanjutnya merupakan pengembaraan isi ruang pikiran tersebut dan dari sanalah banyak tema pun hadir. Kita misalnya menemukan ruang masa kecil yang terbayangkan, bukan sekadar foto hitam putih dalam album keluarga, dalam “yang kulakukan saat sendirian” (nomor satu); tarik ulur dengan takdir dalam “binatang kesepian dalam tubuhmu,” sampai lanskap rumah susun, perumahan, ataupun lanskap jemur pakaian yang menjelma dalam dunia nyata sebagai sebuah rimba tempat para singa “kerap liurnya menetes” saat menatap puan menjemur pakaian (“para tetangga”).
Puisi “para tetangga” ini bisa menjadi contoh paling mudah untuk menghubungkan kita dengan komentar penyair Mario F. Lawi pada kover belakang buku bahwa “tubuh adalah objek utama dalam buku ini.” Dalam puisi ini, tubuh perempuan menjadi objek tatapan, glance, para singa dan masalah klasik yang sudah menjadi tradisi klise pun muncul: kenapa harus puan yang harus “santun memaki” para penatapnya sementara dia sendiri pada dasarnya adalah “korban tatapan”? Mungkin karena itulah sang puan, dalam puisi lain, “usai makan malam” yang penuh dengan tuah-petuah melihat kehadiran tubuh perempuan pendekar pada citraan visual beludru bebatang kembang liar.
Kritik terhadap tradisi yang pada poin-poin tertentu tidak ramah gender feminin kerap kita tangkap dalam puisi-puisi antologi ini, baik sebagai kilasan samar (sudah lama ia dibakar cacimaki | dan disiram tugas mengabdi [“bara dalam tubuhnya”]) ataupun dalam ungkapan terang (suatu hari | ingatanku menangis karena | lelah terikat oleh tali tradisi [“suatu hari ingatanku menangis]). Ketersudutan–menggunakan kata “ketidakberdayaan” tampaknya kurang cocok di sini, karena berkali-kali dalam puisi-puisi dalam antologi ini, sang puan justru menunjukkan perlawanan, dengan caranya sendiri–posisi “puan” bukan hanya disebabkan perilaku para singa, tetapi juga perilaku para betina yang memilah anak panah: gambaran sesama gender yang karena berbagai motif justru bersikap sama tak ramahnya dengan gerombolan lintas gender.
Citraan “pikiran dibuka” juga pada akhirnya menunjukkan kesadaran bahwa tak semua ruang dan lanskap di dalamnya ramah akses, bahwa mata yang ditutup tidak lantas mengindikasikan kembara lamunan, daydream. Ada “tanah ingatan” yang tak perlu diais-ais (“puan kehilangan”). Puisi-puisi dalam antologi ini juga mencoba menangkap berbagai lanskap luaran (trotoar kota, halaman rumah, hutan yang terbakar) pada waktu yang meloncat-loncat sebagai sebuah anomali karena realitas tidak lagi ditangkap dalam relasi subjek dengan apa yang di luar subjek, melainkan antara subjek dengan apa yang ditarik dari luar ke dalam subjek: sebuah ciri khas senandika. Siang, malam, hujan, dan terik lantas hadir bukan hanya sebagai penanda waktu, melainkan sebagai penanda visual—dan kerap kali metaforis—untuk tema percakapan yang “dipikirkan” dan dikomunikasikan dengan pembaca, tanpa mesti mendapatkan jawaban.
Sebab memang seperti itulah ruang puisi, ruang yang kita temukan menjadi tempat berpulang pada puisi di halaman terakhir: “pulang ke ruang puisi.” Dalam ruang itu segala anomali yang terpikirkan dirapikan, segala yang tak layak disapu. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa tanya sudah berakhir, karena bahkan dalam ruang paling luas itu, apa yang menyinari bukan terang mentari siang yang menghalau semua yang tersembunyi, melainkan cahaya kerlap-kerlip | dari sudut tanya. setiap tanya.
Sebagaimana puisi yang mempertanyakan tanpa berharap mendapatkan jawaban tunggal dan lempang, tulisan ini hanya sebentuk resepsi yang mencoba menyambut tanya dalam sebuah percakapan dengan teks yang disodorkan penyair dalam Binatang Kesepian dalam Tubuhmu. Percakapan itu mungkin berlangsung tidak koheren seperti yang terjadi dalam Waiting for Godot-nya Samuel Beckett ataupun “Khammarat al-Qitt al-Aswad”-nya Najib Mahfuz sehingga mungkin saja semua yang ditelisik dalam tulisan ini berlawanan dengan apa pun yang sang penyair maksudkan. Akan tetapi memperdebatkan hal semacam itu sama sekali tak penting karena apa yang paling penting adalah puisi-puisi dalam antologi ini hidup dengan segala perangkatnya dan menjumpai pembaca yang mungkin kemudian menikmatinya.
Semangat zaman puisi modern mengandaikan pemerolehan kenikmatan dua pihak: penyusun dan pembacanya. Kita tak pernah bisa menyeragamkan bentuk kenikmatan itu, karena pada momen kita memaksakannya maka kenikmatan satu pihak justru akan dikorbankan: momen ketika pembaca tak lagi menjadi teman duduk | meracik sajak, ataupun ketika penyair berhenti menulis sajak dalam remang ruang pengap | jadi surga. Segala panduan penyair supaya pembaca mencapai kenikmatan sangat mungkin disalahtafsirkan yang justru membawa pada kenikmatan lain, karena apa boleh buat puisi cenderung memukau ketika ia hadir sebagai ambiguitas orakel yang mengajak berkomunikasi sekaligus menyodorkan teka-teki, mengungkapkan sekaligus menyembunyikan, sesuatu yang–meminjam baris-baris indah puisi lama Toeti Heraty, “Post Scriptum”–“antara menyingkap dan sembunyi | antara munafik dan jatidiri”.
Mencoba menelisik apa yang tersembunyi tanpa arogansi memaksakan arti komunikasi yang diungkapkan dengan terang, itulah yang dilakukan tulisan ini sebagaimana juga semoga itulah yang Ilda Karwayu yakini saat menyusun 67 puisi dalam antologi. Salam.
Jogja, Komunitas Imajiner, 2021.